Share

3. USAHA HIZKIA MENDEKATI RUTH

Hizkia diam dan menurunkan pandangannya ke meja makan seperti sedang merenungkan sesuatu.

Barangkali, hatinya mulai tergugah sebab perkataan Ruth.

"Abang sudah memberi banyak hal kepadaku. Bukan hanya bantuan uang, tapi juga tempat tinggal saat itu. Mendiang Abang sungguh baik. Bagi Abang, Kakak dan Elkana paling berharga. Maka, aku akan menjaga dengan baik," jelas Hizkia kembali menatap perempuan yang juga calon istrinya.

Kening Ruth mengernyit.

Hizkia bersedia mengorbankan diri untuk menghabiskan seluruh hidup bersamanya dan Elkana.

Menurut Ruth, tidak masuk akal rasional kelakuan Hizkia saat ini.

"Kami seperti barang buatmu," kata Ruth seraya mengalihkan pandangan. 

Hizkia terkekeh lagi, "Kalau itu barang, aku pasti akan menolaknya, Kak. Tidak sebanding."

Selalu saja ada jawaban Hizkia.

Tidak diragukan sebab ia sama seperti mendiang suami Ruth yang seorang pengusaha, lihai memilih kalimat demi kalimat.

"Lalu, bagaimana dengan kekasihmu, siapa itu namanya...?" tanya Ruth menyelidik.

"Naomi, Kak. Kami... Kami sudah putus baik-baik," jawabnya sambil mengendikkan bahu.

Tapi, siapa yang tahu mereka putus baik-baik atau ada yang patah hati?

Ruth tidak ingin berbuat kesalahan dengan menerima pernikahan ini. Dia tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Ruth akan tetap kekeh menolak Hizkia.

"Kapan Abang memintamu untuk menjaga Kakak dan Elkana?" tanya Ruth mendalam.

"Sudah lama, Kak."

Ruth agak terkejut. 

"Seberapa lama?" selidik Ruth tidak sabar.

"Tiga tahun yang lalu, Kak." jawabnya.

"Apa???" Nafas Ruth tercekat di tenggorokan.

Tiga tahun yang lalu, mendiang suami Ruth sudah tahu akan meninggalkannya untuk selamanya. Tapi...

"Maksudmu, kamu tahu kalau Abangmu sudah sakit kanker sejak tiga tahun lalu? Mengapa kamu diam dan tidak memberitahukan Kakak? Kakak tahu setelah stadium akhir. Persekongkolan yang buruk. Kamu jahat!" Suara Ruth bergetar geram sambil menunjuk-nunjuk Hizkia. Matanya berkaca dan dada sesak.

Ruth tidak pernah semarah ini pada Hizkia.

Jangankan marah, berteriak padanya pun Ruth tidak pernah.

Mereka cenderung tidak banyak komunikasi saat tinggal bersama. Kini, Ruth sulit menerima kenyataan yang diungkap Hizkia. Semua ini membuatnya semakin yakin untuk menolak tawaran menikah dengan mantan adik iparnya itu.

"Saat itu, Kakak tengah mengandung. Abang tidak mau menyampaikannya sebab akan menjadi beban pikiran Kakak." Badan Hizkia menegak agar Elkana tidak melihat ibunya yang mulai mengeluarkan air mata.

"Kalian...." suara Ruth tercekat di tenggorokan. 

"Kak, jangan marah pada mendiang Abang." Kalimat Hizkia memutus ucapan Ruth.

Ruth mengangkat kepala dan memandang Hizkia yang merasa tak bersalah dengan kerjasama konyol antara abang adik keluarga Perkasa Alamsyah.

"Aku marah padamu! Kamu menuruti semua yang mendiang Abangmu katakan. Sampai tidak bisa memilah mana yang harus dilakukan mana yang tidak!" Ruth masih terus menggerutu.

"Kak, yang lalu telah terjadi. Elkana sekarang lahir dalam kondisi yang sehat. Namun, waktu kami mengetahui penyakit Abang, kakak sedang mengandung hamil enam bulan dan pernah mengalami insomnia dan flek," jelas Hizkia.

Bagaimana Hizkia bisa tahu hal ini?

Melihat keraguan di wajah Ruth, Hizkia seolah dapat menebak isi hatinya. 

"Abang pernah bilang begitu padaku. Jadi, Abang minta agar jangan menambah beban pikiran Kakak. Abang mau Kakak sehat dan Elkana lahir selamat," lanjut Hizkia.

Mama Elkana tak menyangka mendiang suaminya setegar itu. Pria itu adalah orang baik dan perhatian. Memang, beberapa kali dalam masa kehamilan, mendiang meminta Hizkia yang mengantar Ruth untuk cek kandungan. Tak disangka, itu bagian rencana mendiang suaminya masa itu.

Dilanda rasa gusar di hati, Ruth mendatangi makam mendiang suaminya sehari setelah pertemuannya dengan Hizkia.

Siang itu hari Sabtu.

Ia bersama Elkana bersiap untuk ziarah. Baru akan menutup pintu gerbang rumah, sebuah mobil berhenti.

Hizkia keluar dari mobil. Pria itu sebelumnya tidak memberitahukan bakal datang ke rumah Ruth.

 "Mau ke mana, Kak?" tanya Hizkia. 

 "Mau ziarah," pendek Ruth.

 Elkana senang melihat adik mendiang ayahnya. Ia tersenyum dan minta digendong oleh Hizkia. Pria itu mengulurkan tangan.

 "Aku anter ya," sembari menawarkan jasa Hizkia berbalik menuju pintu depan penumpang untuk membuka pintu menyilakan Ruth masuk.

 Ruth bergeming di tempat. Kakinya kaku untuk melangkah ke dalam mobil Hizkia.

 "Ayo kak! Katanya mau ziarah," ajakan Hizkia menyadarkan Ruth.

 Akhirnya ia masuk dan menutup pintu.

Ruth memilih duduk di bangku penumpang bagian belakang, setelah mengambil Elkana dari gendongan Hizkia. 

Kini Hizkia yang terdiam. Senyum samar menghias wajah dinginnya.

Ditutupnya pintu, duduk di bangku driver lalu menyalakan mesin.

"Kita jalan ya Bu," ledek Hizkia dari spion dalam pada Ruth seperti seorang driver taksi.

Ruth melirik sekilas, ia hanya dapat melihat bibir Hizkia saja. Spontan ia mengalihkan pandangan ke arah Elkana.

Sesampainya di lokasi pemakaman, hati Ruth dilanda duka.

Sambil berjalan menuju makan kembali ingatannya terbang ke masa lalu, masa yang indah bersama mendiang suaminya.

 Setiba di makam mendiang suaminya, tangis tak terbendung keluar karena kesedihan hati Ruth. Ia tak mampu berkata-kata hanya isakan terdengar. Melihat mamanya menangis, Elkana pun turut menangis di gendongan Hizkia.

Pria itu mengambil inisiatif menjauh dari Ruth sejenak. Ia membawa Elkana keliling sebentar dan menenangkan anak mendiang abangnya itu.

Ruth menepuk dadanya, sakit di dalam hatinya.

Ia mengetahui bahwa seharusnya ia telah mengikhlaskan mendiang suaminya agar beroleh ketenangan. Namun, ia manusia biasa yang juga jatuh dalam kesedihan meski berupaya ikhlas.

"Aku datang lagi," sambil sesenggukan ia menebar bunga-bunga di makam mendiang suaminya.

"Aku harap kamu telah tiba di surga yang indah. Aku merindukan kamu dan kenangan kita." Angin semilir menerbangkan anak rambutnya.

"Elkana sudah besar, wajahnya makin mirip kamu." Ruth sedikit tertawa meski ia menangis.

"Aku... tidak mengerti maksud kamu...  sewaktu mendengar aku dilamar oleh adik kamu, rasanya sulit untuk percaya. Bahkan, aku tidak terpikir untuk menikah kembali." Ruth mengusap perlahan air matanya.

"Bahkan, aku menyusun rencana untuk kembali ke Palembang," Ruth melanjutkan, "tapi ... aku mencoba menerima wasiat kamu ini ... " Ruth terisak kembali.

"Semoga aku bisa hidup bahagia dalam perkawinanku nanti. Aku akan membesarkan anak kita, Elkana. Mungkin ... " Ruth tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Kapan-kapan aku datang lagi ya."

Ia memanjatkan doa dalam hati untuk ketenangan mendiang suaminya. Menaruh buket bunga di depan nisan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status