Share

Bab 7 SEPEDA TUA

Seusai acara pernikahan Julia, Ibu pulang ke rumah dengan tangan kosong. Akupun tak ingin bertanya lebih jauh lagi tentang hal itu.

"Besok ada acara pembagian warisan, Ayah nggak diundang?" Wajah Ayah berubah pias dan kecewa.

Sebagai anak sulung seharusnya beliau lah yang memimpin jika ada musyawarah keluarga. Namun, tidak dengan hal ini. Sungguh berbeda jauh.

Ayah terdiam dengan pandangan melihat televisi. Ibu yang merasa bersalah dengan membawakan berita tersebut mendekati suaminya. Bersandar pada bahu kokoh yang begitu sangat tegar meskipun tidak dianggap oleh saudaranya.

"Biarkan saja, Bu."

"Kita diminta Bapak kesana besok malam. Kemarin berpesan saat aku kondangan, nanti Ibu temani, takutnya Ayah nanti khilaf. Jangan marah jika tidak dibagi rata, ya, Yah. Dikasih tanah ini saja kita sudah bersyukur."

"Siapa yang bilang dikasih? Tanah ini aku membelinya meski aku ini anak kandung Bapak. Aku anak sulung yang selalu bekerja siang malam demi kebutuhan Salimah dan Kandar, tapi apa balasannya? Justru mereka memandangku rendah karena tidak berharta!" geram Ayah dengan gigi bergemeletuk.

Amarahnya memuncak. Ibu yang duduk disamping Ayah sedikit ketakutan melihat kilatan emosinya yang membara.

"Bapak memintaku membeli tanah ini saat aku mendapatkan uang dari bekerja dulu, Bu. Tanah yang kita tempati ini bukanlah warisan. Aku tahu jika Bapak dan Ibu pilih kasih, lihat saja itu Salimah, dia bergelimang harta, tapi bukan hasil kerja kerasnya sendiri melainkan warisan dari Ayah."

Aku jadi tahu kenyataan baru, ternyata seperti ini perilaku Kakek terhadap Ayah yang adalah anak sulungnya? Mereka bertiga bersaudara, seharusnya Kakek bisa rata dan jelas dalam memberikan hak untuk anak-anaknya.

Namun, biarkanlah. Bagiku cukup tahu saja itu lebih dari penting saat ini. Ayah masih terlihat emosi, segera kubuatkan kopi pahit kesukaannya. Semoga saja dengan meminum minuman itu, beliau bertambah tenang malam ini.

"Aku kerja keras katanya untuk pendidikan adik-adikku biar sukses, sudah ku korbankan semua untuk mereka, Bu, hingga menjadi besar seperti sekarang. Namun, apa balasan yang aku dapat? Justru mereka seolah jijik terhadap Kakaknya yang hanya tamatan SD ini. Bapak memang seperti itu, nggak pernah adil jika untuk aku." Ayah seolah mengeluarkan uneg-uneg dalam hatinya.

Giginya bergemeletuk, otot-otot tangannya terlihat menyembul seperti sebuah kemarahan yang memang benar-benar sedang memuncak.

Belum pernah aku melihat Ayah seperti sekarang. Mata tajam itu memerah, mungkin Ayah benar-benar sakit hati teramat dalam.

"Kalau orang tua tegas, seharusnya saat ada pesta kemarin dia datang kesini atau memberitahukan putrinya untuk bisa bersama dengan keadaan. Nyatanya tidak! Ah, sudahlah, Ayah capek. Mau tidur!" Ayah berlalu menuju kamarnya, menyusul Mas Agus yang telah duluan merajut mimpi.

Iya, selama ini Ayah tidur berdua dengan Ayah. Ibu tidur sendirian di kamarku dan aku pun tidur tanpa teman di tempatku sendiri. Ibu menatapku sendu, wajah tuanya seperti merasa kesedihannya yang mendalami setelah melihatku pasangan hidupnya yang sedang kecewa.

Baru kali ini kami mendengar dengan jelas alasan saudara Ayah berbuat demikian. Bahkan Kakek yang seolah acuh jika Bi Salimah melakukan perbuatan buruknya terhadap kami.

"Tidur, Nduk! Sudah malam, jaga kesehatan yang paling penting. Soal Ayahmu tadi nggak usah dimasukin hati, biar Tuhan yang memberikan baik buruk terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang tidak baik dengan kita!" titah Ibu, beliau pun beranjak dari duduknya menuju peraduan.

🔥🔥

Pagi menyapa, kulihat Lek Kandar dan Lek Widi sudah ada dirumah Bi Salimah. Langkah panjang Lek Kandar menuju kediamanku membuat hati ini sedikit gundah.

"Mana Ayahmu?" tanya Lek Kandar dengan melihat ke sekeliling ruangan ini.

"Apa?" Belum juga aku menjawab, lelaki itu datang dengan pandangan sinis.

"Dipanggil Bapak, Mas. Ayo kita ke sana!" ajak Lek Kandar dan berlalu meninggalkan kami yang masih terdiam di tempat.

Ayah duduk di sofa, memijat pelipisnya pelan dengan sesekali mata itu berkedip-kedip. Saat hendak beranjak berdiri, Ibu dengan sigap menggandeng tangannya.

"Ibu ikut, hanya ingin menemani Ayah. Jangan sampai Ayah mempermalukan diri sendiri karena sikap gegabah dan marah. Boleh, ya?" tanya Ibu lembut, dielusnya berulangkali lengan Ayah.

"Ayo!"

Berdua mereka menuju rumah Bi Salimah, aku yang melihat pemandangan itu sangat sakit. Andai benar Ayah akan diacuhkan dan Kakek tidak bisa adil, maka apa yang akan terjadi selanjutnya?

Ah, otak ini semakin sakit jika harus ikut campur urusan orang tua. Ternyata jadi orang tua nggak seenak yang aku bayangkan. Justru berbagai permasalahan datang silih berganti.

Semenit, setengah jam hingga satu jam lebih kedua orang tuaku tak kunjung pulang. Dada ini semakin tak karuan. Bermain ponsel demi mengurangi rasa cemas tak juga bisa menghibur diri dengan apa yang aku inginkan.

Sial. Aku bergumam sendirian dalam sepi. Lalu pemandangan aneh di depan sana membuat keningku berkerut. Ayah menuntun sepeda tua yang sudah berkarat. Pandangannya kosong dan wajah Ibu menunduk sendu.

"Bu," panggilku saat mereka sudah masuk rumah. Sepeda butut itu diletakkan di dekat pintu masuk.

"Itu warisan dari Kakek kamu, berbesar hatilah untuk keputusan gila ini. Belajar yang baik dan bekerja keraslah demi masa depan indahmu, Ayah hanya bisa memberikan doa yang banyak, bukan harta berlimpah. Semoga kamu mengerti!" Mata Ayah mengembun, setelah berucap demikian beliau lalu menuju dapur.

Suara dentingan sendok terdengar hingga kami di ruang tamu mendengarnya. Mungkin Ayah lapar sehingga sehabis pulang lali mengisi perutnya.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status