 LOGIN
LOGINElara merasakan dinginnya meja marmer di bawah tangannya. Amplop tebal itu terasa membebani hatinya, menjanjikan keselamatan dan kehancuran. Begitu ia mengucapkan kata "Setuju," semua keraguan lenyap, digantikan oleh keputusasaan murni. Di ambang jurang, logika mati, dan hanya naluri bertahan hidup yang berkuasa.
Ares bangkit dari kursinya. Langkahnya tenang, penuh percaya diri, seolah ia baru saja menutup kesepakatan bisnis yang paling menguntungkan dalam kariernya. Ia berjalan mengelilingi meja, berhenti tepat di depan Elara. "Keputusan yang bijak, Elara," kata Ares, suaranya kini lebih lembut, namun nada dominasi tidak pernah hilang. Ia mengulurkan tangan, mengambil amplop itu dari genggaman Elara, lalu menggantinya dengan sebuah map tipis berwarna hitam. "Tanda tangani dulu," perintah Ares, mengabaikan tatapan memohon Elara. Elara membuka map itu. Isinya adalah dua lembar kontrak. Yang pertama adalah pengunduran dirinya dari Divisi Pemasaran dan penunjukan sebagai Asisten Pribadi CEO dengan gaji fantastis—gaji yang akan dengan mudah melunasi semua utangnya. Yang kedua, hanyalah selembar kertas dengan nama Elara dan garis tanda tangan yang kosong. "Kontrak kedua untuk apa, Tuan?" tanya Elara, suaranya kembali tegar, mencoba mencari sisa harga dirinya yang mungkin masih tersisa. "Itu adalah kontrak rahasia kita. Aku akan mengisinya nanti, berisi semua aturan main kita," jawab Ares santai, namun matanya menajam, mengirimkan peringatan keras. "Tanda tangani saja. Atau cek ibumu akan hangus sebelum subuh, dan aku akan mencarikan asisten baru besok pagi." Ancaman itu menghantam Elara seperti palu. Ia tahu ini adalah pemerasan total. Dengan tangan gemetar, ia menandatangani kedua lembar itu, merasakan setiap goresan pena mengikis habis harga dirinya. Ia menandatangani masa depannya, menjual jiwanya kepada iblis paling tampan di kota ini. Ares mengambil map itu, tersenyum puas. Ia menyentuh dagu Elara, mengangkatnya perlahan hingga mata mereka bertemu. Jari-jari Ares terasa panas dan kuat. "Kau adalah milikku malam ini. Lupakan pekerjaan, lupakan utang. Aku tidak membelimu untuk melihatmu menangis. Nikmati saja," bisiknya, sebelum mencium Elara dengan paksa. Ciuman itu dingin, menuntut, dan penuh kuasa. Elara memejamkan mata, membiarkan dirinya ditarik ke dalam jurang. Ruang rapat yang sebelumnya adalah simbol profesionalisme, kini menjadi saksi bisu kehancuran Elara. Ia membiarkan Ares, sang CEO dingin, menjadi pelarian emosional yang ia butuhkan di malam yang penuh keputusasaan itu. Elara membuka mata. Kepalanya berdenyut, bukan karena anggur, melainkan karena realitas menyakitkan yang baru saja ia alami. Ia terbaring di sofa kulit yang luas, selimut tebal menutupi tubuhnya. Kantor Ares sunyi, ditinggalkan, seolah malam itu hanyalah mimpi buruk yang cepat berlalu. Ia bangkit, memeriksa dirinya. Pakaiannya sudah rapi, tetapi terasa kusut, seperti harga dirinya. Rasa kotor dan penyesalan membanjiri dirinya. Ia telah menjual harga dirinya demi nyawa ibunya, dan Ares memperlakukannya seolah ia hanyalah komoditas yang sudah dikonsumsi dan dibuang. Ia mencari Ares, namun hanya menemukan meja marmer yang kembali bersih. Di atasnya, tergeletak amplop yang sama dengan semalam, ditambah kunci kartu akses baru untuk Lantai 45. Dan di sampingnya, sebuah notes kecil dengan tulisan tangan yang elegan dan dingin. Ambil ceknya. Operasi ibumu harus dilakukan hari ini. Kau mulai bekerja di Lantai 45 pukul 09.00. Jangan terlambat. Jika ada yang bertanya, kita menghabiskan malam untuk merundingkan kontrak rahasia. — Ares. Tak ada kehangatan, tak ada penyesalan, tak ada kata-kata manis. Hanya perintah dan bisnis. Elara merasa mual. Ia mengambil cek itu. Jumlahnya lebih dari cukup. Ia segera menghubungi rumah sakit, mengatur transfer dana darurat. Nyawa ibuku telah tertebus, Elara menenangkan diri. Ini semua demi Ibu. Elara bergegas merapikan diri, membuang semua pikiran tentang malam itu. Pukul 08.45. Ia kembali ke lantai ini sebagai seorang asisten, bukan pelarian semalam. Tepat pukul 09.00, pintu lift terbuka, dan Ares masuk, terlihat segar, berwibawa, dan dingin dalam setelan jas baru. Matanya yang biru gelap menatap Elara. "Selamat pagi, Tuan," sapa Elara, tangannya memegang notes berisi jadwal Ares. Ares berhenti di mejanya yang baru. Ia tidak membalas sapaan, hanya mengeluarkan tablet pribadinya dan meletakkannya di depan Elara. Di layar tablet itu, Elara melihat dirinya sendiri. Itu adalah rekaman video CCTV dari ruang rapat semalam. Hanya angle yang menunjukkan sentuhan dan kedekatan mereka, tidak secara eksplisit, tetapi cukup untuk menghancurkan reputasinya. Ares menatap Elara, tatapannya dingin menusuk. "Ini adalah pengingat, Elara. Kau bukan hanya asisten. Kau menandatangani kontrak rahasia bersamaku. Dan jika kau berani melanggar kontrak itu, file ini akan menjadi berita utama di semua portal berita," katanya, suaranya berbisik namun memiliki kekuatan mengancam. "Pikirkan ibumu sebelum kau berpikir untuk melarikan diri." Elara menelan ludah, seluruh tubuhnya menegang. Ia menyadari kengerian situasinya. Ia menjual tubuhnya untuk kebebasan, tapi Ares membeli jiwanya dan menjadikannya budak. Ancaman itu nyata, mengikatnya pada pria yang memegang kendali penuh atas hidupnya.  Ares mengambil tablet itu kembali, tersenyum tipis penuh kemenangan. "Kau berhak membenciku," kata Ares, nada suaranya seolah menyatakan fakta alam. "Tapi sekarang, kau adalah milikku. Absolut. Mari kita lihat apakah kau bisa melayani CEO barumu dengan baik."
Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama."Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi
Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.
Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun."Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s
Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis."Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata."Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi."Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui
Malam itu, pukul 20.30.Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi."Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya."Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta
Pagi hari, pukul 07.00.Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.— Ares.Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja."Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s








