Share

5. Aib!

 “Bagaimana pun kita tetap harus bersyukur. Kejadian ini tidak sampai membuahkan janin.” Penuh kelembutan Bu Friskelly menaikkan lagi semangatku.

“Masih banyak perempuan di luar sana yang menanggung ujian lebih berat darimu, Sekar … tetaplah kuat.”

Aku kembali terpuruk, merasa tidak ingin berbuat apa-apa.

Malamnya, berkunjung wanita paruh baya yang kemarin ikut mendampingiku dari KPAI, beliau mungkin dihubungi Bu Fris, datang karena kasihan padaku.

Aku memang pantas dikasihani … mungkin begitulah hidupku seharusnya. Entah, jangankan berpikir, menggerakkan jari melanjutkan menjahit saja aku enggan.

Tanpa mengeluhkan sikapku, wanita tak kalah lembut dengan Bu Fris itu mulai bercerita, kalau di pekerjaannya dia temukan banyak perempuan_korban sepertiku juga yang malah menghancurkan hidupnya, masuk ke lokalisasi yang sudah pasti merugikan diri sendiri. Makin dipandang rendah. Aku mulai mengangkat wajah, membayangkan saja buluku meremang.

Bukankah ‘kejadian itu’ menimbulkan trauma, kenapa bisa mereka malah jadi tak terkendali? Ah, aku tidak akan seperti itu! Mulai kuperhatikan tiap kata yang beliau tuturkan. Di akhir bagian beliau ceritakan mereka-mereka yang pernah terpuruk, tapi bisa bangkit dan hidup lebih baik dan bahkan lebih kuat. Meski tak kukenal nama-nama yang dimaksud, tetap itu terasa menumbuhkan semangat lagi. Aku ingin jadi bagian dari mereka yang bangkit!

“Kamu punya keterampilan, ini kemampuan luar biasa, Sekar. Insya Allah, kamu pasti akan berdaya, tidak nganggur meski kondisi sesulit-sulitnya. Modal gunting, jarum, benang.” Kuperhatikan beliau memegang perangkat jahit sederhanaku dengan pikiran ini mencerna maksudnya.

“Sementara ilmu buat pola, design yang sudah dikuasai itu semua ada di kepala.” Wanita berwajah ramah ini menunjuk dahi. Seketika kubayangkan otakku.

“Nah, ke manapun kamu nantinya berpijak, ilmu itu mengikutimu, Sekar. Ibu yakin kamu akan berkembang lebih hebat setelah ini. Tinggal tumbuhkan lagi bara cita-citamu itu.”

Beliau katakan pernah mendengar Bu Fris cerita tentang idolaku, dan keinginanku sepertinya, sebab Dian Pelangi juga seorang lulusan SMK.

“Kalau kamu mau seperti Dian Pelangi, insya Allah itu bisa terwujud kalau kamu ikhtiar.”

Mendengar itu mataku mengerjap-ngerjap melihat cerah, jantung jadi berdetak cepat. Ada gemuruh lama kembali muncul. Aku mau jadi seorang fashion designer. Ya, rasanya bara mimpi itu kembali menyala.

*

“Alhamdulillah, semua cukup, Bu. Terima kasih banyak.”

“Syukurlah, Sekar. Ini atas bantuan banyak orang, bukan semata dari ibu.” Hubunganku dengan Bu Fris layaknya keluarga, meski berbeda keyakinan beliau sangat memperlakukan aku dengan baik. Sangat baik.

Ibadahku kembali meningkat. Cukup mampu meredam gugup, mengejar selesainya rancanganku sebagai tugas akhir. Pagelaran busana sebulan lagi dilaksanakan.

Sekarang, aku dan Bu Fris usai melihat bahan-bahan untuk rancanganku yang sudah semua lengkap, tinggal kurampungkan. Gaun ini cukup rumit, tapi kubuat dengan bahan sederhana dan terjangkau saja. Model kami diambil dari Kimmy Models, sebuah sekolah modelling lokal, sudah sejak lama kerjasama dengan sekolah. Orangnya langsing, tinggi 168cm dengan berat 55kg. Kami lumayan akrab saat aku mengukur tubuhnya, dia cantik juga ramah, kuharap ukuran badannya masih sama sampai bulan depan, tak bisa dihindari ada was-was takut bajunya tak muat.

Ternyata jadi perancang itu cukup membuat panas dingin.

Demi persiapan matang aku juga kembali gabung dengan teman-teman sekelas. Awal yang canggung kemudian terasa seperti biasa saja saat kami semua fokus untuk melakukan yang terbaik. Ini bekerjasama dengan murid kelas XII jurusan Tata Rias. Mereka yang merias, kami yang men-design bajunya.

Aku sangat gugup. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perancang juga perias akan wajib jalan di panggung, sesaat setelah modelnya memamerkan hasil karya kita.

Ah, apa aku bisa, ya …?

Apa aku sanggup mendapat tatapan dari mereka yang mungkin tahu kasusku kemarin ….

Kembali kuragu pada diri sendiri.

Beberapakali tercuri melamun langsung Bu Fris suruh aku ingat Tuhan. Hanya Dia pemilik kuasa yang membuat orang bisa melupakan kejadian buruk itu, dan bisa melihat diriku yang sekarang. Ya, Allah maha membolak-balikkan hati. Aku harus yakin.

Masih canggung jika ditatap orang membuatku lebih banyak mengurung diri di rumah.

“Assalamualaikum.”

Lagi duduk di ruang tengah bersama Bu Fris, Yandi datang.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku lemah sambil melihat ke arah guruku.

Tak bisa lagi menghindar, Yandi bisa melihatku di sini dari celah pembatas itu. Padahal sebelumnya aku selalu menghindar, menolak bertemu.

Bu Friskelly bolehkan Yandi masuk. Kami duduk bertiga sekarang, aku banyak tertunduk memandangi kuku kaki yang panjang, entah berapa bulan lupa kurapikan.

“Mohon maaf, Bu. Saya ke sini sebenarnya mau bicara dengan Sekar. Penting.”

“Baiklah, ibu pindah kursi, ya. Kalian bicara saja.”

Bu Fris pindah ke kursi lain, jarak sekitar lima meter dari kami. Beliau tahu aku tak mau ditinggal saat berdua saja dengan lelaki. Sebab sebelumnya pernah saudara Bu Fris datang, dan aku rela ngekor ke mana pun guruku ini pergi daripada di rumah bersama adiknya. Memang tampak ‘alim, tapi mana tahu isi hatinya. Aku tak mau kejadian sama terulang.

Yandi sempat ragu-ragu pembicaraannya terdengar, tapi kemudian tanpa basa-basi mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak air liur.

“Aku mau kita nikah setelah lulus, Sekar.”

Dia ulangi sampai dua kali menambah kuat batukku, lekas aku permisi pada Bu Fris ke belakang untuk minum.

Ada-ada aja si Yandi, datang-datang malah ngomong gitu. Kami kan cuma teman.

Sengaja kuperlama waktu di dapur, duduk di kursi makan menghabiskan segelas air.

Tak enak juga lama-lama sama Bu Fris, aku pun kembali ke depan, ternyata Yandi sedang mengobrol dengan rona wajah serius dengan guru super baik hati itu.

“Saya serius, Bu. Sudah lama suka sama Sekar. Saya … bisa terima Sekar apa adanya.”

Bukan membuatku senang. Kalimat Yandi terasa memukulku hati.

“Sorry, Yan. Aku nggak bisa.” Kujawab ketus, setelah duduk di sebelah Bu Fris.

“Kenapa Sekar? Aku sudah kerja. Kalau sore narik tagihan koperasi harian, gajinya lumayan buat hidup kita-”

“Yan, kenapa kamu jadi mikir nikah? Bukannya Tante, Om, minta kamu kejar kuliah hukum sampai S2 kalau perlu. Kamu cowok satu-satunya yang Tante harap,” ujarku mengingatkannya pada cita-cita ibu-bapaknya.

“Aku sayang kamu, Sekar. Aku akan kejar itu setelah kita nikah.”

Bu Friskelly beranjak berdiri. “Silakan saja bicara, ibu ke belakang dulu.” Kami bersamaan mengiyakan dengan kikuk. Bu Fris ini belum menikah, tapi jiwa keibuannya amat tinggi.

Hening sejenak.

“Sekar. Mau, ya?” Yandi bertanya lagi.

“Yan, kamu ngelakuin itu pasti gara-gara aku-“

“Enggak, Sekar. Aku memang sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Wajah Yandi terlihat bersungguh-sungguh.

“Aku akan kerja sambil ngikuti kemauan orangtua. Kita akan berjuang sama-sama, Sekar. Mau, ‘kan? Mau, ya?”

Tetap dari tempat duduknya ia menatapku penuh harap. Ada rasa geli melihat mukanya seserius itu.

Kurapikan kerudung yang terasa sedikit miring, padahal tidak, aku hanya tengah grogi.

Apa Yandi benar mau terima aku apa adanya …?

Sebagai cewek yang tak sempurna ini seperti oase di padang gersang. Aku tertunduk, mengangguk kecil, merasakan ada desir hangat merayap bersama aliran darah.

*

Sahabat, kini jadi kekasih. Yandi paling bersemangat mendukungku menyelesaikan tugas, meski hanya diperbolehkan seminggu sekali saja ke rumah oleh Bu Fris. Beliau ketat menjagaku, memperlakukanku seperti orang tua baik perlakukan anak, bisa juga dibilang seperti kakak baik perlakukan adik tercintanya, sebab usia Bu Fris belum terlalu tua, kalau tak salah sekitar 32 tahun. Matang, tapi belum Tuhan pertemukan dengan jodohnya.

Yandi selalu izin dulu via telepon pada Bu Fris sebelum ke sini, karena ponselku dulu diambil Kak Rana, sampai sekarang aku tak punya benda itu.

Seperti dulu, Yandi terkadang mengantarku pulang-pergi ke sekolah, sampai tiba saat aku dan teman-teman latihan gladi bersih di Gedung Dharma Wanita. Senang, cowok baik ini bisa menguatkanku melangkah, tanpa pernah lagi mengungkit ‘aibku’.

Mungkin menikah muda dan meraih mimpi bersama-sama akan lebih baik. Aku coba jalani saja.

*

Mulai membuka diri, mulai percaya diri. Itu yang kurasa. Masker perlahan kulepas saat aku keluar rumah. Aku merasa sudah diterima.

Teman-teman sekolah tak pernah jua bertanya, meski di sekitar masih ada yang berbisik kutahu mereka membahas hal lain, bukan tentangku.

Sampai sesuatu terjadi kembali menusuk hati.

“Kamu yang lagi dekat sama Yandi itu, ya?”

“Ya, lah. Siapa lagi? Masa gak lihat mukanya. Yang kelihatan itunya, tu-“ Apa yang mereka katakan selanjutnya menaikkan darahku cepat ke kepala.

“Mana cocok sama vokalis band sekolah kita. Nggak level!”

“Hu um, Yandi ‘kan pasti masih perjaka, lah dia-“

“Apa kalian? Apa?!” Kudorong kasar dada cewek yang memepetiku di dekat rak snack, di toko Al**mart. Dia terjungkang, mengaduh keras dan menjatuhkan beberapa barang dari pajangan.

Keributan sontak mengundang para pegawai toko mendekat.

 “Hei! Percuma kamu pake jilbab. Kamu itu-“ kata kasar kembali keluar dari cewek yang memelototiku, kalimatnya amat merendahkan.

Di depan tiga pegawai laki-laki dan satu perempuan yang membantu temannya berdiri, mulutnya lancar membeberkan aib dan foto lakn** itu.

Tangis ini hampir meledak, kutahan sebisa mungkin sambil gegas keluar toko, meninggalkan begitu saja keranjang barang titipan Bu Fris.

Mana bisa aku diam! Mana bisa?! Mereka tadi membisikkan letak … tahi lalat khasku sejak lahir.

Ya Allah, entah bagaimana bentukku di foto itu, seberapa banyak orang melihatnya ….

Jangan-jangan, Yandi juga …?!

Arggg! Rasanya aku mau hilang saja dari muka bumi ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status