Share

BOS TAMPAN YANG GANJIL

Septa sedang mengunyah roti panggang saat Dion datang membawa secangkir kopi. Si gondrong maskulin ini tak biasa sarapan, karena jadwal kerjanya yang tak menentu. Gaya hidupnya bisa diibaratkan sarapan di Jogya, bisa jadi makan siang di Surabaya. Bagaimana pun sibuknya, Dion selalu berusaha untuk selalu ada bagi mama dan adiknya.

Dion telah lama menggantikan posisi sang papa, menjadi laki-laki yang bisa melindungi keluarga. Kewajiban inilah yang membuat Dion selektif banget dalam mencari pendamping hidup dan tak buru-buru ingin menikah, sebelum adiknya hidup nyaman. Oleh karena itulah karena kelamaan tak juga segera menikah, akhirnya tunangan Dion lari ke pelukan pria lain.

Pagi itu, Septa dibonceng Dion dengan motor vespa. Hal yang paling Septa benci selama ini. Dia paling anti dengan suara motor yang berisik, malu-maluin menurutnya. Berhubung sang abang sejalur dengannya dan ada iming-iming motor akan ditukar tambah dengan yang lebih baru maka dengan senang hati wanita bersweater merah ini duduk manis di boncengan sekarang.

“Dek, lu kaga bosen apa pake sweater?” tanya sang abang sambil memandang Septa dari pantulan kaca spion.

“Emang kenapa, Bang? Ada larangan gitu pergi kerja pake sweater?” Septa menjawab sembari mengamati sweater merah yang dipakainya.

“Gak ada larangan sih. Cuma kaga modis tau, jadi sekretaris tuh pakai blazer atau outer yang fashionable.”

“Biarin aja! Gue suka tuh,” jawab Septa sengit, memang ia paling tak suka kalau ada orang yang menyinggung soal sweater merahnya.

Perjalanan ke tempat kerja Septa yang baru memakan waktu tiga puluh menit. Suasana perkantoran terlihat lengang, hanya beberapa karyawan terlihat memasuki lobi. Septa segera turun dari boncengan, mencium punggung tangan abangnya lalu segera melangkah ke arah lobi. Ada seorang resepsionis yang telah siap di meja informasi. 

Septa mendekat ke arah wanita dengan blazer warna gading tersebut lalu bertanya tempat di mana ruang untuk karyawan yang baru mendapat panggilan kerja. Septa segera menuju ruang yang ditunjukkan wanita resepsionis tadi. Kini, Septa telah berdiri di depan sebuah pintu bertulis ‘Direktur Utama’ dan kakinya masih terpaku saat sebuah colekan di bahu kanan menyadarkannya.

“Ketuk aja pintunya, bos dari semalam tidur di dalam,” ucap seorang wanita setengah baya dengan senyum ramah. Septa hanya menoleh dan ragu-ragu akan mengetuk pintu, seketika wanita di sampingnya mengetuk pintu. Mereka beberapa menit menunggu tak ada jawaban dari dalam.

‘Tok ... tok ... tok!’

“Masuk!” jawaban dari dalam, tapi Septa masih ragu untuk menurutinya.

“Masuk aja, kamu udah jadi karyawan sini. Masih ingat aku, kan?”

Septa sibuk mengingat siapa wanita di hadapannya kini dan ia mulai mengenalinya. Wanita berblazer biru tua ini ikut hadir dalam acara interview yang ia lakukan kemarin. Akhirnya gadis bersweater merah ini mulai membuka pintu dan melangkah masuk. Tepat di depannya seorang pria muda berselimut merah maron sedang asik menggeliat di atas sofa dan terlihat berbagai berkas berserakan bercampur-baur dengan berbagai bungkus snack, kotak rokok, minuman kaleng dan asbak yang penuh putung rokok.

Septa hanya terdiam tak tahu harus berbuat apa dan masih memandangi sekeliling ruangan dengan takjud. Sebuah ruangan didesain secara modern bernuansa mirip alam bebas, keseluruhan dinding bercat warna biru langit. Di salah satu sudut terdapat air terjun cukup besar terdapat dalam kaca mirip aquarium ukuran super dilengkapi kolam besar di bawahnya yang setiap detik terdengar bunyi gemercik saat air terjun menghunjam ke dalam kolam.

Di sudut lain terdapat miniatur berbagai jenis burung menempel pada dinding berlukis sebuah pohon berdaun lebat, sesekali terdengar suara kicauan burung bergantian. Sungguh terlihat asri dan menenangkan pikiran dan tak merasa sedang berada dalam suatu ruangan tertutup.

“Selamat pagi, tolong bantu saya membersihkan berkas-berkas ini.”

Terdengar suara sang bos yang segera menyadarkan Septa dari lamunan. Septa tergagap dan segera mendekat ke arah meja dekat sofa yang dibuat tidur pria muda tersebut. Sang pria muda sudah berdiri dengan baju kerja kusut, sepertinya bos baru tak sempat ganti baju dan langsung tertidur karena kecapekan.

“Sini, maaf, ya! Pasti kaget liat keadaan ruangan amburadul kayak gini. Ini merupakan rahasia kecil kita. Jaga itu!”

Pria ini bergegas masuk toilet dan tak lama kemudian terdengar bunyi guyuran air dari shower. Septa memberanikan diri mendekat dan mulai membereskan meja dan sofa di hadapannya. Septa mulai menata barang dan berkas secara rapi lalu beranjak ke meja kerja bos membersihkan asbak penuh putung rokok dan berkas-berkas di atasnya.

Semua sudah tertata rapi dan Septa berdiri menunggu sang bos keluar dari toilet. Tak lama kemudian pria muda itu pun keluar toilet dengan tampilan lebih fresh. Septa sempat tergagap karena sang pria bertelanjang dada hanya berbalut handuk sampai lutut.

“Oh my God!” Septa segera menutup mata dengan kedua tangannya.

“Oh, maaf! Lupa kalau ada orang.” Pria muda ini segera mengambil baju pengganti dan segera masuk toilet kembali.

“Ya ampun, bikin deg-degan aja,” gumam Septa lirih sambil memegangi dadanya yang turun naik. Tak habis pikir dia, punya bos seceroboh itu.

Dalam toilet, hal yang sama dialami oleh pria muda barusan. Ia benar-benar lupa kalau hari ini ada sekretaris baru yang akan membantunya lembur untuk menyelesaikan konsep proyek dan ia semalam begadang hingga bangun kesiangan. Isi dalam dadanya serasa mau copot hingga salah tingkah dibuatnya. Namun, ia harus menjaga wibawa karena harus selalu tampil sempurna dengan mengatur napas sampai stabil, akhirnya bisa keluar toilet.

“Selamat pagi, Pak! Semua barang sudah saya rapikan,” ucap Septa masih dengan posisi berdiri di depan meja bosnya dengan pandangan menunduk. Dalam otaknya masih terbayang bentuk dada bidang sang bos yang berbulu lebat. Sang pria muda dengan tenang duduk di kursi dan melihat barang-barang yang sudah rapi lalu tersenyum puas.

“Selamat pagi juga. Bagus, sudah rapi semua. Silakan duduk! Kita bahas kerja untuk kamu.”

Septa segera duduk persis di hadapan pria muda tersebut. Beberapa kali Septa melihat pria muda berkulit eksotis ini tertegun beberapa lama melihat dirinya lalu tersadar kembali setelahnya. Keadaan yang membuat Septa kikuk. Beruntung tak berlangsung lama, pria muda di hadapan telah mencatat tugas-tugas untuk Septa dan menjelaskan seperlunya. 

Akhirnya Septa ditunjukkan ruangan kerjanya dan wanita berkepang satu ini kemudian mulai melakukan tugas. Beberapa saat datang seorang tamu yang ingin menemui sang bos. Septa segera memberitahu bosnya dengan telepon paralel. Setelah sang bos menyetujui untuk bertemu tamunya, Septa mengantar tamu tersebut ke ruangan atasannya. Saat sekretaris baru ini hendak balik ke ruangannya, sang bos meminta untuk tetap tinggal lalu mengajaknya berbicara empat mata di balkon.

“Coba kamu ceritakan ciri-ciri tamu barusan. Namanya siapa? Aku minta setiap ada tamu ingin bertemu aku, itu yang harus kamu lakukan, sebelum tamu masuk kemari.” Sang bos dengan rambut gondrong ini mewanti-wanti Septa. Begitu mendapat penjelasan tersebut, Septa terlihat bingung. 

“Oh, ya. Perkenalkan, namaku Arga Pramana Nugraha. Data lengkap entar aku kirim via email.”

“Okay, Pak! Ini catatan tentang ciri-ciri tamu tersebut,” ucap Septa sembari menyodorkan selembar kertas.

Arga—bos muda ini tersenyum senang dan mereka kembali menemui tamunya. Otak Septa sempat berpikir hal ganjil mengenai permintaan sang bos barusan. Ia melihat Arga punya mata bagus, terlihat normal dan berbicara dengannya pun tak ada masalah. Kenapa menyuruhnya memberi catatan soal ciri-ciri tamu? Ada yang aneh dengan bos barunya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status