“Ya Allah Bang, gara-gara trauma kejepit resleting Abang sampai tidak mau di sunat?" ucapku menahan tawa. Aku tidak habis fikir. Terlalu banyak masalah Bang Kay ku sayang. Untung aku sangat mencintainya sampai keteteran. Kalau tidak ...."Sakit banget loh Dek kejepit resleting itu, lebih sakit daripada melahirkan. Kejepit aja sakit apalagi dipotong."“Ih, ga samalah Bang,di sunatkan dibius dulu. Engga di sunat bukan berarti ga bisa 'kan Bang? gimana kalau tetap di lanjutkan aja malam ini.” ajakku pada Bang Kay, mumpung masih berpakaian dinas lengkap.“Ga bisa Dek …kata orang di kampung, sunat itu wajib hukumnya bagi laki-laki. Tidak boleh mencampuri istri kalau belum sunat. Di kampung Abang, orang-orang yang muallaf sebelum menikah disunat terlebih dahulu. ““Udah tau sebelum menikah wajib disunat, kenapa ngga sunat dulu?” tanyaku menahan kesal.“Kan udah Abang bilang, Abang takut disunat. Membayangkan saja ga sanggup Dek, itu yang dipotong barang yang vital, bukan motong kuku atau ra
Sudah sore, aku tidak sadar sudah berapa lama aku ketiduran. Kulihat Bang Kay diruang tamu, duduk menyilangkan kaki sambil membaca Koran. Ada segelas kopi dihadapannya. Ah … dia suami yang selain baik juga begitu pengertian. Dia tau aku lelah sehingga dia tidak membangunkanku untuk membuatkan kopi untuknya.“Sayang, sudah bangun?” ucap Bang Kay, terkejut melihatku didepan pintu kamar dengan rambut acak-acakan.“Masih capek? Kucingmu sudah datang tuh Dek.” ucap Bang Kay menunjuk keteras rumah.“Jam berapa datangnya Bang?” tanyaku senang.“Belum lama Dek, barusan sampai diantar travel.” jawab Bang Kay.‘Meong … meoong … meoong ….’ Terdengar suara merdu kucing Persia yang semalam kami beli di kota. Segera ku kucucir rambutku dan berlari kearah teras rumah.“Duh … sayang, lucunya kamu. Bulu mu indah sekali.” ucapku mengelus kucing Persiaku.“Siapa ya namamu, Gimana kalau aku panggil Lani mau? biar mirip sama Bang Kaylani.” sambungku, mengajak kucing bicara seolah-olah dia akan mengerti ka
“Bang, Maya ke klinik ya.” Aku pamit kepada Bang Kay.“Abang antar ya Dek?”tawar Bang Kay.“Adek pergi sendiri saja, Abang jagain Lani aja dirumah, nanti kalau ikut Abang malu.”“Loh mau kemana? Malu kenapa?”“Maya mau cari dokter yang bisa nyunat Abang.”“Abang bisa cari sendiri Dek, besok Abang cari.”“Emang abang nggak malu? Sudah menikah aja Abang belum berani cari tukang sunat.”ucapku, Bang Kay terdiam dengan jawabanku, dia tak bisa menghindar lagi, sampai sekarang dia masih belum berani disunat.“Cari dokter yang laki-laki ya Dek.” Akhirnya Bang Kay bersuara juga.“Ya iyalah Bang …. masa’ iya Maya carikan dokter cewek untuk melihat dan mengobrak-abrik perabotan Abang? Maya saja yang istri Abang belum pernah lihat perabotan Abang, mana mungkin Maya ikhlas ada wanita lain yang melihatnya.”“Oke Dek, carilah! ucap Bang Kay memberi izin kepadaku.Aku mencium tangan Bang Kay dan melangkah keluar rumah kemudian menaiki motor dan menstaternya, angin menerpa wajahku, sejuk dan nyaman. F
“Kek Burhan, sudah sampai disini? Kok tau rumah Maya?” ucapku.“Kamu kenal Kakek Burhan?” Bang Kay kaget. Aku tersenyum dan mengangguk.“Wah hebat kamu Nak, kamu tau dimana kakek bersembunyi.” seloroh Kek Burhan.“Ini rumah saya Kek.”balasku tersenyum.“Hah kalian tinggal satu rumah?”“Maya ini istri saya Kek!” Bang Kay menjelaskan.“Oh istri kamu Kay. Selamat ya! jadi yang mau disunat itu anak kalian? Kata Nak Maya yang mau disunat muallaf.”“Saya yang mau disunat kek. Saya belum sunat!” Bang Kay menjawab mantap.“Jangan bercanda ah, nggak lucu.” Kek Burhan tampak tersinggung dengan jawaban Bang Kay.“Benar Kek, Bang Kaylani belum disunat. Saya mencarikan mantri sunat untuk Bang Kaylani.” Aku meyakinkan.Kek Burhan tampak masih ragu. Dia diam dan membuang muka kearah luar. Lansia secara psikologis memang sangat mudah tersinggung. Mungkin dia merasa sduah di permainkan, padahal, aku sungguh-sungguh serius membutuhkan jasanya.“Gimana ni Kek, sunatlah saya sekarang, mumpung hari ini sa
“Aduh … Gimana ini.” ucap Bang Kay khawatir, Aku dan Bang Kay bingung. Kami benar-benar tidak tau apa yang harus dilakukan.“Aduh ... sakit.” ucap Bang Kay merintih.“Kenapa Bang? Apakah lukanya berdarah?” tanyaku cemas.“Nggak tau nih. Dibalut kain kasa, nggak keliatan ada darahnya, tapi sakit sekali, nyut-nyutan.” ucap Bang Kay kembali mengeluhkan sakitnya barang miliknya.“Sini Maya periksa!” ucapku menawarkan diri.Aku masuk kekamar mandi. Bang Kay kaget dan gelagapan menarik sarungnya, Bang Kay menutup barang berharga miliknya, aku mendekat dan berniat melepas sarung Bang Kay.“Eh Adek mau ngapain?” ucap Bang Kay kaget.“Mau periksa lah Bang!” sahutku.“Nggak perlu Dek, Abang bisa periksa sendiri.” Bang Kay menolak.“Sama istri sendiri saja malu? Nanti juga pasti Maya lihat Bang.”“Itu ‘kan pada waktu nya Dek, bukan sekarang. Malu ah dilihat orang dalam kondisi begini.”“Terserah Abang sajalah.” sungutku kesal.Lagi, Bang Kay memperlakukanku seperti ini. Aku selalu sabar dengan s
“Dek, kan Abang sudah sembuh dari sunat, berarti nanti malam ‘kan udah bisa dong kita bulan madunya.” ucap Bang Kay. Aku dan Bang Kay sedang menonton di ruang tamu. Aku berbaring di atas lengan Bang Kay, sembari menonton Tv. Sedangkan Bang Kay dengan di topang tumpukan bantal menatapku dari atas sembari memainkan ujung rambutku.“Mmmm, Maya ga mimpi ‘kan Bang? Barusan Abang ngomong apa? Ulangi!” ucapku mengalihkan pandangan dari Tv ke mata Bang Kay. Sebenarnya aku mendengar kata-katanya, tapi aku iseng untuk pura-pura tidak dengar. Aku ingin memastikan apakah Bang Kay suamiku, betul-betul mau mengajakku berbulan madu? Selama ini ‘kan, boro-boro mengajakku bulan madu, ku Rayu saja Bang Kay selalu menolak.“Abang bilang, nanti malam, kita bulan madu. Ya!” ucap bang Kay meyakinkan.“Kenapa tidak sekarang aja Bang?” tanyaku sembari menggigit jari malu-malu.“Sekarang ‘kan Abang belum mandi.” Jawab Bang Kay, mengalihkan pandangannya ke Tv.“Bang, selama satu tahun belakangan ini, Maya sela
Aku masuk kedalam rumah, ku naikkan ujung dasterku hingga sepinggang, kemudian kuikat kencang supaya tidak terjatuh dan mengganggu aksiku. Hiasan-hiasan dekorasi kamar pengantinku dulu, masih tersimpan apik di dalam koper. Aku akan segera memasangnya.Dengan cekatan, kamar kuhias seindah mungkin, tidak lupa kusediakan secangkir madu di atas meja, dan beberapa piring kecil untuk tempat lilin nantinya. Ku fikir, dengan mendekor kamar dengan konsep reman-remang, akan menambah romantisnya suasana.Sedang asik-asiknya mendekor, suara Adzan Ashar menghentikan aktifitasku sejenak. Setelah adzan Ashar berhenti, aku segera menyelesaikan pekerjaanku menghias atau mendekorasi kamar. Setelah selesai mendekor, aku shalat ashar, kemudian memasak makanan kesukaan Bang Kaylani. Ayam sambal.“Assalamualaikum.” Terdengar olehku ucapan salam dari suamiku, diiringi suara mobil. Sepertinya tu Bang Kaylani dan mobil yang membawa spring bed kami.“Waalaikum salam, ucapku meninggalkan ayam yang baru saja ku
Perpaduan gaun putih dengan nuansa gelap nan temaram, sangat serasi, membuat penampilanku menarik sempurna, pasti Bang Kay yang melihatku akan klepek-klepek.Ckleek, gagang pintu kamar terbuka. Kulihat Bang Kay tersenyum mengembang ke arahku. Dia datang mendekat dan mencium keningku. Sebelum kami betul-betul berbulan madu, aku dan Bang Kay terlebih dahulu saling merayu, dan memuji.“Indah sekali, matamu ini sayang … bagai bintang berkilau dimalam hari.” ucap Bang Kay.“Abang juga, semua yang ada pada diri Abang sangat mempesona.” balasku berbisik di telinga Bang Kay.Suara angin malam masuk dari celah-celah jendela, menambah khidmat nuansa bulan madu kami. Lama sekali malam ini kutunggu-tunggu, akhirnya terjadi juga setelah melalui malam yang panjang. Aku tidak sabar.“Maya pengen anak berapa dari Abang?” tanya Bang Kay di telingaku, masih sambil merayu.“2 Bang, kembar.” balasku. “Kalau Abang pengen punya anak berapa?” tanyaku kembali.“Sebanyak mungkin, Dek Maya, siap mengandung zur