LOGINPintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan.
Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra cepat, menahan napas. “Kok bisa. Kamu kan anak tunggal Cassie. Kok bisa punya kakak?” Tanya Liora, mengernyit tak mengerti. “Kakak tiri.” Lioran mengangguk paham. “Jadi, Papa kamu nikah lagi?” “Iya. Papa aku baru saja melangsungkan pernikahan, tadi pagi.” “Kok—” “Nanti aku jelasin. Ceritanya panjang. Oh ya, Ra, ini Rexa.” Potong Cassandra, mengalihkan topik dan segera memperkenalkan Rexandra. Liora mengerjap, memandang pria yang kini berjalan mendekat ke arahnya, begitu rupawan. “Rexa. Kakaknya Cassie.” Sapanya ramah, mengulurkan tangan, membuat Liora tertegun dengan mata yang tak berkedip, terlalu terpesona. “Liora. Sahabatnya Cassie.” Balas Liora, menjabat tangan Rexandra, tatapannya masih tak beralih. Rexandra terkekeh kecil, satu alisnya terangkat naik, memandang tangannya yang masih dijabat tangan gadis itu. “Bisa lepaskan tangannya?” “Eh, Sorry … kak Rexa.” Liora buru-buru menarik tangannya, melepaskannya dari Rexandra. “Oke.” Rexandra hanya tersenyum, tak terlalu peduli, dan justru malah sibuk memainkan rambut Cassandra dengan jahil, membuat gadis itu mendelik. “Cassie, kamu mau kemana? Kok beresin semua barang kamu?” Liora melirik dua buah koper yang sudah tergeletak di lantai dan tas kecil dengan dahi berkerut samar. “Aku mau pulang, Ra. Aku—” “Cassie pindah.” Potong Rexandra cepat. “Dia tidak akan tinggal di asrama lagi.” “Apa? Kok bisa?” “Nanti aku jelasin, Ra. Tapi enggak sekarang. Aku pulang dulu, ya.” Cassandra mendekat, lalu memeluk tubuh sahabatnya itu. “Kamu harus cerita. Terutama tentang kakak tirimu itu.” Bisik Liora rendah di telinga Cassandra, entah kenapa membuatnya tak suka. “Hm.” “Sudah beres adik?” “Ayo.” Ajak Cassandra dengan wajah kesal, menyeret kopernya tergesa. Rexandra mengikuti dari belakang, menarik koper yang Cassandra pegang, tapi gadis itu enggan melepaskan. Langkahnya terburu-buru. Di luar, hujan turun lembut. Rexandra segera membukakan pintu mobil depan, tapi Cassandra langsung berjalan ke pintu belakang. “Cassie, duduk depan.” “Enggak.” Cassie membuka pintunya, tapi tangan kekar Rexandra menahannya. “Duduk depan. Aku bukan sopir.” Cassandra menghela napas pendek, lalu berjalan ke depan, masuk dan mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang. Di dalam mobil, tak ada percakapan sama sekali. Hanya suara wiper yang beradu dengan kaca dan desiran hujan di atap mobil. Cassandra bersandar di kursi, melirik ke luar jendela, tapi pikirannya jelas tidak tenang. Bayangan wajah Rexandra tadi, jarak di antara mereka yang terlalu dekat, napasnya yang sempat terasa di kulitnya, semuanya kembali menari di kepalanya. Sesekali, Cassandra melirik ke arah Rexandra tanpa sadar. Pria itu mengemudi tenang, dengan rahang tegas dan garis rahang wajah yang sulit diabaikan. “Cassie, sadar.” Gumamnya pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan yang lenggang. Begitu mobil berhenti di pelataran rumah, Cassandra cepat-cepat keluar sebelum Rexandra sempat membuka pintu untuknya. Gadis itu membawa dua kopernya susah payah, berjalan masuk ke rumah yang sepi. Hanya lampu lorong yang menyala, menerangi lantai marmer yang memantulkan bayangan mereka. “Aku bantu.” Ucap Rexandra, menarik gagang kopernya. “Gak usah,” tolak Cassandra cepat. Rexandra membuang napas, menyusul langkah cepat Cassandra, kemudian mengangkat koper besar di tangan kiri Cassandra dan menarik koper satunya dari tangan kanan gadis itu sambil menyelipkan tas ransel di atasnya. “Aku bisa sendiri.” “Kamu udah ngos-ngosan gitu.” Rexandra melirik wajah pelipis dan dahi Cassandra yang penub keringat. “Dari dulu kamu gak bisa kecapean.” “Jangan samain dengan dulu. Aku enggak kaya gitu lagi. Siniin kopernya, Rexa!” Tapi Rexandra sudah berjalan dengan langkah lebar, meninggalkan Cassandra jauh di belakangnya. “Rexa!” “Panggil kakak.” Sahut Rexandra, menoleh menatap Cassandra dengan senyum jahil. “Menyebalkan seperti dulu.” Gumamnya setengah pelan, menatap punggung tegap itu dari belakang, berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya saking kesalnya. Kaki kecilnya menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah gontai, sambil sesekali mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan. Begitu melihat Rexandra masuk ke kamarnya, mata jernih Cassandra membola. “Rexa? Bagaimana bisa dia masuk ke kamarku begitu saja?” Geramnya kesal, lalu mempercepat langkah dan masuk ke kamarnya. Rexandra terdiam di depan pintu, matanya memandang sebuah preserved rose merah muda di dalam kotak kaca kecil, masih seindah dulu. Rexa menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Masih kamu simpan.” Cassandra berdehem kecil, langsung gugup dan berjalan menutupi bunga itu dari pandangan Rexandra. “Aku gak sempat buang.” “Bukan gak sempat,” gumamnya, langkahnya mendekat perlahan. “Kamu emang gak mau buang!” Bisiknya dengan tatapan menggoda. Cassandra menatapnya, lalu mundur satu langkah sambil mendorong tubuh pria itu. “Keluar sekarang.” Rexandra diam sesaat. Matanya menelusuri wajah Cassandra yang kini sedikit memerah, lalu pria itu pun mengangkat tangan. “Aku balik kamar. Telepon kalau kangen.” Cassandra melongo mendengar ucapan itu. Buru-buru dia menutup pintu, memastikan Rexandra keluar dari kamarnya. “Huh.” Cassandra menarik napas panjang, bersandar di depan pintu dengan dada yang bergemuruh. “Kenapa seperti ini?” Gadis itu menekan dadanya, berusaha menenangkan degup yang liar. Cassandra pun masuk ke kamar mandi, berusaha mengusir bayangan Rexandra. Selesai mandi, gadis itu meraih kimononya, memakainya di tubuhnya yang ideal. Gadis itu kini berdiri di depan cermin, menatap refleksi dirinya. Mata sayu, wajah merah, dan rambut basah yang menempel di pipi. “Cassie, rileks.” Klik! Tiba-tiba lampu padam. “Eh …,” gumamnya pelan. “Listriknya mati?” Cassandra refleks mendongak menatap lampu yang mati. Dia pun menarik napas, berusaha tidak panik. Suara hujan terdengar makin deras di luar, disertai petir yang menyambar sesekali. Cassandra berjalan perlahan keluar kamar mandi dengan tangan yang meraba-raba, berniat mencari ponsel atau senternya, apapun yang bisa menjadi sumber penerangan. Kamar gelap. Kilatan petir sesekali menerangi ruangan, memantulkan cahaya putih di dinding. Udara lembap membawa aroma sabun dan bunga mawar kering dari preserved rose di meja rias. Cassandra berjalan pelan ke arah meja, tapi langkahnya tiba-tiba berhenti. Di balik tirai jendela, samar-samar terlihat bayangan seseorang—Tinggi, tegap, dan idak bergerak. Kilatan petir berikutnya membuat bayangan itu tampak lebih jelas. Siluet hitam berdiri di luar, menatap ke arah kamar. Jantung Cassandra nyaris copot, wajahnya memucat, kedua tangannya meremas kimononya gugup. “Siapa itu?!” bisiknya nyaris tanpa suara.“Rexa?” Rexandra menoleh, hingga netra elangnya bertemu dengan mata indah Cassandra. “Halo, adik.” Suara Rexandra rendah, dalam, serak. Wajahnya tenang, dan sebuah senyum miring tersungging di bibirnya. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Cassandra naik setengah oktaf. Alisnya berkerut tajam. Rexandra menoleh perlahan, tatapannya santai. “Nongkrong.” Jawabnya pendek. Cassandra pun memutar bola matanya, mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Jangan bohong. Apa kamu ngikutin aku?” Tanyanya penuh selidik. Rexandra mengangkat sebelah alis, lalu berdiri perlahan, mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. Cassandra langsung mundur setengah langkah. “Aku lagi nongkrong. Boring di rumah. Kenapa sepede itu bilang aku ngikutin? Atau pengen diikutin?” “E—engga.” Cassandra tergugup, menahan napas. Rexandra yang melihat terkekeh pelan. “Tadi di parkiran,” ucap Rexa rendah. “Kamu ngehindar dicium cowok kamu?” Cassandra langsung membelalakan mata. “Kamu masih bilan
Cassandra membeku. Bibirnya kaku, matanya terbelalak lebar. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis itu bisa merasakan hangat dan tekanan dari bibir Rexandra yang menempel di bibirnya—tebal, kuat, dan terlalu dekat. Detik berikutnya, tubuhnya bereaksi tanpa berpikir. “Mmph!” Cassandra mendorong keras dada pria itu dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga. “Shhh ….” Rexandra mendengus tertahan. Kakinya mundur setengah langkah, terpaksa melepaskan tautannya. Setetes darah segar mengalir di sudut bibirnya, ulah Cassandra. Namun bukannya marah, Rexandra justru tersenyum miring. “Kamu gila!” Cassandra memegang bibirnya sendiri, wajahnya merah padam karena marah dan kesal. “Gila?” Rexandra mengulang perkataan Cassandra dengan santai. “Kita sekarang itu kakak-adik, Rexa!” Rexandra menyeka darah di bibirnya dengan ibu jari, menatapnya tenang. “Kakak-adik? Kita bahkan nggak sedarah.” Nada bicaranya rendah dan dalam, menusuk langsung ke dada Cassandra. Cassandra memalingkan w
Cassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar. Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan har
“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas. Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tub
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan. Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra c
Ruang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku.Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]”Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.”







