Share

PENGAKUAN ARGA KEPADA SEPTA

"Septa, tolong kamu amati pria di bawah sana. Tolong catat motif baju, celana dan warnanya. Oh, ya! Jangan lupa model rambut dan apa saja yang melekat padanya," ucap Arga sambil menunjuk sesosok pria yang baru turun dari mobil dari kaca jendela. Setelah pria muda ini mengakhiri panggilan masuk.

Hal yang sama terjadi juga pada saat seorang wanita mengetuk pintu, beberapa jam sebelumnya.

"Septa, itu suara tante aku. Tolong kamu temui di luar dulu. Catat warna dan motif baju, dia pake apa aja. Tanyakan keperluannya! Bawa dulu catatan itu masuk, baru dia kamu ajak ke dalam."

Hari ini pengalaman bekerja di tempat baru dengan bos yang ganjil di mata Septa. Ada tiga orang tamu yang harus ia tulis secara detail di atas sebuah kertas sebelum menemui bos muda ini. Entahlah, ada motif apa pria tampan berambut gondrong ini memberi perintah di luar tugas utamanya sebagai seorang sekretaris. 

Sampai saat jam kerja usai, sekretaris baru ini tak mendapatkan hal yang aneh yang mendukung sikap bos muda selama jam kerja. Pria dengan gaya maskulin ala artis drama televisi ini, menurut pengamatan Septa layaknya pria normal pada umumnya. Ia tak berkaca mata jika memang penglihatannya terganggu. Bahkan saat bertemu di lobi, ia memakai kaca mata hitam dengan santainya. 

Septa menyimpan keheranannya dalam hati saja, bisa jadi hal itu memang gaya kepemimpinan sang bos. Septa sadar setiap atasan punya gaya masing-masing dan harus ditaati anak buah termasuk dirinya. Namun, siapa sangka,  tak jauh dari sang sekretaris, Arga pun sedang mengamati tingkah laku gadis bersweater merah ini. Pria muda ini seakan-akan tak ingin kehilangan jejak, mengikuti diam-diam ke arah mana si sweater merah berjalan. 

Akhirnya saat tahu yang datang menjemput si sweater merah orang yang dikenal oleh sekretaris barunya, hati Arga seketika lega. Apalagi seperti yang terlihat, gesture tubuh mereka mengisyaratkan masih saudara dan demi memastikan itu, Arga segera memacu mobil ke arah dua orang ini.

“Selamat sore!” sapa Arga dari jendela mobil. Kedua orang ini pun langsung menoleh.

“Wah, Bos Arga. Selamat sore juga!”

Akhirnya Dion menghentikan motornya di samping mobil Arga. Dion menghampiri mobil pria berambut gondrong tersebut, sedang Septa berdiri di samping motor seraya mengucap salam dan tersenyum manis pada bos baru.

“Apa kabar, Bos?” Dion menyalami Arga dan keduanya tertawa senang, layaknya teman lama yang berjumpa kembali.

“Maaf, masih sodaraan dengan sekretaris saya?” tanya Arga sembari mengangkat alis dan memberi kode mata ke arah Septa. Sang sekretaris langsung mengerti maksudnya.

“Ini Dion, Abang saya, Pak,” jawab Septa sambil mendekati posisi kedua pria di depannya. 

Beberapa saat Arga diajak berbincang oleh Dion mengenai proyek kerjasama selanjutnya. Saat awal pembicaraan bos muda terlihat bingung dan setelah diingatkan sesuatu rencana mereka, akhirnya bisa mengikuti pembicaraan Dion. Atas usulan Arga, mereka akhirnya nongkrong di kafetaria. Saat telah duduk di dalam, mata Arga tak berkedip menatap Septa, hingga gadis berlapang ini salah tingkah.

“Aduh! Abaaang!” Seketika Septa kakinya gantian menginjak kaki Dion.

“Sini bentar!" pinta sang abang sambil menarik tangan Septa lalu ,” maaf, Bos. Kami keluar bentar ada telepon dari rumah.” 

“Silakan!” 

Akhirnya abang adik ini segera melangkah keluar. Septa merasa kebingungan dengan gerak-gerik Dion.

“Ngapain sih, Bang?”

“Lu, tuh, kaga nyadar apa pura-pura kaga tau?” tanya Dion sembari kedipkan mata pada Septa.

“Sumpah! Gue kaga tau, apaan?” Septa terlihat makin keki dengan ulah abangnya.

“Tuh, mata bos, kaga kedip-kedip mlototin elu.” 

“Lah, entu. Emang dari kantor udah kayak gitu. Gue jadi salting dibuatnya,” ucap sang adik sembari geleng-geleng kepala.

Dion tertawa ngakak begitu mendengar cerita adiknya. Septa buru-buru membungkam mulut Dion dengan kedua tangannya.

“A-baang, apaan sih?”

Sesaat setelah Dion agak reda suara tawanya, Septa serta merta melepas bungkaman.

“Kayaknya ada sesuatu dengan Bos Arga. Aneh!”

“Aneh gimana?”

“Tau, gak, Bang. Tiap ada klien mau bertemu, gue disuruh indentifikasi wajah dan postur tubuh si tamu. Gila, gak?”

Dion seketika heran dengan penuturan Septa dan mengingat kembali kejadian sebelumnya. Selama bekerjasama dengan Bos Arga baru tahun-tahun terakhir ia merasakan keanehan dengan sikap Arga. Dion kembali mengingat kejadian terakhir, bos muda agak lama tak beraktivitas di kantor karena rasa kehilangan yang sangat dalam saat mamanya meninggal. 

Sejak saat itu perilaku Arga agak berbeda dari biasanya. Ia jadi suka menyendiri tak pernah terlihat tertawa lagi meski dengan sesama pimpinan perusahaan. Kalau pun ia bisa tertawa terlihat memaksakan diri. 

“Aneh! Suatu saat pasti terjawab,” ucap Dion lirih lebih mirip orang bergumam.

“Udah, ah. Yuk, entar bos nyariin!” Lengan sang abang seketika ditarik Septa untuk diajak masuk.

Saat keduanya masuk, Arga sedang menikmati kopi espresso lalu menoleh ke arah keduanya. Detik berikutnya tatapan matanya hanya tertuju pada Septa dan seketika diamati oleh Dion. Kini ketiganya duduk berhadapan saling melempar senyum, kakak beradik dengan senyum misterius dan sang bos yang tersenyum tulus.

“Jujur, saya gak nyangka kalian itu sodaraan. Kirain tadi sepasang kekasih,” ucap Arga sembari terkekeh dan hal ini membuat Dion semakin terheran-heran. 

Bos muda bisa tertawa? tanyanya dalam hati. Pasti ada sesuatu yang membuat perubahan tiba-tiba ini, pikirnya lagi. Semakin sibuk memikirkan hal tersebut, tak ditemukan jawaban juga.

“Dion, ya, tadi nama kamu?” tanya Arga tiba-tiba sukses membuat pria di depannya yang sedang melamun langsung kaget.

“Hmm ... maaf, apa ya, Bos?” 

“Enggak, seingatku, nama kamu Dion, kan?”

“Oh, iya, Bos. Belum berubah sejak saya lahir,” jawab Dion dengan perasaan aneh. Bukannya tadi oleh Septa sudah diperkenalkan namanya waktu bertemu di jalan barusan? Bukankah mereka telah bekerja sama selama empat tahun ini? 

Septa yang melihat situasi yang membingungkan ini segera mengambil alih pembicaraan. Segera ia siapkan buku memo untuk mencatat poin-poin pembicaraan mereka. Akhirnya pembahasan proyek selesai dengan baik.

Septa terpaksa menumpang mobil Arga karena hujan deras mengiringi kepulangan mereka. Dion dengan senang hati menerima tawaran bos muda saat Septa akan diantar pulang. Dalam mobil mata Arga tak pernah lepas dari wajah Septa dan sweaternya. 

“Maaf, Pak. Ada yang salah dengan saya?” tanya Septa heran sembari mengamati wajahnya di spion.

“Gak, aku cuma heran saja. Kenapa dengan wajah kamu, kok bisa terlihat jelas, ya?” 

“Maksudnya, Pak? Kok saya gak ngerti, ya,” ucap Septa semakin dibuat bingung oleh sikap bosnya.

Arga akhirnya menepikan mobil lalu mematikan mesinnya. Untuk sesaat pria berambut gondrong ini mengamati lagi wajah gadis di depannya dan tersenyum tipis.

“Sebelumnya tolong hal ini cukup jadi rahasia kita saja.”

Sesaat Arga menghentikan ucapan kemudian mengambil amplop berstempel logo sebuah rumah sakit ternama. Surat tersebut disodorkan pada Septa. 

“Ini jejak medis sejak Mama meninggal hingga saat ini. Di situ dinyatakan aku menderita Acquired prosopagnosia.”

Septa membukanya lalu mengambil lipatan kertas yang ada di dalam. Arga menjelaskan bahwa ia kesulitan atau bahkan tidak dapat mengingat wajah seseorang, baik wajahnya sendiri maupun wajah orang lain setelah depresi karena kehilangan sang mama. Ia merasa keheranan saat interview bisa melihat wajah Septa dengan jelas dan untuk pertama kalinya selama ia menderita gangguan tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status