LOGINSiapa Ratu Aruna?
Sinar matahari menembus tirai tebal kamar hotel. David duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya.Aruna baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, mengenakan bathrobe putih yang menggantung longgar di tubuhnya. Tatapannya langsung tertuju pada David yang tampak begitu jauh, entah pikirannya ke mana.“Kenapa diam aja, Yang Mulia?” tanya Aruna pelan, berusaha terdengar santai tapi matanya awas, membaca ekspresi lelaki itu.David tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas dan berjalan pelan ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di luar negeri itu. Jalanan sibuk, tapi di sini... justru terlalu sunyi.“Semalam aku nggak bisa tidur, Aruna,” gumamnya pelan.“Karena mikirin aku ya? Aduhh jadi malu," Aruna tersenyum, mencoba bercanda.David menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke luar. “Bukan itu. Karena pikiranku ada di tempat lain.”Aruna tahu maksudnya. Gita. Perempuan yang meski bukan lagi siapa-siapa secara
Hari itu terasa panjang bagi David. Rapat berjam-jam, tatapan Aruna yang terus menempel di pikirannya, dan perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul tanpa alasan jelas.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam hening, bayangan wajah Gita muncul begitu saja, tenang, lembut, dan jauh dari semua hiruk pikuk politik istana.David menghela napas. “Kenapa kau masih muncul di pikiranku terus, Git,” gumamnya pelan.Ketukan di pintu membuatnya tersadar.David menoleh, suaranya tenang, “Silakan masuk.”Aruna muncul, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem dan membawa nampan berisi teh hangat. “Saya pikir Anda belum tidur, Baginda. Saya titipkan teh supaya bisa sedikit rileks.”David memalingkan wajah, menatap jam di meja. “Kau seharusnya istirahat. Kita berangkat pagi besok, Aruna.”Aruna tersenyum. “Saya tahu. Tapi rasanya canggung kalau saya tidur duluan sementara Anda belum. Lagipula, ruangan Anda ini persis di depan kamar saya. Tadi saya lihat lampunya masih menyala.”David menatapnya sekilas. “I
Aroma kopi dari lobi hotel masih terasa sampai ke ruang rapat tempat David duduk dengan wajah serius. Beberapa pejabat asing sudah siap mengikuti serangkaian meeting pagi ini, membolak-balik dokumen kerja sama yang harus ditandatangani hari itu.“Aruna belum datang juga?” tanya David tanpa menoleh.Belum sempat ajudannya menjawab, pintu terbuka pelan. Aruna masuk dengan senyum manis dan gaun putih rapi yang mungkin sedikit berlebihan untuk suasana formal.“Maaf, Baginda. Saya datang agak terlambat ke ruang meeting, tapi saya sudah siapkan semua berkasnya,” katanya sambil berjalan mendekat.David hanya menatap sekilas. “Baiklah... kita mulai saja. Agenda kita padat.”Suara David terdengar datar, tapi matanya sempat menatap cepat ke arah Aruna sebelum kembali ke meja.Selama rapat berlangsung, Aruna duduk di sampingnya, menjelaskan beberapa data dengan lancar. Ia tampak profesional, tapi caranya menatap David di sela-sela kalimat terasa terlalu lama.David berusaha untuk tetap fokus, me
Pagi di hotel itu terasa dingin. David sudah bangun lebih dulu, duduk di meja sambil menatap layar laptop, tapi pikirannya entah ke mana.Kopi di cangkirnya sudah dingin sejak tadi. Di meja seberang, surat dari Gita masih terlipat rapi, namun David belum sanggup menyimpannya. Setiap kali melihat tulisan tangannya, dada David seperti diremas.Pintu kamar berderit. Aruna masuk dengan rambut setengah basah, hanya mengenakan kimono hotel berwarna putih. Langkahnya pelan, tapi cukup membuat David menoleh.“Pagi, David,” sapa Aruna..David hanya mengangguk. “Pagi.”Ia menatap layar lagi, mencoba fokus. Tapi matanya sempat tertarik ke arah Aruna yang sedang menuang teh.“Apakah tidurmu nyenyak, Vid?” tanya Aruna sambil duduk di kursi seberang.“Lumayan.”“Lumayan, atau tidak sama sekali?” Aruna menatapnya dengan senyum.David tidak menjawab. Ia tahu Aruna pandai membaca perubahan kecil di wajah seseorang.“Aku juga tidak bisa tidur,” ucap Aruna pelan. “Kupikir mungkin udara di sini terlalu
Sudah beberapa jam David dan Aruna tiba di luar negeri, tapi belum ada percakapan berarti di antara mereka. Hanya suara jam di dinding yang terus berdetak pelan.“Besok rapat dimulai jam sembilan,” kata Aruna, mencoba memecah hening. David hanya mengangguk tanpa menoleh. “Ya, aku tahu.”“Bagaimana perjalananmu tadi? Capek?”“Tidak, Aruna.”“Tidak?” Aruna tersenyum, pura-pura santai. “Atau kamu hanya tidak mau bicara?”David akhirnya menoleh. Matanya lelah, tapi tetap tajam. “Aku cuma ingin istirahat, Aruna. Perjalanan panjang, banyak hal yang harus kupikirkan.”“Hal apa?” tanya Aruna pelan, lalu menatapnya lebih lama. “Atau kamu mikirin siapa?”David tak langsung menjawab. Ia menunduk, melepas jam tangannya dan menaruhnya di meja. “Kau terlalu banyak bertanya.”Aruna mendekat beberapa langkah, berdiri di depannya. “Aku hanya ingin tahu. Kita jauh dari istana, dari semua orang. Setidaknya di sini, kamu bisa jujur.”Ia duduk di sisi sofa, cukup dekat sampai bisa merasakan kehangatan tu
Dias berdiri di balkon kamarnya. Ia masih kepikiran tentang surat itu. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, wajah Gita selalu muncul di kepalanya, wajah selir muda yang bahkan tak pernah berani menatapnya lama-lama.Dias menggenggam pagar balkon, matanya menerawang ke arah gerbang timur. Di sanalah Raja David terakhir kali terlihat sebelum pergi ke luar negeri bersama Aruna. “Dia bahkan tidak menulis apa pun untukku,” gumamnya. “Untukku, istrinya. Untukku, yang menemaninya selama bertahun-tahun.”Dayang pribadinya yang lain, Mira, melangkah pelan mendekat. “Permaisuri, Baginda mungkin hanya khilaf.”“Apa katamu, khilaf?” Dias memotong cepat, nadanya naik sedikit. “Kalau seseorang menulis surat sepanjang itu dengan penuh perhatian, itu bukan khilaf, Mira. Itu kesadaran. Kesadaran bahwa dia peduli pada orang lain, bukan aku.”Mira seketika menunduk. Tak ada yang bisa ia katakan untuk membantah. Semua orang di istana tahu, perhatian Raja David memang perlahan bergeser.Dulu, setiap pag







