“Oh, oke. Siap, Mas,” balas Dona sambil tersenyum. Sedikit lega—setidaknya ada kepastian.
Dona pun beranjak dari sofa ruang tunggu, melangkah menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia masuk dengan tenang. Tubuhnya berdiri tegak. Jari telunjuknya menekan tombol “G” dan tombol penutup pintu. Namun, belum sempat pintu lift menutup sepenuhnya, sebuah tangan menahannya dari luar. Pintu terbuka kembali. Refleks, Dona sedikit mundur memberi ruang. Bara—pria itu—masuk ke dalam lift dengan langkah mantap. Ia menekan tombol penutup pintu lift, lalu menatap lurus ke depan... Sampai matanya tak sengaja menangkap bayangan di sampingnya. Sekejap... Napasnya tercekat. Sosok yang selama ini ia cari... kini berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. ••• Bara menoleh ke arah wanita cantik yang telah lama ia cari. Tangannya sedikit gemetar, seolah hendak menyentuh tangan lembut itu. Tapi ia tahan—ia hanya memandang. Dona merapikan rambutnya, lalu menoleh ke arah Bara. Ia tersenyum singkat dan mengangguk sopan. Namun, saat hendak memalingkan wajah, pandangannya jatuh pada sesuatu di saku kemeja pria itu. Sebuah jepit rambut warna pink berbentuk bintang. “Pasti anaknya centil,” ucap Dona sambil tersenyum kecil, menunjuk jepit itu. “I—iya. Iya, dia centil banget,” jawab Bara dengan senyum getir, matanya mulai berair, namun cepat ia tahan. “Persis anak saya, Pak. Pak Bara?” ucap Dona, seolah menyadari sesuatu. “Kamu tahu nama aku? Kamu ingat nama aku?” tanya Bara cepat, penuh harap. “Oh... maaf. Name tag. Saya baca name tag Bapak,” jawab Dona canggung. “Dan, oh ya... saya Dona. Saya yang hari ini seharusnya interview sesi akhir sama Pak Budiman dari HRD. Tapi katanya saya dialihkan ke Bapak Bara dan...” Belum sempat Dona menyelesaikan kalimatnya, Bara langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Dona terkejut. Matanya membulat, tubuhnya menegang. Ia tak tahu harus bagaimana—tangannya kaku, napasnya tercekat. Pelukan itu... hangat. Dona sempat hendak mendorong tubuh Bara, namun sesuatu terasa mengganjal di hatinya. Entah apa. Tapi ia perlahan-lahan malah mulai membalas pelukan itu—tanpa tahu kenapa. “Pak? Maaf... Seperti ada yang salah,” ucap Dona pelan, saat mendengar isak kecil yang tertahan dari pria di depannya. Tangannya menepuk-nepuk lembut pundak bidang nan kokoh itu. Bara membuka matanya. Ia sadar... Dona belum mengingatnya. Perlahan, ia melepas pelukannya dan menatap wanita itu dalam-dalam. “Pak, ini di ruang publik,” ucap Dona segera, sedikit menjauh dan berdiri dengan jarak yang lebih aman. “Maaf... Maaf aku... Saya... Saya ingat istri saya,” ucap Bara sambil menyeka air mata di sudut matanya, lalu mencoba tersenyum dan tertawa kecil. “Oh... Memangnya ke mana istrinya?” tanya Dona, terlihat khawatir tapi juga bingung. Bara terdiam sejenak. “Dia...” Lalu ia mengalihkan topik. “Oh iya, kamu mau interview?” Lift baru saja terbuka di lantai G. Namun belum sempat Dona melangkah keluar, Bara menekan tombol untuk menutup pintu dan menekan angka 14. “Oh... oke,” ucap Dona sambil tersenyum, merasa bersemangat kembali untuk sesi interview hari itu. Bara terkekeh kecil. Dona pun ikut tersenyum dan menyusul tawa itu. ••• Lantai 14. Deni terlihat heran saat melihat Bara yang tiba-tiba muncul kembali, bahkan berjalan beriringan dengan Dona. “Loh? Katanya mau ke kantor kedinasan?” bisiknya pelan sambil menggeleng pelan, lalu tersenyum. “Silakan,” ucap Bara sambil membukakan pintu ruangannya untuk Dona. “Oh... thanks,” ucap Dona sambil tersenyum dan mengangguk sopan, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi kosong di depan meja kerja Bara. Bara segera duduk berhadapan dengannya. Ia menyandarkan dagu pada tangan kirinya dan menatap Dona dalam-dalam. “Maaf, Pak. Nggak ditanyain saya dulu?” tanya Dona, bingung karena diperhatikan terus oleh pria tampan itu. “Oh, ngomong aja. Saya dengerin kok,” ucap Bara sambil tersenyum. “Oh gitu... oke. Saya mulai dari perkenalan diri saya. Nama saya Dona Fabian, usia...” “Dona Fabian. Usia 30 tahun. Anak satu, bernama Nola Fabian Maranatha,” potong Bara cepat. “Oh iya? Bapak tahu dari mana?” tanya Dona sambil tersenyum heran. “Oh, itu dari langit... nggak ding, bercanda. Dari CV kamu, ya CV,” jawab Bara cepat. “Hahaha... saya rasanya nggak masukin nama anak deh,” ucap Dona. “Oh ya? Tapi bener banget kan namanya itu?” tanya Bara sambil menahan senyum. “Yes. Bener. Ya, dia anak saya. Anak satu-satunya dari... dari... mmh, gimana ya jelasinnya?” gumam Dona pelan, bingung harus bicara jujur atau tidak. Bara masih tersenyum, menatap istrinya yang kini ada tepat di hadapannya—bahkan lebih dekat dari yang pernah ia bayangkan sejak lima tahun lalu. “Oke. Jadi kamu melamar di posisi konsultan?” tanya Bara, berusaha mengalihkan topik agar Dona tak merasa terbebani.Seketika Rangga berbalik arah dan menampar wajah Dona dengan keras. "Ah!" Dona menjerit pelan, menutup wajahnya dengan tangan. Bara melihat semuanya dari dalam rumah. Tangannya mengepal. Ia ingin keluar, ingin menghajar lelaki itu, tapi ia tahu ini bukan waktunya. Rangga berlalu pergi dengan mobilnya, suara mesinnya meraung tajam sebelum menghilang di tikungan. Dona berdiri gemetar. Air matanya tumpah. Ia merasa hancur. Bara segera menghampiri. Dona mundur, merasa malu, ingin melarikan diri dari pandangan pria itu. Namun Bara menahan langkahnya. Ia menarik Dona ke dalam pelukan. Dona menangis dalam pelukannya. Tak ada kata yang bisa menjelaskan rasa hancurnya. Dan untuk pertama kalinya... ia merasa aman. ••• Sadar akan statusnya sebagai istri orang lain, Dona menyeka air matanya dan perlahan melepaskan pelukan Bara. "Maaf, Pak. Nggak pantas buat saya melakukan ini," ucap Dona sambil berusaha tersenyum, meski matanya masih basah. "Saya yang minta maaf. Tapi saya c
Nola yang baru saja berganti pakaian, terkejut melihat ibunya digendong Bara. “Mama? Mama kenapa? Om, Mama sakit ya?” tanya Nola cemas. “Mungkin Mama kamu capek. Kita jagain Mama kamu, ya. Kamu punya aroma terapi? Healer gitu?” tanya Bara lembut. “Ada! Sebentar, Om!” kata Nola yang segera berlarian menuju kamar. Bara memegangi tangan Dona. Ia tampak khawatir, menyentuh pipi wanita itu perlahan, lalu mengecup tangannya penuh sayang. ••• Di ruang kerja Martha — percakapan telepon: “Saya minta tolong semuanya benar-benar beres! Bersih! Anak saya sudah mulai ingat masa lalu!” seru Martha dengan nada panik dan tajam. “Baik, Ibu Martha. Kami sudah melakukan penghapusan bukti surat menyurat, akta pernikahan, dan kelahiran bayi. Semuanya sudah kami hilangkan. Tim Anda sangat profesional dalam hal ini,” ucap pria di seberang telepon dengan nada tenang. “Kalau sampai dia dapatkan data itu, saya nggak segan bikin kehancuran buat kalian semua,” desis Martha penuh ancaman. •••
“Iya, temen mama juga. Jadi Uncle punya dua temen yang cantik, nih,” kata Bara sambil tersenyum. Nola langsung memeluknya erat lagi. Dona mendekat dan terlihat bingung melihat kedekatan Bara dan Nola. “Mama, ini sih temen aku, tau nggak? Uncle ini temen baru aku,” ucap Nola sambil tersenyum dan menyibakkan rambutnya ke belakang. “Kok bisa? Kenal di mana?” tanya Dona sambil mengernyitkan dahi. Bara membuka pintu mobil untuk dua orang yang ia cintai, lalu perjalanan pun dimulai. “Uncle... aku panggil Om aja, ya. Dan jangan kasih tau mama kalau kita temenan duluan,” bisik Nola ke telinga Bara. Namun, Dona mendengarnya dan tertawa kecil. “Oke, ini rahasia kita berdua. Mama nggak boleh tahu,” ucap Bara sambil tersenyum, lalu mencium pipi gempal Nola. “Hah?! Aku dicium?! Ih... harusnya aku dandan dulu, tau nggak!” seru Nola yang langsung sibuk membuka tas sekolah dan mengobrak-abrik isinya, mencari alat makeup mini. Dona dan Bara tertawa melihat tingkah anak mereka.
“Oh ya, itu tujuan saya, karena sesuai dengan basis pendidikan terakhir saya,” jawab Dona, kini lebih bersemangat. “Oke,” ucap Bara singkat. “Oke? Oke doang?” tanya Dona, masih bingung. “Iya. Kamu kerja. Mulai kapan aja, suka-suka kamu. Hari ini siap?” “Hari ini sih saya bukan nggak siap, tapi harus jemput Ola di sekolah. Maaf ya kalau kedengarannya nggak profesional. Tapi besok saya bisa atur, karena kakek neneknya udah siap jaga Ola,” jelas Dona jujur. “Nggak masalah. Kamu bawa anak ke kantor pun boleh,” jawab Bara santai. “What? Jangan deh, Pak. Kecuali memang kebetulan banget nggak ada yang jaga, mungkin baru saya bawa. Tapi sebisa mungkin saya usahakan nggak,” ucap Dona cepat. “Nggak masalah. Bawa aja. Nggak ada yang bisa larang kamu bawa anak,” ucap Bara sambil tersenyum, menatap istrinya yang masih kaku tapi berusaha tenang. “Oke... oke deh. Nanti saya bawa Ola kalau memang mendesak,” jawab Dona. Bara kembali mengantar Dona keluar dari ruangannya, lalu bersama
“Oh, oke. Siap, Mas,” balas Dona sambil tersenyum. Sedikit lega—setidaknya ada kepastian. Dona pun beranjak dari sofa ruang tunggu, melangkah menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia masuk dengan tenang. Tubuhnya berdiri tegak. Jari telunjuknya menekan tombol “G” dan tombol penutup pintu. Namun, belum sempat pintu lift menutup sepenuhnya, sebuah tangan menahannya dari luar. Pintu terbuka kembali. Refleks, Dona sedikit mundur memberi ruang. Bara—pria itu—masuk ke dalam lift dengan langkah mantap. Ia menekan tombol penutup pintu lift, lalu menatap lurus ke depan... Sampai matanya tak sengaja menangkap bayangan di sampingnya. Sekejap... Napasnya tercekat. Sosok yang selama ini ia cari... kini berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. ••• Bara menoleh ke arah wanita cantik yang telah lama ia cari. Tangannya sedikit gemetar, seolah hendak menyentuh tangan lembut itu. Tapi ia tahan—ia hanya memandang. Dona merapikan rambutnya, lalu menoleh ke arah Bara. Ia tersenyum
“Mas, aku mau kerja karena aku juga masih punya impian... buat keluarga kita!” balas Dona tegas. “Impian kamu, bukan impian aku!” sergah Rangga. “Dan kalau emang kamu mau kerja, ya silakan. Lebih baik gitu, biar kamu nggak repot tiap hari tanya aku kenapa pulang terlambat, kenapa ini, kenapa itu, dan tau rasanya cari uang! Jadi nggak usah ngarep uang dari suami terus!” lanjut Rangga sambil bangkit dari kursinya dan meraih kunci mobil. “Ola, ayo kita pergi,” seru Rangga dari depan pintu, tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. “Mama nggak diajak?” tanya Nola yang tampak bingung. “Oh, Mama masih lama, Sayang. Jadi Ola sama Papa duluan, ya. Ini bekal kamu. Sarapan dimakan di mobil sama Papa. Jangan lupa doa dulu,” ucap Dona sambil menyerahkan kotak makan dan membelai kepala putrinya. “Oke, Mama...” balas Nola sambil memeluk dan mencium pipi ibunya. “Jepit kamu kok cuma empat? Kemana satu lagi, Sayang?” tanya Dona sambil tersenyum, mengantarkan Nola ke mobil. “Oh iya... ak