“Eughh … hangat ….”
Seorang perempuan mengerjapkan matanya pelan, tangannya melingkar indah pada hal yang membuatnya nyaman.Mata yang masih memejam tak mampu menyadari kalau di sebelahnya ada seorang pria. Menyentuh dadanya yang berdetak tenang. Sampai tepat tangan itu menyentuh bagian lain …Tunggu.Kenapa ia merasakan benda kecil?Satu detikDua detikTiga detik“Aaaaa!” Perempuan itu terpekik kaget. Dengan spontan ia bangun dari baringannya. Terduduk dengan selimut yang ia tarik untuk menutup tubuhnya.Seorang pria yang tadi berada di sampingnya mengerjap. Pria itu mendesis kecil.“Ssshh, pusing …,” ucapnya dengan nada berat.“Bangun! Siapa kamu hah?!” Perempuan itu berteriak marah. “kenapa kamu ada di kamarku!” teriaknya kembali.Jantung perempuan itu berdetak dua kali lebih cepat saat mengetahui siapa lelaki yang tertidur dengannya— di sampingnya. Menyadari satu hal lantas ia mer*ba bagian tubuhnya.Helaan nafas terdengar pelan kala menyadari kalau ia masih memakai baju. Namun, kenapa pria itu tidak memakai baju?Ya, perempuan bernama lengkap Carissa Rindiyani menoleh pada lelaki itu. Sosok laki-laki yang paling ia kenal.Tidak! Kenapa ia harus ada di sini? Kenapa tiba-tiba ia berada seranjang dengannya? Harusnya ia menghindar dari lelaki sepertinya. Sosok laki-laki yang harus Carissa hindari!Dengan cepat Carissa bangun dari duduknya. Perempuan bertubuh gendut itu mencari kacamatanya, namun tak ia temukan kacamata miliknya.“Di mana kacamataku?” Perempuan itu panik, hendak membuka sebuah laci. Namun belum sempat membuka sebuah pintu didobrak dengan begitu keras.“Carissa?!”Deg.Carissa terkejut kala mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Suara itu ..“Ayah?” ucapnya lirih.“Anak kurang ajar!”Plakkk!Suara tamp*aran yang amat keras terdengar sampai ke udara. Carissa bahkan sampai terjatuh kala tamparan keras itu mengenai pipi kanannya.“Pak!” Sosok laki-laki yang tadi tertidur dengan Carissa terbangun dengan mata terkejut. Pria itu tak memakai baju, hanya celana panjang yang menutup setengahnya.“Apa–”“Jadi preman ini yang semalam tertidur denganmu Carissa?!” teriak Fathur murka. Dia menunjuk muka pria itu dengan jari telunjuknya.“Tak tahu malu! Anak kurang ajar!”“Enggak! Bukan Ayah, Ayah telah salah paham.” Carissa menangis, menggeleng dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya.Perempuan bertubuh gemuk itu bersimpuh di hadapan sang Ayah.“Ini tidak seperti yang Ayah lihat, kami tidak melakukan apapun Ayah! Tidak!”“Sudah terbukti masih mengelak, hah?!” Napas Fathur naik turun. Dia menatap nyalang putrinya. Ah putrinya, bahkan gelar itu tak pantas di dapat karena sudah mempermalukan nama baik keluarga.“Puas kamu mempermalukan Ayah! Puas kamu jadi wanita murahan untuk pria yang tidak tau diri sepertinya?!”“Kami tidak melakukan apapun!” Pria itu menjawab dengan tegas. “kau—”“Diam kamu!” Fathur memotong ucapan pria itu. “Preman seperti kamu tidak pantas dipercayai! Apalagi yang setiap harinya selalu diincar oleh para polisi, kau telah menodai putriku!”“Tidak Ay--ayah, kami tidak melakukan apapun.” Carissa masih bersimpuh, namun dengan cepat Fathur menghempaskan kakinya. Tak sudi ia dipeluk oleh putri yang telah mempermalukan dirinya.“Pak, pak! Sudah, lebih baik kita bicarakan hal ini nanti di rumah. Malu, ini hotel Pak. Tempat orang.” Seseorang tiba-tiba bersuara, menjadi penengah atas kericuhan yang ada.“Tidak! Kita selesaikan di sini saja!” potong seseorang dengan tegas. “Saya, selaku tunangannya Carissa memutuskan menggagalkan pernikahan ini! Tidak sudi saya menikah dengan perempuan penz*ina sepertinya!”Jantung Carissa terasa mau copot saat ia mendengar suara pria. Dia … tunangannya!Carissa mendongak dengan air mata yang setia membasahi pipinya. Dan benar saja, tunangannya yang besok lusa akan menikah ada di sini tepat di samping Ayahnya.Carissa semakin menggeleng, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Sesak, sakit, semuanya … terasa menghimpit hatinya.“Tolong … percaya padaku. Aku tidak melakukan apapun.” Bibir Carissa bergetar hebat. Namun, tidak ada satu orang pun yang percaya padanya.“Sudahlah Tur, kau nikahkan saja dia dengan lelaki yang telah menodainya,” ucap seorang pria. “daripada putrimu menanggung malu, lebih baik kau nikahkan saja dengannya.”Fathur mengepalkan kedua tangannya. Pria dengan pahatan keras itu menatap tajam pria yang berhasil menodai anaknya. Seorang preman di kompleknya, bagaimana mungkin ia tidak mengenali lelaki itu?"Setiap orang memang melakukan kesalahan, tapi setiap kesalahan harus mendapatkan pertanggung jawaban! Maka dengan ini saya ... Fathur Damarsatya menyatakan bahwa putri saya yang bernama Carissa Rindiyani ... telah meninggal dunia."Semua orang yang mendengar tercengang sudah. Apalagi teruntuk Carissa yang mendengarnya secara langsung. Perempuan itu membekap mulutnya sendiri. Menahan tangis yang kian membanjiri kelopak matanya. Lemas sudah pertahan Carissa menahan tubuhnya, perempuan itu menangis sekeras-kerasnya.“Lakukan proses kematiannya sekarang juga!” ucap Fathur tanpa melihat putrinya yang menangis keras, apalagi melihat tubuhnya yang bergetar hebat. Pria itu melenggang pergi dengan kemarahan yang tersimpan di ubun-ubunnya.Sakit, sesak. Bagaikan di tikam ribuan jarum besar. Bagaikan dilempari tombak yang amat runcing, Carissa merasakan itu semua. Ayahnya … seseorang yang paling ia banggakan, seseorang yang paling ia puja dan hormati. Mengatakan bahwa putrinya ini … telah meninggal dunia?Menangis sekeras-kerasnya, tubuhnya semakin bergetar, lemas sudah semua pertahannya dalam menerima keadaan ini. Kenapa … kenapa dunia setega itu padanya?Di depannya Carissa melihat ada seseorang berdiri di hadapannya. Dengan mata memburam Carissa mendongak, mendongak walau tau hanya air mata yang terkumpul di sana.“Maafkan aku, Carissa. Aku tidak berniat melakukan ini, hanya saja … aku tidak ingin menikah denganmu.”Pria itu, pria yang besok lusa akan menikahinya. Berjanji akan mengikat sebuah hubungan dalam kehalalan. Dia yang tak lain tunangannya.“Tidak perlu kau tanyakan alasan aku menolak pernikahan ini. Kau pasti tau alasannya bukan?” ucapnya tersenyum miring.“Kau … tidak menarik di mataku. Sama sekali tidak. Sudah gendut, cupu, norak pula. Siapa yang mau menikah dengan perempuan seperti itu? Setiap laki-laki pasti menginginkan pasangan yang enak dipandang bukan? Dan kau tau siapa yang ingin aku nikahi …” Pria itu menjeda, sedang Carissa hanya bisa menangis. Menahan rasa sesak dan sakit yang ditambah berkali-kali lipat.“Adikmu!”Carissa memejamkan matanya. Selalu, selalu saja adiknya yang mereka inginkan. Kenapa, kenapa dunia selalu mengucilkan dirinya?“Aku hanya ingin menggagalkan pernikahan ini, tapi tak ku sangka. Ayahmu bahkan langsung men-cap dirimu sudah mati. Hal itu benar-benar membuatku ikut sedih.” Pria berucap dengan tatapan sendu.“Aku pergi, semoga hari-harimu bahagia.”Pria tidak tahu malu itu hanya tersenyum tipis. Melenggang pergi meninggalkan luka yang kian menganga di hati Carissa. Tidak peduli atas apa yang sudah dia lakukan. Hanya untuk menggagalkan pernikahan itu agar tak terlaksana, pria itu nekad memfitnah dirinya?Sungguh. Tidak ada dunia yang lebih kejam daripada manusia itu sendiri.Lemas. Tubuh Carissa lemas. Matanya semakin memburam, pusing sekaligus sakit terasa di kepalanya. Sampai detik berikutnya … Carissa pingsan tak sadarkan diri.“Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per
“Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan
"Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri
"Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat
Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser
Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend
“A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak
Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s
“Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca