LOGIN“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas.
Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tubuh Cassandra terhenti di lengan kokohnya, begitu dekat hingga dia bisa mendengar denyut nadi di lehernya sendiri. Handuk kimono nya sedikit tersingkap di sisi paha, memperlihatkan kulit putih mulusnya yang bergetar karena dingin. Udara di ruangan itu seketika menegang, panas, dan canggung. Rexandra meneguk salivanya, jakunnya naik-turun cepat, dan dadanya bergemuruh panas kala netra elangnya memandang bagian itu. “R-rexa … lepasin aku.” Pinta Cassandra meminta, tapi nadanya lirih dan gugup. “Hm?” Rexandra hanya bisa bergumam, matanya tak berkedip sedetikpun. “Rexa ….” Panggil Cassandra lagi, suaranya makin pelan, nyaris berbisik. “Iya?” “Lepasin.” Cassandra menahan napas, suaranya bergetar. Gadis itu menatap netra gelap di hadapannya dengan tangan gemetar yang masih melingkar di leher lebar pria itu. Rexandra tidak segera melepaskan. Sebaliknya, pria itu makin menarik pinggang ramping Cassandra, membuat jarak diantara mereka kian tipis. Napas Cassandra semakin tersendat, wajahnya memanas. “Kamu masih sama seperti dulu, selalu panik setiap aku muncul tiba-tiba.” Bibir tebal Rexandra terangkat, membentuk senyum kecil. “Aku nggak panik.” Elak Cassandra cepat. Tangannya perlahan turun dari leher Rexandra, tapi Rexandra lagi-lagi menarik pinggang gadis itu hingga tubuh keduanya menempel, membuat Cassandra terbelalak. “Rexa. Aku minta kamu buat lepasin.” “Kenapa? Takut?” tanyanya lembut, jemarinya tanpa sadar menyinggung kulit di sekitar kaki Cassandra, dan seketika gadis itu tersentak, tubuhnya menegang, dan jantungnya berdentum keras. Cassandra tidak bergerak, tapi juga tak sanggup menatap balik. Ada sesuatu yang menyesakkan—bukan karena takut, tapi karena terlalu familiar. Sentuhan itu … dulu selalu membuatnya terbuai. “Rexa …,” Cassandra memanggil namanya lagi dengan lirih. “Jangan begini.” Ujarnya memelas, tapi tubuhnya justru tak menolak kala jemari berurat Rexandra menelusuri lekuk tubuhnya. “Begini bagaimana?” Bisik Rexandra rendah di telinganya, sampai hembusan napas hangat yang beraroma mint itu tercium. “Bukankah kamu sangat menyukainya dulu?” Jemarinya makin bergerak naik, menyusuri kulit di sekitar kaki mulus Cassandra. “Emhh ….” Lenguhan itu lolos begitu saja dari bibir mungil Cassandra, matanya tanpa sadar tertutup. Gadis itu bahkan tak pernah membiarkan Ervan menyentuhnya, tapi seketika pertahanannya runtuh kala Rexandra yang melakukannya. Cassandra tahu harus menolak, tapi tubuhnya justru meminta lebih. “Apa kamu pernah disentuh seperti ini oleh pacarmu?” Tanya Rexandra, tatapannya tajam, nada bicaranya dingin dan menusuk. Seketika Cassandra teringat Ervan. Mata gadis itu terbuka lebar, tangan kecilnya mendorong tubuh Rexandra menjauh, dan dengan cepat dia membenarkan kimononya yang tersingkap. Rexandra terkekeh gemas melihat ekspresi panik Cassandra. Hening. Hanya ada suara hujan yang enggan berhenti dan napas Cassandra yang memburu. Tiba-tiba saja, ponsel Cassandra berdering, membelah ketegangan dan kecanggungan momen yang nyaris intim itu. Cassandra yang panik buru-buru menoleh, melihat ponselnya yang menyala terang di atas meja. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati, karena suasana kamar yang masih gelap. Tangannya terentang mencari pegangan. Klik! Cahaya terang seketika menyoroti langkahnya. Rexandra menyalakan senter di ponsel, menerangi langkah gadis itu. Cassandra menoleh sebentar, lalu melanjutkan langkah, menyambar ponselnya dari atas nakas. Layar menyala terang, menampilkan nama Papa. Panggilan video. Wajah Cassandra memucat seketika. “Papa? Video call?” “Kenapa panik?” Cassandra tak menjawab membuat Rexandra penasaran, kemudian menghampiri gadis itu, melirik panggilan video yang terpampang. “Papa nelepon, gak diangkat?” “Pergi. Papa bisa salah paham.” “Salah paham? Kenapa?” Tanya Rexandra, satu alisnya terangkat naik. “Bukannya dengan aku disini, kamu aman? Posisi lagi mati lampu, papa bisa khawatir parah kalau tahu anak gadisnya sendirian.” Cassandra mendengus, wajahnya merah karena kesal. Gadis itu lupa jika Rexandra sangat mengenalnya. Dengan tangan yang gemetar, dia menekan tombol hijau, menjawab panggilan video itu. “Halo, Pa?” Suaranya setengah bergetar, berusaha terdengar normal. Di layar muncul wajah Alex dan Lilian, masih di dalam mobil, hujan menetes di kaca belakang mereka. “Sayang, kok gelap?” “Lampunya mati, Pa.” Jawab Cassandra sambil melirik Rexandra yang berdiri di hadapannya. Wajah Alex langsung panik, begitu juga dengan Lilian. “Sayang, tapi kamu tidak apa-apa, kan?” “Aku enggak apa-apa kok, Pa.” “Rexa dimana? Apa anak itu sudah tidur? Biar mama telepon kakak kamu dulu, ya.” “Ayo telepon. Aku khawatir.” Baru saja Lilian mau menelepon Rexandra, pria itu sudah berdiri di depan layar, menyapa keduanya. Cassandra tentu kaget karena gerakan Rexandra selalu tiba-tiba. Sementara Lilian dan Alex sedikit terkejut tapi juga lega. “Rexa?” “Papa sama mama tenang aja. Aku bakal jagain Cassie. “ “Syukurlah. Mama kira kamu sudah tidur.” “Mana mungkin. Aku tentu harus menjaga adik dan memastikan keamanannya. Aku takut adik ini ketakutan. Makanya aku stand by.” Cassandra bergerak gelisah, napasnya tercekat saat Rexandra terus memperpendek jarak. Bahu mereka nyaris bersentuhan dan tangan pria itu bergerak pelan, menyentuh kulit di sekitar kaki Cassandra lagi, hangat kontras dengan dingin udara. Cassandra menegang. Tapi dia tak berani bereaksi, hanya berusaha tersenyum ke arah kamera. “Rexa, tolong jaga Cassie, ya. Dia itu memang tidak terlalu takut gelap, tapi mudah panik. Papa takut Cassie kenapa-napa.” “Papa tenang aja. Aku tidak mungkin membiarkan Cassie kenapa-napa.” “Jika begitu papa bisa tenang.” Alex tersenyum hangat, lalu menatap Cassandra. “Sayang, kamu baik-baik di rumah, ya. Nurut sama kakak kamu.” “Iya, Pa.” Cassandra tersenyum kikuk, satu tangannya menahan pergerakkan tangan Rexandra di bawah sana. “Rexa, jagain adik kamu. Jangan suka iseng.” Lilian menambahkan. “Mana mungkin aku jahilin Cassie.” Rexandra menunduk sedikit, bibirnya melengkung tipis di telinga Cassandra, suaranya nyaris tak terdengar, “Jangan gemetar begitu, adik.” Bisiknya. Cassandra hanya menahan napas, berusaha tetap tenang tapi tubuhnya sudah bergetar dibuatnya. "Rexa ..., " Tangannya yang lemah mencoba menahan tangan Rexandra yang bergerak naik turun di pinggangnya, tapi sentuhan itu terlalu memabukan. "Bukankah dulu, kamu sangat menyukainya? Cassie, sayang?"“Rexa?” Rexandra menoleh, hingga netra elangnya bertemu dengan mata indah Cassandra. “Halo, adik.” Suara Rexandra rendah, dalam, serak. Wajahnya tenang, dan sebuah senyum miring tersungging di bibirnya. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Cassandra naik setengah oktaf. Alisnya berkerut tajam. Rexandra menoleh perlahan, tatapannya santai. “Nongkrong.” Jawabnya pendek. Cassandra pun memutar bola matanya, mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Jangan bohong. Apa kamu ngikutin aku?” Tanyanya penuh selidik. Rexandra mengangkat sebelah alis, lalu berdiri perlahan, mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. Cassandra langsung mundur setengah langkah. “Aku lagi nongkrong. Boring di rumah. Kenapa sepede itu bilang aku ngikutin? Atau pengen diikutin?” “E—engga.” Cassandra tergugup, menahan napas. Rexandra yang melihat terkekeh pelan. “Tadi di parkiran,” ucap Rexa rendah. “Kamu ngehindar dicium cowok kamu?” Cassandra langsung membelalakan mata. “Kamu masih bila
Cassandra membeku. Bibirnya kaku, matanya terbelalak lebar. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis itu bisa merasakan hangat dan tekanan dari bibir Rexandra yang menempel di bibirnya—tebal, kuat, dan terlalu dekat. Detik berikutnya, tubuhnya bereaksi tanpa berpikir. “Mmph!” Cassandra mendorong keras dada pria itu dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga. “Shhh ….” Rexandra mendengus tertahan. Kakinya mundur setengah langkah, terpaksa melepaskan tautannya. Setetes darah segar mengalir di sudut bibirnya, ulah Cassandra. Namun bukannya marah, Rexandra justru tersenyum miring. “Kamu gila!” Cassandra memegang bibirnya sendiri, wajahnya merah padam karena marah dan kesal. “Gila?” Rexandra mengulang perkataan Cassandra dengan santai. “Kita sekarang itu kakak-adik, Rexa!” Rexandra menyeka darah di bibirnya dengan ibu jari, menatapnya tenang. “Kakak-adik? Kita bahkan nggak sedarah.” Nada bicaranya rendah dan dalam, menusuk langsung ke dada Cassandra. Cassandra memalingkan
Cassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar. Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan har
“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas. Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tub
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan. Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra c
Ruang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku.Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]”Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.”







