Tubuhku gemetar sampai tiba di rumah. Langsung ke dapur, aku duduk di kursi setelah mengambil air dingin. Napas terasa masih tersendat, kugenggam gelas kuat walau dua telapak tangan ini menggigil seakan tak bertenaga.
Usai menghabiskan dua gelas air, baru kurasa cukup tenang.
Bu Fris mendekat, tatapannya seperti curiga melihat gerikku. Beliau duduk di kursi depanku, posisi kami terhalang meja makan bundar.
Bersitatap sejenak dalam diam, kuatur napas tenang melihat Bu Fris menungguku ceritakan apa yang terjadi.
Ringan kalimat meluncur dari bibirku, mulai ceritakan kejadian barusan. Sudah tanpa emosi, aku malah sedikit geli saat cerita bagian cewek itu terjungkang akibat kudorong tadi, rok pendeknya terangkat membuat mukanya yang putih langsung semerah cabe rawit.
Bu Fris kemudian menanggapi. Beliau bilang, bully bisa saja tiba-tiba terjadi padaku. Tentu itu dari orang-orang yang tidak suka lihat aku bangkit. Sengaja ingin menjatuhkan.
“Coba deh tadi senyumin aja, kasih dia senyum lepas, gini.” Bibir Bu Fris menarik garis senyum semringah. Refleks bibirku mengikuti.
“Nah, gitu!” Menjentik jari, Bu Fris menarik pipiku, membuat garis senyum ini makin lebar. “Gimana rasa hatinya kalau senyum gini?”
Kutatap atas, memindai apa yang terasa di dada. “Nyaman,” sahutku cepat.
“Betul. Kita nyaman, sementara dia yang maki kita merasa gagal. Hatinya nggak nyaman.”
Aku mengangguk, tapi kemudian mulut sedikit kumanyunkan. “Sulit, Bu.”
“Ibu gak bilang mudah, Sekar. Dicoba aja.”
Dengan sedikit jenaka, beliau membawaku membayangkan, andai tadi cewek yang kudorong jatuh kena barang pecah belah.
“Bisa fatal akibatnya kalau sampai dilaporkan, karena kita nggak bisa ganti rugi.”
Dua alisku terangkat, mata melebar. “Ya ampun, Bu. Ibu benar. Alhamdulillah tadi itu cuma kena deretan snack ….”
Apa yang Bu Fris katakan memang benar. Kuharap ke depannya bisa meredam emosi.
Orang sepertiku, yang pernah punya masa lalu buruk, pasti ada kemungkinan besar akan di-bully secara tak terduga.
*
Pagi ini Yandi datang lagi, setelah kemarin sore aku menolak menemuinya.
“Hari ini gladi resik terakhir, ‘kan? Kuantar, ya?” katanya saat melihatku mau menemuinya di ruang tamu.
Aku masih berdiri di tempat, menarik napas panjang sebelum bicara, “Yan, maaf. Hubungan kita selesai, ya. Jangan ke sini lagi. Aku nggak mau kamu-“
“Sekar.” Langsung berdiri, dia putuskan ucapanku.
“Kamu masih pikirin itu, ya? Pantas aja mau ngehindar lagi. Masih nggak percaya kalau aku bisa nerima kamu?”
Rahangku mengkaku. Otak riuh mencari alasan tepat lepas darinya. Kasihan Yandi kalau harus dapat pasangan kayak aku.
“Aku belum siap nikah, Yan,” alasan itu lolos cepat dari mulut. Ya, sepertinya kalimat yang tepat.
“Aku tau bukan itu alasannya. Kamu pasti ragu lagi. Jangan omongin itu lagi. Lihat aja nanti, Sekar, akan kubuktikan ucapanku.”
Dua tangannya terangkat, jari telunjuk dan tengah membentuk V. “Hukum aku kalau sampai melanggar janji.”
Aku terdiam melihat raut wajah Yandi begitu serius.
“Ayo, siap-siap, biar kuantar,” katanya lagi.
Mengangguk kecil, aku berbalik akan bersiap. Melihat dia ngoyo begitu bagaimana bisa kutolak ... aku juga menyukainya.
Pagelaran dilaksanakan besok. Hari ini kami masih latihan bersama untuk pematangan formasi, bersama model dan semua pengisi acara.
Sepanjang kegiatan, di antara riuh orang banyak, rasa gugupku muncul lagi. Aku rasanya kena demam panggung.
“Gak enak badan, ya? Pucet banget.” Pipiku disentuh Yandi sekilas, lekas kutepis tangannya, takut dilihat teman lain.
Yandi santai membaur dengan teman-temanku, dia itu dikenal sebagai vokalis band sekolah. Sering tampil di acara antar sekolah, sudah pasti ada di deretan cowok keren. Lihat saja itu, cewek-cewek antusias mengajaknya ngobrol.
*
Semalaman tadi sulit tidur, jantungku berdebar-debar membayangkan acara terpenting hari ini. Pagi-pagi sudah berangkat ke gedung, bersiap di backstage. Setelah mendapat pengarahan singkat dari panitia, yang merupakan guru-guru program studi, kami masing-masing mulai fokus bersiap. Sementara model di-makeup, aku menyiapkan kostum dan aksesoris penunjangnya.
Acara pun dimulai, debar-debar makin terasa kuat. Setelah sambutan-sambutan, suara musik terdengar, dan mulailah dipanggil nomor urut peserta.
Keringat dingin terasa mengalir di punggung bajuku.
“Tujuh, delapan, Sembilan, bersiap!”
Mendengar arahan itu, aku segera ikut berjejer di sisi panggung. Memeriksa, lalu menyempurnakan tampilan model dari berbagai arah.
Doa deras terlafal saat nomor 9--nomor pesertaku dipanggil.
Aku dan pasangan dari jurusan rias berdiri di mulut pintu, sisi samping panggung, karena menjorok ke dalam kami tak terlihat penonton, tapi masih bisa melihat model bergerak memamerkan hasil karya kami di depan juri dan undangan.
Tanpa kedip mata tertuju pada gaun nuansa putih bentuk line A, hasil karya tangan ini. Atasan mode kebaya modern dengan brokat motif bunga, rok bahan satin sebatas mata kaki, atasnya satin dilapisi organza dengan jahitan melipat-lipat bergelombang, terkesan mekar ala putri kerajaan. Itu semua bahan kain sederhana dengan harga terjangkau, tapi tetap kelihatan cukup mewah.
Di panggung sederhana itu langkah modelku tampak seirama dengan musik, tenang, dan elegan. Senyum di wajah cantiknya bagai aku melihat fashion show di TV. Sedikit tak percaya kalau yang dipakainya adalah hasil rancanganku. Benar-benar seperti mimpi.
Terlupa sudah rasa gugup yang tadi mengusai dada, tapi kemudian kembali tersentak saat namaku sebagai si perancang dipanggil untuk maju.
Langkah ini langsung terayun ringan. Sangat ringan sampai aku merasa tak berpijak. Tak mau bertemu mata penonton, pandanganku hanya jatuh pada pucuk kepala mereka. Itu saja cukup membuatku kembali nervous.
Gemuruh tepuk tangan, saat di bagian akhir kami bertiga yang jalan bersama, model diapit olehku dan teman perias. Saat memberi penghormatan pada juri, baru terlihat olehku ada Yandi berdiri di belakang sana, di antara para penonton yang juga adik-adik kelas. Diangkatnya dua jempol yang membuat pipiku langsung terasa memanas.
Makasih, Yan. Berkat dukunganmu aku kuat berdiri di panggung ini.
Sampai selesai acara semua baik-baik saja, aku sangat lega sudah melewatinya. Perkiraan akan dipandang remeh dan disuruh turun panggung itu hanya pikiran negatif-ku saja.
Euforia semua murid sangat terasa di backstage. Aku ikut larut, apalagi karyaku mendapat runner up ketiga. Alhamdulillah, pulang bawa piala, sertifikat, dan amplop entah berapa isinya, sebab langsung kukantungi. Hee.
Patut berbangga, sebab jurinya dari luar sekolah, dan ini bukan hasil karena mereka mengasihaniku.
“Sekar, katanya bajumu mau dibeli Kak Dean, itu yang punya Dean Salon.” Yandi menemuiku yang tengah merapikan pakaian. Teman lain sebagian sudah pulang, tinggal beberapa siswa saja di sini, ada yang masih foto-foto di sudut.
“Beneran, Yan?” Kaget, kututup mulut, sedikit tak percaya ucapannya.
“Tuh, Kak Dean ke sini.”
Undangan datang juga ada dari salon, dan penjahit yang dulu menerima murid prakerin saat kami kelas XI, termasuk pemilik Dean Salon ini.
Yandi mendekati lelaki berambut pirang dengan celana jeans ketat, mengarahkannya ke sini. Lelaki kulit putih itu tersenyum-senyum padaku.
“Dijual, ya, bajunya. Kebetulan aku pas nyari yang model begini,” katanya dengan suara gemulai setelah kami bersalaman.
Tanpa pikir panjang aku terima tawarannya. Kalau punya uang, aku kan bisa kembalikan mesin jahit milik sekolah di rumah Bu Fris, lalu beli yang second untukku.
Terjadilah tawar menawar. Kebetulan kami juga diajarkan kewirausahaan, jadi bisa membuat perhitungan harga yang sesuai. Akhirnya rancanganku sekejap jadi uang. Dibayar cash 1,5 juta, harga 1,3 juta sebenarnya karena bahan kainnya itu standar, tapi Kak Dean tambahin 200 ribu untukku. Alhamdulillah.
“Lihat, kan. kita bisa berjuang sama-sama,” bisik Yandi menambah haru biru hatiku. Tangan gemetar menggenggam uang hasil sendiri. Hampir kupeluk dia kalau tidak ingat kami belum halal.
“Makasiih, Yan. Abis ini aku traktir makan di KF*, ya,” pintaku dengan mata penuh harap. Selama ini Yandi gengsi kalau aku yang bayar.
“Yaudah.” Dia mengangguk.
Yeay, akhirnya dia mau. Dua temanku menghampiri kami, minta ditraktir juga.
“Boleh, boleh, kita langsung ke sana, ya,” ujarku.
“Yahh, padahal tadinya mau berdua aja.” Yandi menggumam, sedikit misuh-misuh.
Kusenggol lengannya biar diam.
*
Lega, aku tidak mengecewakan Bu Friskelly. Selain lulus dengan nilai lumayan, aku juga tak sempat nganggur, sebab pemilik jahit di pasar Inpres--tempatku magang dulu, memintaku kerja di tempatnya.
Langsung kuterima, pikir-pikir untuk cari pengalaman.
“Kok kerja segala? Kan kita mau married?” Begitu tahu Yandi protes, dia maunya kami segera nikah trus aku dibawa ke Surabaya.
“Ini sementara aja, nyari pengalaman. Kalau kita jodoh, sudah pasti aku ikut dong ke mana suami pergi,” alibiku.
“Siap-siap, gih, kita ke rumah.”
“Serius, nih? Kok sekarang?” Aku baru pulang kerja di hari pertama. Masam, belum mandi.
“Mumpung Papa Mama ada di rumah.”
“Yan ….” Terasa lagi ragu-ragu itu. Meski kami tetangga, aku kenal keluarganya tetap saja ini membuatku grogi tingkat dewa.
Sebelumnya, kami memang sepakat akan temui orang tuanya selepas lulus, memohon restu. Mengingat harapan terbesar bapaknya Yandi—seorang kepala cabang sebuah Bank—putranya ini harus kuliah.
“Sekar, kuliah itu nggak ada aturan dilarang nikah. Santai aja lah. Pikirin habis ini kamu bisa ikut aku. Kita berjuang bareng mulai dari nol,” ujarnya penuh keyakinan.
Yandi sudah diterima masuk perguruan tinggi incarannya di Surabaya, selain kuasai musik otaknya juga encer, bisa terlihat mudah mendapatkan apa yang dia mau. Jujur, aku merasa diri tak pantas, tapi tatapan pemilik mata sendu ini selalu ingin meyakinkanku.
Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku …. Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku. “Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana. “Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya. Aku b
“Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku. Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut. “Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku. Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?” “Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung. “Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab. Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhen
“Lagi ngapain?” Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai. “Hee, kerjaan iseng, Bu.” “Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku. “Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit. “Kreatif.” “Daripada bengong, Bu.” “Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS. Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan. “Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.” “Mudah kok, Bu.” Aku sudah dudu
Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima