Septa sedang mengunyah roti panggang saat Dion datang membawa secangkir kopi. Si gondrong maskulin ini tak biasa sarapan, karena jadwal kerjanya yang tak menentu. Gaya hidupnya bisa diibaratkan sarapan di Jogya, bisa jadi makan siang di Surabaya. Bagaimana pun sibuknya, Dion selalu berusaha untuk selalu ada bagi mama dan adiknya.
Dion telah lama menggantikan posisi sang papa, menjadi laki-laki yang bisa melindungi keluarga. Kewajiban inilah yang membuat Dion selektif banget dalam mencari pendamping hidup dan tak buru-buru ingin menikah, sebelum adiknya hidup nyaman. Oleh karena itulah karena kelamaan tak juga segera menikah, akhirnya tunangan Dion lari ke pelukan pria lain.Pagi itu, Septa dibonceng Dion dengan motor vespa. Hal yang paling Septa benci selama ini. Dia paling anti dengan suara motor yang berisik, malu-maluin menurutnya. Berhubung sang abang sejalur dengannya dan ada iming-iming motor akan ditukar tambah dengan yang lebih baru maka dengan senang hati wanita bersweater merah ini duduk manis di boncengan sekarang.“Dek, lu kaga bosen apa pake sweater?” tanya sang abang sambil memandang Septa dari pantulan kaca spion.“Emang kenapa, Bang? Ada larangan gitu pergi kerja pake sweater?” Septa menjawab sembari mengamati sweater merah yang dipakainya.“Gak ada larangan sih. Cuma kaga modis tau, jadi sekretaris tuh pakai blazer atau outer yang fashionable.”“Biarin aja! Gue suka tuh,” jawab Septa sengit, memang ia paling tak suka kalau ada orang yang menyinggung soal sweater merahnya.Perjalanan ke tempat kerja Septa yang baru memakan waktu tiga puluh menit. Suasana perkantoran terlihat lengang, hanya beberapa karyawan terlihat memasuki lobi. Septa segera turun dari boncengan, mencium punggung tangan abangnya lalu segera melangkah ke arah lobi. Ada seorang resepsionis yang telah siap di meja informasi. Septa mendekat ke arah wanita dengan blazer warna gading tersebut lalu bertanya tempat di mana ruang untuk karyawan yang baru mendapat panggilan kerja. Septa segera menuju ruang yang ditunjukkan wanita resepsionis tadi. Kini, Septa telah berdiri di depan sebuah pintu bertulis ‘Direktur Utama’ dan kakinya masih terpaku saat sebuah colekan di bahu kanan menyadarkannya.“Ketuk aja pintunya, bos dari semalam tidur di dalam,” ucap seorang wanita setengah baya dengan senyum ramah. Septa hanya menoleh dan ragu-ragu akan mengetuk pintu, seketika wanita di sampingnya mengetuk pintu. Mereka beberapa menit menunggu tak ada jawaban dari dalam.‘Tok ... tok ... tok!’“Masuk!” jawaban dari dalam, tapi Septa masih ragu untuk menurutinya.“Masuk aja, kamu udah jadi karyawan sini. Masih ingat aku, kan?”Septa sibuk mengingat siapa wanita di hadapannya kini dan ia mulai mengenalinya. Wanita berblazer biru tua ini ikut hadir dalam acara interview yang ia lakukan kemarin. Akhirnya gadis bersweater merah ini mulai membuka pintu dan melangkah masuk. Tepat di depannya seorang pria muda berselimut merah maron sedang asik menggeliat di atas sofa dan terlihat berbagai berkas berserakan bercampur-baur dengan berbagai bungkus snack, kotak rokok, minuman kaleng dan asbak yang penuh putung rokok.Septa hanya terdiam tak tahu harus berbuat apa dan masih memandangi sekeliling ruangan dengan takjud. Sebuah ruangan didesain secara modern bernuansa mirip alam bebas, keseluruhan dinding bercat warna biru langit. Di salah satu sudut terdapat air terjun cukup besar terdapat dalam kaca mirip aquarium ukuran super dilengkapi kolam besar di bawahnya yang setiap detik terdengar bunyi gemercik saat air terjun menghunjam ke dalam kolam.Di sudut lain terdapat miniatur berbagai jenis burung menempel pada dinding berlukis sebuah pohon berdaun lebat, sesekali terdengar suara kicauan burung bergantian. Sungguh terlihat asri dan menenangkan pikiran dan tak merasa sedang berada dalam suatu ruangan tertutup.“Selamat pagi, tolong bantu saya membersihkan berkas-berkas ini.”Terdengar suara sang bos yang segera menyadarkan Septa dari lamunan. Septa tergagap dan segera mendekat ke arah meja dekat sofa yang dibuat tidur pria muda tersebut. Sang pria muda sudah berdiri dengan baju kerja kusut, sepertinya bos baru tak sempat ganti baju dan langsung tertidur karena kecapekan.“Sini, maaf, ya! Pasti kaget liat keadaan ruangan amburadul kayak gini. Ini merupakan rahasia kecil kita. Jaga itu!”Pria ini bergegas masuk toilet dan tak lama kemudian terdengar bunyi guyuran air dari shower. Septa memberanikan diri mendekat dan mulai membereskan meja dan sofa di hadapannya. Septa mulai menata barang dan berkas secara rapi lalu beranjak ke meja kerja bos membersihkan asbak penuh putung rokok dan berkas-berkas di atasnya.Semua sudah tertata rapi dan Septa berdiri menunggu sang bos keluar dari toilet. Tak lama kemudian pria muda itu pun keluar toilet dengan tampilan lebih fresh. Septa sempat tergagap karena sang pria bertelanjang dada hanya berbalut handuk sampai lutut.“Oh my God!” Septa segera menutup mata dengan kedua tangannya.“Oh, maaf! Lupa kalau ada orang.” Pria muda ini segera mengambil baju pengganti dan segera masuk toilet kembali.“Ya ampun, bikin deg-degan aja,” gumam Septa lirih sambil memegangi dadanya yang turun naik. Tak habis pikir dia, punya bos seceroboh itu.Dalam toilet, hal yang sama dialami oleh pria muda barusan. Ia benar-benar lupa kalau hari ini ada sekretaris baru yang akan membantunya lembur untuk menyelesaikan konsep proyek dan ia semalam begadang hingga bangun kesiangan. Isi dalam dadanya serasa mau copot hingga salah tingkah dibuatnya. Namun, ia harus menjaga wibawa karena harus selalu tampil sempurna dengan mengatur napas sampai stabil, akhirnya bisa keluar toilet.“Selamat pagi, Pak! Semua barang sudah saya rapikan,” ucap Septa masih dengan posisi berdiri di depan meja bosnya dengan pandangan menunduk. Dalam otaknya masih terbayang bentuk dada bidang sang bos yang berbulu lebat. Sang pria muda dengan tenang duduk di kursi dan melihat barang-barang yang sudah rapi lalu tersenyum puas.“Selamat pagi juga. Bagus, sudah rapi semua. Silakan duduk! Kita bahas kerja untuk kamu.”Septa segera duduk persis di hadapan pria muda tersebut. Beberapa kali Septa melihat pria muda berkulit eksotis ini tertegun beberapa lama melihat dirinya lalu tersadar kembali setelahnya. Keadaan yang membuat Septa kikuk. Beruntung tak berlangsung lama, pria muda di hadapan telah mencatat tugas-tugas untuk Septa dan menjelaskan seperlunya. Akhirnya Septa ditunjukkan ruangan kerjanya dan wanita berkepang satu ini kemudian mulai melakukan tugas. Beberapa saat datang seorang tamu yang ingin menemui sang bos. Septa segera memberitahu bosnya dengan telepon paralel. Setelah sang bos menyetujui untuk bertemu tamunya, Septa mengantar tamu tersebut ke ruangan atasannya. Saat sekretaris baru ini hendak balik ke ruangannya, sang bos meminta untuk tetap tinggal lalu mengajaknya berbicara empat mata di balkon.“Coba kamu ceritakan ciri-ciri tamu barusan. Namanya siapa? Aku minta setiap ada tamu ingin bertemu aku, itu yang harus kamu lakukan, sebelum tamu masuk kemari.” Sang bos dengan rambut gondrong ini mewanti-wanti Septa. Begitu mendapat penjelasan tersebut, Septa terlihat bingung. “Oh, ya. Perkenalkan, namaku Arga Pramana Nugraha. Data lengkap entar aku kirim via email.”“Okay, Pak! Ini catatan tentang ciri-ciri tamu tersebut,” ucap Septa sembari menyodorkan selembar kertas.Arga—bos muda ini tersenyum senang dan mereka kembali menemui tamunya. Otak Septa sempat berpikir hal ganjil mengenai permintaan sang bos barusan. Ia melihat Arga punya mata bagus, terlihat normal dan berbicara dengannya pun tak ada masalah. Kenapa menyuruhnya memberi catatan soal ciri-ciri tamu? Ada yang aneh dengan bos barunya ini."Septa, tolong kamu amati pria di bawah sana. Tolong catat motif baju, celana dan warnanya. Oh, ya! Jangan lupa model rambut dan apa saja yang melekat padanya," ucap Arga sambil menunjuk sesosok pria yang baru turun dari mobil dari kaca jendela. Setelah pria muda ini mengakhiri panggilan masuk.Hal yang sama terjadi juga pada saat seorang wanita mengetuk pintu, beberapa jam sebelumnya."Septa, itu suara tante aku. Tolong kamu temui di luar dulu. Catat warna dan motif baju, dia pake apa aja. Tanyakan keperluannya! Bawa dulu catatan itu masuk, baru dia kamu ajak ke dalam."Hari ini pengalaman bekerja di tempat baru dengan bos yang ganjil di mata Septa. Ada tiga orang tamu yang harus ia tulis secara detail di atas sebuah kertas sebelum menemui bos muda ini. Entahlah, ada motif apa pria tampan berambut gondrong ini memberi perintah di luar tugas utamanya sebagai seorang sekretaris. Sampai saat jam kerja usai, sekretaris baru ini tak mendapatkan hal yang aneh yang mendukung sikap bos muda
Perjalanan ke rumah Septa memakan waktu satu jam. Akhirnya sampai juga di depan rumah disambut dengan hujan yang mulai mereda, tinggal gerimis saja. Dion segera menyambut kedatangan mobil Arga dengan membuka pintu gerbang.“Bos, mampir dulu. Kita ngeteh dulu. Biar gak kedinginan sekalian tunggu hujan benar-benar reda,” ucap Dion mempersilakan Arga. Akhirnya Arga membelokkan mobil demi rasa penasaran dengan Septa dan juga hubungan baik dengan Dion yang terjalin sudah lama. Mobil diparkir tepat di depan teras, Septa turun bebarengan dengan sang bos. Bertiga melangkah ke teras.“Duduk sini saja, ya. Saya suka lihat taman.” Arga langsung duduk di kursi yang menghadap taman.“Silakan duduk, Pak. Saya permisi masuk dulu,” ucap Septa. “Oh ya, silakan. Saya akan ngobrol dengan Dion, benar, kan?” Sambil berucap kepala Arga menoleh ke pria muda di sampingnya. Dion tersenyum walau diselimuti tanda tanya besar di kepalanya.Perasaan dari tadi nanya nama mulu, ya? Pikir Dion keheranan. Beberapa
Septa bergegas menuju depan dan segera membuka pintu.“Selamat pagi,” ucap si tamu yang tak lain Arga, sang bos.“Selamat pagi juga, Pak,” jawab Septa sembari mempersilakan Arga untuk duduk.Pria berpakaian rapi segera duduk diikuti oleh Septa. Mereka kemudian membahas percakapan lewat layanan aplikasi semalam. Sesuai rencana, Septa akan diajak menemui klien di luar kota. Oleh karena harus meminta izin secara langsung pada mama Septa dan Dion, maka dari itu Arga menjemput Septa lebih awal. Baru kali ini Arga mau keluar kota bareng sekretaris apalagi pegawai baru. Secara ia tak gampang mempercayai orang karena gangguan yang dialaminya.“Septa, boleh saya tanya?” tanya Arga sembari menatap bening mata gadis di depannya ini.“Oh iya, Pak. Silakan,” jawab Septa gugup mendapati tatapan mata sang bos tak berkedip sedikit pun membuatnya jadi kikuk.“Kamu udah punya pacar? Maaf agak lancang.” Tatapan mata Arga masih tak mau berpindah dari sekujur tubuh sekretarisnya.“Maaf, Pak. Ada yang sala
"Septa, terima kasih untuk hari ini. Tetaplah bersamaku! Tugas utamamu di kantor, di luar itu ada uang khusus. Semua rincian udah aku email ke kamu. Pelajari! Kalo ada yang kurang jelas, bisa hubungi nomor teleponku,” ucap Arga lalu dibukanya sebuah aplikasi di ponsel.Tak lama kemudian terdengar suara pemberitahuan pesan di ponsel Septa. Wanita berkepang ini pun kaget saat melihat jumlah nominal yang tertera di layar ponsel.“Ya ampun, Pak! Banyak banget? Saya masih dua hari bekerja, kok udah dapat gaji?” tanya Septa keheranan dan Arga hanya membalas dengan senyuman. “Pak?” “Itu untukmu, Sayang!”Tiba-tiba Arga mendaratkan kecupan di kening Septa dan seketika memanas seluruh permukaan kulit wajah sang sekretaris baru ini.Bos panggil Sayang? Gak salah?Saat otak Septa sibuk memikirkan hal barusan, tangan pria di sampingnya telah meraih jemari dan mengecupnya.“Temani aku, Sekretarisku!” Septa seketika menoleh kaget tanpa sadar mata keduanya beradu dan membuat Septa seketika berpal
"Pak Arga mengidap phobia, perlu pemeriksaan oleh seorang psikiater. Bu Septa adalah orang yang dipercaya Pak Arga saat ini.""Saya harus bagaimana, Dokter?""Dampingi beliau selalu, Bu."Setelah memberi penjelasan tersebut, dokter dan kedua suster berpamitan. Seharian bersama sang bos membuat Septa sedikit banyak semakin mengenal kepribadiannya. Si bos yang ganteng dan kaya rupanya punya rasa minder dengan penyakitnya yang aneh. Selama ini telah beberapa kali sang bos salah mengenali orang hingga ada rencana proyek gagal terlaksana.Kini di hadapan sekretaris barunya, Arga yang anti sosial memelas meminta agar Septa menemaninya setiap saat dibutuhkan. Pria tampan dengan pandangan kosong ini mengulang permintaannya saat di luar kota kemarin. Septa yang merasa sebagai pegawai baru, dianggapnya hal tersebut sebagai tantangan baru dalam bekerja. “Sekarang tolong ketik perjanjian kita dan di situ juga, sebutkan apa syarat-syarat apa saja yang harus aku penuhi untuk konsekuensi permintaan
"Enak, nih! Makanan pesan antar,” celutuk Dion melihat bungkus makanan gerai siap saji yang sedang dinikmati Septa.Septa sedang menikmati makanan yang telah dipesan khusus oleh Arga, saat Doni datang bersama mamanya. Septa segera mencium tangan keduanya lalu sementara waktu menyimpan sisa makanannya untuk dilanjutkan nanti.“Pantaslah, sampai lupa gak telepon, padahal Mama tunggu kabar, ” sahut Bu Rita juga.“Iih, apaan sih? Baru makan pagi doang sampe hampir sore ini. Bos sempat ngedrop, gak berani ninggalin cari makan,” sahut Septa dengan muka memelas. Sang mama seketika mengelus kepala anak perempuannya. Ia tahu Septa adalah anak yang jujur dan baik hati.“Maaf ya, Tante, Dion. Septa sampe kelaparan merawat saya. Terima kasih atas kebaikan kalian, ya,” sahut Arga menengahi mereka agar tak menyalahkan Septa. Hatinya jadi nggak tega melihat muka sedih sekretarisnya.Mama dan Dion tertawa mendengar jawaban Arga lalu segera menghampiri lalu menyalami bos muda.“Kami cuma bercanda aja,
"Ini rumah Bapak?" tanya Septa sambil berdecak kagum, saat mereka telah sampai teras rumah Arga.Arga hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sekretaris lucunya."Ayo kita masuk!" ajak Arga seraya mendongak ke arah Septa yang masih terkagum-kagum dengan hunian mewah sang bos.Septa mendorong masuk kursi roda Arga. Mereka memasuki sebuah ruangan luas mirip aula, terdapat tiga set meja kursi tamu dengan gaya klasik menambah kesan mewah dan elegan yang mendukung desain ruangan. Septa terkagum-kagum dengan ruangan dan segala furniture di dalamnya. Ia melihat semuanya seakan memasuki sebuah ruangan istana dalam buku dongeng. Mulut Septa tersenyum simpul dan hal ini tak luput dari pandangan Arga. Dari arah dalam muncul seorang wanita setengah baya menghampiri mereka.“Selamat sore, Pak! Saya sudah memasak menu kesukaan Bapak.”“Selamat sore, Bik! Siapkan paviliun untuk Nona ini dulu, baru siapkan masakan untuk kami. Septa kamu ikuti si Bibik, setelah itu balik ke sini, kita makan.”Arga
“Septa? Saya tadi mandi, kan?” “Bapak tadi pingsan di kamar mandi. Maaf saya gantiin baju Bapak," ucap Septa tertunduk malu karena baru kali ini ia melihat tubuh pria tanpa baju di depan mata.“Tapi ini kok basah?” tanya Arga sembari mengusap celana bagian belakang dan depan di area sensitifnya.“Maaf, Pak. Saya gak berani menggantinya.”Kepala Septa semakin tertunduk saat mengatakannya dan membuat Arga tersenyum. Pria jangkung ini tahu hal tersebut wajar dirasakan oleh gadis seperti Septa. Arga perlahan mulai bangun lalu melangkah ke arah lemari pakaian dan mulai mengambil sebuah celana dalam dan celana pendek, tapi tiba-tiba tubuhnya limbung.Arga berusaha berpegangan pada tepian lemari. Septa yang mengetahui hal itu segera membimbing pria tersebut untuk duduk di ranjang kembali. Septa kemudian mengambil kursi roda dan membantu sang bos untuk duduk di atasnya. Gadis bersweater merah ini mendorong kursi roda tersebut masuk ke toilet lalu menutup pintunya kembali. Septa menunggu sam