Share

Bab 8 BALAS BAKTI

Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.

Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong.

Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama.

Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh.

"Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat.

"Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi milikku, jadi jangan mencari masalah dengan kami!" tukas Lek Santoso garang.

Aku mendadak emosi, inginku banting lelaki yang berdiri dengan berkacak pinggang tersebut. Andai Ibu tidak mencekal tanganku, maka akan aku hajar dia sampai habis.

"Omong kosong apa ini?" Ayah mencebik lalu duduk di kursi sofa.

Kedua tamu yang tak pernah kami undang itu menggerutu tak jelas. Mereka mengekori Ayah dan memandang penuh amarah. Entah apa yang membuat mereka berbuat gila seperti ini. Padahal Ayah tidak pernah sekalipun mempunyai pikiran ingin merebut ataupun marah kepada Kakek karena perbuatan tidak adilnya tersebut.

"Bukan omong kosong, tapi kenyataannya seperti itu. Kamu mau mengambil bagian yang bukan milikmu? Jangan serakah! Itu milik Kandar!" pekik Bi Salimah.

"Dia tidak mengambil hakku, tapi aku yang akan memberikan milikku untuknya dan kalian nggak berhak mengambilnya kembali!" Lek Kandar datang dan bersuara lantang.

Sontak kami semua menoleh dan terkejut. Aku dan Ibu saling pandang kebingungan. Namun, bukan pada pasangan sadis yang berdiri di depan Ayah itu. Tapi pada lelaki yang baru saja berucap tanpa sebab yang kami ketahui.

Ternyata Lek Kandar tidak sendirian, istri juga anak lelakinya ikut serta dan berjalan di belakang dengan senyum ramah kepadaku juga Ibu.

Andre menghampiri kami yang masih terpaku di ruangan tengah. Tangannya terulur mencium takzim punggung tangan aku dan Ibu. Pun aku bersalaman dengan Lek Widi yang tiba-tiba mendekat.

"Mas Budi tidak tahu menahu perihal pekarangan itu, aku yang akan memberikan kepadanya sebagai baktiku kala masih kecil. Kasih sayangnya tulus dan tanpa pamrih, merelakan tidak sekolah demi masa depan kita, Mbak Salimah. Namun, apa balasan kita? Juga kesalahan Bapak adalah selalu menurut apapun kehendak kamu." Lek Kandar menunduk, ada kesedihan yang menjalari hatinya. Buktinya air mata keluar dari sudut mata tajam lelaki yang selalu bersikap baik terhadap Ayah itu.

"Kita bisa menjadi seperti ini berkat dia, Mbak. Apa susahnya jika kita memberikan sedikit saja apa yang diberikan oleh Bapak!"

"Tidak! Enak saja, aku begini karena usahaku sendiri bukan karena dia. Kamu kalau nggak mau pekarangan itu biar nanti aku bilang sama Bapak untuk mengambilnya kembali!"

"Jangan gila dan serakah, Mbak! Kamu dan keluargamu sudah berbuat buruk terhadap Kakak tertua kita. Lihat anak-anakmu, nggak ada satupun yang menghargai kalau mereka ini saudara kita!"

Bi Salimah mencebik, matanya menatap marah terhadap Ayah. Kebenciannya yang semakin besar bagaikan gunung es yang siap mencair dan membanjiri sekelilingnya.

"Dan kamu, seharusnya sebagai seorang suami bisa menasehati anggota keluarga jika ada yang tidak baik dalam berpikir. Bukannya malah menjadi seorang Sengkuni dalam masalah ini," murka Lek Kandar.

Aku yang belum pernah mendengar adik lelaki Ayah semarah itu sontak mulutku menganga lebar.

"Sudah, kalian semua pulang saja dari rumah ini. Aku nggak butuh warisan apapun dari orang tua kalian. Aku nggak perlu susah payah mengambil hak kalian, karena suatu saat semua itu akan hilang musnah tak berharga. Pulang!" bentak Ayah dengan menggebrak meja keras.

Kudekati lelaki yang duduk dengan nafas tersengal-sengal itu. Punggungnya kuelus lembut, berharap amarah yang begitu besar akan hilang dibawa angin kebencian.

"Dengar apa pesan Ayah untukmu, jangan sekali-kali kamu mengambil hak orang lain, nggak baik. Suatu saat kehidupanmu justru akan jauh lebih baik dari mereka. Percayalah, Tuhan tidak akan sekejam itu terhadap kita." Aku mengangguk berulang-ulang mendengar suara yang bergetar itu.

Lelaki disampingku ini mungkin sudah terlalu lelah hati dan batin menerima ketidak adilan yang selama ini diterimanya. Ayah berlalu masuk ke kamar, menguncinya dari dalam.

Raut wajah Ibu pun sama, sedih dan mengembun setelah kejadian yang terjadi di depannya membuat luka yang menganga menjadi semakin lebar.

Lek Kandar dan anak istrinya pulang setelah berpamitan kepada kami, tak lupa diikuti oleh pasangan suami istri gila yang hanya menoleh sekilas lalu menghentakkan kakinya keras di lantai rumah kami.

Kupandangi punggung mereka hingga hilang dari balik pintu rumah yang terbuka lebar. Aku menengadah menatap lampu yang menyinari seluruh ruangan ini menjadi terang benderang. Andai persaudaraan mereka erat pasti akan saling mendukung satu sama lainnya seperti lampu yang setia kepada bayangannya.

Namun, semua hanyalah sebuah angan yang melintas saat hati ini pun ikut terluka melihat keadaan buruk yang menimpa keluargaku.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status