“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla.
Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.
“Lehermu kenapa?”
Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti.
Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan segera hilang.
Syla mengamatiku, aku mengalihkan pandangan ke novel lagi. Satu hal yang harus selalu aku ingat, jangan pernah menatap Syla jika menyembunyikan suatu rahasia. Entah kenapa, temanku yang satu itu bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh orang lain. Hebat sekali, atau mungkin itu menakutkan.
“Kau tidak lihat? Lehernya pegal.” Syla menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan pekerjaannya. “Sia-sia aku memedulikannya.” Syla bergumam pelan. Aku menghela napas perlahan. Setidaknya aku selamat untuk saat ini.
“Kau duduk di sampingnya, bukan?” Aku menegang. Slamet ternyata tidak menghentikan rasa penasarannya, aku mencoba bersikap santai. “Bagaimana mungkin tidak mengetahuinya?”
Syla meletakkan pena yang dipegangnya dengan kasar, menatap tajam Slamet. Kali ini Syla mengamatiku lebih teliti. Maksud hati tidak ingin menoleh, tetapi Syla memaksaku untuk menghadapnya. Selain itu, jika aku tidak menatapnya, Syla akan curiga dan malah bertanya banyak hal kepadaku.
“Kenapa?” Syla menggerakkan dagunya ke arah leherku. Oh tidak, dia sudah mengetahui apa yang ingin kusembunyikan. Hopeless, aku menatap lurus ke arah papan tulis. Bagaimana aku akan menjawabnya?
Beberapa macam jawaban mulai berkeliaran di otakku. Mulai dari hal yang masuk akal, hingga hal yang gila. Aku harus bisa menyatukan semua alasan itu dan mengolahnya menjadi lebih masuk akal. Aku tidak ingin menjadi seperti siswa kelas sebelah yang kebohongannya berhasil terungkap oleh seorang Syla. Itu kejadian satu tahun lalu dan menggemparkan satu sekolah.
Waktu itu beredar kabar adanya pertikaian antar teman sekelas yang kehilangan ponselnya. Harusnya ada satu korban dan satu tersangka, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menceritakan detail ceritanya. Bahkan, tidak ada yang tahu ponsel siapa yang hilang. Seketika aku melongo ketika mendengarnya. Bercanda, ya?
Pihak sekolah belum mau mengurusi masalah ini. Menurut mereka, ini hanyalah salah paham antar teman yang sering terjadi, sehingga tidak terlalu dipedulikan. Dan para siswa yang akhirnya sibuk menduga-duga. Siapa yang bersalah? Di mana ponsel yang hilang? Mungkin masih ada dugaan yang lainnya. Intinya, semakin lama sebuah kasus diselesaikan, semakin banyak berita berlebihan yang akan diterima.
Dua hari sejak mendengar kasus itu, aku mengantar Syla menemui para tokoh yang terlibat. Mereka berkumpul di lapangan basket, sedang melakukan adu mulut dan diteruskan dengan adu otot. Tanpa menunggu lama, Syla segera menghampiri pusat kerumunan. Ada dua orang laki-laki yang bertengkar, mereka saling menarik kerah dan mengeluarkan umpatan-umpatan.
Para siswa duduk mengelilingi lapangan, mereka saling melempar komentar dan membuat lapangan menjadi berisik. Banyak dari mereka yang fokus menonton aksi dua orang yang berada di lapangan, tak lupa dengan camilan di tangan. Apa mereka sedang menonton wayang orang?
Syla diam di tempat, mengamati keadaan sekitar. Sejauh mata memandang hanya ada dua tokoh utama yang sedang bertengkar, sekitar seratus orang penonton yang tidak penting, serta kebisingan. Tidak terlihat seorang guru pun yang tertarik dengan apa yang tengah terjadi dengan siswa mereka.
Aku melangkahkan kaki ke depan, menyeruak kerumunan, meminta jalan dengan paksa. Syla mengikutiku dari belakang, tentu saja, ia juga ingin menghampiri mereka. Nama Aldo dan Aldi, terpampang jelas di nametag yang berada di dada sebelah kiri mereka. Sebenarnya aku tidak mengenal mereka, mungkin anak IPS. Aku lebih banyak mengenal orang daripada dikenali orang. Aku sudah mengenal 90% teman seangkatanku, mungkin mereka termasuk yang 10% sisanya, apalagi mereka cowok. Aku berjalan lebih dekat, kali ini aku dapat melihat wajah mereka dengan lebih jelas. Ah, mereka anak-anak yang sering nongkrong di kantin, tetapi tidak pernah bersama. Entahlah, aku tidak begitu yakin.
“Ting! Waktu habis, siapa yang menang?”
Kedua tanganku bergerak cepat menyingkirkan tangan mereka yang masih berada di kerah yang lain, menahan tangan mereka yang sudah menyentuh pundak masing-masing agar tidak lagi bergerak. Aku menatap mata satu persatu dari mereka. Mereka kompak melotot ke arahku. Refleks, aku melepaskan cengkeraman tanganku dari mereka.
“Siapa diantara kalian yang mencuri ponsel?” Syla menatap tajam dua orang di depannya.
Mereka berdua menundukkan wajah. Syla mengedarkan pandangan, menatap semua penonton di tepian lapangan. Lapangan menjadi hening, para penonton sibuk mengalihkan perhatian, bahkan ada yang secara cepat meninggalkan lapangan. Tak hanya menatap seluruh penonton, Syla juga menatapku tajam. Aku meneguk ludah.
Bagaimana bisa tatapan seseorang—perempuan—setajam ini. Jika tatapannya adalah pisau, maka sudah pasti lapangan ini penuh dengan darah. Aku menatap mata Syla datar, aku tidak bersalah, jadi santai saja. Salah satu dari dua orang itu mengangkat tangannya. Syla menatap orang itu, aku juga ikut mengamati. Apa yang akan dilakukannya? Aldi perlahan berdiri, membiarkan Aldo tetap terduduk—tidak mengajaknya.
“Tidak ada.” Aldi menjawab lirih namun mantap. Pandangannya menunduk, tangannya dibawa ke belakang. Aku menatapnya bingung. Tidak ada? Aku menatap Syla, seharusnya ia mengatakan sesuatu. Tetapi Syla tetap bergeming. Aku menghela napas, memutuskan ikut menunggu.
Setelah itu Aldi menceritakan semuanya dari awal. Aku menyimak dengan serius, siapa tahu nanti Syla akan bertanya satu-dua hal yang tidak ia mengerti padaku. Aldi menceritakannya satu menit penuh, tanpa ada jeda maupun gangguan dari pihak penonton. Setelah akhirnya Aldi menghembuskan napas, Syla segera berbalik, berjalan meninggalkan lapangan. Aku bergegas berjalan mengikutinya.
Baiklah, itu pengalaman yang seru, aku tidak akan bisa melupakannya. Dan kini, aku yang mengalaminya. Aldi bahkan menjawab pertanyaan Syla dalam waktu setengah menit—aku benar-benar menghitungnya. Dan kini, entah sudah berapa lama aku diam tidak menjawab.
“Kemarin terkena pisau,” jawabku.
Aku menatap Syla, menunjukkan wajah yang biasa saja. Aku tidak boleh terlalu berbohong. Syla menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengamati luka yang berada di leherku seperti sedang memikirkan jawabanku. Aku tidak ketakutan seperti tadi, toh aku bicara jujur. Syla menganggukkan kepalanya, kembali mencoretkan pena pada buku tulis.
“Lain kali hati-hati saat memasak.” Aku tertegun sejenak, lalu memutuskan menganggukkan kepala. Aku selamat.
“Udah? Gitu doang?” Slamet masih berada di bingkai pintu. Syla mengangkat kepalanya, melihat Slamet.
“Berisik! Kamu menggangguku tahu!” Slamet berjalan menuju mejanya, tidak ingin dimarahi Syla lebih lanjut. Aku melanjutkan membaca novel, sedang berada di bagian terserunya, benar-benar tidak ingin diganggu.
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata