Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan.
Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah.Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas.Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya.Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela."Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. Dirumahkan oleh perusahaan," ujarku kala Ibu membawa teh hangat dan sepiring singkong rebus.Alih-alih marah, Ibu justru memelukku erat dan mengajak duduk bersama di teras samping rumah. Menemaninya menikmati pagi yang cerah dengan hembusan angin yang sejuk."Justru Ibu senang karena ada temannya, nggak apa-apa kamu dirumahkan, hitung-hitung istirahat. Kerja kok terus," kelakar Ibu dengan menyesap minuman hangat tersebut."Tapi nggak enak, Bu. Nanti bagaimana aku bisa membantu urusan dapur?""Ah, kamu seperti nggak tahu saja kehidupan kita. Memangnya Ayah kamu berdiam diri di rumah? Ongkang-ongkang kaki saja? Tuh, ada penghasilan dari ladang, sawah dan kebun, tenang saja! Masalah kecil seperti itu jangan pernah menjadi beban hidupmu!" Ibu memasukkan sepotong singkong yang masih mengepulkan asap itu.Lahap menikmatinya dan membuat seleraku tiba-tiba datang dan menyuruh untuk mengambilnya. Empuk, bagaikan omongan Bi Salimah tempo hari kala aku berbelok di tukang sayuran.Ah, kok jadi merembet kesana, ya? Padahal nggak berakar. Aku terkekeh geli saat mengingat kejadian unik itu. Wanita yang sehat aku hormati kini menjadi musuh bebuyutan.🔥🔥🔥Sepanjang hari ini aku sibuk berkutat dengan ponsel di tangan. Meneruskan jualan online yang sempat aku lakukan kala masih bekerja di kantor dan semua aku lakukan ketika sedang di rumah.Alhamdulillah, semuanya ada jalan jika kita berusaha. Buktinya hari ini banyak sekali orderan yang masuk dan sedikit membuat diri ini kewalahan.Saat sedang serius dengan para konsumen yang bertanya, suara nyaring dari seberang rumah membuat jantung ini kaget. Sontak aku berdiri dan melihat keluar dengan setengah berlari.Wanita yang masih menjadi saudara Ayah tersebut dengan pongahnya berbicara lantang hingga mengundang perhatian dari tetangga kiri kanan."Anakku mau nikah, ini lamarannya. Bagus, 'kan? Kemarin yang perempuan dapat mobil sekarang lakinya mau memberi motor, beginilah kalau hidup jadi orang kaya!" celetuknya dengan melirik ke arahku.Aish, orang nggak punya adab. Segitu saja sudah mendongakkan kepala tinggi. Apa nggak takut nanti lehernya patah?Kutinggalkan mereka yang saling melempar tanya saat si empunya rumah semakin menjadi bicaranya. Bukannya iri, hanya saja kalimatnya sudah berbeda jalur. Menyindir tak karuan."Beli motor baru?" tanya Ibu yang hendak menyuapi Mas Agus."Mau buat lamaran anak lakinya.""Kok tahu?" Ibu mengernyitkan dahi mendengar jawabanku."Lah, apa Ibu nggak dengar tadi teriakannya kayak orang lagi kerasukan?""Hust!" Aku terbahak melihat Ibu yang setengah kaget saat mendengar jawaban yang aku berikan.🖤🖤🖤Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu. Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang. Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena me
"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin
"Kamu yakin akan menerima pinangan dari lelaki yang belum kamu kenal sebelumnya, Nak?" tanya Ibu yang membuat hati ini sedikit goyah.Iya, aku menyetujui keputusan Mbah Darma kala itu. Dalam sepertiga malam ketika aku meminta kepada Tuhan dengan keputusan yang akan aku ambil, jalan ini yang menjadi akhir dari sebuah kebimbangan. Hari ini rumahku begitu ramai, meski hanya acara kecil-kecilan untuk menyambut tamu dari pihak calon lelaki yang datang dan tidak banyak seperti permintaan kami sebelumnya. Namun, kami sekeluarga tetap mempersiapkan segalanya tanpa cela. Bi Salimah datang beserta suami, entah terbuat dari apa muka kedua orang tersebut. Tidak bertegur sapa dengan Ayah dan Ibu, tapi datang juga ketika Mbah Darma memintanya untuk ikut hadir disini. Pun dengan Bapaknya Ayah, beliau nampak duduk di bangku kayu panjang yang dibuat anak lelakinya itu dari kayu jati asli tanpa di poles dengan wajah sedikit masam.Iring-iringan calon lelaki sudah memasuki halaman, para kerabat berdir
Mata ini tiba-tiba mengembun, entah apa maksud dari wanita itu. Saat aku melihatnya, justru senyum mengejek tersungging di sudut bibir Bi Salimah. Sepertinya dia ingin sekali menggagalkan rencana ini. Dada ini bergemuruh, tangan mengepal kuat seakan emosi begitu membakar jiwaku yang sedang berusaha meredam bara amarah."Dia adalah Kakakku, saudara lelaki yang sangat aku sayangi." Suaraku membuyarkan pikiran semua orang yang berada di ruangan ini dan pandangan mereka tertuju padaku yang berdiri di depan dengan berbicara lantang. "Beberapa laki-laki dulunya pernah meminangku, tapi mereka memutuskan sepihak karena alasan aku mempunyai seorang Kakak yang cacat dan menjadi bahan cemoohan orang lain. Andai Bapak, Ibu dan juga Mas, Mas …" "Yanuar," celetuk salah satu saudaranya keras. "Iya, Mas Yanuar ingin juga memutuskan hubungan ini seperti sebelumnya, kami tidak bisa menghalanginya. Silahkan ambil keputusan sebelum semuanya terjadi. Kami ikhlas dan tidak bisa menyalahkan." Aku bertutur
Lek Santoso berdiri dan memandang sinis ke arah kami sebelum pulang menyusul sang istri yang telah angkat kaki terlebih dahulu. Penyakit hati memang sangat berbahaya dan itu bisa menggerogoti jiwa seseorang yang sedang baik-baik saja. Makanya kita diwajibkan selalu mengingat akan Tuhan jika sedikit saja tersentuh oleh penyakit tersebut.Namun, jika seseorang yang sudah dalam keadaan akut maka akan sulit untuk diingatkan bahkan di obati sekalipun. Beruntunglah kita yang masih waras dan bisa berpikiran jernih jika perbuatan tersebut tak layak dicontoh apalagi dicoba."Mungkinkah juga keluarga kalian ada yang cacat, ya, kok bisa-bisanya mau menikahi wanita seperti dia yang mempunyai saudara seperti itu!" sinisnya yang membuat mata kami semua di ruangan ini membulat sempurna."Santoso!" teriak Mbah Darma lantang. Si empunya nama mencebik saat lelaki sepuh itu berteriak dengan keras memekakkan telinga. Berdiri dan berkacak pinggang serta napas memburu, Mbah Darma mendekati Lek Santoso yan
"Pesanan kamu banyak sekali, Ci. Apa perlu bantuan Ibu?" tanya Ibu saat melihatku yang tengah sibuk membungkus pesanan online ini.Memang hari ini jauh lebih banyak paketan daripada kemarin. Tuhan memberikan rezeki halal yang melimpah sehingga bisa buat tambahan nanti untuk upacara pernikahanku. Inilah caraNya mengujiku saat dirumahkan dari pekerjaan yang sudah hampir aku geluti tiga tahun ini lalu menjadi hampir pekerjaan utama. "Nggak usah, Bu. Suci sanggup melakukannya sendiri. Lagian juga ini sudah selesai, sebentar lagi kurir juga datang," tolakku halus, bukannya tidak mau dibantu, tapi Ibu sendiri jauh lebih sibuk untuk mempersiapkan segalanya.Tak berselang lama, datanglah si kurir. Cekatan kami bekerja sama dalam hal online ini. Setelah selesai aku membaringkan tubuh di atas kasur lantai yang berada di depan televisi. Punggung yang kaku merasa ingin dilepaskan dengan segera, berguling ria dan bersenandung kecil membuat hati ini seolah sedang terbang tinggi ke langit dengan sa