Share

BAB 9 SEPEDA BARU

Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan.

Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah.

Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas.

Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya.

Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela.

"Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. Dirumahkan oleh perusahaan," ujarku kala Ibu membawa teh hangat dan sepiring singkong rebus.

Alih-alih marah, Ibu justru memelukku erat dan mengajak duduk bersama di teras samping rumah. Menemaninya menikmati pagi yang cerah dengan hembusan angin yang sejuk.

"Justru Ibu senang karena ada temannya, nggak apa-apa kamu dirumahkan, hitung-hitung istirahat. Kerja kok terus," kelakar Ibu dengan menyesap minuman hangat tersebut.

"Tapi nggak enak, Bu. Nanti bagaimana aku bisa membantu urusan dapur?"

"Ah, kamu seperti nggak tahu saja kehidupan kita. Memangnya Ayah kamu berdiam diri di rumah? Ongkang-ongkang kaki saja? Tuh, ada penghasilan dari ladang, sawah dan kebun, tenang saja! Masalah kecil seperti itu jangan pernah menjadi beban hidupmu!" Ibu memasukkan sepotong singkong yang masih mengepulkan asap itu.

Lahap menikmatinya dan membuat seleraku tiba-tiba datang dan menyuruh untuk mengambilnya. Empuk, bagaikan omongan Bi Salimah tempo hari kala aku berbelok di tukang sayuran.

Ah, kok jadi merembet kesana, ya? Padahal nggak berakar. Aku terkekeh geli saat mengingat kejadian unik itu. Wanita yang sehat aku hormati kini menjadi musuh bebuyutan.

🔥🔥🔥

Sepanjang hari ini aku sibuk berkutat dengan ponsel di tangan. Meneruskan jualan online yang sempat aku lakukan kala masih bekerja di kantor dan semua aku lakukan ketika sedang di rumah.

Alhamdulillah, semuanya ada jalan jika kita berusaha. Buktinya hari ini banyak sekali orderan yang masuk dan sedikit membuat diri ini kewalahan.

Saat sedang serius dengan para konsumen yang bertanya, suara nyaring dari seberang rumah membuat jantung ini kaget. Sontak aku berdiri dan melihat keluar dengan setengah berlari.

Wanita yang masih menjadi saudara Ayah tersebut dengan pongahnya berbicara lantang hingga mengundang perhatian dari tetangga kiri kanan.

"Anakku mau nikah, ini lamarannya. Bagus, 'kan? Kemarin yang perempuan dapat mobil sekarang lakinya mau memberi motor, beginilah kalau hidup jadi orang kaya!" celetuknya dengan melirik ke arahku.

Aish, orang nggak punya adab. Segitu saja sudah mendongakkan kepala tinggi. Apa nggak takut nanti lehernya patah?

Kutinggalkan mereka yang saling melempar tanya saat si empunya rumah semakin menjadi bicaranya. Bukannya iri, hanya saja kalimatnya sudah berbeda jalur. Menyindir tak karuan.

"Beli motor baru?" tanya Ibu yang hendak menyuapi Mas Agus.

"Mau buat lamaran anak lakinya."

"Kok tahu?" Ibu mengernyitkan dahi mendengar jawabanku.

"Lah, apa Ibu nggak dengar tadi teriakannya kayak orang lagi kerasukan?"

"Hust!" Aku terbahak melihat Ibu yang setengah kaget saat mendengar jawaban yang aku berikan.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status