Share

BAB 10 HATI YANG KALAH

Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu.

Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang.

Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang.

Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.

Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena mengendap-endap melewati jalan samping rumah.

"Ini buat Ayah kamu, jangan ditolak!" bisiknya nyaris tak terdengar dengan mata melirik kanan-kiri.

"Maaf, Lek, lebih baik bawa balik lagi kesana. Kami nggak perlu seperti ini, nanti kalau yang punya tahu malah semakin ribet. Tahu sendiri, 'kan, mereka seperti apa?" tolakku dengan memberikan kembali bungkusan tersebut.

"Oh, kamu kekurangan makanan? Kampungan banget jadi orang, hanya karena keinginan kamu nggak terwujud lalu meminta ini untukmu? Dasar pen cu ri!" tuduh Bi Salimah, lalu tangannya merampas bungkusan di tangan ini kasar.

Emosiku sudah naik di ubun-ubun, rasanya ingin meremas mulutnya yang lemas itu. Tangan ini pun mengepal erat, andai saja Lek Widi tidak mencegah gerakan spontan yang akan aku layangkan, wanita di depan ini akan jatuh ke tanah.

Pencekalan terhadap Lek Widi membuat diri ini semakin memberontak kasar, sungguh amarah besar yang tak dapat aku kendalikan dengan baik. Untung saja Ayah dan Ibu datang karena Mas Agus berteriak kencang, sepertinya dia merasa terganggu karena suara lantang.

Ayah dan Ibu kebingungan, lalu berjalan mendekatiku. Berhadapan dengan Bi Salimah tanpa ada rasa takut sama sekali.

"Pulang!" ucap Ayah tegas.

"Kembalikan dulu makanan yang kalian pinta! Sudah tahu ke re, otaknya pengemis pula. Kenapa kamu nggak bawa anak lelakimu sekalian di lampu merah biar dapat uang banyak, jadinya nggak susah-susah mencari makan!" ketus Bi Salimah yang membuat dada kami semua naik turun.

"Pulang sekarang atau aku bu nuh kamu disini!" murka Ayah, tangan kekar itu sudah melayang di udara.

Bi Salimah lari tergopoh-gopoh dan berterima kencang meminta pertolongan kepada tetangga yang sedang rewang dirumahnya. Sontak teriakan wanita gi la itu membuat semua orang terperangah dan mendekati sumber suara.

"Aku mau di bu nuh, dia orang gila!" teriaknya sambil menunjuk ke arah kami yang berdiri di tempat.

"Diam!" Lek Kandar membentak Kakak perempuannya keras.

Dari sorot matanya, Bi Salimah menggerutu dan masuk kedalam rumah dengan dipapah oleh Julia. Seakan tidak terima dengan apa yang terjadi pada istrinya, Lek Santoso beranjak dari duduknya menuju rumah kami.

Namun, lagi-lagi Lek Kandar menjadi tameng bagi kami. Dia menarik paksa lelaki yang berteriak dengan menyebut nama-nama anggota kebun binatang. Terdengar menyakitkan, tapi semua nyata dan aku mendengarnya sendiri.

Sesuatu hal yang tidak pernah terlintas di benakku akan terjadi hal beser lagi seperti ini. Yang mana seharusnya kami adalah saudara, justru menjadi musuh bebuyutan.

Tangan Ayah semakin memperlihatkan urat-urat nadinya yang menyembul. Tangis Ibu pun pecah kala Bi Salimah berteriak kembali dengan memaki kami satu persatu. Sedang, tubuh ini luruh ke lantai dengan deraian air mata yang menganak sungai.

Lek Widi, jangan tanya dia sedang apa. Hatinya jauh lebih terkejut karena kesalahan yang diperbuatnya mengakibatkan pertikaian baru terjadi lagi. Aku tahu meski tak sempat dia berucap, tapi ada rasa ketakutan yang luar biasa.

Buktinya, mata itu mengalirkan air deras dan membasahi pipinya tanpa jeda. Ayah baru tersadar kala mendengar suara tergugu dari belakangnya.

"Pulanglah! Suci benar, kami tidak pernah membutuhkan makanan itu. Aku sebagai kepala keluarga disini masih bisa menghidupi anak dan istriku meski hanya sebagai petani biasa. Pulang dan jangan pergi ulangi hal seperti ini lagi!"

Lunglai, tubuh itu bagai tak bertulang. Berjalan dengan sesekali menyeret raga serta menunduk sesenggukan. Aku mengelola Ayah dan Ibu yang masuk ke dalam rumah.

Memandang Mas Agus yang seperti ketakutan, cekatan Ibu memeluk anak lelakinya tersebut. Mengusap punggungnya lembut dengan bersenandung sholawat berharap Mas bisa tenang kembali.

"Bagaimana bisa aku memiliki saudara seperti dia. Suci, tolong ingat pesan Ayah, jangan sekali-kali kamu berurusan dengan mereka. Ayah ingin hidup tenang supaya panjang umur dan bisa melihat cucu-cucu. Itu harapan Ayah." Lelaki itu tergugu.

Entah pemikiran macam apa yang terlintas, kesedihan mendalam datang mengusik hatinya. Lelaki yang biasanya tegar dan kuat dalam berbagai macam badai, kini terluka dan tidak berdaya.

Wajah itu ditutupi dengan kedua telapak tangannya, kedua bahu pun berguncang. Ayahku kini bukanlah Ayahku yang dulu, saat itu bahu itu kokoh dan tahan meski badai menghantam.

Namun, detik ini bahu itu terlihat bergoyang dan tidak bisa lagi menjaga keseimbangan. Entahlah, mungkin rasa lelah telah mengikis habis sebuah benteng kesabaran.

"Tetaplah kuat demi kami, tidak akan pernah aku biarkan siapapun memberikan beban pada pundak ini meski hanya setengah ons!" ujarku menghibur lelaki cinta pertamaku ini.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status