Share

Bab 4

Author: Tiyas Tuti
last update Last Updated: 2023-10-26 11:16:33

“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla.

Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.

“Lehermu kenapa?”

Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti.

Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan segera hilang.

Syla mengamatiku, aku mengalihkan pandangan ke novel lagi. Satu hal yang harus selalu aku ingat, jangan pernah menatap Syla jika menyembunyikan suatu rahasia. Entah kenapa, temanku yang satu itu bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh orang lain. Hebat sekali, atau mungkin itu menakutkan.

“Kau tidak lihat? Lehernya pegal.” Syla menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan pekerjaannya. “Sia-sia aku memedulikannya.” Syla bergumam pelan. Aku menghela napas perlahan. Setidaknya aku selamat untuk saat ini.

“Kau duduk di sampingnya, bukan?” Aku menegang. Slamet ternyata tidak menghentikan rasa penasarannya, aku mencoba bersikap santai. “Bagaimana mungkin tidak mengetahuinya?”

Syla meletakkan pena yang dipegangnya dengan kasar, menatap tajam Slamet. Kali ini Syla mengamatiku lebih teliti. Maksud hati tidak ingin menoleh, tetapi Syla memaksaku untuk menghadapnya. Selain itu, jika aku tidak menatapnya, Syla akan curiga dan malah bertanya banyak hal kepadaku.

“Kenapa?” Syla menggerakkan dagunya ke arah leherku. Oh tidak, dia sudah mengetahui apa yang ingin kusembunyikan. Hopeless, aku menatap lurus ke arah papan tulis. Bagaimana aku akan menjawabnya?

Beberapa macam jawaban mulai berkeliaran di otakku. Mulai dari hal yang masuk akal, hingga hal yang gila. Aku harus bisa menyatukan semua alasan itu dan mengolahnya menjadi lebih masuk akal. Aku tidak ingin menjadi seperti siswa kelas sebelah yang kebohongannya berhasil terungkap oleh seorang Syla. Itu kejadian satu tahun lalu dan menggemparkan satu sekolah.

Waktu itu beredar kabar adanya pertikaian antar teman sekelas yang kehilangan ponselnya. Harusnya ada satu korban dan satu tersangka, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menceritakan detail ceritanya. Bahkan, tidak ada yang tahu ponsel siapa yang hilang. Seketika aku melongo ketika mendengarnya. Bercanda, ya?

Pihak sekolah belum mau mengurusi masalah ini. Menurut mereka, ini hanyalah salah paham antar teman yang sering terjadi, sehingga tidak terlalu dipedulikan. Dan para siswa yang akhirnya sibuk menduga-duga. Siapa yang bersalah? Di mana ponsel yang hilang? Mungkin masih ada dugaan yang lainnya. Intinya, semakin lama sebuah kasus diselesaikan, semakin banyak berita berlebihan yang akan diterima.

Dua hari sejak mendengar kasus itu, aku mengantar Syla menemui para tokoh yang terlibat. Mereka berkumpul di lapangan basket, sedang melakukan adu mulut dan diteruskan dengan adu otot. Tanpa menunggu lama, Syla segera menghampiri pusat kerumunan. Ada dua orang laki-laki yang bertengkar, mereka saling menarik kerah dan mengeluarkan umpatan-umpatan.

Para siswa duduk mengelilingi lapangan, mereka saling melempar komentar dan membuat lapangan menjadi berisik. Banyak dari mereka yang fokus menonton aksi dua orang yang berada di lapangan, tak lupa dengan camilan di tangan. Apa mereka sedang menonton wayang orang?

Syla diam di tempat, mengamati keadaan sekitar. Sejauh mata memandang hanya ada dua tokoh utama yang sedang bertengkar, sekitar seratus orang penonton yang tidak penting, serta kebisingan. Tidak terlihat seorang guru pun yang tertarik dengan apa yang tengah terjadi dengan siswa mereka.

Aku melangkahkan kaki ke depan, menyeruak kerumunan, meminta jalan dengan paksa. Syla mengikutiku dari belakang, tentu saja, ia juga ingin menghampiri mereka. Nama Aldo dan Aldi, terpampang jelas di nametag yang berada di dada sebelah kiri mereka. Sebenarnya aku tidak mengenal mereka, mungkin anak IPS. Aku lebih banyak mengenal orang daripada dikenali orang. Aku sudah mengenal 90% teman seangkatanku, mungkin mereka termasuk yang 10% sisanya, apalagi mereka cowok. Aku berjalan lebih dekat, kali ini aku dapat melihat wajah mereka dengan lebih jelas. Ah, mereka anak-anak yang sering nongkrong di kantin, tetapi tidak pernah bersama. Entahlah, aku tidak begitu yakin.

“Ting! Waktu habis, siapa yang menang?”

Kedua tanganku bergerak cepat menyingkirkan tangan mereka yang masih berada di kerah yang lain, menahan tangan mereka yang sudah menyentuh pundak masing-masing agar tidak lagi bergerak. Aku menatap mata satu persatu dari mereka. Mereka kompak melotot ke arahku. Refleks, aku melepaskan cengkeraman tanganku dari mereka.

 “Siapa diantara kalian yang mencuri ponsel?” Syla menatap tajam dua orang di depannya.

Mereka berdua menundukkan wajah. Syla mengedarkan pandangan, menatap semua penonton di tepian lapangan. Lapangan menjadi hening, para penonton sibuk mengalihkan perhatian, bahkan ada yang secara cepat meninggalkan lapangan. Tak hanya menatap seluruh penonton, Syla juga menatapku tajam. Aku meneguk ludah.

Bagaimana bisa tatapan seseorang—perempuan—setajam ini. Jika tatapannya adalah pisau, maka sudah pasti lapangan ini penuh dengan darah. Aku menatap mata Syla datar, aku tidak bersalah, jadi santai saja. Salah satu dari dua orang itu mengangkat tangannya. Syla menatap orang itu, aku juga ikut mengamati. Apa yang akan dilakukannya? Aldi perlahan berdiri, membiarkan Aldo tetap terduduk—tidak mengajaknya.

“Tidak ada.” Aldi menjawab lirih namun mantap. Pandangannya menunduk, tangannya dibawa ke belakang. Aku menatapnya bingung. Tidak ada? Aku menatap Syla, seharusnya ia mengatakan sesuatu. Tetapi Syla tetap bergeming. Aku menghela napas, memutuskan ikut menunggu.

Setelah itu Aldi menceritakan semuanya dari awal. Aku menyimak dengan serius, siapa tahu nanti Syla akan bertanya satu-dua hal yang tidak ia mengerti padaku. Aldi menceritakannya satu menit penuh, tanpa ada jeda maupun gangguan dari pihak penonton. Setelah akhirnya Aldi menghembuskan napas, Syla segera berbalik, berjalan meninggalkan lapangan. Aku bergegas berjalan mengikutinya.

Baiklah, itu pengalaman yang seru, aku tidak akan bisa melupakannya. Dan kini, aku yang mengalaminya. Aldi bahkan menjawab pertanyaan Syla dalam waktu setengah menit—aku benar-benar menghitungnya. Dan kini, entah sudah berapa lama aku diam tidak menjawab.

“Kemarin terkena pisau,” jawabku.

Aku menatap Syla, menunjukkan wajah yang biasa saja. Aku tidak boleh terlalu berbohong. Syla menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengamati luka yang berada di leherku seperti sedang memikirkan jawabanku. Aku tidak ketakutan seperti tadi, toh aku bicara jujur. Syla menganggukkan kepalanya, kembali mencoretkan pena pada buku tulis.

“Lain kali hati-hati saat memasak.” Aku tertegun sejenak, lalu memutuskan menganggukkan kepala. Aku selamat.

“Udah? Gitu doang?” Slamet masih berada di bingkai pintu. Syla mengangkat kepalanya, melihat Slamet.

“Berisik! Kamu menggangguku tahu!” Slamet berjalan menuju mejanya, tidak ingin dimarahi Syla lebih lanjut. Aku melanjutkan membaca novel, sedang berada di bagian terserunya, benar-benar tidak ingin diganggu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELUMBARI   Bab 23

    Jam pelajaran keempat dimulai, aku berada di laboratorium kimia bersama teman-teman satu kelas. Bu guru sudah memberi tahu kami bahwa minggu ini akan ada praktikum di laboratorium. Kami baru saja selesai berolahraga, praktikum bola kasti di lapangan sekolah. Walaupun setengah jam yang lalu masih pada berkeringat, seluruh ruangan lab kimia menguar wangi parfum. Sekolah kami mewajibkan pelajaran olahraga untuk diselesaikan tiga puluh menit lebih awal dari seharusnya agar para siswa dapat beristirahat sebentar dan berganti pakaian setelah berkeringat.Hari ini kami akan melaksanakan praktikum uji nyala api pada unsur alkali dan alkali tanah. Kami dibagi menjadi enam siswa yang ditempatkan pada satu meja. Masing-masing dari enam orang itu akan mencoba satu kristal senyawa tertentu yang akan diuji unsur di dalamnya dengan larutan Hcl melalui warna nyala api yang dihasilkan. Eksperimen seperti ini sangat menyenangkan bagi kami, karena tidak perlu melihat papan tulis, buku, dan mendengarkan g

  • SELUMBARI   Bab 22

    Tik… tik… tik… suara detik jam dinding bergema memenuhi ruangan. Jarum pendek berhenti sejenak di angka 4, sedangkan jarum panjang masih berjalan memutar. Jalanan gelap gulita, kendaraan tidak banyak yang berlalu lalang apalagi lampu jalan juga banyak yang mati. Lampu lalu lintas tidak benar-benar mati walau jarang kendaraan lewat. lampu warna kuningnya berkedip-kedip, meminta pengguna jalan tetap berhati-hati walau jalan nampak sepi. Pasar menjadi satu-satunya tempat yang ramai di jam itu. Kumpulan sawi putih, kol, dan wortel yang dibawa oleh mobil pick up sangat menggugah selera. Warnanya masih begitu tampak segar, membuat siapa pun yang melihatnya ingin segera membawa sayur-sayur itu untuk dibawa pulang lalu dimasak. Walaupun ramai, jam segitu masih belum banyak barang yang dijual di pasar, hanya sayur-sayuran dan beberapa ikan-ikanan.Mesin-mesin pabrik-pabrik masih banyak yang beroperasi, siang dan malam nonstop. Beberapa operatornya terpantau mengangguk-anggukkan kepala selama b

  • SELUMBARI   Bab 21

    Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert

  • SELUMBARI   Bab 20

    Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah

  • SELUMBARI   Bab 19

    Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in

  • SELUMBARI   Bab 18

    “Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya

  • SELUMBARI   Bab 17

    Tes! Bunyi tetesan air terakhir terdengar saat aku memutar keran wastafel. Setumpuk piring langsung aku letakkan di rak setelah selesai mencucinya. Aku dan Vian baru saja selesai sarapan dengan menu sederhana—telur ceplok dan oseng kacang. Vian makan tanpa banyak bicara tadi, dia bahkan makan setengah porsi dari biasanya sehingga sisa makanannya lumayan banyak.Aku berjalan ke kamar sambil merapikan seragam. Sudut mataku melihat Vian sudah menggendong tasnya dan duduk di kursi ruang tamu. Aku mempercepat persiapanku, segera menggendong tas dan mengajak Vian keluar dari rumah.“Jendelanya bagaimana, Kak?” tanya Vian.“Nanti diperbaiki pak satpam, Dek. Sementara ditutup tripleks dulu,” jawabku singkat. “Ayo, Dek!” Aku mengajak Vian keluar dari rumah.“Kunci rumah sudah kamu bawa, kan?” aku bertanya pada Vian sambil memasukkan kunci rumah ke dalam tas.“Ada kak, di dalam tas.” Vian menjawabku dengan wajah datar. Aku mengangguk.Kami berdua memegang kunci sendiri-sendiri—satu set kunci ya

  • SELUMBARI   Bab 16

    Matahari mulai naik, menjauh dari ufuknya. Para siswa berada di kelasnya masing-masing mendengarkan penjelasan dari guru. Pembelajaran baru dimulai satu jam yang lalu, namun wajah-wajah lelah sudah ditunjukkan oleh sebagian besar siswa. Walau begitu, kepala mereka masih tegak berdiri melihat ke depan. Lapangan sekolah diisi oleh anak-anak kelasku yang sedang kelas olahraga.Kami memakai seragam olahraga dan sedang tanding voli. Dua minggu yang lalu kami sudah belajar teknik dasar voli, jadi saat ini kami diminta untuk mempraktikkan hal yang sudah kami pelajari. Jumlah siswa di kelasku ada tiga puluh enam, pas sekali dibagi menjadi enam tim yang akan saling bertanding. Kami diminta bertanding dalam satu set saja tiap pertandingannya. Dan aku, akan bertanding di pertandingan terakhir. Ini sudah pertandingan kedua, dan poin dari masing-masing tim adalah 18 dan 15. Pertandingan kali ini lebih seru daripada pertandingan pertama tadi.Pertandingan kedua ini separuhnya adalah

  • SELUMBARI   Bab 15

    Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status