Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku ….
Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku.
“Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana.
“Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya.
Aku berjalan di sisinya, mengayunkan langkah ragu-ragu.
Telapak tangan mendingin, merasa blank akan bicara apa nanti. Bukan karena desir hangat yang menjalar dari tangan Yandi, tapi aku takut menghadapi tatapan kedua orang tuanya.
“Yandi?”
Suara Kak Riri? Aku mendongak, segera memberi senyum, kaku.
“Sekar?” gumamnya dengan raut heran. Pasti bingung lihat Yandi tak mau melepas jariku dari genggaman.
“Kak. Assalamualaikum.”
Dijawabnya salamku dengan gaya ramah, Kak Riri terlihat cepat kuasai keadaan. Dia suruh kami masuk, duduk di ruang tamu. Eh, Yandi kok jadi kayak tamu di rumahnya sendiri?
Sesaat berbasa basi tanya kabar Kak Riri kemudian menarik tangan Yandi.
“Sebentar ya, Sekar.”
“I-iya, Kak.”
Desis bisik-bisik terdengar dari kamar tempat Kak Riri membawa adiknya. Suasana makin menyesakkan napas. Terasa panas. Aku mulai gelisah.
Ada firasat menyatakan kehadiranku tidak akan diterima.
Detik berjalan merayap, bokong terasa makin panas segera ingin pergi dari sini. Meski mendesis, tetap tercuri dengar Yandi bersikeras menjawab argumen kakaknya.
Aku makin merasa tak nyaman. Apa aku pulang saja …?
Jantung ini seketika kerja berlipat ganda saat terdengar suara Om Beny yang berat dan tegas. Beliau bertanya pada Yandi mau apa bawa aku ke sini.
Telapak tangan makin basah, keringat dingin. Kulap ke ujung baju.
“Ini Sekar, Pa, Ma.” Refleks berdiri, saat kulihat Yandi muncul bersama kedua orang tuanya. Wajah mereka kaku melihatku.
“Sudah kenal. Duduk saja.” Belum kuulurkan tangan, suara tegas Om Beny memaksaku tergeragap duduk.
Yandi langsung mengambil tempat di sebelahku. Kami berdua jadi berhadap-hadapan dengan orang tuanya.
Keadaan membisu sesaat. Mungkin saja hanya suara degup jantungku yang terdengar.
Yandi cepat meraih tanganku. Kutarik, tapi makin erat digenggam.
Yan, aku nggak nyaman kamu perlakukan gini.
“Pa, Ma. Yandi mau menikah dulu dengan Sekar sebelum berangkat. Yandi mau mengejar mimpi bersama-sama Sekar” ujarnya tanpa titik koma. Kurasa dia sama gugupnya. Tangannya juga sedingin es.
Tegang. Mataku tertumbuk diam pada wadah tisu di meja.
Hening. Lalu suara embusan napas berat Tante Mel terdengar.
“Yan, kenapa kalian harus buru-buru? Kuliah dulu, kerja, baru nikah,” ujar mamanya dengan sorot mata tajam tertuju padaku, tapi nada suaranya amat lembut.
Aku kembali tertunduk, dengan perasaan tak karuan.
“Papa juga pikir begitu. Kamu bisa menemui banyak masalah kalau menikah sebelum selesaikan pendidikan. Sulit melakukan keduanya bersamaan, pikirkan baik-baik itu, Yan.”
Hatiku membenarkan pendapat mereka.
“Yandi bisa, Pa. Yandi akan kuliah sambil kerja.”
“Yandi. Mama Papa masih mampu kuliahin kamu, mau sampai S3 sekalipun juga nggak masalah, kenapa harus sambil kerja?” Tante Mel kembali menatapku lekat.
“Jangan mau hancurkan mimpimu karena perasaan. Kamu itu anak laki-laki baik,” lanjutnya sedikit menekan pada anak laki-laki baik, sanggup meluruhkan keringat dingin di pelipisku.
“Ma, Pa-“
“Kami tidak mau dengar, Yandi.” Kompak dua orang tua berpakaian rapi itu berdiri.
“Kuliah dulu yang betul, fokus, lulus cepat, baru kami setujui permintaanmu,” tukas Om Beny mantap.
Kalimat yang membuat Yandi terdiam. Aku tahu dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Kelihatan tengil tapi penurut, hatinya baik, mana pernah Yandi kasar pada perempuan, itu kutahu karena dia sayang mama juga kakaknya.
Perlahan genggamannya melemah, segera kutarik tangan seraya berdiri.
“Sekar aku antar.” Yandi ikut beranjak, memaksaku mendongak melihat mukanya.
“Nggak usah, Yan. Aku-“
Ditutupnya mulutku dengan telapak tangan, kami bertatapan sejenak, segera kubuang pandang merasakan mata ini perih. Sendu tatapan Yandi membuatku sulit menolak. Dia pun mengantarku pulang.
Sepanjang jalan kami tak bersuara. Entah apa di pikirannya, yang jelas di pikiranku merasa hubungan kami tidak akan direstui.
*
Yandi sudah berangkat, meninggalkan janji segera menyelesaikan kuliah, kerja, lalu menjemputku--seperti keinginan papanya. Dia memintaku menunggu saat itu. Empat tahun, waktu paling lama yang dijanjikannya.
“Aku cinta kamu, Sekar. Sungguh cinta. Sayang. Aku sampai nggak bisa katakan apa untuk mewakili rasa ini padamu. Tolong, jangan kasih sedikit pun hatimu untuk orang lain, sampai aku jemput. Aku nggak rela kalau itu terjadi.”
Masih teringat matanya berkaca-kaca mengatakan itu di ruang tamu Bu Friskelly, duduk di kursi yang ditariknya ke dekatku.
Kalimat yang indah, Yan. Aku suka. Tapi aku nggak berani menjanjikan apa-apa.
Akan kubiarkan waktu membawaku sampai pada titik itu. Di sana dia kerja keras belajar, di sini aku akan keras bekerja sebaik mungkin, mungkin … sambil menyiapkan diri menjadi calon istri yang baik.
*
Sedan hitam parkir di bahu jalan depan, menarik mataku yang tak asing dengan platnya. Tante Mel turun, memakai kacamata hitam. Melihat arahnya ke sini, aku segera matikan dinamo jahit, berdiri akan menyambutnya.
“Tante?”
“Sekar, ikut aku sebentar.” Tante Mel kembali jalan ke mobil, aku izin dengan Pak Kung, pemilik jahitan sebelum mengikutinya.
Sedikit ragu aku masuk, duduk di sebelah mamanya Yandi.
Aroma parfum mahal langsung mengisi rongga hidung. Entah kenapa baunya seakan menyadarkan diri, kalau bau tubuhku yang alami tidak ada apa-apanya dibanding wanita modis ini.
“Mana hapemu?” Meski terkejut aku langsung merogoh kantung celana kainku.
“Kamu itu kasih apa sama anakku, belum apa-apa sampe dikasih hape segala. Sadar diri dong jadi orang, ngerasa pantas nggak kamu sama Yandi?” Tante Mel bicara tanpa melihatku. Tangannya sibuk mematikan ponsel pemberian Yandi sebelum berangkat, membuka casing, dan keluarkan simcard-nya.
“Jujur, ya, Sekar. Kami tidak setuju hubungan kalian,” ujarnya sambil membelah kartu itu dengan gunting kuku dari dalam dashboard.
Menganga mulutku, bahkan air mata sudah jatuh saat kalimat pertamanya terucap tadi. Firasat mereka tak suka padaku memang ada, tapi tak menyangka sikap Tante Mel sampai begini.
“Sudah, sana kerja. Kalau Yandi tanya, bilang aja hapemu hilang.”
Kuusap air mata sebelum keluar. Napas ini tersengal, bagai orang asma akut yang tengah kambuh. Sesak luar biasa. Kuusahakan curi napas panjang, agar tak membalas dengan emosi.
“Belajarlah menyadari masa lalumu itu, cari orang yang pantas!” kalimatnya makin pedas memancing emosi.
Baiklah, aku akan baik-baik saja, Bu Fris cukup rutin melatihku untuk ini.
Tertunduk sesaat, tangan kukepal kuat.
“Terima kasih atas penghinaannya, Tante. Yandi lah yang ngejar aku. Aku sudah sadar diri, sudah nolak, tapi dia maksa.” Kuangkat wajah, sebisa mungkin menahan air mata agar tak lagi jatuh.
“Asal Tante tahu. Aku ini korban, dan Allah maha tahu itu. Semua yang terjadi bukan mauku, Tan.”
“Oh, mana bisa kamu katakan begitu. Tidak ada buktinya, ‘kan?” Ditunjuknya kepalaku. “Kamu itu pake jilbab, tapi di depan kami saja berani pegangan tangan. Bisa jadi di belakang kami kamu nyosor anakku, merusak pikirannya. Siapa yang bisa percaya?”
Terkesiap. Napasku kembali tercekat.
“Bukan salah jilbabku, Tante. Itu murni salahku. Maaf," gumamku dengan geraham saling beradu.
Kuusap muka cukup kuat, lalu gegas turun, melangkah cepat dalam pikiran gamang.
Bu Fris pernah mengingatkan ini ….
Untukku belajar jaga sikap, di manapun. Bisa saja orang lain menilaiku salah, sebab masa laluku … tak perlu aku marah, cukup diingat saja.
Mungkin memang ada andil dari sikapku sampai mereka berpikiran begitu.
Aku nggak pantas untukmu, Yan ... menjauhlah ....
“Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku. Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut. “Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku. Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?” “Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung. “Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab. Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhen
“Lagi ngapain?” Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai. “Hee, kerjaan iseng, Bu.” “Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku. “Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit. “Kreatif.” “Daripada bengong, Bu.” “Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS. Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan. “Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.” “Mudah kok, Bu.” Aku sudah dudu
Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.