Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu.
Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang.Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena mengendap-endap melewati jalan samping rumah."Ini buat Ayah kamu, jangan ditolak!" bisiknya nyaris tak terdengar dengan mata melirik kanan-kiri."Maaf, Lek, lebih baik bawa balik lagi kesana. Kami nggak perlu seperti ini, nanti kalau yang punya tahu malah semakin ribet. Tahu sendiri, 'kan, mereka seperti apa?" tolakku dengan memberikan kembali bungkusan tersebut."Oh, kamu kekurangan makanan? Kampungan banget jadi orang, hanya karena keinginan kamu nggak terwujud lalu meminta ini untukmu? Dasar pen cu ri!" tuduh Bi Salimah, lalu tangannya merampas bungkusan di tangan ini kasar.Emosiku sudah naik di ubun-ubun, rasanya ingin meremas mulutnya yang lemas itu. Tangan ini pun mengepal erat, andai saja Lek Widi tidak mencegah gerakan spontan yang akan aku layangkan, wanita di depan ini akan jatuh ke tanah.Pencekalan terhadap Lek Widi membuat diri ini semakin memberontak kasar, sungguh amarah besar yang tak dapat aku kendalikan dengan baik. Untung saja Ayah dan Ibu datang karena Mas Agus berteriak kencang, sepertinya dia merasa terganggu karena suara lantang.Ayah dan Ibu kebingungan, lalu berjalan mendekatiku. Berhadapan dengan Bi Salimah tanpa ada rasa takut sama sekali."Pulang!" ucap Ayah tegas."Kembalikan dulu makanan yang kalian pinta! Sudah tahu ke re, otaknya pengemis pula. Kenapa kamu nggak bawa anak lelakimu sekalian di lampu merah biar dapat uang banyak, jadinya nggak susah-susah mencari makan!" ketus Bi Salimah yang membuat dada kami semua naik turun."Pulang sekarang atau aku bu nuh kamu disini!" murka Ayah, tangan kekar itu sudah melayang di udara.Bi Salimah lari tergopoh-gopoh dan berterima kencang meminta pertolongan kepada tetangga yang sedang rewang dirumahnya. Sontak teriakan wanita gi la itu membuat semua orang terperangah dan mendekati sumber suara."Aku mau di bu nuh, dia orang gila!" teriaknya sambil menunjuk ke arah kami yang berdiri di tempat."Diam!" Lek Kandar membentak Kakak perempuannya keras.Dari sorot matanya, Bi Salimah menggerutu dan masuk kedalam rumah dengan dipapah oleh Julia. Seakan tidak terima dengan apa yang terjadi pada istrinya, Lek Santoso beranjak dari duduknya menuju rumah kami.Namun, lagi-lagi Lek Kandar menjadi tameng bagi kami. Dia menarik paksa lelaki yang berteriak dengan menyebut nama-nama anggota kebun binatang. Terdengar menyakitkan, tapi semua nyata dan aku mendengarnya sendiri.Sesuatu hal yang tidak pernah terlintas di benakku akan terjadi hal beser lagi seperti ini. Yang mana seharusnya kami adalah saudara, justru menjadi musuh bebuyutan.Tangan Ayah semakin memperlihatkan urat-urat nadinya yang menyembul. Tangis Ibu pun pecah kala Bi Salimah berteriak kembali dengan memaki kami satu persatu. Sedang, tubuh ini luruh ke lantai dengan deraian air mata yang menganak sungai.Lek Widi, jangan tanya dia sedang apa. Hatinya jauh lebih terkejut karena kesalahan yang diperbuatnya mengakibatkan pertikaian baru terjadi lagi. Aku tahu meski tak sempat dia berucap, tapi ada rasa ketakutan yang luar biasa.Buktinya, mata itu mengalirkan air deras dan membasahi pipinya tanpa jeda. Ayah baru tersadar kala mendengar suara tergugu dari belakangnya."Pulanglah! Suci benar, kami tidak pernah membutuhkan makanan itu. Aku sebagai kepala keluarga disini masih bisa menghidupi anak dan istriku meski hanya sebagai petani biasa. Pulang dan jangan pergi ulangi hal seperti ini lagi!"Lunglai, tubuh itu bagai tak bertulang. Berjalan dengan sesekali menyeret raga serta menunduk sesenggukan. Aku mengelola Ayah dan Ibu yang masuk ke dalam rumah.Memandang Mas Agus yang seperti ketakutan, cekatan Ibu memeluk anak lelakinya tersebut. Mengusap punggungnya lembut dengan bersenandung sholawat berharap Mas bisa tenang kembali."Bagaimana bisa aku memiliki saudara seperti dia. Suci, tolong ingat pesan Ayah, jangan sekali-kali kamu berurusan dengan mereka. Ayah ingin hidup tenang supaya panjang umur dan bisa melihat cucu-cucu. Itu harapan Ayah." Lelaki itu tergugu.Entah pemikiran macam apa yang terlintas, kesedihan mendalam datang mengusik hatinya. Lelaki yang biasanya tegar dan kuat dalam berbagai macam badai, kini terluka dan tidak berdaya.Wajah itu ditutupi dengan kedua telapak tangannya, kedua bahu pun berguncang. Ayahku kini bukanlah Ayahku yang dulu, saat itu bahu itu kokoh dan tahan meski badai menghantam.Namun, detik ini bahu itu terlihat bergoyang dan tidak bisa lagi menjaga keseimbangan. Entahlah, mungkin rasa lelah telah mengikis habis sebuah benteng kesabaran."Tetaplah kuat demi kami, tidak akan pernah aku biarkan siapapun memberikan beban pada pundak ini meski hanya setengah ons!" ujarku menghibur lelaki cinta pertamaku ini.🖤🖤🖤"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin
"Kamu yakin akan menerima pinangan dari lelaki yang belum kamu kenal sebelumnya, Nak?" tanya Ibu yang membuat hati ini sedikit goyah.Iya, aku menyetujui keputusan Mbah Darma kala itu. Dalam sepertiga malam ketika aku meminta kepada Tuhan dengan keputusan yang akan aku ambil, jalan ini yang menjadi akhir dari sebuah kebimbangan. Hari ini rumahku begitu ramai, meski hanya acara kecil-kecilan untuk menyambut tamu dari pihak calon lelaki yang datang dan tidak banyak seperti permintaan kami sebelumnya. Namun, kami sekeluarga tetap mempersiapkan segalanya tanpa cela. Bi Salimah datang beserta suami, entah terbuat dari apa muka kedua orang tersebut. Tidak bertegur sapa dengan Ayah dan Ibu, tapi datang juga ketika Mbah Darma memintanya untuk ikut hadir disini. Pun dengan Bapaknya Ayah, beliau nampak duduk di bangku kayu panjang yang dibuat anak lelakinya itu dari kayu jati asli tanpa di poles dengan wajah sedikit masam.Iring-iringan calon lelaki sudah memasuki halaman, para kerabat berdir
Mata ini tiba-tiba mengembun, entah apa maksud dari wanita itu. Saat aku melihatnya, justru senyum mengejek tersungging di sudut bibir Bi Salimah. Sepertinya dia ingin sekali menggagalkan rencana ini. Dada ini bergemuruh, tangan mengepal kuat seakan emosi begitu membakar jiwaku yang sedang berusaha meredam bara amarah."Dia adalah Kakakku, saudara lelaki yang sangat aku sayangi." Suaraku membuyarkan pikiran semua orang yang berada di ruangan ini dan pandangan mereka tertuju padaku yang berdiri di depan dengan berbicara lantang. "Beberapa laki-laki dulunya pernah meminangku, tapi mereka memutuskan sepihak karena alasan aku mempunyai seorang Kakak yang cacat dan menjadi bahan cemoohan orang lain. Andai Bapak, Ibu dan juga Mas, Mas …" "Yanuar," celetuk salah satu saudaranya keras. "Iya, Mas Yanuar ingin juga memutuskan hubungan ini seperti sebelumnya, kami tidak bisa menghalanginya. Silahkan ambil keputusan sebelum semuanya terjadi. Kami ikhlas dan tidak bisa menyalahkan." Aku bertutur
Lek Santoso berdiri dan memandang sinis ke arah kami sebelum pulang menyusul sang istri yang telah angkat kaki terlebih dahulu. Penyakit hati memang sangat berbahaya dan itu bisa menggerogoti jiwa seseorang yang sedang baik-baik saja. Makanya kita diwajibkan selalu mengingat akan Tuhan jika sedikit saja tersentuh oleh penyakit tersebut.Namun, jika seseorang yang sudah dalam keadaan akut maka akan sulit untuk diingatkan bahkan di obati sekalipun. Beruntunglah kita yang masih waras dan bisa berpikiran jernih jika perbuatan tersebut tak layak dicontoh apalagi dicoba."Mungkinkah juga keluarga kalian ada yang cacat, ya, kok bisa-bisanya mau menikahi wanita seperti dia yang mempunyai saudara seperti itu!" sinisnya yang membuat mata kami semua di ruangan ini membulat sempurna."Santoso!" teriak Mbah Darma lantang. Si empunya nama mencebik saat lelaki sepuh itu berteriak dengan keras memekakkan telinga. Berdiri dan berkacak pinggang serta napas memburu, Mbah Darma mendekati Lek Santoso yan
"Pesanan kamu banyak sekali, Ci. Apa perlu bantuan Ibu?" tanya Ibu saat melihatku yang tengah sibuk membungkus pesanan online ini.Memang hari ini jauh lebih banyak paketan daripada kemarin. Tuhan memberikan rezeki halal yang melimpah sehingga bisa buat tambahan nanti untuk upacara pernikahanku. Inilah caraNya mengujiku saat dirumahkan dari pekerjaan yang sudah hampir aku geluti tiga tahun ini lalu menjadi hampir pekerjaan utama. "Nggak usah, Bu. Suci sanggup melakukannya sendiri. Lagian juga ini sudah selesai, sebentar lagi kurir juga datang," tolakku halus, bukannya tidak mau dibantu, tapi Ibu sendiri jauh lebih sibuk untuk mempersiapkan segalanya.Tak berselang lama, datanglah si kurir. Cekatan kami bekerja sama dalam hal online ini. Setelah selesai aku membaringkan tubuh di atas kasur lantai yang berada di depan televisi. Punggung yang kaku merasa ingin dilepaskan dengan segera, berguling ria dan bersenandung kecil membuat hati ini seolah sedang terbang tinggi ke langit dengan sa
Mungkin akal sehatnya telah hilang dan tercabut dari hatinya. Bersikap baik dan wajar saja sudah tidak dilakukan sama sekali terhadap kami yang justru sebagai saudara tertua dari istrinya itu.Bukankah keluarga itu harus saling menghormati satu sama lain? Lalu apakah ini? Rasanya begitu geram dan ingin menjambak mereka, tapi tak mungkin aku lakukan. Aku masih waras."Kamu terlalu angkuh untuk tidak memberi tahu kami jika besok akan ada pesta pernikahan di rumahmu, kenapa? Kamu takut jika nanti ada kejadian buruk yang menimpamu lalu kami melihatnya?" Berkacak pinggang dengan mata melotot ke arahku dia berucap lantang."Ada masalah?" Aku masih santai menanggapi ucapan kasar yang membuat hati terluka itu. "Kamu, kalian yang akan ada masalah nanti. Kita lihat saja!" bentaknya nyaring memekakkan telinga.Aku menggeleng pelan lalu meninggalkan dia yang masih setia berdiri di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Mata membulat dengan napas memburu bagaikan seekor hewan pemangsa yang kela