LOGINCassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar.
Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan harinya, Cassandra melenguh pelan, membuka matanya perlahan kala merasakan sinar lembut mentari pagi yang menelusup lewat tirai kamarnya, menyorot wajah cantiknya yang polos tanpa make up. Gadis itu menguap kecil sambil mengusap matanya, lalu mengerutkan dahi menatap jam yang tergantung di dinding. “Tumben bi Marni belum bangunin aku?” Gumamnya pelan sambil menepuk pipinya.”Biasanya Bibi sudah ketuk pintu dan bawain aku sarapan.” Tiba-tiba perutnya mendengkur pelan. Cassandra refleks menunduk, menyentuh perut ratanya. “Ugh, lapar ....” Gadis itu turun dari kasur, menyeret kaki pelan-pelan menuju tangga. Begitu sampai di bawah, hidungnya menangkap aroma yang familiar—hangat, manis, dan sedikit gurih. Roti gandum panggang. Matanya langsung berbinar, langkahnya berubah jadi cepat. “Roti gandum panggang. Hmmm. Makanan kesukaan aku. Pasti bi Marni yang bikin!” serunya kecil, setengah berlari menuju dapur. “Bi Marni, panggang ro—” Cassandra menghentikan ucapannya, begitupun dengan langkahnya kala yang berada di dapur bukan bi Marni, pelayannya, tapi sosok pria tinggi dengan bahu bidang, mengenakan kaos lengan pendek yang menempel pada tubuhnya yang tegap, dan celana jeans pendek memperlihatkan betis berototnya. Pria itu, terlihat sedang membalik roti di atas panggangan, posisinya memunggungi Cassandra, tapi gadis itu tahu siapa yang berdiri disana. Cassandra membeku di ambang pintu. Ingatan semalam saat Rexandra menyentuhnya masih terasa jelas, begitu mendebarkan. Jantung gadis itu tiba-tiba berdebar keras, dan semburat samar menghiasi pipinya yang putih. Napasnya tertahan. Gadis itu perlahan berbalik dengan gugup, kaki telanjangnya menapak pelan agar tidak terdengar, tapi tiba-tiba suara berat itu memanggil. "Cassie, mau kemana?" Cassandra membeku, kakinya berhenti melangkah. "Kenapa balik lagi?" Rexandra berjalan ke arahnya, tersenyum nakal. "Bukannya ke dapur karena lapar? Hm?" "Enggak. Aku enggak lapar kok." Elak Cassandra, buru-buru berbalik, tapi baru saja dia melangkah, sebuah tangan dengan cepat menarik pergelangan tangannya. Tubuh gadis itu berbalik tak terkendali, membentur dada bidang Rexandra membuat jantungnya berdetak keras. “Lepas, Rexa!” Pria itu hanya terkekeh. “Bukannya lapar?” Tanyanya tersenyum menggoda. “Aku udah buatkan menu sehat favorit kamu—Santé, lengkap.” Rexandra menunjuk meja makan. Ada yogurt putih dengan granola dan madu, potongan buah segar, segelas air lemon hangat, serta roti gandum panggang dengan selai stroberi kesukaan Cassandra. Cassandra menelan ludah. Perutnya berdecit lagi, keras kali ini. “Emang nggak lapar?” tanya Rexandra lagi, alisnya terangkat jahil. “Aku nggak—” Tiba-tiba suara perutnya memotong kalimatnya sendiri, kali ini lebih keras, membuat Rexandra tertawa pelan, menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Masih bilang nggak lapar?” Cassandra menunduk dalam, jelas malu karena perutnya tidak bisa diajak kompromi. Rexandra yang melihatnya terkekeh gemas, lalu menarik lengan Cassandra, membuat Cassandra mengangkat wajahnya. “Eh—” “Sarapan dulu kalau lapar.” Ucap Rexandra, menuntunnya duduk di kursi makan, lalu menekan pelan bahu gadis itu. Cassandra pun terduduk kaku. Matanya menatap roti, dan beberapa hidangan favoritnya. “Cassie ini sangat suka sarapan khas Prancis ini. Dulu sering minta dibuatkan.” “Enggak. Aku udah enggak suka.” Elak Cassandra ketus. “Udah enggak suka?” “Iya. Enggak suka.” Rexandra berdiri di belakangnya, membungkuk dekat—terlalu dekat hingga napas hangatnya terasa di lehernya. “Ternyata banyak hal berubah. Dulu Cassie suka makan pedas, tiba-tiba enggak suka. Sekarang Cassie juga sudah tidak suka sarapan Santé?” “Rexa, jangan bahas masa lalu.” Ucap Cassandra dengan napas tercekat, karena jarak Rexandra yang sangat dekat di belakangnya. “Aku cuma mengingatkan.” Tangannya yang besar membimbing tangan Cassie, mengoleskan selai di permukaan roti dengan gerakan lembut. “Rexa, lepasin tangan aku.” “Dulu kamu yang minta aku bimbing gini.” Bisik Rexandra rendah di telinganya. Cassandra menegang, pipinya merona merah. Buru-buru dia menarik tangannyai. “Aku bisa sendiri!” katanya, mengambil alih sendok dengan tangan gemetar. Rexandra tersenyum miring, menegakkan tubuh, mengacak gemas rambut Cassandra. “Sarapan. Jangan pergi.” Kata pria itu, mendudukkan diri di seberangnya. Cassandra mendesah pelan, mulai memasukkan roti itu ke dalam mulutnya. Saat makanan itu masuk, Cassandra berhenti mengunyah. Rasa roti itu masih sama seperti dulu, khas buatan Rexandra. “Bagaimana? Rasanya masih sama seperti dulu?” Lamunan Cassandra langsung buyar. Gadis itu meraih air lemon hangat, meminumnya pelan. “Biasa aja.” Pandangannya menoleh ke sisi kiri kanan, depan belakang, alisnya bertaut dalam, dan keningnya mengerut. “Bi Marni kemana? Kok tumben enggak bangunin aku, dan enggak bikin sarapan. Malah cowok ini yang bikinin sarapan. Kok sepi. Semua orang kemana coba?” Gumamnya pelan sambil berdecak tapi masih bisa didengar Rexandra. “Aku suruh libur.” Suara Rexandra pelan, menjawab kebingungan Cassandra. “Apa?” Mata jernihnya membola, ekspresinya terkejut. “Kamu ngusir mereka?” “Aku cuma suruh libur, bukan ngusir.” Jawab Rexandra enteng, menyeringai tipis. “Mulai sekarang aku yang buatkan kamu makanan, aku juga yang antar jemput kamu ke kampus.” “Kamu—” Cassandra memutar bola mata, setengah kesal, setengah bingung. Belum sempat membalas, ponselnya bergetar. Notifikasi email dari panitia lomba desain muncul—Deadline hari ini. Wajahnya seketika panik. Gadis itu refleks bangkit dari kursi. “Aduh! Aku belum kirim desain aku lagi!” serunya dan berlari ke kamar meninggalkan Rexandra begitu saja. Rexandra hanya duduk santai, menatap punggung yang menjauh itu dengan senyum. Cassandra kini sudah dikamarnya, menyalakan laptop dengan panik untuk mengirimkan desain bajunya. “Duh, kenapa aku bisa lupa. Ini semua karena Rexa. Dia bikin aku nggak fokus.” Jemarinya menekan tombol turn on cukup lama, tapi tiba-tiba layarnya nge-lag. “Kenapa ini? Kenapa nge-lag? Ya ampun … laptop aku.” Cassandra berteriak histeris, wajahnya makin panik. Kaki jenjangnya berlari lagi ke dapur, tapi Rexandra sudah tidak ada. “Rexa kemana? Apa sudah di kamarnya?” Gadis itu kembali mempercepat langkah, berlari ke arah kamar Rexandra dan saat sudah berada di depan pintu, Cassandra berhenti. “Hah.” Napasnya terengah, keringat menetes di dahi dan pelipis, ke lehernya. “Gimana aku bilangnya? Apa aku harus minta bantuan Rexa?” Tangan Cassandra sudah terangkat di depan pintu, hendak mengetuknya tapi ragu. “Duh, Cassie. Gimana ini? Tapi kalau aku enggak minta bantuannya, aku enggak bisa selesaikan desain aku. Cuma Rexa yang bisa. Dia jago komputer.” Akhirnya tangan itu pun mengetuk meski ragu. “Rexa, kamu ada di dalam?” Tanya Cassandra pelan. Tapi tak ada sahutan dari dalam. Cassandra mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Karena terburu-buru gadis itu pun memutar kenop pintu, dan ternyata tidak dikunci. “Enggak dikunci.” Begitu pintu terbuka, baru saja kaki Cassandra terangkat, Rexandra keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, menetes ke bahu, handuk putih melilit di pinggangnya, memperlihatkan dada bidang dan perut berototnya. Cassie menegang. “Astaga!” Dia langsung memalingkan wajah dengan pipi yang merona panas. Rexandra terkekeh rendah melihat wajah malu Cassandra. “Ngapain ke kamar aku?” tanyanya, nada suaranya pelan tapi menggoda. Cassandra menunduk, suaranya terbata. “Lap–laptopku ... rusak. Aku cuma mau minta tolong kamu, Rexa.” “Mau minta tolong?” “Hm.” “Panggil yang sopan.” “Eh—” “Aku kakak kamu. Kamu masih panggil aku Rexa?” Cassandra berdecak, lalu menghela napas. “Kak Rexa, tolong ….” “Good girl.” Puji Rexandra, tersenyum puas. “Ambil laptopnya.” “Iya.” Cassandra segera mengambil laptopnya dengan napas terengah dan kembali dengan laptop menyala di tangan. “Sini.” Ucap Rexandra, sudah memakai celana olahraga santai dengan tubuh bagian atas yang dibiarkan terbuka, menyuruh Cassandra masuk dan mengambil laptopnya dari tangan gadis itu, lalu duduk di kursi, meletakkan laptop di atas meja. Cassandra berdiri gugup di belakangnya, mengamati layar laptop yang menyala, menampilkan kode-kode, tapi tatapannya terdistraksi pada pemandangan punggung lebar Rexandra yang terekspos. “Kenapa laptopnya?” Tanyanya ragu. “Kena virus.” Jawab Rexandra, jemarinya begitu lincah menari diatas papan keyboard. “Oh.” Cassandra mengangguk mengerti. “Kira-kira masih lama enggak?” “Bentar lagi. Almost done.” “Hm.” Ponsel Cassandra tiba-tiba berdering, mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke layar ponsel yang menampilkan nama Ervan di sana. Rexandra berhenti mengetik. Matanya melirik tajam. Sementara Cassandra segera menjauhkan diri, mengangkat panggilan telepon itu. “Cassie, aku udah di depan rumah kamu. Tapi kok sepi, ya?” Suara Ervan terdengar heran di seberang sambungan. “Di depan rumah? Kamu mau apa?” “Cassie, kamu lupa ini hari apa?” “Hari apa?” Cassandra tampak mengernyit bingung. Terdengar helaan napas kecewa dari seberang. “Cassie, ini anniversary kita yang pertama.” “Oh.” Cassandra hanya ber-oh ria, raut wajahnya tampak biasa aja—tak ada raut terkejut bahkan tertarik. “M-maaf Ervan, aku lupa.” “Enggak apa-apa.” “Aku buka pintu dulu.” “Iya, Cassie.” Cassandra mematikan sambungan, berjalan ke arah Rexandra. “Kak Rexa, aku keluar bentar, ya.” “Mau kemana?” Tanya Rexandra dingin, menyorot tajam. “Keluar bentar pokoknya. Enggak lama kok.” Gadis itu berbalik, berjalan ke arah pintu, tapi baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, tiba-tiba tangan kekar Rexandra menarik lengannya kuat, membuat tubuh Cassie berbalik dan membentur tembok. Duk! “Akh!” Pekik Cassandra, matanya membulat. “Kamu apa-apaan, Rex—” Cup. Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bibir Rexandra sudah membungkamnya lebih dulu. Cassandra membelalak, jantungnya seakan meledak. Dunia seakan berhenti—di antara rasa terkejut, marah, dan ... sesuatu yang tak berani dia akui.“Rexa?” Rexandra menoleh, hingga netra elangnya bertemu dengan mata indah Cassandra. “Halo, adik.” Suara Rexandra rendah, dalam, serak. Wajahnya tenang, dan sebuah senyum miring tersungging di bibirnya. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Cassandra naik setengah oktaf. Alisnya berkerut tajam. Rexandra menoleh perlahan, tatapannya santai. “Nongkrong.” Jawabnya pendek. Cassandra pun memutar bola matanya, mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Jangan bohong. Apa kamu ngikutin aku?” Tanyanya penuh selidik. Rexandra mengangkat sebelah alis, lalu berdiri perlahan, mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. Cassandra langsung mundur setengah langkah. “Aku lagi nongkrong. Boring di rumah. Kenapa sepede itu bilang aku ngikutin? Atau pengen diikutin?” “E—engga.” Cassandra tergugup, menahan napas. Rexandra yang melihat terkekeh pelan. “Tadi di parkiran,” ucap Rexa rendah. “Kamu ngehindar dicium cowok kamu?” Cassandra langsung membelalakan mata. “Kamu masih bila
Cassandra membeku. Bibirnya kaku, matanya terbelalak lebar. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis itu bisa merasakan hangat dan tekanan dari bibir Rexandra yang menempel di bibirnya—tebal, kuat, dan terlalu dekat. Detik berikutnya, tubuhnya bereaksi tanpa berpikir. “Mmph!” Cassandra mendorong keras dada pria itu dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga. “Shhh ….” Rexandra mendengus tertahan. Kakinya mundur setengah langkah, terpaksa melepaskan tautannya. Setetes darah segar mengalir di sudut bibirnya, ulah Cassandra. Namun bukannya marah, Rexandra justru tersenyum miring. “Kamu gila!” Cassandra memegang bibirnya sendiri, wajahnya merah padam karena marah dan kesal. “Gila?” Rexandra mengulang perkataan Cassandra dengan santai. “Kita sekarang itu kakak-adik, Rexa!” Rexandra menyeka darah di bibirnya dengan ibu jari, menatapnya tenang. “Kakak-adik? Kita bahkan nggak sedarah.” Nada bicaranya rendah dan dalam, menusuk langsung ke dada Cassandra. Cassandra memalingkan
Cassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar. Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan har
“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas. Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tub
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan. Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra c
Ruang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku.Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]”Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.”







