Share

7. Aku Nggak Pantas Untukmu

Penulis: Li Na
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-31 09:20:39

Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku ….

Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku.

“Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana.

“Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya.

Aku berjalan di sisinya, mengayunkan langkah ragu-ragu.

Telapak tangan mendingin, merasa blank akan bicara apa nanti. Bukan karena desir hangat yang menjalar dari tangan Yandi, tapi aku takut menghadapi tatapan kedua orang tuanya.

“Yandi?”

Suara Kak Riri? Aku mendongak, segera memberi senyum, kaku.

“Sekar?” gumamnya dengan raut heran. Pasti bingung lihat Yandi tak mau melepas jariku dari genggaman.

“Kak. Assalamualaikum.”

Dijawabnya salamku dengan gaya ramah, Kak Riri terlihat cepat kuasai keadaan. Dia suruh kami masuk, duduk di ruang tamu. Eh, Yandi kok jadi kayak tamu di rumahnya sendiri?

Sesaat berbasa basi tanya kabar Kak Riri kemudian menarik tangan Yandi.

“Sebentar ya, Sekar.”

“I-iya, Kak.”

Desis bisik-bisik terdengar dari kamar tempat Kak Riri membawa adiknya. Suasana makin menyesakkan napas. Terasa panas. Aku mulai gelisah.

Ada firasat menyatakan kehadiranku tidak akan diterima.

Detik berjalan merayap, bokong terasa makin panas segera ingin pergi dari sini. Meski mendesis, tetap tercuri dengar Yandi bersikeras menjawab argumen kakaknya.

Aku makin merasa tak nyaman. Apa aku pulang saja …?

Jantung ini seketika kerja berlipat ganda saat terdengar suara Om Beny yang berat dan tegas. Beliau bertanya pada Yandi mau apa bawa aku ke sini.

Telapak tangan makin basah, keringat dingin. Kulap ke ujung baju.

“Ini Sekar, Pa, Ma.” Refleks berdiri, saat kulihat Yandi muncul bersama kedua orang tuanya. Wajah mereka kaku melihatku.

“Sudah kenal. Duduk saja.” Belum kuulurkan tangan, suara tegas Om Beny memaksaku tergeragap duduk.

Yandi langsung mengambil tempat di sebelahku. Kami berdua jadi berhadap-hadapan dengan orang tuanya.

Keadaan membisu sesaat. Mungkin saja hanya suara degup jantungku yang terdengar.

Yandi cepat meraih tanganku. Kutarik, tapi makin erat digenggam.

Yan, aku nggak nyaman kamu perlakukan gini.

“Pa, Ma. Yandi mau menikah dulu dengan Sekar sebelum berangkat. Yandi mau mengejar mimpi bersama-sama Sekar” ujarnya tanpa titik koma. Kurasa dia sama gugupnya. Tangannya juga sedingin es.

Tegang. Mataku tertumbuk diam pada wadah tisu di meja.

Hening. Lalu suara embusan napas berat Tante Mel terdengar.

 “Yan, kenapa kalian harus buru-buru? Kuliah dulu, kerja, baru nikah,” ujar mamanya dengan sorot mata tajam tertuju padaku, tapi nada suaranya amat lembut.

Aku kembali tertunduk, dengan perasaan tak karuan.

“Papa juga pikir begitu. Kamu bisa menemui banyak masalah kalau menikah sebelum selesaikan pendidikan. Sulit melakukan keduanya bersamaan, pikirkan baik-baik itu, Yan.”

Hatiku membenarkan pendapat mereka.

“Yandi bisa, Pa. Yandi akan kuliah sambil kerja.”

“Yandi. Mama Papa masih mampu kuliahin kamu, mau sampai S3 sekalipun juga nggak masalah, kenapa harus sambil kerja?” Tante Mel kembali menatapku lekat.

“Jangan mau hancurkan mimpimu karena perasaan. Kamu itu anak laki-laki baik,” lanjutnya sedikit menekan pada anak laki-laki baik, sanggup meluruhkan keringat dingin di pelipisku.

“Ma, Pa-“

“Kami tidak mau dengar, Yandi.” Kompak dua orang tua berpakaian rapi itu berdiri.

“Kuliah dulu yang betul, fokus, lulus cepat, baru kami setujui permintaanmu,” tukas Om Beny mantap.

Kalimat yang membuat Yandi terdiam. Aku tahu dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Kelihatan tengil tapi penurut, hatinya baik, mana pernah Yandi kasar pada perempuan, itu kutahu karena dia sayang mama juga kakaknya.

Perlahan genggamannya melemah, segera kutarik tangan seraya berdiri.

“Sekar aku antar.” Yandi ikut beranjak, memaksaku mendongak melihat mukanya.

“Nggak usah, Yan. Aku-“

Ditutupnya mulutku dengan telapak tangan, kami bertatapan sejenak, segera kubuang pandang merasakan mata ini perih. Sendu tatapan Yandi membuatku sulit menolak. Dia pun mengantarku pulang.

 Sepanjang jalan kami tak bersuara. Entah apa di pikirannya, yang jelas di pikiranku merasa hubungan kami tidak akan direstui.

*

Yandi sudah berangkat, meninggalkan janji segera menyelesaikan kuliah, kerja, lalu menjemputku--seperti keinginan papanya. Dia memintaku menunggu saat itu. Empat tahun, waktu paling lama yang dijanjikannya.

“Aku cinta kamu, Sekar. Sungguh cinta. Sayang. Aku sampai nggak bisa katakan apa untuk mewakili rasa ini padamu. Tolong, jangan kasih sedikit pun hatimu untuk orang lain, sampai aku jemput. Aku nggak rela kalau itu terjadi.”

Masih teringat matanya berkaca-kaca mengatakan itu di ruang tamu Bu Friskelly, duduk di kursi yang ditariknya ke dekatku.

Kalimat yang indah, Yan. Aku suka. Tapi aku nggak berani menjanjikan apa-apa.

Akan kubiarkan waktu membawaku sampai pada titik itu. Di sana dia kerja keras belajar, di sini aku akan keras bekerja sebaik mungkin, mungkin … sambil menyiapkan diri menjadi calon istri yang baik.

*

Sedan hitam parkir di bahu jalan depan, menarik mataku yang tak asing dengan platnya. Tante Mel turun, memakai kacamata hitam. Melihat arahnya ke sini, aku segera matikan dinamo jahit, berdiri akan menyambutnya.

“Tante?”

“Sekar, ikut aku sebentar.” Tante Mel kembali jalan ke mobil, aku izin dengan Pak Kung, pemilik jahitan sebelum mengikutinya.

Sedikit ragu aku masuk, duduk di sebelah mamanya Yandi.

Aroma parfum mahal langsung mengisi rongga hidung. Entah kenapa baunya seakan menyadarkan diri, kalau bau tubuhku yang alami tidak ada apa-apanya dibanding wanita modis ini.

“Mana hapemu?” Meski terkejut aku langsung merogoh kantung celana kainku.

“Kamu itu kasih apa sama anakku, belum apa-apa sampe dikasih hape segala. Sadar diri dong jadi orang, ngerasa pantas nggak kamu sama Yandi?” Tante Mel bicara tanpa melihatku. Tangannya sibuk mematikan ponsel pemberian Yandi sebelum berangkat, membuka casing, dan keluarkan simcard-nya.

“Jujur, ya, Sekar. Kami tidak setuju hubungan kalian,” ujarnya sambil membelah kartu itu dengan gunting kuku dari dalam dashboard.

Menganga mulutku, bahkan air mata sudah jatuh saat kalimat pertamanya terucap tadi. Firasat mereka tak suka padaku memang ada, tapi tak menyangka sikap Tante Mel sampai begini.

“Sudah, sana kerja. Kalau Yandi tanya, bilang aja hapemu hilang.”

Kuusap air mata sebelum keluar. Napas ini tersengal, bagai orang asma akut yang tengah kambuh. Sesak luar biasa. Kuusahakan curi napas panjang, agar tak membalas dengan emosi.

 “Belajarlah menyadari masa lalumu itu, cari orang yang pantas!” kalimatnya makin pedas memancing emosi.

Baiklah, aku akan baik-baik saja, Bu Fris cukup rutin melatihku untuk ini.

Tertunduk sesaat, tangan kukepal kuat.

 “Terima kasih atas penghinaannya, Tante. Yandi lah yang ngejar aku. Aku sudah sadar diri, sudah nolak, tapi dia maksa.” Kuangkat wajah, sebisa mungkin menahan air mata agar tak lagi jatuh.

“Asal Tante tahu. Aku ini korban, dan Allah maha tahu itu. Semua yang terjadi bukan mauku, Tan.”

“Oh, mana bisa kamu katakan begitu. Tidak ada buktinya, ‘kan?” Ditunjuknya kepalaku. “Kamu itu pake jilbab, tapi di depan kami saja berani pegangan tangan. Bisa jadi di belakang kami kamu nyosor anakku, merusak pikirannya. Siapa yang bisa percaya?”

Terkesiap. Napasku kembali tercekat.

“Bukan salah jilbabku, Tante. Itu murni salahku. Maaf," gumamku dengan geraham saling beradu.

Kuusap muka cukup kuat, lalu gegas turun, melangkah cepat dalam pikiran gamang.

Bu Fris pernah mengingatkan ini ….

Untukku belajar jaga sikap, di manapun. Bisa saja orang lain menilaiku salah, sebab masa laluku … tak perlu aku marah, cukup diingat saja.

Mungkin memang ada andil dari sikapku sampai mereka berpikiran begitu.

Aku nggak pantas untukmu, Yan ... menjauhlah ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   65. Ingin Menua Bersama

    “Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   64. PoV Yandi 2

    Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   63. PoV Yandi 1

    "Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   62. Cappadocia

    Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   61. Umroh dan Honeymoon

    Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   60. Persiapan Honeymoon

    “Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status