“Oh ya, itu tujuan saya, karena sesuai dengan basis pendidikan terakhir saya,” jawab Dona, kini lebih bersemangat.
“Oke,” ucap Bara singkat. “Oke? Oke doang?” tanya Dona, masih bingung. “Iya. Kamu kerja. Mulai kapan aja, suka-suka kamu. Hari ini siap?” “Hari ini sih saya bukan nggak siap, tapi harus jemput Ola di sekolah. Maaf ya kalau kedengarannya nggak profesional. Tapi besok saya bisa atur, karena kakek neneknya udah siap jaga Ola,” jelas Dona jujur. “Nggak masalah. Kamu bawa anak ke kantor pun boleh,” jawab Bara santai. “What? Jangan deh, Pak. Kecuali memang kebetulan banget nggak ada yang jaga, mungkin baru saya bawa. Tapi sebisa mungkin saya usahakan nggak,” ucap Dona cepat. “Nggak masalah. Bawa aja. Nggak ada yang bisa larang kamu bawa anak,” ucap Bara sambil tersenyum, menatap istrinya yang masih kaku tapi berusaha tenang. “Oke... oke deh. Nanti saya bawa Ola kalau memang mendesak,” jawab Dona. Bara kembali mengantar Dona keluar dari ruangannya, lalu bersama-sama mereka menaiki lift menuju lantai G. “Sekolah di mana?” tanya Bara, memandangi Dona yang berdiri di sisinya. “Di TK Mentari. Dia TK nol besar,” jawab Dona sambil tersenyum saat mengingat Nola. “Naik apa ke sana?” tanya Bara lagi. “Naik ojek,” jawab Dona sambil melirik jam tangannya. “Saya anterin, ya,” ucap Bara tepat saat lift terbuka. “Aduh, jangan deh, Pak. Merepotkan Bapak. Nggak papa, saya naik ojek aja,” ucap Dona, lalu melangkah menuju pintu kaca otomatis yang langsung terbuka hingga mereka tiba di parkiran utama. “Nggak, saya nggak repot. Kebetulan saya juga mau keluar, jadi nggak masalah saya anterin sekalian,” kata Bara sambil menekan tombol mobilnya dari jarak jauh. “Tapi Pak, nanti...” “Ayo,” potong Bara, sudah membuka pintu mobil bagian depan untuk Dona. “Em... oke,” ucap Dona sambil tersenyum malu dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dona duduk manis di dalam mobil. Bara menutup pintunya perlahan, lalu memutari mobil dengan senyum bahagia di wajahnya—seolah inilah kesempatannya. Duduk berdampingan, Dona tampak tegang. Wajar. Bara terlihat jauh lebih santai dan menyetir dengan tenang. “Sebelumnya kerja di mana?” tanya Bara, mencoba mencairkan suasana. “Oh, belum sih. Saya ibu rumah tangga. Ya, kuliah terus nikah...” jawab Dona, tapi suaranya mengambang dan pikirannya seperti melayang ke masa lalu. Bara memotong sebelum suasana makin canggung. “Kamu mau makan sesuatu?” tanyanya, melirik ke arah toko kue di sisi jalan. “Makan? Saya udah sarapan di rumah, Pak,” jawab Dona sambil tersenyum dan ikut melirik toko itu. “Mampir sebentar, ya. Sebentar aja,” ucap Bara sambil tersenyum, lalu mengedipkan mata iseng padanya. “Oh... hahaha, oke, oke,” ucap Dona, akhirnya tertawa kecil. Memasuki toko kue, Dona tak bisa menahan senyum kecilnya saat melihat deretan kue lezat yang tersusun rapi di balik etalase kaca. Bara langsung memesan dua kue favorit: Red Velvet Cake dan Dragon Roll. Pelayan toko dengan sigap meletakkan keduanya dalam kotak besar yang terpisah, lalu menyerahkannya kepada Bara. “Bapak mau ada acara? Temennya ulang tahun?” tanya Dona heran, melihat dua box kue besar itu ditenteng oleh Bara dengan santai. “Nggak ada. Nggak ada acara,” jawab Bara sambil tersenyum tipis, lalu membuka pintu kaca toko untuk Dona. “Terima kasih,” ucap Dona, melangkah lebih dulu keluar. Di dalam mobil, dua kotak kue duduk manis di bangku belakang. “Oke, kita ke mana lagi, Mama Ola?” tanya Bara santai sambil mulai menjalankan mobil. “Mama Ola? Ya... Saya dipanggil itu sama suami saya,” ucap Dona sambil mengalihkan pandangan ke jendela, teringat Rangga. “Oh... Saya panggil kamu gitu nggak apa-apa?” tanya Bara, melirik sekilas ke arahnya. “Ya... ya nggak apa-apa sih,” jawab Dona pelan, lalu tersenyum dan mengangguk cepat. Dona pun menyebutkan alamat TK Nola. Tak lama, mobil mewah itu terparkir rapi di halaman sekolah dan langsung jadi pusat perhatian. Beberapa staf sekolah dan orang tua murid lain melirik penuh tanya ke arah mereka—terutama ke arah mobil dan pria tampan yang keluar dari balik kemudi. “Pak, saya masuk dulu. Kayaknya anak-anak udah baris mau keluar dari kelas. Terima kasih udah...” “Nggak. Saya anterin kamu sama Ola pulang,” ucap Bara sambil tersenyum dan bersandar santai di mobil sedan mewah itu. “Oh... mmh, ya udah. Tunggu sebentar!” ucap Dona, lalu segera bergegas menuju pintu utama sekolah. Setibanya di dalam, suara Nola langsung terdengar. “Mamaaa!” Mereka berpelukan erat. “Mama dari kerjaan?” tanya Nola sambil mengusap liur di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Iya, dan besok mama mulai kerja!” ucap Dona penuh semangat. “Oh gitu? Yesss!” seru Nola, lalu bertanya, “Ini kita naik ojek, kan, Ma?” Dona terkekeh. “Mama sama temen mama. Itu tuh,” ucapnya sambil menunjuk ke arah Bara yang berdiri di depan mobil. “What? Itu? Itu temen mama?! No way!” teriak Nola, lalu langsung berlari ke arah Bara. Bara tersenyum lebar dan membuka tangannya. Jantungnya berdetak kencang saat tubuh mungil itu jatuh ke dalam pelukannya. “Om temen mama aku juga?” tanya Nola sambil tersenyum manis, lalu berdiri di depan Bara dengan satu tangan di pinggang, bergaya centil.Tak sadar, Dona menyuapi Bara telur dadar dihadapan Nola. seketika saat Bara mengunyah dan Dona hendak menyendok telur dadar itu, mereka berdua terdiam saling tatap dan mendadak kaku ketika baru menyadari jika Nola tentu memperhatikan mereka berdua."Mmm... Aku juga mau suapin Om Papa," ucap Nola yang tak mau kalah. Ia langsung berdiri di atas kursi dan menyuapi sosis ke dalam mulut Bara dengan semangat. Dona tertawa terbahak-bahak sambil terbatuk kecil melihat aksi spontan putrinya yang menggemaskan. Tawa itu mengalir begitu saja, membawa suasana pagi menjadi semakin hidup. "Enak nggak?" tanya Nola sambil mengunyah dengan mulut penuh. "Enak banget," jawab Bara sambil berusaha mengunyah. Ia lalu menyuapi Dona dengan potongan sosis dalam jumlah banyak, membuat wanita itu mendadak kesulitan mengunyah. Dona hampir tersedak, namun segera menangkap kode dari Bara. Ia tertawa sambil menepuk lengan Bara, menyadari bahwa pria itu sengaja ingin menunjukkan bagaimana rasanya makan denga
“Rasa takut kamu akan hilang setelah kita jalani semuanya,” ucap Bara sambil memeluk Dona erat, seolah tak ingin kehilangannya lagi. “Bagaimana sama keluarga aku? Keluarga Mas Rangga dan keluarga kamu?” tanya Dona dengan suara pelan, penuh keraguan. “Aku udah bilang, selagi kita nggak jalani, kita nggak akan pernah tahu, Sayang. Aku serius. Aku beli rumah itu dan aku bisa pantau kamu kapan aja aku mau. Kita bisa ketemu kapan pun tanpa jeda waktu suami kamu nggak ada. Dan kalau saatnya nanti datang, kamu pasti ngerti kenapa aku segila ini,” ucap Bara dengan napas berat, memeluk Dona lebih erat seakan ingin menyatu dalam waktu. Bara seperti lelaki brengsek yang tengah berusaha merebut istri orang lain dengan banyak kata dan janji yang ia lontarkan pada Dona. Dona mengangguk pelan mendengar keyakinan dari Bara. “Oke?” ucap Bara. “Oke,” sahut Dona. “Kita masak. Aku laper, Sayang. Ciuman sama kamu semalam ternyata menguras tenaga aku, apalagi kalau...” ucap Bara sambil mendekat
“Mas, kamu mau kopi?” tanya Dona sambil memejamkan matanya dalam pelukan Bara. “Kalau masih ngantuk, tidur aja. Aku bisa buat sendiri, Sayang,” ucap Bara sambil tersenyum lembut dan membelai rambut istrinya. “Mas? Apa yang nanti aku jelasin sama Olla tentang hubungan kita sekarang?” tanya Dona sambil perlahan-lahan menutup kancing kemeja Bara satu per satu. “Nanti dia tahu sendiri. Apa yang kita lakukan saat ini. Paling yang jangan kita kasih lihat waktu kita lagi intim,” ucap Bara sambil berbisik di telinga Dona. “Mas, aku ini istri orang. Punya anak satu. Dan... aku nggak punya kelebihan apa pun dari fisik. Kenapa kamu mau kita berhubungan kayak gini?” tanya Dona, suaranya lirih dan matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak peduli. Dan kalau kamu mau, aku nikahi kamu. Kamu cerai dari suami kamu, terus kita sama-sama,” ucap Bara tegas namun tetap penuh kasih. “Apa semudah itu, Mas? Apa iya suami aku lepasin aku gitu aja?” tanya Dona, kali ini dengan napas berat dan ekspres
Film masih berlangsung, namun Dona tertidur dalam pelukan Bara. Nafasnya teratur, wajahnya tenang, seolah beban hidupnya lenyap sesaat dalam dekapan sang suami. “Sayang,” ucap Bara sambil tersenyum dan berbisik pelan di antara suara film yang samar. Ia menatap wajah istrinya dengan penuh kasih sayang, jari-jarinya menyusuri helai rambut Dona yang jatuh ke pipi. “Aku harus bawa kamu lagi. Aku nggak sanggup kalau harus pisah lebih lama. Sabar ya, aku pelan-pelan cari kebenaran. Aku yakin masih ada yang tersisa. Aku capek kalau harus pisah lagi dari kamu,” ucap Bara lirih, nada suaranya berat menahan emosi yang lama terpendam. “Aku kangen banget sama kamu. Maaf aku terlambat untuk ingat masa itu. Kalau aja semua nggak terjadi? Aku rasa kamu nggak harus menderita, Sayang,” lanjutnya sambil mengecup kening Dona. Matanya basah. Air mata jatuh begitu saja, seolah luka yang tak pernah sembuh kini terbuka lagi di pelukannya sendiri. Ia mendekap Dona lebih erat, seakan takut waktu akan
Kediaman keluarga Bara. "Udah kamu telepon, Della?" tanya Ibu Bara malam itu saat mereka tengah duduk di ruang TV. Matanya fokus ke layar, tapi pikirannya jelas melayang ke hal lain. "Udah, tapi nggak dijawab, Mam," ucap Della, meletakkan ponselnya di atas sofa dengan kesal. "Kenapa sih, Bara? Tapi kalian baik-baik aja dong?" tanya ibunya, mencoba menggali lebih jauh, meski nada suaranya terdengar tegang. "Sebenarnya ada sedikit masalah sih, Mam. Mas Bara tahun lalu itu berubah jadi nggak perhatian sama aku. Aku tuh kaget awalnya dan dia terus bilang kalau dia ada istri dan anak. Aku kaget dong..." ucap Della sambil memeluk bantal sofa, terlihat masih kesal dan bingung. "Hah? Masa sih? Ah, dia mungkin mabuk. Jangan kamu dengerin," ucap ibunya Bara dengan nada cepat, berusaha menepis kebenaran yang mungkin mulai terkuak. Ia menyembunyikan kepanikan dengan senyum kecil yang dipaksakan. "Tapi dia bilang kalau dia inget. Aku tanya soal apa, dia nggak jelasin. Dan akhirnya dia
“Sayang, aku mau cari rumah dekat sini, sekitar sini,” ucap Bara tiba-tiba, dengan nada serius yang menciptakan ruang hening seketika di antara mereka. Ia tak lagi menyembunyikan keinginannya untuk selalu dekat, untuk hadir nyata di hidup Dona dan Nola, bukan hanya sebagai selingan sesaat, tapi bagian yang tetap “Mas, kamu yakin? Ini gila, Mas,” ucap Dona sambil menatap Bara dalam-dalam, kedua tangannya memegangi wajah pria itu dengan gemetar. “Iya, aku gila. Aku mau dekat sama kamu dan Olla,” jawab Bara sambil tersenyum lembut, lalu mengecup bibir Dona seolah untuk meyakinkan bahwa kegilaannya adalah bentuk cinta. “Tapi Mas?” tanya Dona, suaranya ragu dan pelan, namun tak beranjak dari posisi mereka yang begitu dekat. “Nggak ada tapi,” sela Bara tegas, memotong keraguan Dona dengan suara penuh keteguhan. “Mmmh... Mas...” desah Dona pelan, wajahnya mulai memerah, matanya menunduk tapi bibirnya tetap