Share

6. Janjinya

Tubuhku gemetar sampai tiba di rumah. Langsung ke dapur, aku duduk di kursi setelah mengambil air dingin. Napas terasa masih tersendat, kugenggam gelas kuat walau dua telapak tangan ini menggigil seakan tak bertenaga.

Usai menghabiskan dua gelas air, baru kurasa cukup tenang.

Bu Fris mendekat, tatapannya seperti curiga melihat gerikku. Beliau duduk di kursi depanku, posisi kami terhalang meja makan bundar.

Bersitatap sejenak dalam diam, kuatur napas tenang melihat Bu Fris menungguku ceritakan apa yang terjadi.

Ringan kalimat meluncur dari bibirku, mulai ceritakan kejadian barusan. Sudah tanpa emosi, aku malah sedikit geli saat cerita bagian cewek itu terjungkang akibat kudorong tadi, rok pendeknya terangkat membuat mukanya yang putih langsung semerah cabe rawit.

Bu Fris kemudian menanggapi. Beliau bilang, bully bisa saja tiba-tiba terjadi padaku. Tentu itu dari orang-orang yang tidak suka lihat aku bangkit. Sengaja ingin menjatuhkan.

 “Coba deh tadi senyumin aja, kasih dia senyum lepas, gini.” Bibir Bu Fris menarik garis senyum semringah. Refleks bibirku mengikuti.

“Nah, gitu!” Menjentik jari, Bu Fris menarik pipiku, membuat garis senyum ini makin lebar. “Gimana rasa hatinya kalau senyum gini?”

Kutatap atas, memindai apa yang terasa di dada. “Nyaman,” sahutku cepat.

“Betul. Kita nyaman, sementara dia yang maki kita merasa gagal. Hatinya nggak nyaman.”

Aku mengangguk, tapi kemudian mulut sedikit kumanyunkan. “Sulit, Bu.”

“Ibu gak bilang mudah, Sekar. Dicoba aja.”

Dengan sedikit jenaka, beliau membawaku membayangkan, andai tadi cewek yang kudorong jatuh kena barang pecah belah.

“Bisa fatal akibatnya kalau sampai dilaporkan, karena kita nggak bisa ganti rugi.”

Dua alisku terangkat, mata melebar. “Ya ampun, Bu. Ibu benar. Alhamdulillah tadi itu cuma kena deretan snack ….”

Apa yang Bu Fris katakan memang benar. Kuharap ke depannya bisa meredam emosi.

Orang sepertiku, yang pernah punya masa lalu buruk, pasti ada kemungkinan besar akan di-bully secara tak terduga.

*

Pagi ini Yandi datang lagi, setelah kemarin sore aku menolak menemuinya.

“Hari ini gladi resik terakhir, ‘kan? Kuantar, ya?” katanya saat melihatku mau menemuinya di ruang tamu.

Aku masih berdiri di tempat, menarik napas panjang sebelum bicara, “Yan, maaf. Hubungan kita selesai, ya. Jangan ke sini lagi. Aku nggak mau kamu-“

“Sekar.” Langsung berdiri, dia putuskan ucapanku.

“Kamu masih pikirin itu, ya? Pantas aja mau ngehindar lagi. Masih nggak percaya kalau aku bisa nerima kamu?”

Rahangku mengkaku. Otak riuh mencari alasan tepat lepas darinya. Kasihan Yandi kalau harus dapat pasangan kayak aku.

“Aku belum siap nikah, Yan,” alasan itu lolos cepat dari mulut. Ya, sepertinya kalimat yang tepat.

“Aku tau bukan itu alasannya. Kamu pasti ragu lagi. Jangan omongin itu lagi. Lihat aja nanti, Sekar, akan kubuktikan ucapanku.”

Dua tangannya terangkat, jari telunjuk dan tengah membentuk V. “Hukum aku kalau sampai melanggar janji.”

Aku terdiam melihat raut wajah Yandi begitu serius.

“Ayo, siap-siap, biar kuantar,” katanya lagi.

Mengangguk kecil, aku berbalik akan bersiap. Melihat dia ngoyo begitu bagaimana bisa kutolak ... aku juga menyukainya.

Pagelaran dilaksanakan besok. Hari ini kami masih latihan bersama untuk pematangan formasi, bersama model dan semua pengisi acara.

Sepanjang kegiatan, di antara riuh orang banyak, rasa gugupku muncul lagi. Aku rasanya kena demam panggung.

“Gak enak badan, ya? Pucet banget.” Pipiku disentuh Yandi sekilas, lekas kutepis tangannya, takut dilihat teman lain.

Yandi santai membaur dengan teman-temanku, dia itu dikenal sebagai vokalis band sekolah. Sering tampil di acara antar sekolah, sudah pasti ada di deretan cowok keren. Lihat saja itu, cewek-cewek antusias mengajaknya ngobrol.

*

Semalaman tadi sulit tidur, jantungku berdebar-debar membayangkan acara terpenting hari ini. Pagi-pagi sudah berangkat ke gedung, bersiap di backstage. Setelah mendapat pengarahan singkat dari panitia, yang merupakan guru-guru program studi, kami masing-masing mulai fokus bersiap. Sementara model di-makeup, aku menyiapkan kostum dan aksesoris penunjangnya.

Acara pun dimulai, debar-debar makin terasa kuat. Setelah sambutan-sambutan, suara musik terdengar, dan mulailah dipanggil nomor urut peserta.

Keringat dingin terasa mengalir di punggung bajuku.

“Tujuh, delapan, Sembilan, bersiap!”

Mendengar arahan itu, aku segera ikut berjejer di sisi panggung. Memeriksa, lalu menyempurnakan tampilan model dari berbagai arah.

Doa deras terlafal saat nomor 9--nomor pesertaku dipanggil.

Aku dan pasangan dari jurusan rias berdiri di mulut pintu, sisi samping panggung, karena menjorok ke dalam kami tak terlihat penonton, tapi masih bisa melihat model bergerak memamerkan hasil karya kami di depan juri dan undangan.

Tanpa kedip mata tertuju pada gaun nuansa putih bentuk line A, hasil karya tangan ini. Atasan mode kebaya modern dengan brokat motif bunga, rok bahan satin sebatas mata kaki, atasnya satin dilapisi organza dengan jahitan melipat-lipat bergelombang, terkesan mekar ala putri kerajaan. Itu semua bahan kain sederhana dengan harga terjangkau, tapi tetap kelihatan cukup mewah.

Di panggung sederhana itu langkah modelku tampak seirama dengan musik, tenang, dan elegan. Senyum di wajah cantiknya bagai aku melihat fashion show di TV. Sedikit tak percaya kalau yang dipakainya adalah hasil rancanganku. Benar-benar seperti mimpi.

Terlupa sudah rasa gugup yang tadi mengusai dada, tapi kemudian kembali tersentak saat namaku sebagai si perancang dipanggil untuk maju.

Langkah ini langsung terayun ringan. Sangat ringan sampai aku merasa tak berpijak. Tak mau bertemu mata penonton, pandanganku hanya jatuh pada pucuk kepala mereka. Itu saja cukup membuatku kembali nervous.

Gemuruh tepuk tangan, saat di bagian akhir kami bertiga yang jalan bersama, model diapit olehku dan teman perias. Saat memberi penghormatan pada juri, baru terlihat olehku ada Yandi berdiri di belakang sana, di antara para penonton yang juga adik-adik kelas. Diangkatnya dua jempol yang membuat pipiku langsung terasa memanas.

Makasih, Yan. Berkat dukunganmu aku kuat berdiri di panggung ini.

Sampai selesai acara semua baik-baik saja, aku sangat lega sudah melewatinya. Perkiraan akan dipandang remeh dan disuruh turun panggung itu hanya pikiran negatif-ku saja.

Euforia semua murid sangat terasa di backstage. Aku ikut larut, apalagi karyaku mendapat runner up ketiga. Alhamdulillah, pulang bawa piala, sertifikat, dan amplop entah berapa isinya, sebab langsung kukantungi. Hee.

Patut berbangga, sebab jurinya dari luar sekolah, dan ini bukan hasil karena mereka mengasihaniku.

“Sekar, katanya bajumu mau dibeli Kak Dean, itu yang punya Dean Salon.” Yandi menemuiku yang tengah merapikan pakaian. Teman lain sebagian sudah pulang, tinggal beberapa siswa saja di sini, ada yang masih foto-foto di sudut.

 “Beneran, Yan?” Kaget, kututup mulut, sedikit tak percaya ucapannya.

“Tuh, Kak Dean ke sini.”

Undangan datang juga ada dari salon, dan penjahit yang dulu menerima murid prakerin saat kami kelas XI, termasuk pemilik Dean Salon ini.

Yandi mendekati lelaki berambut pirang dengan celana jeans ketat, mengarahkannya ke sini. Lelaki kulit putih itu tersenyum-senyum padaku.

“Dijual, ya, bajunya. Kebetulan aku pas nyari yang model begini,” katanya dengan suara gemulai setelah kami bersalaman.

Tanpa pikir panjang aku terima tawarannya. Kalau punya uang, aku kan bisa kembalikan mesin jahit milik sekolah di rumah Bu Fris, lalu beli yang second untukku.

Terjadilah tawar menawar. Kebetulan kami juga diajarkan kewirausahaan, jadi bisa membuat perhitungan harga yang sesuai. Akhirnya rancanganku sekejap jadi uang. Dibayar cash 1,5 juta, harga 1,3 juta sebenarnya karena bahan kainnya itu standar, tapi Kak Dean tambahin 200 ribu untukku. Alhamdulillah.

 “Lihat, kan. kita bisa berjuang sama-sama,” bisik Yandi menambah haru biru hatiku. Tangan gemetar menggenggam uang hasil sendiri. Hampir kupeluk dia kalau tidak ingat kami belum halal.

 “Makasiih, Yan. Abis ini aku traktir makan di KF*, ya,” pintaku dengan mata penuh harap. Selama ini Yandi gengsi kalau aku yang bayar.

“Yaudah.” Dia mengangguk.

Yeay, akhirnya dia mau. Dua temanku menghampiri kami, minta ditraktir juga.

“Boleh, boleh, kita langsung ke sana, ya,” ujarku.

“Yahh, padahal tadinya mau berdua aja.” Yandi menggumam, sedikit misuh-misuh.

Kusenggol lengannya biar diam.

*

Lega, aku tidak mengecewakan Bu Friskelly. Selain lulus dengan nilai lumayan, aku juga tak sempat nganggur, sebab pemilik jahit di pasar Inpres--tempatku magang dulu, memintaku kerja di tempatnya.

Langsung kuterima, pikir-pikir untuk cari pengalaman.

“Kok kerja segala? Kan kita mau married?” Begitu tahu Yandi protes, dia maunya kami segera nikah trus aku dibawa ke Surabaya.

“Ini sementara aja, nyari pengalaman. Kalau kita jodoh, sudah pasti aku ikut dong ke mana suami pergi,” alibiku.

 “Siap-siap, gih, kita ke rumah.”

“Serius, nih? Kok sekarang?” Aku baru pulang kerja di hari pertama. Masam, belum mandi.

“Mumpung Papa Mama ada di rumah.”

“Yan ….” Terasa lagi ragu-ragu itu. Meski kami tetangga, aku kenal keluarganya tetap saja ini membuatku grogi tingkat dewa.

Sebelumnya, kami memang sepakat akan temui orang tuanya selepas lulus, memohon restu. Mengingat harapan terbesar bapaknya Yandi—seorang kepala cabang sebuah Bank—putranya ini harus kuliah.

“Sekar, kuliah itu nggak ada aturan dilarang nikah. Santai aja lah. Pikirin habis ini kamu bisa ikut aku. Kita berjuang bareng mulai dari nol,” ujarnya penuh keyakinan.

Yandi sudah diterima masuk perguruan tinggi incarannya di Surabaya, selain kuasai musik otaknya juga encer, bisa terlihat mudah mendapatkan apa yang dia mau. Jujur, aku merasa diri tak pantas, tapi tatapan pemilik mata sendu ini selalu ingin meyakinkanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status