Seusai acara pernikahan Julia, Ibu pulang ke rumah dengan tangan kosong. Akupun tak ingin bertanya lebih jauh lagi tentang hal itu.
"Besok ada acara pembagian warisan, Ayah nggak diundang?" Wajah Ayah berubah pias dan kecewa.Sebagai anak sulung seharusnya beliau lah yang memimpin jika ada musyawarah keluarga. Namun, tidak dengan hal ini. Sungguh berbeda jauh.Ayah terdiam dengan pandangan melihat televisi. Ibu yang merasa bersalah dengan membawakan berita tersebut mendekati suaminya. Bersandar pada bahu kokoh yang begitu sangat tegar meskipun tidak dianggap oleh saudaranya."Biarkan saja, Bu.""Kita diminta Bapak kesana besok malam. Kemarin berpesan saat aku kondangan, nanti Ibu temani, takutnya Ayah nanti khilaf. Jangan marah jika tidak dibagi rata, ya, Yah. Dikasih tanah ini saja kita sudah bersyukur.""Siapa yang bilang dikasih? Tanah ini aku membelinya meski aku ini anak kandung Bapak. Aku anak sulung yang selalu bekerja siang malam demi kebutuhan Salimah dan Kandar, tapi apa balasannya? Justru mereka memandangku rendah karena tidak berharta!" geram Ayah dengan gigi bergemeletuk.Amarahnya memuncak. Ibu yang duduk disamping Ayah sedikit ketakutan melihat kilatan emosinya yang membara."Bapak memintaku membeli tanah ini saat aku mendapatkan uang dari bekerja dulu, Bu. Tanah yang kita tempati ini bukanlah warisan. Aku tahu jika Bapak dan Ibu pilih kasih, lihat saja itu Salimah, dia bergelimang harta, tapi bukan hasil kerja kerasnya sendiri melainkan warisan dari Ayah."Aku jadi tahu kenyataan baru, ternyata seperti ini perilaku Kakek terhadap Ayah yang adalah anak sulungnya? Mereka bertiga bersaudara, seharusnya Kakek bisa rata dan jelas dalam memberikan hak untuk anak-anaknya.Namun, biarkanlah. Bagiku cukup tahu saja itu lebih dari penting saat ini. Ayah masih terlihat emosi, segera kubuatkan kopi pahit kesukaannya. Semoga saja dengan meminum minuman itu, beliau bertambah tenang malam ini."Aku kerja keras katanya untuk pendidikan adik-adikku biar sukses, sudah ku korbankan semua untuk mereka, Bu, hingga menjadi besar seperti sekarang. Namun, apa balasan yang aku dapat? Justru mereka seolah jijik terhadap Kakaknya yang hanya tamatan SD ini. Bapak memang seperti itu, nggak pernah adil jika untuk aku." Ayah seolah mengeluarkan uneg-uneg dalam hatinya.Giginya bergemeletuk, otot-otot tangannya terlihat menyembul seperti sebuah kemarahan yang memang benar-benar sedang memuncak.Belum pernah aku melihat Ayah seperti sekarang. Mata tajam itu memerah, mungkin Ayah benar-benar sakit hati teramat dalam."Kalau orang tua tegas, seharusnya saat ada pesta kemarin dia datang kesini atau memberitahukan putrinya untuk bisa bersama dengan keadaan. Nyatanya tidak! Ah, sudahlah, Ayah capek. Mau tidur!" Ayah berlalu menuju kamarnya, menyusul Mas Agus yang telah duluan merajut mimpi.Iya, selama ini Ayah tidur berdua dengan Ayah. Ibu tidur sendirian di kamarku dan aku pun tidur tanpa teman di tempatku sendiri. Ibu menatapku sendu, wajah tuanya seperti merasa kesedihannya yang mendalami setelah melihatku pasangan hidupnya yang sedang kecewa.Baru kali ini kami mendengar dengan jelas alasan saudara Ayah berbuat demikian. Bahkan Kakek yang seolah acuh jika Bi Salimah melakukan perbuatan buruknya terhadap kami."Tidur, Nduk! Sudah malam, jaga kesehatan yang paling penting. Soal Ayahmu tadi nggak usah dimasukin hati, biar Tuhan yang memberikan baik buruk terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang tidak baik dengan kita!" titah Ibu, beliau pun beranjak dari duduknya menuju peraduan.🔥🔥Pagi menyapa, kulihat Lek Kandar dan Lek Widi sudah ada dirumah Bi Salimah. Langkah panjang Lek Kandar menuju kediamanku membuat hati ini sedikit gundah."Mana Ayahmu?" tanya Lek Kandar dengan melihat ke sekeliling ruangan ini."Apa?" Belum juga aku menjawab, lelaki itu datang dengan pandangan sinis."Dipanggil Bapak, Mas. Ayo kita ke sana!" ajak Lek Kandar dan berlalu meninggalkan kami yang masih terdiam di tempat.Ayah duduk di sofa, memijat pelipisnya pelan dengan sesekali mata itu berkedip-kedip. Saat hendak beranjak berdiri, Ibu dengan sigap menggandeng tangannya."Ibu ikut, hanya ingin menemani Ayah. Jangan sampai Ayah mempermalukan diri sendiri karena sikap gegabah dan marah. Boleh, ya?" tanya Ibu lembut, dielusnya berulangkali lengan Ayah."Ayo!"Berdua mereka menuju rumah Bi Salimah, aku yang melihat pemandangan itu sangat sakit. Andai benar Ayah akan diacuhkan dan Kakek tidak bisa adil, maka apa yang akan terjadi selanjutnya?Ah, otak ini semakin sakit jika harus ikut campur urusan orang tua. Ternyata jadi orang tua nggak seenak yang aku bayangkan. Justru berbagai permasalahan datang silih berganti.Semenit, setengah jam hingga satu jam lebih kedua orang tuaku tak kunjung pulang. Dada ini semakin tak karuan. Bermain ponsel demi mengurangi rasa cemas tak juga bisa menghibur diri dengan apa yang aku inginkan.Sial. Aku bergumam sendirian dalam sepi. Lalu pemandangan aneh di depan sana membuat keningku berkerut. Ayah menuntun sepeda tua yang sudah berkarat. Pandangannya kosong dan wajah Ibu menunduk sendu."Bu," panggilku saat mereka sudah masuk rumah. Sepeda butut itu diletakkan di dekat pintu masuk."Itu warisan dari Kakek kamu, berbesar hatilah untuk keputusan gila ini. Belajar yang baik dan bekerja keraslah demi masa depan indahmu, Ayah hanya bisa memberikan doa yang banyak, bukan harta berlimpah. Semoga kamu mengerti!" Mata Ayah mengembun, setelah berucap demikian beliau lalu menuju dapur.Suara dentingan sendok terdengar hingga kami di ruang tamu mendengarnya. Mungkin Ayah lapar sehingga sehabis pulang lali mengisi perutnya.🖤🖤🖤Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong. Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama. Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh. "Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat."Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi mi
Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan. Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah. Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas. Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya. Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela. "Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. D
Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu. Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang. Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena me
"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin
"Kamu yakin akan menerima pinangan dari lelaki yang belum kamu kenal sebelumnya, Nak?" tanya Ibu yang membuat hati ini sedikit goyah.Iya, aku menyetujui keputusan Mbah Darma kala itu. Dalam sepertiga malam ketika aku meminta kepada Tuhan dengan keputusan yang akan aku ambil, jalan ini yang menjadi akhir dari sebuah kebimbangan. Hari ini rumahku begitu ramai, meski hanya acara kecil-kecilan untuk menyambut tamu dari pihak calon lelaki yang datang dan tidak banyak seperti permintaan kami sebelumnya. Namun, kami sekeluarga tetap mempersiapkan segalanya tanpa cela. Bi Salimah datang beserta suami, entah terbuat dari apa muka kedua orang tersebut. Tidak bertegur sapa dengan Ayah dan Ibu, tapi datang juga ketika Mbah Darma memintanya untuk ikut hadir disini. Pun dengan Bapaknya Ayah, beliau nampak duduk di bangku kayu panjang yang dibuat anak lelakinya itu dari kayu jati asli tanpa di poles dengan wajah sedikit masam.Iring-iringan calon lelaki sudah memasuki halaman, para kerabat berdir
Mata ini tiba-tiba mengembun, entah apa maksud dari wanita itu. Saat aku melihatnya, justru senyum mengejek tersungging di sudut bibir Bi Salimah. Sepertinya dia ingin sekali menggagalkan rencana ini. Dada ini bergemuruh, tangan mengepal kuat seakan emosi begitu membakar jiwaku yang sedang berusaha meredam bara amarah."Dia adalah Kakakku, saudara lelaki yang sangat aku sayangi." Suaraku membuyarkan pikiran semua orang yang berada di ruangan ini dan pandangan mereka tertuju padaku yang berdiri di depan dengan berbicara lantang. "Beberapa laki-laki dulunya pernah meminangku, tapi mereka memutuskan sepihak karena alasan aku mempunyai seorang Kakak yang cacat dan menjadi bahan cemoohan orang lain. Andai Bapak, Ibu dan juga Mas, Mas …" "Yanuar," celetuk salah satu saudaranya keras. "Iya, Mas Yanuar ingin juga memutuskan hubungan ini seperti sebelumnya, kami tidak bisa menghalanginya. Silahkan ambil keputusan sebelum semuanya terjadi. Kami ikhlas dan tidak bisa menyalahkan." Aku bertutur