Share

Tiba-tiba ada yang berdenyut

_____________

"Ayah?"

"Mikhaila?" Ibu berteriak keras dan menarik tubuh putriku yang sudah berdiri di depan mobil. Sebelumnya, putriku nekad mengigit lengan neneknya untuk menyusul Mas Haris karena telah masuk mobil yang nampak mengkilap.

"Ayah, jangan tinggalkan Khaila!" Putriku memukul-mukul jendela kendaraan roda empat itu, dan terus memanggil nama ayahnya yang tak satupun mendapatkan sahutan.

"Ayah?"

Bukan menjawab atau setidaknya keluar dulu dan menenangkan buah hatinya. Kendaraan yang membawa Mas Haris Justru melaju dengan kecepatan sedang. Tanpa peduli pada sosok gadis kecil yang meraung di bawah cahaya lampu temaram.

Aku hanya bisa menatap nanar pada mobil yang mulai hilang dari pandangan. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. Mulut ini terasa Kelu dan mata pun tak bisa dicegah untuk tak menitikkan air mata. Mas Haris, selama ini ia nampak cuek dan seperti tidak tahu apa-apa. Namun, detik ini ia langsung bertindak yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Pergi tanpa memberikan aba-aba apapun, dan dijemput oleh sosok wanita yang memiliki postur tubuh ideal, bibir merah menyala dan kecamata yang bertengger di puncak hidung yang menambah keyakinanku bahwa ia bukan dari kalangan biasa.

Namun, siapa dia? Kenapa datang menjemput Mas Haris? Atau, dia adalah wanita simpanan laki-laki itu selama di perantauan? Si-al, pantas saja Mas Haris jarang sekali membelaiku. Bahkan, sejak tiga tahun yang lalu hubungan suami istri kami mungkin bisa dihitung. Selain karena sering terpisah jarak jauh karena dia sibuk bekerja di kota, tapi saat di rumah pun ia jarang sekali menyentuh tubuh ini. Hanya dua tahun setelah pernikahan, kami rutin melakukannya.

Haish, kenapa repot-repot memikirkan laki-laki itu? Dia bukan lagi urusanku. Sekarang aku harus segera mengabarkan hal ini pada Mas Romli. Laki-laki yang merupakan selingkuhanku pasti akan senang mendapatkan kabar ini? Secara, ini adalah hal yang telah lama dia nantikan.

"Ibu, bawa Khalila masuk!" Teriaku dari ambang pintu. "Tidak baik berlama-lama di luar,"

"Aline?"

Baru saja hendak berbalik badan, ibu memekik membuat langkah kakiku terhenti. Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit untuk digambarkan, lebih dari sekedar marah. Mungkin, seperti elang yang siap menerkam musuhnya adalah kiasan yang tepat. Mata itu kian memerah dengan napas yang nampak tersenggal-senggal serta giginya seperti mengertak. Kulihat, kedua telapak tangannya juga mengepal. Tapi apa peduliku? 

"Apaan sih, Bu. Malu banyak orang-orang yang lewat mau shalat tarawih!" Ketusku menyangkal, kemudian langsung berbalik badan.

"Aline?"

"Aline, jangan egois kamu!"

Aku tidak mempedulikan teriakan ibu. Bagaimana sih, seharusnya dia punya rasa malu sebab diseberang jalan mulai banyak orang yang melintas dengan telah menggunakan mukena dan sejadah yang disampirkan. Ada pula menggendong tas serta yang mungkin berisi perlengkapan shalat yang dibawa mereka. Ada anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak, dan Aki-aki. Apa ibu tidak malu? Bagaimana kalau mereka malah merongrong? 

***

[ Ayang? ]

Baru saja ada pemberitahuan pesan sukses terkirim. Panggilan masuk dari Mas Romli membuatku nyaris loncat andai tidak ingat bahwa belum lama ini aku habis melahirkan dengan cara normal. Ah, dia mungkin sudah menunggu aku untuk mengabarkan hal yang baru saja terjadi di rumah ini beberapa menit yang lalu. Kami memang serasi, kadang sudah saling menunggu.

"Yang?"

"Ya, Mas!" Sahutku dengan menempelkan handphone jadul ini pada daun telinga. Bibirku tak terhenti melukiskan senyuman atas bahagia mendengar suaranya yang merdu dan terbayang wajahnya yang tampan sebab rutin perawatan.

"Sekarang kita jangan saling hubungi dulu, aku harus menemani Risma. Dia ingin dibelai,  badannya kurang fit!"

Ada rasa kecewa yang menelusup ke rongga dada. Namun, aku segera mengangguk saat sadar memang seperti ini resiko pacaran dengan suami orang. Pun, Mas Romli pun selalu demikian selama ini. Ia akan mengalah saat aku mengatakan sedang bersama Mas Haris.

"Kamu segera tidur, Yang. Esok kita bertemu!" Tuturnya membuat senyum yang sembula redup, kembali merekah.

"Baik, Ayang!"

"Ingat, Yang. Jaga kesehatan kamu, dan Syahdan harus diperhatikan dalam segala halnya," pesan yang tak pernah ia tinggalkan sebelum panggilan ini terputus.

Ah, mungkin ada Risma yang tiba-tiba mendekati. Atau, kalau sedang dibelai, istrinya terbangun dari tidurnya. Aku harus sabar, dan menunggu hari esok.

Kutatap Syahdan yang terlelap di ranjang bayi. Pertumbuhan anak keduaku memang berbeda dari Mikhaila. Sehat, serta memiliki bobot tubuh yang cukup berisi. Ya, tentu selama ini Mas Romli telah menanggung semua kebutuhan gizi Syahdan. Termasuk selalu mengirimkan takjil sebelum buka puasa yang bukan makanan-makanan biasa. 

***

"Ibu akan pulang, bawa Khalila!" 

Gurita, popok dan baju bayi lainnya nyaris terlempar saat mendengar ibu berucap tiba-tiba. Sejak malam, tak ada satupun kata yang terlontar dari mulut wanita yang menggunakan hijab Khimar ini. Ia tetap melakukan aktifitasnya. memasak, mencuci, dan menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa bertegur sapa denganku. Aku yang tidak peduli, hanya bersikap santai dan mengerjakan apa yang harus aku kerjakan. Memandikan Syahdan, memberinya makan dan memomong sampai ia tertidur.

"Memangnya Khaila mau?"

Ibu menatapku usai pertanyaan itu kulontarkan meskipun tetap bersikap tak acuh. "Apa yang membuat cucuku menolak? Jika tinggal di rumah ibunya sendiri ia harus tersisihkan!" Jawaban yang membuatku tak bisa menyangkal.

"Terserah ibu, tapi aku tidak mau ikut pusing mengurus semua kebutuhannya!"

"Meski harta ibu tidak banyak, tapi akan sanggup membiayai Khaila tanpa campur tangan orang lain!" Sanggah ibu mertua yang memaksaku untuk bungkam.

Tanpa berkata-kata lagi, kuletakan semua pakaian yang telah dilipat pada keranjang. Juga pada lemari jika itu milikku, lemari plastik untuk Mikhaila. Sesuai janji semalam, hari ini aku akan menemui Mas Romli. Dia memintaku menemuinya di tempat yang jauh, mungkin karena Risma sedang ada di rumah sebab kurang fit.

Syahdan yang sudah wangi khas bayi dan minyak telon. Segera kupangku dalam gendongan. Meraih tas bayi dan melesak pergi setelah menyemprotkan pewangi pakaian.

"Aku akan beli oleh-oleh untuk dibawa Mikhaila, ibu jangan dulu berangkat!" Pesanku.

Wanita paruh baya yang bernama Iis Komalasari hanya mengangguk. Tanpa menghentikan aktivitasnya memasukkan pakaian Mikhaila pada tas besar. Aku melenggang pergi, tanpa peduli meskipun ibu mengabaikanku.

Butuh beberapa menit untuk sampai di tempat tujuan. Mas Romli telah memesan ojek online untuk menjemputku tiba di sebuah taman kota.

"Yang?" Aku melangkah cepat usai turun dari motor, sedangkan tukang ojek itu telah berbalik arah.

Nampak Mas Romli tengah duduk di kursi kayu yang menghadap pada patung dua ikan hiu yang dihiasi air mancur. Kami memang bertemu di Taman Kota Batu Hiu, daerah yang terkenal dengan keindahan alam dan pantainya. Sehingga tak sedikit turis asing yang berlibur disini. 

"Apa yang ingin kamu katakan?" tanyaku dengan menatap nanar. Tanpa menghiraukan hijab yang melambai-lambai tertiup angin pantai.

"Aku perlu bicara, Aline." Mas Romli berbalik badan, sehingga netra kami beradu. "Waktuku tidak banyak!"

"Maksudnya?"

"Aku harus antar Risma,"

"Kok kamu lebih memilih dia, Yang?" Sungutku sambil memalingkan muka.

Namun, Mas Romli malah meraih daguku. Dan membingkai wajah ini dengan kedua tangannya.

"Wajarlah, Aline. Risma itu istriku dan sudah menjadi kewajibanku untuk_"

"Tapi aku wanita yang telah memberikan kamu anak, Yang!" Potongku menyela, dengan suara yang kian naik beberapa oktaf. "Apalagi kami sudah resmi cerai!"

Mata Mas Romli nampak membelalak bahkan seperti hendak keluar dari tempatnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Seutas senyum terbit di bibirnya yang dihiasi kumis tipis, ia beralih meraih kedua tanganku dan mengecupnya berkali-kali.

"Itu kabar bagus, Aline!"

"Iya, Yang. Kita hanya butuh sekitar tiga bulan untuk menjadi suami istri yang seutuhnya!" Pekikku tak kalah berbinar.

"Tidak, Aline!"

Binar yang semula terpancar dari kedua bola mata ini, mendadak redup. Bahkan, bibirku yang masih tersenyum, terpaksa bungkam mendengar penuturan tiba-tiba Mas Romli yang diiringi raut wajah sendu.

"Kita tidak akan menikah di dekat-dekat ini," tuturnya seraya mengalihkan pandangan. Menatap orang-orang berlalu lalang menikmati suasana pantai.

Aku yang terkejut hanya bisa menatap nanar dan menggelengkan kepala tidak terima. Mana mungkin dia mengatakan demikian, sedangkan selama ini perceraianku yang dia nantikan.

"Apa maksudnya tidak bisa, Yang?" Tanpa terkira, mata ini tiba-tiba terasa memanas dan tenggorokan terasa sesak seperti dihimpit batu besar tanpa aba. "Sedangkan hal ini yang selama ini tanyakan dan tunggu, kan?"

"Itu dulu, Aline. Sekarang semuanya berubah!" Jawaban Mas Romli, seumpama gemuruh yang menyambar di siang bolong. Memekikan, dan melumpuhkan seluruh anggota tubuh ini.

"Ma_mak_maksudmu?"

"Risma hamil anakku!"

"Apa?"

.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status