“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya.
“Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar.
Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah bau keringat. Jadi aku memanggilnya persis setelah melewati gerbang sekolah.
Tidak seperti biasanya, pagi ini mentari belum menunjukkan dirinya. Langit masih berwarna kemerahan dihiasi awan-awan berwarna putih yang memenuhi langit. Sekolah nampaknya belum ada penghuninya, begitu sepi dan senyap. Ada beberapa petugas kebersihan yang sibuk menyapu halaman dan mengepel lantai. Sepagi ini, teras-teras kelas dan lapangan sekolah sudah terlihat bersih, hanya satu-dua bagian saja yang belum dibersihkan.
Kami menyusuri teras-teras kelas untuk menuju kelas. Seperti biasa, aku menoleh dan melihat ke dalam kelas yang pintunya terbuka. Kami melewati paling tidak delapan kelas—aku tidak benar-benar menghitungnya—kelas kami lumayan di belakang, tapi masih ada dua kelas lagi setelah kelas kami. Kelas-kelas yang aku lewati benar-benar masih kosong. Aku tidak tahu apa yang mereka kerjakan di rumah, hingga sampai kini belum berada di sekolah.
Syla membanting tas ke meja—bukan benar-benar membanting, tapi dia meletakkannya dengan kasar—dan diikuti pantatnya yang dia dudukkan di kursi. Aku duduk di kursi sebelahnya, meletakkan tas di atas meja dengan lembut. Aku mengamati keadaan kelas. Di depan sana ada papan tulis besar yang bersih—sudah dibersihkan sepulang sekolah, di atas papan tulis ada foto presiden dan wakil presiden yang dipisahkan oleh foto garuda pancasila. Di Pojok dinding sebelah kanan kelas ada jam dinding yang jarumnya bergerak normal, tidak hanya pajangan.
Di belakang kelas secara urut, ada alat kebersihan, rak sepatu, dan rak buku. Sesuai kesepakatan teman-teman sekelas, kami harus melepas sepatu ketika berada di dalam kelas—tidak termasuk guru. Sejak sebelum aku bersekolah disini, rak buku sudak ada di semua kelas walau kosong melompong. Itu merupakan program sekolah untuk meningkatkan literasi siswa. Rak buku bisa diisi buku apapun yang dimiliki siswa agar bisa saling meminjam dan berbagi bacaan. Tidak hanya asal ambil, perpustakaan kelas kami memiliki struktur dan peraturan yang jelas, sama seperti perpustakaan pada umumnya. Pundakku dicolek oleh seseorang tiba-tiba, aku menoleh.
“PR?” tangan Syla menengadah, menjulur ke arahku.
Aku menyerngit, PR? Ah, dia meminta buku tugasku? Aku membuka resleting tas, merogoh apa yang ada di dalam sana. Aku mengeluarkan tanganku ketika menyentuh sesuatu yang dibutuhkan Syla. Buku tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan sampul coklat diterima Syla.
“Lupa atau malas?” Syla meletakkan buku coklat yang sudah terbuka di atas meja. Tangannya cekatan mengambil buku yang juga bersampul coklat dan sebuah pena dari tasnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera menulis apa yang seharusnya ia tulis.
“Malas” Syla menjawab dengan mantap walaupun tangan dan matanya sudah bekerja. Aku kembali mengambil sebuah buku dari dalam tas, sebuah novel yang populer akhir-akhir ini. Aku meminjamnya dari perpustakaan daerah, sudah tiga hari novel ini ada di tanganku, hanya tinggal puluhan lembar lagi aku akan menyelesaikannya. Aku menyangga novel itu dengan tanganku agar dapat membacanya dengan nyaman.
Ini merupakan salah satu novel serial fantasi dari seorang penulis terkenal yang karyanya banyak disukai oleh para remaja. Aku menyukai penulis ini sejak setahun yang lalu, karena baru tahu saja. Tidak ada yang memperkenalkanku dengan penulis ini, dan tidak ada novel seperti ini di perpustakaan sekolah. Aku tahu penulis ini dari salah satu penulis idolaku, dan aku bersyukur bisa mengenal penulis ini.
Jam dinding di depan kelas menunjukkan pukul 06.01 waktu setempat. Aku sudah hafal di luar kepala jadwal keberangkatan teman-teman sekelasku. Sering, aku menjadi yang pertama, diikuti dengan Syla yang datang beberapa menit kemudian. Tidak jarang pula Syla menjadi yang pertama, seakan-akan kami berebutan gelar orang yang datang paling pagi di kelas. Sungguh, itu benar-benar lelucon terburuk sejauh aku mendengar. Mana ada orang yang bangga menjadi orang pertama yang berada di sekolah? Yang lebih aneh adalah, bagaimana mereka bisa tahu orang yang pertama kali datang padahal mereka tidak melihatnya sendiri?
“Selamat pagi, semua!” Aku melihat ke arah pintu, lalu fokus kembali pada bacaanku.
Dia Slamet, sesuai namanya dia seorang laki-laki yang tidak memiliki ciri khas orang Jawa. Orang Jawa dikenal banyak orang karena sopan santunnya. Nah, dia? Tidak sama sekali! Dia bahkan tidak sadar bahwa suaranya mengganggu Syla yang sedang berkonsentrasi penuh, keningnya berkerut, pertanda ia sedang menahan emosinya. Walau begitu, dia bisa bergaul dengan siapa pun dan punya banyak teman.
Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.
“Lehermu kenapa?”
“Tidak!” Teriakan menggelegar memenuhi hutan sejenak, berhasil mengalahkan bunyi hujan yang turun dengan deras. Seorang pria paruh baya yang sedang berteduh di bawah pohon besar terhenyak. Ia menoleh mencari asal suara. Dalam kondisi hujan deras dan di tengah hutan, ia harus segera siap menolong orang yang sedang dalam bahaya.Sepertinya pria paruh baya itu sedang menunggu sesuatu, entah menunggu hujan reda atau menunggu seseorang. Agaknya tidak mungkin ada orang yang sengaja berada di hutan apalagi dalam keadaan hujan deras. Raut wajah pria itu terlihat khawatir dan panik, mungkin teriakan tadi berasal dari orang yang dia kenal. Pria paruh baya itu langsung berlari ke arah suara, menghiraukan sakitnya terkena air hujan dan tanah becek yang memperlambat laju langkahnya.Guruh saling bersahutan memenuhi hutan, menambah suasana mengerikan di tengah derasnya hujan. Petir menyambar berkali-kali, memberikan cahaya barang sedetik. Pria paruh baya itu mantap berlari menuju ke arah tertentu s
Jam istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, aku di perpustakaan bersama Syla. Minimal seminggu sekali kami berdua pergi ke perpustakaan, update bacaan dan pinjaman buku. Ini sudah waktunya kami ke perpustakaan, dan di sinilah kami berada. Kami mengembalikan buku langsung ke petugas sesampainya di perpustakaan. Kami berpisah mencari bacaan masing-masing setelah mengembalikan buku.Memang benar kemarin aku membeli buku, namun belum aku buka. Aku mengingat dengan jelas hari ini waktunya ke perpustakaan, jadi aku simpan buku yang sudah dibeli untuk dibaca nanti. Buku dari perpustakaan ini yang akan aku baca lebih dulu, setelah tidak ada bacaan aku akan membaca buku baru itu. Aku menuju rak buku fiksi, menelusuri setiap judul dari buku yang ada. Peletakan buku di perpustakaan berdasarkan nama penulis, apa pun genrenya.Aku tidak mengenal penulis bergenre thriller, jadi setiap menemui penulis yang belum aku kenal, aku mengambil buku tersebut dan membaca blurbnya.
Hari itu, sinar matahari sangat terik, panasnya menusuk hingga ke tulang. Pengendara sepeda motor banyak yang berteduh di bawah pohon apalagi ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Mobil-mobil full AC, mobil yang tidak punya pendingin harus menggunakan kipas angin. Tidak ada pejalan kaki yang mau menanggung panasnya matahari secara langsung. AC di dalam ruangan-ruangan kantor saja hanya berupa angin, tidak terasa dingin–entah karena belum dibersihkan atau cuaca memang sepanas itu.Woosh! Tiba-tiba angin kencang mengembus dari dalam ruangan setelah masuk sebuah gedung. Membuat perbedaan nyata antara di dalam dan di luar ruangan. Walaupun pintu terbuka lebar, suhu panas seperti alergi dengan gedung ini–tidak mau masuk.“Dingin, kak!” Vian tertawa riang, dia berlari ke sebelah kiri ruangan.Aku tersenyum, senang sekali melihat adikku bisa tertawa lepas seperti itu. Begitu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, sehingga aku jadi kur
Jam pelajaran keempat dimulai, aku berada di laboratorium kimia bersama teman-teman satu kelas. Bu guru sudah memberi tahu kami bahwa minggu ini akan ada praktikum di laboratorium. Kami baru saja selesai berolahraga, praktikum bola kasti di lapangan sekolah. Walaupun setengah jam yang lalu masih pada berkeringat, seluruh ruangan lab kimia menguar wangi parfum. Sekolah kami mewajibkan pelajaran olahraga untuk diselesaikan tiga puluh menit lebih awal dari seharusnya agar para siswa dapat beristirahat sebentar dan berganti pakaian setelah berkeringat.Hari ini kami akan melaksanakan praktikum uji nyala api pada unsur alkali dan alkali tanah. Kami dibagi menjadi enam siswa yang ditempatkan pada satu meja. Masing-masing dari enam orang itu akan mencoba satu kristal senyawa tertentu yang akan diuji unsur di dalamnya dengan larutan Hcl melalui warna nyala api yang dihasilkan. Eksperimen seperti ini sangat menyenangkan bagi kami, karena tidak perlu melihat papan tulis, buku, dan mendengarkan g
Tik… tik… tik… suara detik jam dinding bergema memenuhi ruangan. Jarum pendek berhenti sejenak di angka 4, sedangkan jarum panjang masih berjalan memutar. Jalanan gelap gulita, kendaraan tidak banyak yang berlalu lalang apalagi lampu jalan juga banyak yang mati. Lampu lalu lintas tidak benar-benar mati walau jarang kendaraan lewat. lampu warna kuningnya berkedip-kedip, meminta pengguna jalan tetap berhati-hati walau jalan nampak sepi. Pasar menjadi satu-satunya tempat yang ramai di jam itu. Kumpulan sawi putih, kol, dan wortel yang dibawa oleh mobil pick up sangat menggugah selera. Warnanya masih begitu tampak segar, membuat siapa pun yang melihatnya ingin segera membawa sayur-sayur itu untuk dibawa pulang lalu dimasak. Walaupun ramai, jam segitu masih belum banyak barang yang dijual di pasar, hanya sayur-sayuran dan beberapa ikan-ikanan.Mesin-mesin pabrik-pabrik masih banyak yang beroperasi, siang dan malam nonstop. Beberapa operatornya terpantau mengangguk-anggukkan kepala selama b
Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert