 LOGIN
LOGINElara ditarik keluar dari mobil oleh Ares, menuju penthouse eksklusif di gedung apartemen tertinggi milik sang CEO. Saat lift privat yang dilapisi cermin gelap itu membawa mereka naik dengan kecepatan memusingkan, Elara menolak melakukan kontak mata dengan Ares, menjaga jarak sejauh mungkin di ruang sempit tersebut.
Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, Elara merasa seperti masuk ke sebuah galeri seni kontemporer yang dingin. Interiornya didominasi material marmer putih dan dinding kaca setinggi langit-langit, yang memperlihatkan gemerlap malam kota Jakarta yang tampak kecil dan tak berarti di bawah. Penthouse itu indah, tetapi Elara merasa terperangkap. "Di mana sopan santunmu, Elara?" tanya Ares, suaranya tajam, memecah keheningan ruangan. Ia menyadari Elara berdiri kaku di ambang pintu, menolak melangkah masuk sepenuhnya. Elara memaksa kakinya melangkah ke karpet tebal yang terasa mewah di bawah flat shoes-nya. "Saya sudah melayani Anda di kantor dan di hadapan klien, Tuan. Kontrak itu hanya menyebutkan kapan saya harus bersama Anda, bukan bagaimana saya harus menghibur Anda di luar jam kantor." Ares melepaskan jasnya, gerakan yang memamerkan kekuatan bahunya. Jas mahal itu dilemparkannya ke sofa kulit putih buatan Italia. Ia melonggarkan dasi di lehernya. Aroma cologne maskulinnya langsung memenuhi ruang udara Elara. "Kontrak kedua—yang kau tanda tangani kosong—itu mencakup semua hal yang tidak bisa kutuliskan di kertas legal, Elara. Malam adalah bagian dari perjanjian. Ini adalah 'perayaan' suksesmu, sekaligus pengingat atas siapa yang memegang kendali penuh." "Perayaan yang melibatkan fisik tidak ada dalam tugas asisten," balas Elara, mencoba mencari celah, berharap Ares masih memiliki sedikit akal sehat bisnis. Ares berjalan mendekat, langkahnya pelan dan mengancam, menyudutkan Elara di antara dirinya dan dinding kaca. Matanya menatap intens, dipenuhi gairah yang ia tahan di depan Tuan Leo. "Kau pikir aku membayarmu jutaan hanya untuk mengatur jadwal dan membawa dasiku?" Ares menyeringai dingin. "Kontrak itu untuk memastikan kau berada dalam jangkauanku. Sepenuhnya. Termasuk tubuhmu. Kau adalah milikku. Dan aku akan memilikimu, kapan pun aku mau." Ares mengangkat tangan kanannya. Bukannya menyentuh, ia malah perlahan menarik pin jepit rambut Elara. Jepit itu jatuh ke lantai tanpa suara. Rambut Elara yang tertata rapi langsung terurai, jatuh menutupi bahunya. Tindakan kecil itu terasa seperti sebuah pelucutan. "Lepaskan pikiran asistenmu. Di sini, kau adalah pelarianku," bisik Ares, suaranya memberat, mendekat hingga Elara bisa merasakan napasnya. "Tuan Ares, tolong. Saya mohon. Ibu saya baru saja menjalani operasi," mohon Elara, menggunakan alasan terkuatnya, mencoba mencari simpati di hati pria kejam itu. Ares berhenti sejenak, sentuhannya melunak di tengkuk Elara. "Aku tahu. Dan aku senang ibumu aman. Jadi jangan sia-siakan pengorbanan yang sudah kau lakukan dengan melawanku sekarang," katanya, sebelum mencium Elara dengan menuntut. Ciuman itu adalah campuran ancaman dan hasrat, sebuah tanda bahwa ia tidak akan menerima penolakan. Elara melawan sejenak, namun keputusasaan dan kelelahannya membuat perlawanan itu terasa sia-sia. Tepat saat scene itu semakin intens, ponsel Ares berdering keras di meja ruang tamu. Suara dering yang mendesak itu memecah ketegangan seperti pecahan kaca. Ares mendesis frustrasi, melepaskan Elara dengan kasar. Ia berjalan cepat ke meja dan mengangkat telepon itu dengan kesal. "Ya, ada apa?" Elara mengambil kesempatan itu untuk menarik napas dan merapikan bajunya. Ia mendengarkan pembicaraan Ares yang ternyata adalah panggilan darurat dari Kepala Keuangan. Ekspresi wajah Ares berubah dragis dari gairah menjadi amarah murni. "Apa?! Dan kau baru memberitahuku sekarang?" suara Ares meninggi, menggema di ruang kaca yang sunyi. "Kebocoran data? Tentang Proyek Bima? Siapkan rapat darurat! Aku akan datang ke sana. Sekarang!" Ares membanting ponselnya ke meja. Ia menatap Elara, matanya dipenuhi api amarah, tetapi amarahnya tertuju pada pekerjaan, bukan pada Elara. "Ada masalah darurat di Perusahaan. Pengkhianatan dari rival," kata Ares, suaranya dingin dan terkontrol lagi. "Keberuntunganmu, Elara. Aku harus pergi." Ares meraih kunci mobilnya dan berjalan cepat menuju pintu. Sebelum pergi, ia menatap Elara yang terlihat bingung dan sedikit lega. "Kau tunggu di sini," perintah Ares. "Aku tidak suka asetku berkeliaran di luar jam kerjanya. Anggap ini jam lembur yang dibayar. Penthouse ini adalah kantor keduamu malam ini. Jika kau pergi sebelum aku kembali, kontrakmu akan kucabut. Dan utangmu..."  Ares berjalan cepat menuju lift, namun sebelum pintu tertutup, ia menoleh, tatapannya dingin menjanjikan hukuman di masa depan. "Ada kamar tidur utama di sana. Gunakan. Ada baju ganti dan semua yang kau butuhkan di lemari. Dan jangan pernah berpikir untuk kabur. Aku akan tahu. Aku akan mengirim pesan pada pengawal pribadiku untuk memastikan kau tetap di sini." Elara berdiri sendiri di penthouse megah itu, menyadari bahwa ia baru saja terhindar dari kehancuran, namun kini terkunci di dalam sangkar emas. Ia menghela napas, merasakan kelegaan yang hanya sesaat, karena ia tahu, hukuman yang sebenarnya akan datang saat Ares kembali.
Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama."Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi
Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.
Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun."Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s
Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis."Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata."Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi."Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui
Malam itu, pukul 20.30.Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi."Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya."Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta
Pagi hari, pukul 07.00.Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.— Ares.Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja."Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s








