LOGINMalam makin larut ketika Dias gelisah di dalam kamar. Jam dinding sudah lewat tengah malam, tapi ibunya belum juga kembali. Biasanya, seberat apa pun hari berlalu, perempuan itu tak pernah pulang selarut ini tanpa kabar.Dias mondar-mandir, dadanya terasa sempit.“Ibu ke mana ya?” gumamnya.Ia baru duduk di tepi ranjang ketika suara pintu depan terdengar. Langkah kaki tergesa, disusul suara kain diseret. Dias segera keluar kamar.Ibunya terkejut begitu melihat Dias berdiri di ruang tengah.“Dias, kamu belum tidur?”“Ibu darimana saja?” tanya Dias tanpa basa-basi.Ibunya terdiam sesaat. Wajahnya masih tegang, napasnya belum sepenuhnya tenang. “Ada urusan luar.”“Urusan apa sampai pulang tengah malam begini?” suara Dias meninggi. “Ini bukan kebiasaan Ibu.”Ibunya menghela napas. “Huhh... aku menemui Ibu Sagara.”Jantung Dias seolah berhenti berdetak. “Apa? Ibu menemui Ibunya Sagara?”“Ya. Perempuan itu kurang ajar!” kata ibunya penuh amarah. “Berani-beraninya dia mengancam balik aku. Mi
Kecurigaan itu tidak datang tiba-tiba pada David. Ia tumbuh perlahan, dari potongan-potongan kecil yang tak lagi bisa ia abaikan. Tatapan Dias yang terlalu waspada, caranya menghindar setiap kali nama Ibu Sagara disebut, dan kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan meski berusaha tampak tenang.Malam itu, David akhirnya memilih bertanya langsung.“Kita perlu bicara, Dias,” katanya singkat, menghentikan langkah Dias di lorong kamar.Dias menoleh. “Sayang, kamu kenapa serius begitu? Tentang apa?”David menatapnya lama, terlalu lama untuk sebuah pertanyaan biasa. “Tentang Ibu Sagara.”Wajah Dias seketika memucat. “Kenapa dengan dia?”“Kamu tahu persis kenapa.” Nada David merendah, tapi tekanannya justru terasa. “Untuk apa dia datang ke istana? Untuk apa dia menemui ibumu?”Dias terkesiap kecil. “Sayang, aku... aku tidak tahu.”“Kamu yakin tidak tahu?” David melangkah mendekat. “Dias, tidak mungkin seseorang datang sejauh itu, menemui ibumu, lalu diam-diam masuk ke istana kalau tidak ada
Dian mendatangi Ratu Ibu tanpa banyak pengantar. Wajahnya terlihat serius, tidak seperti biasanya yang tenang. Begitu pintu ruang dalam tertutup, Dian langsung bicara.“Ratu Ibu, kenapa Ibu Sagara menemui Ratu Ibu tanpa sepengetahuan saya?” tanya Dian penasaran.Ratu Ibu mengangkat pandangannya perlahan. Tidak terkejut, seolah pertanyaan itu memang sudah ia tunggu. “Jadi kamu sudah tahu, Dian.”Dian mengangguk. “Benar, Ratu Ibu. Saya melihatnya keluar dari sayap barat. Itu bukan jalur tamu biasa.”Ratu Ibu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Dia datang menemuiku membawa tawaran. Katanya, dia memiliki informasi penting tentang Dias dan ibunya. Tapi, dia meminta jaminan perlindungan dari istana.”Dian terdiam sesaat. “Apa? Meminta jaminan?”“Ya, jaminan. Keselamatan dirinya.” Nada Ratu Ibu cukup keras. “Dan sampai sekarang, dia belum mengatakan apa pun terkait Dias dan Ibunya.”Belum sempat Dian menanggapi, David masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak tegang.“Ibu,” katanya.
Tanpa sepengetahuan, Ibu Sagara mencoba ke istana. Kedatangan Ibu Sagara ke istana tidak tercatat secara resmi. Ia masuk lewat pintu samping, mengenakan kerudung gelap dan pakaian sederhana, seolah hanya tamu biasa yang ingin berteduh sebentar. Tapi langkahnya tidak ragu. Matanya tajam, wajahnya menyimpan sesuatu yang sudah lama ia bawa.Ia langsung meminta bertemu Dias.Dias yang sedang berada di ruang kecil dekat taman belakang sempat terdiam saat pelayan menyebut nama itu. Jantungnya berdegup lebih cepat.“Ibu Sagara?” suaranya nyaris berbisik.Belum sempat Dias menolak, pintu sudah terbuka. Ibu Sagara berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa senyum, tanpa basa-basi.Ibunya Dias ikut berdiri. Wajahnya langsung berubah.“Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya ketus, bahkan sebelum Ibu Sagara duduk.Ibu Sagara melangkah masuk, menutup pintu sendiri. “Aku datang bukan untuk bertanya kabar. Aku datang untuk menagih kalian.”Dias terkejut. Tangannya gemetar di sisi gaun.“Menagih apa?”
Ibu Sagara menyandarkan punggung ke kursi, jarinya mengetuk-ngetuk kayu dengan ritme pelan tapi membuat jantung berdebar. Tatapannya tak lepas dari Dian, seperti sedang menunggu celah sekecil apa pun untuk menerkam.“Kamu belum jawab pertanyaanku,” katanya akhirnya. “Utusan siapa kamu sebenarnya?”Dian tidak langsung menjawab. Ia melepas tas kecilnya, meletakkannya di lantai, lalu duduk berhadapan tanpa menunduk sedikit pun.“Kalau saya bilang saya datang atas kemauan sendiri?” ujarnya tenang.Ibu Sagara tersenyum sinis. “Hah... aku bukan anak kecil yang mudah dikelabui. Tidak ada orang datang sejauh ini tanpa tujuan.”“Ada,” sahut Dian. “Kalau yang dibawa itu dendam.”Kata itu membuat wajah Ibu Sagara menegang.“Kamu tidak punya hak bicara soal dendam!” katanya. “Yang kehilangan anak itu aku. Yang kehilangan cucu itu aku.”Dian mengangguk pelan. “Dan yang membuat semuanya terjadi bukan saya. Bukan istana.”“Lalu siapa?” suara Ibu Sagara meninggi.“Dias,” jawab Dian tanpa ragu. “Dan i
“Kamu datang jauh-jauh ke sini sebenarnya untuk apa,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi tegas, “dan bilang dirimu mantan Sagara. Perempuan-perempuan seperti itu banyak.”Dian tidak tersinggung. Ia sudah memperkirakan sambutan seperti ini.“Kalau saya perempuan sembarangan,” jawabnya pelan, “saya tidak akan berdiri di sini sekarang.”Ibu Sagara mendengus kecil. “Semua orang bisa bicara.”Dian mendekat dua langkah. “Tapi tidak semua orang tahu bahwa Sagara selalu membenci hujan sore karena ibunya dulu sering memaksanya pulang saat hujan turun. Tidak semua orang tahu dia menyimpan uang di bawah kasur, bukan di lemari. Dan tidak semua orang tahu, dia ingin menikahi saya sebelum Dias hamil.”"Apa kau bilang? Anakku hamili Dias?" tanya Ibu Sagara. "Itu tidak benar.""Tidak benar atau tidak ingin diketahui publik?" desak Dian.Ibu Sagara mulai penasaran. "Kamu itu sebenarnya siapa?" Kursi itu berderit pelan saat Ibu Sagara bergeser. Tatapannya berubah, bukan percaya, tapi tidak lagi mer







