MasukRuang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.
Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku. Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]” Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.” “Iya. Aku tunggu.” “Maaf ya, Van. Aku hubungi kamu malam-malam. Tadinya aku mau pulang ke rumah dulu, tapi karena ternyata mama sama papa aku langsung pergi, jadi aku pulang ke asrama nya malam.” “Enggak apa-apa, Cassie. Kamu pacar aku.” “Iya. Makasih ya, Ervan.” Cassandra mematikan sambungannya setelah mengobrol cukup lama dengan Ervan. Gadis itu mendongak menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Entah kenapa hatinya terasa gelisah saat ini. “Langitnya gelap, tanpa bintang.” Suara berat seseorang yang sangat dikenalnya memecah lamunan itu, membuat Cassandra menoleh, menahan napas sepersekian detik. “R—Rexa?” suaranya tercekat, antara kaget dan canggung. Rexandra berdiri santai dengan jas hitamnya yang sudah sedikit berantakan, dasinya longgar, dua kancing kemeja terbuka, memperlihatkan leher lebar nya yang kokoh. Tatapan matanya tajam tapi teduh, dan di tangan kirinya, kunci mobil berayun pelan. Pria itu melangkah mendekat, mengikis jaraknya dengan Cassandra. “Gak usah minta tolong orang.Biar aku yang anter.” Cassandra mengerutkan kening, matanya menyipit tajam. “Kamu denger obrolan aku?” Rexandra hanya terkekeh pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tanpa menjawab pertanyaan gadis itu. Ekspresi Cassandra langsung berubah kesal melihat ekspresi Rexandra. “Gak usah repot. Aku udah dijemput.” ucap Cassandra ketus, matanya kembali ke layar ponsel, mencoba menghindari tatapan yang menusuk itu. “Dijemput siapa?”Tanya Rexandra penuh selidik, auranya berubah dingin. “Pacar.” Balas Cassandra pendek. “Pacar?” Aura Rexandra semakin gelap, tatapannya menusuk. “Cowok yang tadi pagi?” “Iya.”Jawab Cassandra tanpa melihat netra dingin yang menelanjanginya itu. “Gak bisa.” Rexandra menatap Cassandra dalam, satu tangannya terselip ke saku celana. “Harus aku yang nganter. Aku harus jagain kamu.” “Aku gak perlu kamu jagain,” katanya dengan lirih tapi tegas. “Papa kamu yang minta,” sahutnya cepat. “Pa—” “Benar.” Sahut Alex, berjalan beriringan dengan Lilian, tampak tersenyum menghampiri keduanya. “Papa.” “Cassie, Papa sudah menyuruh Rexa untuk mengantar kamu kembali ke asrama.” Ucap Alex lembut. “Papa sama Mama juga sudah berdiskusi, akan lebih baik jika kamu tinggal di rumah saja. Tidak usah di asrama.” “Pa, maksud papa?” Dahi Cassandra berkerut, matanya memicing. “Kamu pindah. Tinggal di rumah bersama kakak kamu.” “Pa … gak bisa.” Rengek Cassandra, netra cokelatnya membola. “Kenapa tidak bisa?” “Papa tahu jarak dari rumah ke kampus cukup jauh.” “Ada Rexa. Dia bilang dia bisa antar-jemput kamu tiap hari. Benarkan, Rexa?” Alex menoleh pada Rexandra yang berdiri di sisi Cassandra. “Tentu, Pa. Aku bisa antar-jemput adikku ini.” Jawab Rexandra sambil menyeringai tipis. “Lagipula … Cassie ini perempuan, cantik juga, jika dia tinggal di asrama tanpa pengawasan justru bahaya.” Alex mengangguk setuju, begitu juga dengan Lilian. “Benar kata Rexa, Sayang.”" “ Lilian berucap lembut. “Zaman sekarang sangat marak pergaulan bebas. Mama khawatir. Jika tinggal di rumah, kan ada Rexa yang jagain.” “Tapi Ma, Kak Rexa pasti sibuk juga sama kerjaannya. Nanti malah ngerepotin.” “Enggak.” Potong Rexandra cepat. “Tidak merepotkan sama sekali jika untuk menjaga adik.” Cassandra mencebik sebal, wajahnya menahan kesal, dan kedua tangan mengepal di samping tubuh. Rexandra yang melihatnya hanya terkekeh gemas. Pak Bagas sudah datang, menyapa dengan sopan. “Nyonya, Tuan. Mobil sudah siap.” Ucapnya pelan sembari membungkuk hormat. “Sayang. Papa sama Mama pergi sekarang. Kamu pulang sama Rexa.” Alex menatap lekat putrinya, menggenggam tangannya beberapa saat. “Rexa, tolong jaga Cassie baik-baik ya.” Titahnya pada Rexandra, tatapannya sangat serius. “Tentu, Pa. Kita keluarga sekarang, dan Cassie adik aku. Jadi sudah pasti aku akan menjaganya.” Cassandra mendelik, tatapannya tak suka. “Sayang, kamu harus jagain adik kamu dengan baik.” Ucap Lilian yang dibalas anggukan oleh Rexandra. “Cassie aman sama aku.” Rexandra meraih tangan Cassandra, menggenggamnya. Cassandra jelas memberontak, tapi tak bisa berkutik sebelum Lilian dan Alex pergi dan masuk ke dalam mobil meninggalkan pelataran hotel. “Lepasin!” Geram Cassandra. Rexandra pun dengan cepat melepaskannya. “Dulu suka loh aku genggam gini.” “Jangan mulai!.” Ucap Cassandra, berjalan cepat membawa tas kecilnya. Gadis itu hampir menumpahkan semua amarahnya jika saja tadi ayah dan ibunya tidak disana. Dia menghela napas, lalu berjalan ke arah lift. Dan Rexandra mengikuti di belakang. Di depan hotel, Ervan masih berdiri menunggu, wajahnya sempat berubah saat melihat Rexandra muncul di sisi Cassandra. “Cassie, aku—” “Dia bareng saya.” potong Rexandra, suaranya datar tapi cukup menusuk. “Cassie, biar aku yang anter.” Ucap Ervan, menatap Cassandra dalam. “Van, maaf ya. Aku pulang sama kakak aku. Nanti aku telepon kamu.” “Tapi—” “Gak denger? Cassie pulang sama saya.” “Kamu tgak berhak ikut campur.” Kata Ervan, menatap tajam pada Rexandra. “Saya kakaknya. Jelas saya punya hak. Kamu hanya pacarnya yang bisa putus kapanpun.” Jelas Rexanda, menatap tak kalah sengit, lalu meraih tangan Cassandra. “Ayo, masuk.” Cassandra menolak, tapi Rexandra menarik tangan itu hingga kaki gadis itu terseret. Klik! Pintu mobil terbuka. “Masuk.” Perintah Rexandra dingin. Cassandra pun menghela napas, menatap kesal pada Rexandra, lalu masuk ke dalam mobil. Rexandra menyusul setelahnya, duduk di kursi kemudi, tersenyum sangat menyebalkan. Mobil pun melaju di jalanan malam Jakarta. Lampu kota memantul di kaca, sementara suasana di dalam mobil lebih dingin daripada AC-nya. “Sudah berapa lama kamu pacaran sama dia?” tanya Rexandra tiba-tiba. Cassandra melirik sekilas. “Ngapain nanya gitu?” “Cuma penasaran. Soalnya, kalau cuma sebentar, aku gak akan repot-repot mikir dia berpengaruh buat kamu.” Cassandra mendengus pelan, menatap keluar jendela. “Bukan urusan kamu.” “Jadi … kapan kalian putus?” suara itu terdengar lebih rendah. Gadis itu membelalak. Tangannya mengepal di pangkuan. “Aku sangat menantikan kamu putus dari pacar kamu itu.” “Jangan harap. Aku tidak akan putus. Kamu terlalu percaya diri.” “Bukan percaya diri.” Rexandra meliriknya sekilas, senyum tipisnya muncul lagi. “Cuma pengen tahu seberapa dalam aku masih ada di kepala kamu.” Cassandra mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rona di pipinya. Tapi di kaca, pantulan wajah mereka terlalu dekat dan matanya menangkap tatapan Rexa yang tak berubah sejak dulu, tajam, menghantam, tapi menyimpan sesuatu yang tak bisa sepenuhnya dia tolak. Setibanya di asrama, Cassandra langsung turun dengan cepat, tapi Rexandra ikut turun tanpa diminta. “Gak usah ikut masuk.” “Aku bantu beresin barang.” “Rexa, aku bilang gak perlu—” Namun pria itu sudah berjalan lebih dulu ke dalam kamar asrama Cassandra yang rapi dan wangi lavender. Dia menatap sekeliling, lalu mulai mengambil beberapa barang, memindahkannya ke koper. “Baju ini masih kamu simpan.” Komentarnya pelan sambil mengangkat kaos oversize hitam yang dulu sering Cassandra pakai diam-diam—kaosnya. Cassandra buru-buru merebut kaos itu dari tangan Rexandra. “Mau aku buang, tapi lupa.” Rexandra tertawa pendek mendengarnya. “Kalau mau dibuang kenapa diletakkan di paling atas?” “Itu—” “Kenapa?” Rexandra menatapnya lekat, mensejajarkan wajah dengan wajah Cassandra. Jarak di antara keduanya begitu dekat. “Bukannya itu artinya kamu sering memakainya?” “Aku—” Bruk! Sesuatu jatuh dari meja, memecah ketegangan diantara keduanya. Mereka serempak menoleh ke arah lantai, melihat sebuah gantungan boneka furyu kecil- kecil warna pastel yang terjatuh—Hadiah pertama yang pernah Rexandra berikan saat ulang tahun Cassandra di tahun pertama mereka pacaran. Cassandra membeku. Rexandra menunduk, memungut benda itu perlahan. Jemarinya menelusuri bulu lembut boneka itu seolah menyentuh kenangan lama. “Masih kamu simpan?.” “Itu cuma boneka,” ucap Cassandra cepat, mencoba merebutnya, tapi tangannya lebih dulu ditangkap Rexanda. Jari mereka bersentuhan, hangat, terlalu lama. “Kalau cuma boneka,” bisiknya, “kenapa kamu simpan di meja belajar, Cassie?” Cassandra hendak menarik tangannya, tapi sesuatu merayap di pergelangan kakinya. Sebuah kabel charger yang tersangkut. Gadis itu refleks mundur, kehilangan keseimbangan, dan tangan kecilnya tanpa sadar menarik dasi Rexandra, membuat pria itu ikut goyah. Bugh! Tubuh mereka jatuh bersamaan ke atas kasur, napas Cassandra tertahan di tenggorokannya. Gaunnya berkerut, rambutnya terurai di atas bantal, sementara Rexandra menahan dirinya dengan satu tangan di samping wajahnya. Mereka saling menatap. Napas keduanya bertaut. Udara di kamar menjadi terlalu tipis. “Sangat cantik.” Bbisik Rexandra, jemarinya menelusuri lekuk wajah Cassandra, membuat Cassandra membelalakan matanya. “Rexa … turun dari tubuhku.” Pinta Cassandra sambil menahan napas. Tapi bukannya turun, Rexandra makin mendekatkan wajah, jaraknya hampir nol hingga gadis itu bisa mencium aroma cologne-nya yang begitu menusuk, dan merasakan detak jantung pria itu yang berdentum di dadanya. “Berhenti ….” suaranya nyaris seperti rintihan, tapi anehnya gadis itu tidak mendorong. Rexandra tersenyum miring, menatapnya lama. “Aku sudah sangat merindukannya.” Ucapnya sambil menatap dalam bibir ranum Cassandra yang sedikit terbuka, lalu hendak menciumnya, tapi suara gagang pintu berputar dari luar. Ceklek!“Rexa?” Rexandra menoleh, hingga netra elangnya bertemu dengan mata indah Cassandra. “Halo, adik.” Suara Rexandra rendah, dalam, serak. Wajahnya tenang, dan sebuah senyum miring tersungging di bibirnya. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Cassandra naik setengah oktaf. Alisnya berkerut tajam. Rexandra menoleh perlahan, tatapannya santai. “Nongkrong.” Jawabnya pendek. Cassandra pun memutar bola matanya, mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Jangan bohong. Apa kamu ngikutin aku?” Tanyanya penuh selidik. Rexandra mengangkat sebelah alis, lalu berdiri perlahan, mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. Cassandra langsung mundur setengah langkah. “Aku lagi nongkrong. Boring di rumah. Kenapa sepede itu bilang aku ngikutin? Atau pengen diikutin?” “E—engga.” Cassandra tergugup, menahan napas. Rexandra yang melihat terkekeh pelan. “Tadi di parkiran,” ucap Rexa rendah. “Kamu ngehindar dicium cowok kamu?” Cassandra langsung membelalakan mata. “Kamu masih bila
Cassandra membeku. Bibirnya kaku, matanya terbelalak lebar. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis itu bisa merasakan hangat dan tekanan dari bibir Rexandra yang menempel di bibirnya—tebal, kuat, dan terlalu dekat. Detik berikutnya, tubuhnya bereaksi tanpa berpikir. “Mmph!” Cassandra mendorong keras dada pria itu dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga. “Shhh ….” Rexandra mendengus tertahan. Kakinya mundur setengah langkah, terpaksa melepaskan tautannya. Setetes darah segar mengalir di sudut bibirnya, ulah Cassandra. Namun bukannya marah, Rexandra justru tersenyum miring. “Kamu gila!” Cassandra memegang bibirnya sendiri, wajahnya merah padam karena marah dan kesal. “Gila?” Rexandra mengulang perkataan Cassandra dengan santai. “Kita sekarang itu kakak-adik, Rexa!” Rexandra menyeka darah di bibirnya dengan ibu jari, menatapnya tenang. “Kakak-adik? Kita bahkan nggak sedarah.” Nada bicaranya rendah dan dalam, menusuk langsung ke dada Cassandra. Cassandra memalingkan
Cassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar. Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan har
“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas. Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tub
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan. Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra c
Ruang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku.Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]”Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.”







