Share

7. Aku Nggak Pantas Untukmu

Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku ….

Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku.

“Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana.

“Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya.

Aku berjalan di sisinya, mengayunkan langkah ragu-ragu.

Telapak tangan mendingin, merasa blank akan bicara apa nanti. Bukan karena desir hangat yang menjalar dari tangan Yandi, tapi aku takut menghadapi tatapan kedua orang tuanya.

“Yandi?”

Suara Kak Riri? Aku mendongak, segera memberi senyum, kaku.

“Sekar?” gumamnya dengan raut heran. Pasti bingung lihat Yandi tak mau melepas jariku dari genggaman.

“Kak. Assalamualaikum.”

Dijawabnya salamku dengan gaya ramah, Kak Riri terlihat cepat kuasai keadaan. Dia suruh kami masuk, duduk di ruang tamu. Eh, Yandi kok jadi kayak tamu di rumahnya sendiri?

Sesaat berbasa basi tanya kabar Kak Riri kemudian menarik tangan Yandi.

“Sebentar ya, Sekar.”

“I-iya, Kak.”

Desis bisik-bisik terdengar dari kamar tempat Kak Riri membawa adiknya. Suasana makin menyesakkan napas. Terasa panas. Aku mulai gelisah.

Ada firasat menyatakan kehadiranku tidak akan diterima.

Detik berjalan merayap, bokong terasa makin panas segera ingin pergi dari sini. Meski mendesis, tetap tercuri dengar Yandi bersikeras menjawab argumen kakaknya.

Aku makin merasa tak nyaman. Apa aku pulang saja …?

Jantung ini seketika kerja berlipat ganda saat terdengar suara Om Beny yang berat dan tegas. Beliau bertanya pada Yandi mau apa bawa aku ke sini.

Telapak tangan makin basah, keringat dingin. Kulap ke ujung baju.

“Ini Sekar, Pa, Ma.” Refleks berdiri, saat kulihat Yandi muncul bersama kedua orang tuanya. Wajah mereka kaku melihatku.

“Sudah kenal. Duduk saja.” Belum kuulurkan tangan, suara tegas Om Beny memaksaku tergeragap duduk.

Yandi langsung mengambil tempat di sebelahku. Kami berdua jadi berhadap-hadapan dengan orang tuanya.

Keadaan membisu sesaat. Mungkin saja hanya suara degup jantungku yang terdengar.

Yandi cepat meraih tanganku. Kutarik, tapi makin erat digenggam.

Yan, aku nggak nyaman kamu perlakukan gini.

“Pa, Ma. Yandi mau menikah dulu dengan Sekar sebelum berangkat. Yandi mau mengejar mimpi bersama-sama Sekar” ujarnya tanpa titik koma. Kurasa dia sama gugupnya. Tangannya juga sedingin es.

Tegang. Mataku tertumbuk diam pada wadah tisu di meja.

Hening. Lalu suara embusan napas berat Tante Mel terdengar.

 “Yan, kenapa kalian harus buru-buru? Kuliah dulu, kerja, baru nikah,” ujar mamanya dengan sorot mata tajam tertuju padaku, tapi nada suaranya amat lembut.

Aku kembali tertunduk, dengan perasaan tak karuan.

“Papa juga pikir begitu. Kamu bisa menemui banyak masalah kalau menikah sebelum selesaikan pendidikan. Sulit melakukan keduanya bersamaan, pikirkan baik-baik itu, Yan.”

Hatiku membenarkan pendapat mereka.

“Yandi bisa, Pa. Yandi akan kuliah sambil kerja.”

“Yandi. Mama Papa masih mampu kuliahin kamu, mau sampai S3 sekalipun juga nggak masalah, kenapa harus sambil kerja?” Tante Mel kembali menatapku lekat.

“Jangan mau hancurkan mimpimu karena perasaan. Kamu itu anak laki-laki baik,” lanjutnya sedikit menekan pada anak laki-laki baik, sanggup meluruhkan keringat dingin di pelipisku.

“Ma, Pa-“

“Kami tidak mau dengar, Yandi.” Kompak dua orang tua berpakaian rapi itu berdiri.

“Kuliah dulu yang betul, fokus, lulus cepat, baru kami setujui permintaanmu,” tukas Om Beny mantap.

Kalimat yang membuat Yandi terdiam. Aku tahu dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Kelihatan tengil tapi penurut, hatinya baik, mana pernah Yandi kasar pada perempuan, itu kutahu karena dia sayang mama juga kakaknya.

Perlahan genggamannya melemah, segera kutarik tangan seraya berdiri.

“Sekar aku antar.” Yandi ikut beranjak, memaksaku mendongak melihat mukanya.

“Nggak usah, Yan. Aku-“

Ditutupnya mulutku dengan telapak tangan, kami bertatapan sejenak, segera kubuang pandang merasakan mata ini perih. Sendu tatapan Yandi membuatku sulit menolak. Dia pun mengantarku pulang.

 Sepanjang jalan kami tak bersuara. Entah apa di pikirannya, yang jelas di pikiranku merasa hubungan kami tidak akan direstui.

*

Yandi sudah berangkat, meninggalkan janji segera menyelesaikan kuliah, kerja, lalu menjemputku--seperti keinginan papanya. Dia memintaku menunggu saat itu. Empat tahun, waktu paling lama yang dijanjikannya.

“Aku cinta kamu, Sekar. Sungguh cinta. Sayang. Aku sampai nggak bisa katakan apa untuk mewakili rasa ini padamu. Tolong, jangan kasih sedikit pun hatimu untuk orang lain, sampai aku jemput. Aku nggak rela kalau itu terjadi.”

Masih teringat matanya berkaca-kaca mengatakan itu di ruang tamu Bu Friskelly, duduk di kursi yang ditariknya ke dekatku.

Kalimat yang indah, Yan. Aku suka. Tapi aku nggak berani menjanjikan apa-apa.

Akan kubiarkan waktu membawaku sampai pada titik itu. Di sana dia kerja keras belajar, di sini aku akan keras bekerja sebaik mungkin, mungkin … sambil menyiapkan diri menjadi calon istri yang baik.

*

Sedan hitam parkir di bahu jalan depan, menarik mataku yang tak asing dengan platnya. Tante Mel turun, memakai kacamata hitam. Melihat arahnya ke sini, aku segera matikan dinamo jahit, berdiri akan menyambutnya.

“Tante?”

“Sekar, ikut aku sebentar.” Tante Mel kembali jalan ke mobil, aku izin dengan Pak Kung, pemilik jahitan sebelum mengikutinya.

Sedikit ragu aku masuk, duduk di sebelah mamanya Yandi.

Aroma parfum mahal langsung mengisi rongga hidung. Entah kenapa baunya seakan menyadarkan diri, kalau bau tubuhku yang alami tidak ada apa-apanya dibanding wanita modis ini.

“Mana hapemu?” Meski terkejut aku langsung merogoh kantung celana kainku.

“Kamu itu kasih apa sama anakku, belum apa-apa sampe dikasih hape segala. Sadar diri dong jadi orang, ngerasa pantas nggak kamu sama Yandi?” Tante Mel bicara tanpa melihatku. Tangannya sibuk mematikan ponsel pemberian Yandi sebelum berangkat, membuka casing, dan keluarkan simcard-nya.

“Jujur, ya, Sekar. Kami tidak setuju hubungan kalian,” ujarnya sambil membelah kartu itu dengan gunting kuku dari dalam dashboard.

Menganga mulutku, bahkan air mata sudah jatuh saat kalimat pertamanya terucap tadi. Firasat mereka tak suka padaku memang ada, tapi tak menyangka sikap Tante Mel sampai begini.

“Sudah, sana kerja. Kalau Yandi tanya, bilang aja hapemu hilang.”

Kuusap air mata sebelum keluar. Napas ini tersengal, bagai orang asma akut yang tengah kambuh. Sesak luar biasa. Kuusahakan curi napas panjang, agar tak membalas dengan emosi.

 “Belajarlah menyadari masa lalumu itu, cari orang yang pantas!” kalimatnya makin pedas memancing emosi.

Baiklah, aku akan baik-baik saja, Bu Fris cukup rutin melatihku untuk ini.

Tertunduk sesaat, tangan kukepal kuat.

 “Terima kasih atas penghinaannya, Tante. Yandi lah yang ngejar aku. Aku sudah sadar diri, sudah nolak, tapi dia maksa.” Kuangkat wajah, sebisa mungkin menahan air mata agar tak lagi jatuh.

“Asal Tante tahu. Aku ini korban, dan Allah maha tahu itu. Semua yang terjadi bukan mauku, Tan.”

“Oh, mana bisa kamu katakan begitu. Tidak ada buktinya, ‘kan?” Ditunjuknya kepalaku. “Kamu itu pake jilbab, tapi di depan kami saja berani pegangan tangan. Bisa jadi di belakang kami kamu nyosor anakku, merusak pikirannya. Siapa yang bisa percaya?”

Terkesiap. Napasku kembali tercekat.

“Bukan salah jilbabku, Tante. Itu murni salahku. Maaf," gumamku dengan geraham saling beradu.

Kuusap muka cukup kuat, lalu gegas turun, melangkah cepat dalam pikiran gamang.

Bu Fris pernah mengingatkan ini ….

Untukku belajar jaga sikap, di manapun. Bisa saja orang lain menilaiku salah, sebab masa laluku … tak perlu aku marah, cukup diingat saja.

Mungkin memang ada andil dari sikapku sampai mereka berpikiran begitu.

Aku nggak pantas untukmu, Yan ... menjauhlah ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status