Share

TAMU ISTIMEWA DI PAGI HARI

Perjalanan ke rumah Septa memakan waktu satu jam. Akhirnya sampai juga di depan rumah disambut dengan hujan yang mulai mereda, tinggal gerimis saja. Dion segera menyambut kedatangan mobil Arga dengan membuka pintu gerbang.

“Bos, mampir dulu. Kita ngeteh dulu. Biar gak kedinginan sekalian tunggu hujan benar-benar reda,” ucap Dion mempersilakan Arga. 

Akhirnya Arga membelokkan mobil demi rasa penasaran dengan Septa dan juga hubungan baik dengan Dion yang terjalin sudah lama. Mobil diparkir tepat di depan teras, Septa turun bebarengan dengan sang bos. Bertiga melangkah ke teras.

“Duduk sini saja, ya. Saya suka lihat taman.” Arga langsung duduk di kursi yang menghadap taman.

“Silakan duduk, Pak. Saya permisi masuk dulu,” ucap Septa. 

“Oh ya, silakan. Saya akan ngobrol dengan Dion, benar, kan?” Sambil berucap kepala Arga menoleh ke pria muda di sampingnya. Dion tersenyum walau diselimuti tanda tanya besar di kepalanya.

Perasaan dari tadi nanya nama mulu, ya? Pikir Dion keheranan. 

Beberapa saat kemudian kedua pria tersebut telah berbincang asik mengenai segala macam sampai mengetahui mereka punya hobi yang sama yaitu memancing. Hingga akhirnya mereka membuat kesepakatan untuk mancing bersama minggu depan.

Tentu saja hal ini menyenangkan bagi Arga yang biasa memancing sendiri hanya ditunggui sopir karena pria tua itu tak bisa memancing. Dari dalam muncul Septa dengan mamanya dengan membawa dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng. Dion pamit ke dalam mengambil sesuatu.

“Pak, silakan dinikmati teh dan camilan ala kadarnya,” kata Septa sembari meletakkannya di atas meja. 

“Selamat sore, Pak! Perkenalkan saya mamanya Dion dan Septa. Terima kasih telah sudi mampir di gubuk kami,” ucap sang mama sembari mengulurkan tangan. 

Untuk sesaat Arga hanya memandang wanita setengah baya ini tanpa ekspresi karena ia tak bisa melihat dengan jelas wajah orang di depannya ini. Septa sangat tahu apa yang harus dilakukan.

“Ma, Pak Arga tadi gak bawa kacamata, jadi agak terganggu penglihatannya,” ucap Septa sembari mengerdipkan mata pada sang bos. Beruntung Arga paham maksud sekretarisnya.

“Oh iya, maaf, Tante. Benar kata Septa, kacamata saya tertinggal di kantor.”

Beruntung bagi Arga karena sekretarisnya punya inisiantif di saat yang tepat.

“Gak apa-apa, Pak. Silakan dilanjut, saya mau ke belakang lagi.” 

“Terima kasih teh dan pisang gorengnya, Tante,” ucap Arga dengan kikuk meski sudah ada alasan tepat, tapi tetap tak bisa membohongi hatinya. 

Setelah sang mama masuk, Dion datang segera mendekat ke arah Arga lalu duduk di sebelahnya. Sebuah alat pancing diperlihatkan pada pria berambut gondrong ini.

“Ini Bos, kemarin dapat kerapu gede.”

“Wah keren. Saya punya alat pancing tapi gak pernah dapat yang gede,” ucap Arga sembari tertawa dan Dion semakin senang, pria di sebelahnya sudah mulai bisa tertawa lepas.

“Saya permisi dulu, Pak. Silakan dilanjut ngobrolnya.” Septa kemudian meninggalkan kedua pria tersebut.

Akhirnya disepakati, acara mancing minggu depan ke sebuah danau di luar kota yang terkenal akan populasi ikan beraneka macam di samping pemandangan yang indah di sekitar danau. Menurut rencana Septa akan diajak serta sebagai koki acara bakar ikan.

Terlihat jelas kebahagiaan di raut wajah eksekutif muda berambut gondrong ini. Arga bagai mendapatkan dunia baru bersama keluarga kecil ini. Sebuah keluarga yang hangat yang selalu ia damba selama ini. Waktu terus bergulir tak terasa sudah tiga jam mereka bercengkerama, akhirnya Arga pamit undur diri.

Sebelum pulang ia memohon bisa bicara empat mata dengan Septa. Setelah Arga mendapat izin dari Dion dan mamanya, Septa mengikuti sang bos ke mobil. Septa merasa ada sesuatu rahasia yang akan dibicarakan oleh sang bos padanya. Hatinya deg-degan karena mereka baru kenal hari ini dan Arga adalah atasannya.

“Maaf, Septa! Bisa jadi kamu bertanya-tanya. Saya hanya ingin mengatakan, melihatmu memakai sweater merah ini seperti saya menemukan kepercayaan diri lagi. Sweater merahmu mengingat saya pada almarhumah Mama yang jadi pemicu semangat hidup. Tolong jangan jauh-jauh dari saya,” ucap Arga sendu seakan meluruhkan kepribadiannya yang terkenal tak peduli dengan lingkungan.

Sekian tahun ia hidup dengan dunianya sendiri tak tersentuh orang lain, apalagi sang papa telah beristri dengan wanita simpanannya saat mamanya masih hidup. Septa terharu dengan penuturan atasannya barusan. Ia tak menyangka kehadirannya mampu membangkitkan semangat hidup Arga kembali. Ia merasa bangga bagai orang istimewa. Tiba-tiba pria jangkung ini memeluknya erat sembari berbisik ....

“Temani saya, tolong!”

Septa seketika kaget mendengar ucapan Arga, mirip sebuah rintihan.

“Pak, Saya akan temani selama masih  dibutuhkan. Maaf, bisa lepasin saya?”

“Oh, ya ... Maaf! Saya bahagia sekali, walau hanya bisa melihat wajahmu saja. Berarti syaraf saya masih bisa pulih.”

Arga tersenyum lebar dan hal tersebut semakin mengeluarkan aura ketampanannya. Septa sesaat terkesiap dan terpesona oleh pemandangan di depannya. Arga menyadari sang sekretaris memandangi dirinya tanpa kedip, secepat kilat mendaratkan ciuman di pipi si gadis. Septa pun terkejut dan seketika berasa memanas wajahnya. 

“Saya pamit dulu. Terima kasih,” ucap Arga sembari membuka pintu mobil lalu beberapa saat sudah menyalakan mesinnya. Ia menekan klakson pelan ...

“Tante, Dion, terima kasih banyak! Saya pamit dulu.”

Mobil pun memutar balik keluar halaman dan menghilang dalam keramaian jalan. Septa segera menutup gerbang kemudian melangkah ke teras ikut bergabung dengan mama dan abangnya. 

“Kayaknya nih, Mama segera dapat mantu kaya,” ucap Dion cengengesan sambil kedipkan mata pada sang adik.

“Apaan sih, Bang. Barusan cuma kasih pengarahan buat besok. Kaga usah ngaco, deh!”

“Gue tuh lakik! Taulah, gelagat bos lu yang lagi jatuh cinta,” ucap Dion makin sengit hingga membuat Septa kesal yang kemudian segera mengemasi cangkir-cangkir kosong dibawa masuk.

“Dion, kamu tuh, ya! Kasian adik kamu, kan?!” ujar sang mama gemes tahu keusilan sulungnya ini. Wanita berdaster batik ini segera menyusul anak gadisnya ke dalam. Septa terlihat sedang di dapur mencuci perkakas kotor saat mamanya mendekat.

“Sayang, kalo boleh mama tahu, barusan bos cakep ngomong apaan? Serius amat!” 

“Cuman ngomongin kerjaan, Ma,” balas gadis berambut sebahu ini. Sang mama tahu betul apa yang terjadi dari ekspresi anak gadisnya lalu segera menyiapkan makan malam. 

***

Keesokan harinya, sebuah mobil telah berhenti di depan pagar sesaat keluarga kecil Septa selesai sarapan. Terdengar suara ketukan dari pintu depan.

“Siapa ya, pagi-pagi gini datang bertamu?” tanya sang mama heran.

"Yang paling sering nyamperin ke rumah itu teman kamu, Dion, tapi biasanya juga gak sepagi ini."

Belum habis rasa heran sang mama, tiba-tiba Septa bergegas menuju depan membuka pintu.

“Aku bisa nebak tuh, siapa tamunya?” Dion pun tertawa ngakak yang akhirnya dapat hadiah cubitan kecil dari mamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status