Wajah Dinda seketika pucat pasi. Berlari ke arah cermin untuk melihat penampakannya. Pakaian sudah dirapikan, tapi rambut sedikit acak-acakan. Beruntung lipstiknya mate hingga masih melekat nyata di bibirnya.Dewa bangkit, masih dengan ketenangan yang dia punya. Ekor matanya melirik ke arah Dinda, gadis itu sudah rapi, lalu mulai memberi perintah pada Anita."Suruh masuk!" Dewa sudah menempati kursi kerajaan, dengan menyandarkan punggung melihat ke arah Dinda yang masih gugup. Gadis itu memberanikan diri melihat ke arah Dewa, bertanya dia harus apa. Jangan sampai Helen curiga pada mereka. Tapi, bukan menenangkan, pria itu justru mengulum senyum menggelitik yang berhasil membuat Dinda semakin jengkel."Sayang, kok, lama banget, sih, buka pintunya?" Helen memasang wajah kesal, tapi tetap mendekat pada Dewa. Dia merentangkan tangan memeluk leher pria itu tanpa menyadari kalau Dinda ada di sana."Kamu mau apa ke sini?" jawaban Dewa masih sama, jutek dan tidak peduli."Dewa, kenapa kamu pe
"Ada apa dengan Bu Helen, Pak? Tadi saya sempat berpapasan dengan beliau di lift. Ibu menangis terisak," tanya Dinda memberanikan diri. Dinda memutuskan menanyakan hal itu karena takut kalau sampai Helen ternyata sudah tahu soal hubungan gelap mereka. Pasalnya, wanita yang selalu ramah padanya itu, sama sekali tidak mengatakan apapun, menekan tombol lift untuk turun.Selama waktu berputar, Dinda gelisah di kursinya, berharap Dewa memanggilnya agar bisa bertanya soal Helen. Setelah tiga jam berlalu, Dewa pada akhirnya menyerukan namanya dari dalam ruangan."Tidak ada apa-apa. Sudah jangan dibahas. Kepalaku pusing. Temani aku pulang."Dinda masih mematung di tempatnya. Apa pria itu gila, seharusnya dia pulang ke rumah, kenapa justru mengajak ke apartemen."Maaf, Pak. Sebaiknya Bapak pulang ke rumah. Tadi, Naka menelpon. Keadaan Bu Reni drop."Dewa yang tadi coba membuka dasinya, berhenti dan menoleh pada Dinda. "Mama? Sakit apa?""Gak tahu, Pak. Naka hanya meminta saya menyampaikan hal
"Makasih, Naka, udah nganterin aku pulang," ulang Dinda untuk kedua kalinya sembari membuka seatbelt."Iya. Kamu itu udah dua kali ngucapin terima kasih. Perasaan kalau di dekat aku kamu kaku banget. Gak nyaman, ya?"Dinda hanya bisa meringis. Benar sih, gak nyaman, tapi bukan karena dia benci sama Naka, hanya saja rasa nyamannya karena takut Naka bisa mengendus hubungan terlarangnya bersama Dewa."Bukan gitu. A-aku... hanya segan padamu. Bisa dibilang minder juga. Jujur, aku hanya lulusan SMA, dan bergaul dengan seorang dokter hebat membuatku gak percaya diri."Alasan yang terakhir juga benar adanya. Naka begitu baik dan bersikap lembut padanya, berbeda Dewa. Dia bukan tidak ingat pesan almarhum ayahnya, pria yang bersikap baik pada seorang wanita pasti karena ada niatnya. Jadi, apa boleh Dinda menyimpulkan Naka juga punya niat lain padanya? Ah, jangan terlalu percaya diri Dinda!"Jangan bodoh, sikap baik pada orang gak ditentukan oleh jabatan atau pendidikannya. Sekarang aku tanya,
Perkataan Helen benar adanya. Setiap hari wanita itu datang mengantar makan siang Dewa, dan yang membuat Dinda sedikit kebingungan, selama itu pula Dewa tidak pernah lagi mengajaknya ke apartemen, atau menyentuhnya di ruang kerja seperti pria buas itu lakukan dulu.Kini keadaan selayaknya seperti kantor pada umumnya. Bawahan dan bos yang hanya berhubungan dengan pekerjaan. Dinda akan datang mengantar pekerjaan disuruh Dewa, meminta tanda tangan. Hanya itu. Selebihnya Dinda hanya akan berada di ruangannya sendiri. Kalaupun dia dipanggil oleh Dewa pasti hanya diminta membuat surat atau paling jauh menyuruhnya membuat kopi."Kalau begini 'kan aku benar-benar sekretaris, kayak di kantor-kantor pada umumnya. Gak ada tuh, sekertaris yang ngurusin ranjang bosnya," cibir Dinda saat sendiri. Jam makan siangnya pun dihabiskan bersama Anita dan karyawan dari beberapa divisi. Ada gunanya juga, Dinda jadi kenal beberapa orang dan menjalin pertemanan.Meski semua itu membuat Dinda senang, di sudu
"Jangan diambil hati soal ucapan Dewa. Dia memang begitu, mulutnya mengandung cabe setan, pedas," ucap Naka di balik kemudi. Sudah sepuluh menit meninggalkan area kantor."Udah biasa, kok," jawab Dinda menoleh. Diamnya dirinya sejak tadi bukan karena sakit hati atas ucapan Dewa, tapi memikirkan sikap Dewa yang berubah.Dinda mencoba menahan lidahnya, tidak bertanya pada Naka perihal Dewa dan Helen yang tampaknya sudah baikan. Tapi, semakin di tahan, kenapa semakin besar dorongan ingin bertanya."Oh, iya, Bu Helen belakangan ini rajin ke kantor ngantar makan siang Pak Dewa, ya?" tanya Dinda pada akhirnya, setelah susah payah mencari kalimat yang tepat. Jangan sampai Naka curiga padanya, menganggapnya kepo."Oh, iya. Pada akhirnya kepala batu itu mau mendengarkan permohonan Mama.""Permohonan?" serang Dinda. Rasa penasarannya berada di puncak saat ini."Heh, antusias benar," jawab Naka menoleh lalu tersenyum, membuat Dinda jadi malu."Bukan gitu, kemarin Bu Helen sempat cerita kalau rum
"Ada hubungan apa kamu dengan Naka?" Dewa menyergap tubuh Dinda yang baru saja masuk ke dalam ruangannya, mendorong tubuh gadis itu hingga mentok ke dinding.Dinda yang diminta datang oleh Dewa ke ruangannya, tidak menyangka kalau tujuan pria itu untuk menginterogasinya, dia pikir untuk membahas soal pekerjaan."P-ak...," rintihnya lirih. Lengannya terasa sakit dicengkeram. Kulitnya yang putih berubah jadi memerah. Pria buas itu benar-benar sangat marah saat ini.Semua beralasan. Sedikitpun dia tidak menyangka kalau bisa tersulut emosi seperti ini. Semalaman dia tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang dilakukan Naka dan Dinda. bahkan keberadaan Helen yang tanpa busana di dalam kamar mereka tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Dinda. Tiap embusan napasnya, hanya berkutat seputar Dinda. Dia sudah pernah menduga kalau Naka punya keinginan mendekati Dinda, tapi yang tidak diprediksi Dewa, Dinda akan menyambut ajakan Naka. Apa gadis itu tidak ingat kalau saat ini hanya dirinya yang
"Kapan lu sampai di sini? Kenapa tidak memberitahu gue?"Dewa memeluk sahabatnya bernama Rizal. Sudah hampir enam tahun lebih mereka tidak bertemu. Terakhir, saat Rizal dan teman-teman mereka yang lain mengadakan pesta bujang untuk Dewa. Mengingat malam itu, ada denyut sakit di dadanya. Dosa pertamanya hingga membuat hidupnya tidak tenang hingga saat ini."Kenapa jadi bengong?""Gak. Gue cuma terlihat sesuatu. Udah lupain aja.""Ingat cewek itu? Masih belum berhasil melupakannya?" Senyum Rizal melengkung. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya itu. Lima tahun sudah, tapi rasa penasarannya masih setia di dalam hatinya.Tidak ada yang perlu disembunyikan dari Rizal, sahabatnya itu tahu semua tentang dirinya, bahkan yang tidak diketahui Helen. Rizal adalah sahabat rasa saudara yang paling mengerti dirinya.Bahkan saat memutuskan untuk menjauhi Helen karena mendapati kenyataan bahwa gadis itu sudah berbohong padanya, Dewa juga membahas dengan sahabatnya itu.Sepanjang hidupnya, tidak ada
"Omaaaaaa..." Leon berteriak setelah keluar dari mobil Dewa. Sejak masuk ke gang rumah mereka yang ada di pinggiran kota, perumahan subsidi pemerintah, Leon sudah tidak sabar ingin sampai segera turun saja dan memilih berlari ke rumah, tapi Dewa melarang dan berkata dia yang akan mengantar hingga bertemu keluarga Leon."Astaghfirullah, ya Gusti, akhirnya kamu pulang, Leon. Kamu dari mana aja, Oma hampir mati, ketakutan mencarimu kesana kemari tapi gak nemu," jawab wanita paruh baya itu memeluk cucunya yang sejak siang dia cari.Setelah satu jam berlalu dari jam biasanya Leon pulang, tapi anak itu tidak muncul juga, dia jadi gelisah. Mencoba mencari cucunya ke tiap gang di komplek perumahan itu, tapi nihil. Bu Diana sudah menanyai teman-teman Leon, mencari ke tempat biasa Leon bermain, tapi mereka bilang tidak tahu keberadaan anak itu."Kenapa, sih, kamu buat Oma cemas? Kamu mau ya, Oma mati berdiri, karena kehilangan kamu?" tangis Diana menganak sungai. Kalau sampai Leon tidak pulang