Share

Bab 4

“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla.

Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.

“Lehermu kenapa?”

Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti.

Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan segera hilang.

Syla mengamatiku, aku mengalihkan pandangan ke novel lagi. Satu hal yang harus selalu aku ingat, jangan pernah menatap Syla jika menyembunyikan suatu rahasia. Entah kenapa, temanku yang satu itu bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh orang lain. Hebat sekali, atau mungkin itu menakutkan.

“Kau tidak lihat? Lehernya pegal.” Syla menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan pekerjaannya. “Sia-sia aku memedulikannya.” Syla bergumam pelan. Aku menghela napas perlahan. Setidaknya aku selamat untuk saat ini.

“Kau duduk di sampingnya, bukan?” Aku menegang. Slamet ternyata tidak menghentikan rasa penasarannya, aku mencoba bersikap santai. “Bagaimana mungkin tidak mengetahuinya?”

Syla meletakkan pena yang dipegangnya dengan kasar, menatap tajam Slamet. Kali ini Syla mengamatiku lebih teliti. Maksud hati tidak ingin menoleh, tetapi Syla memaksaku untuk menghadapnya. Selain itu, jika aku tidak menatapnya, Syla akan curiga dan malah bertanya banyak hal kepadaku.

“Kenapa?” Syla menggerakkan dagunya ke arah leherku. Oh tidak, dia sudah mengetahui apa yang ingin kusembunyikan. Hopeless, aku menatap lurus ke arah papan tulis. Bagaimana aku akan menjawabnya?

Beberapa macam jawaban mulai berkeliaran di otakku. Mulai dari hal yang masuk akal, hingga hal yang gila. Aku harus bisa menyatukan semua alasan itu dan mengolahnya menjadi lebih masuk akal. Aku tidak ingin menjadi seperti siswa kelas sebelah yang kebohongannya berhasil terungkap oleh seorang Syla. Itu kejadian satu tahun lalu dan menggemparkan satu sekolah.

Waktu itu beredar kabar adanya pertikaian antar teman sekelas yang kehilangan ponselnya. Harusnya ada satu korban dan satu tersangka, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menceritakan detail ceritanya. Bahkan, tidak ada yang tahu ponsel siapa yang hilang. Seketika aku melongo ketika mendengarnya. Bercanda, ya?

Pihak sekolah belum mau mengurusi masalah ini. Menurut mereka, ini hanyalah salah paham antar teman yang sering terjadi, sehingga tidak terlalu dipedulikan. Dan para siswa yang akhirnya sibuk menduga-duga. Siapa yang bersalah? Di mana ponsel yang hilang? Mungkin masih ada dugaan yang lainnya. Intinya, semakin lama sebuah kasus diselesaikan, semakin banyak berita berlebihan yang akan diterima.

Dua hari sejak mendengar kasus itu, aku mengantar Syla menemui para tokoh yang terlibat. Mereka berkumpul di lapangan basket, sedang melakukan adu mulut dan diteruskan dengan adu otot. Tanpa menunggu lama, Syla segera menghampiri pusat kerumunan. Ada dua orang laki-laki yang bertengkar, mereka saling menarik kerah dan mengeluarkan umpatan-umpatan.

Para siswa duduk mengelilingi lapangan, mereka saling melempar komentar dan membuat lapangan menjadi berisik. Banyak dari mereka yang fokus menonton aksi dua orang yang berada di lapangan, tak lupa dengan camilan di tangan. Apa mereka sedang menonton wayang orang?

Syla diam di tempat, mengamati keadaan sekitar. Sejauh mata memandang hanya ada dua tokoh utama yang sedang bertengkar, sekitar seratus orang penonton yang tidak penting, serta kebisingan. Tidak terlihat seorang guru pun yang tertarik dengan apa yang tengah terjadi dengan siswa mereka.

Aku melangkahkan kaki ke depan, menyeruak kerumunan, meminta jalan dengan paksa. Syla mengikutiku dari belakang, tentu saja, ia juga ingin menghampiri mereka. Nama Aldo dan Aldi, terpampang jelas di nametag yang berada di dada sebelah kiri mereka. Sebenarnya aku tidak mengenal mereka, mungkin anak IPS. Aku lebih banyak mengenal orang daripada dikenali orang. Aku sudah mengenal 90% teman seangkatanku, mungkin mereka termasuk yang 10% sisanya, apalagi mereka cowok. Aku berjalan lebih dekat, kali ini aku dapat melihat wajah mereka dengan lebih jelas. Ah, mereka anak-anak yang sering nongkrong di kantin, tetapi tidak pernah bersama. Entahlah, aku tidak begitu yakin.

“Ting! Waktu habis, siapa yang menang?”

Kedua tanganku bergerak cepat menyingkirkan tangan mereka yang masih berada di kerah yang lain, menahan tangan mereka yang sudah menyentuh pundak masing-masing agar tidak lagi bergerak. Aku menatap mata satu persatu dari mereka. Mereka kompak melotot ke arahku. Refleks, aku melepaskan cengkeraman tanganku dari mereka.

 “Siapa diantara kalian yang mencuri ponsel?” Syla menatap tajam dua orang di depannya.

Mereka berdua menundukkan wajah. Syla mengedarkan pandangan, menatap semua penonton di tepian lapangan. Lapangan menjadi hening, para penonton sibuk mengalihkan perhatian, bahkan ada yang secara cepat meninggalkan lapangan. Tak hanya menatap seluruh penonton, Syla juga menatapku tajam. Aku meneguk ludah.

Bagaimana bisa tatapan seseorang—perempuan—setajam ini. Jika tatapannya adalah pisau, maka sudah pasti lapangan ini penuh dengan darah. Aku menatap mata Syla datar, aku tidak bersalah, jadi santai saja. Salah satu dari dua orang itu mengangkat tangannya. Syla menatap orang itu, aku juga ikut mengamati. Apa yang akan dilakukannya? Aldi perlahan berdiri, membiarkan Aldo tetap terduduk—tidak mengajaknya.

“Tidak ada.” Aldi menjawab lirih namun mantap. Pandangannya menunduk, tangannya dibawa ke belakang. Aku menatapnya bingung. Tidak ada? Aku menatap Syla, seharusnya ia mengatakan sesuatu. Tetapi Syla tetap bergeming. Aku menghela napas, memutuskan ikut menunggu.

Setelah itu Aldi menceritakan semuanya dari awal. Aku menyimak dengan serius, siapa tahu nanti Syla akan bertanya satu-dua hal yang tidak ia mengerti padaku. Aldi menceritakannya satu menit penuh, tanpa ada jeda maupun gangguan dari pihak penonton. Setelah akhirnya Aldi menghembuskan napas, Syla segera berbalik, berjalan meninggalkan lapangan. Aku bergegas berjalan mengikutinya.

Baiklah, itu pengalaman yang seru, aku tidak akan bisa melupakannya. Dan kini, aku yang mengalaminya. Aldi bahkan menjawab pertanyaan Syla dalam waktu setengah menit—aku benar-benar menghitungnya. Dan kini, entah sudah berapa lama aku diam tidak menjawab.

“Kemarin terkena pisau,” jawabku.

Aku menatap Syla, menunjukkan wajah yang biasa saja. Aku tidak boleh terlalu berbohong. Syla menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengamati luka yang berada di leherku seperti sedang memikirkan jawabanku. Aku tidak ketakutan seperti tadi, toh aku bicara jujur. Syla menganggukkan kepalanya, kembali mencoretkan pena pada buku tulis.

“Lain kali hati-hati saat memasak.” Aku tertegun sejenak, lalu memutuskan menganggukkan kepala. Aku selamat.

“Udah? Gitu doang?” Slamet masih berada di bingkai pintu. Syla mengangkat kepalanya, melihat Slamet.

“Berisik! Kamu menggangguku tahu!” Slamet berjalan menuju mejanya, tidak ingin dimarahi Syla lebih lanjut. Aku melanjutkan membaca novel, sedang berada di bagian terserunya, benar-benar tidak ingin diganggu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status