Home / Lainnya / SEPEDA TUA WARISAN KAKEK / Bab 8 BALAS BAKTI

Share

Bab 8 BALAS BAKTI

Author: Anna Janitra
last update Last Updated: 2023-02-28 21:39:12

Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.

Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong.

Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama.

Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh.

"Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat.

"Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi milikku, jadi jangan mencari masalah dengan kami!" tukas Lek Santoso garang.

Aku mendadak emosi, inginku banting lelaki yang berdiri dengan berkacak pinggang tersebut. Andai Ibu tidak mencekal tanganku, maka akan aku hajar dia sampai habis.

"Omong kosong apa ini?" Ayah mencebik lalu duduk di kursi sofa.

Kedua tamu yang tak pernah kami undang itu menggerutu tak jelas. Mereka mengekori Ayah dan memandang penuh amarah. Entah apa yang membuat mereka berbuat gila seperti ini. Padahal Ayah tidak pernah sekalipun mempunyai pikiran ingin merebut ataupun marah kepada Kakek karena perbuatan tidak adilnya tersebut.

"Bukan omong kosong, tapi kenyataannya seperti itu. Kamu mau mengambil bagian yang bukan milikmu? Jangan serakah! Itu milik Kandar!" pekik Bi Salimah.

"Dia tidak mengambil hakku, tapi aku yang akan memberikan milikku untuknya dan kalian nggak berhak mengambilnya kembali!" Lek Kandar datang dan bersuara lantang.

Sontak kami semua menoleh dan terkejut. Aku dan Ibu saling pandang kebingungan. Namun, bukan pada pasangan sadis yang berdiri di depan Ayah itu. Tapi pada lelaki yang baru saja berucap tanpa sebab yang kami ketahui.

Ternyata Lek Kandar tidak sendirian, istri juga anak lelakinya ikut serta dan berjalan di belakang dengan senyum ramah kepadaku juga Ibu.

Andre menghampiri kami yang masih terpaku di ruangan tengah. Tangannya terulur mencium takzim punggung tangan aku dan Ibu. Pun aku bersalaman dengan Lek Widi yang tiba-tiba mendekat.

"Mas Budi tidak tahu menahu perihal pekarangan itu, aku yang akan memberikan kepadanya sebagai baktiku kala masih kecil. Kasih sayangnya tulus dan tanpa pamrih, merelakan tidak sekolah demi masa depan kita, Mbak Salimah. Namun, apa balasan kita? Juga kesalahan Bapak adalah selalu menurut apapun kehendak kamu." Lek Kandar menunduk, ada kesedihan yang menjalari hatinya. Buktinya air mata keluar dari sudut mata tajam lelaki yang selalu bersikap baik terhadap Ayah itu.

"Kita bisa menjadi seperti ini berkat dia, Mbak. Apa susahnya jika kita memberikan sedikit saja apa yang diberikan oleh Bapak!"

"Tidak! Enak saja, aku begini karena usahaku sendiri bukan karena dia. Kamu kalau nggak mau pekarangan itu biar nanti aku bilang sama Bapak untuk mengambilnya kembali!"

"Jangan gila dan serakah, Mbak! Kamu dan keluargamu sudah berbuat buruk terhadap Kakak tertua kita. Lihat anak-anakmu, nggak ada satupun yang menghargai kalau mereka ini saudara kita!"

Bi Salimah mencebik, matanya menatap marah terhadap Ayah. Kebenciannya yang semakin besar bagaikan gunung es yang siap mencair dan membanjiri sekelilingnya.

"Dan kamu, seharusnya sebagai seorang suami bisa menasehati anggota keluarga jika ada yang tidak baik dalam berpikir. Bukannya malah menjadi seorang Sengkuni dalam masalah ini," murka Lek Kandar.

Aku yang belum pernah mendengar adik lelaki Ayah semarah itu sontak mulutku menganga lebar.

"Sudah, kalian semua pulang saja dari rumah ini. Aku nggak butuh warisan apapun dari orang tua kalian. Aku nggak perlu susah payah mengambil hak kalian, karena suatu saat semua itu akan hilang musnah tak berharga. Pulang!" bentak Ayah dengan menggebrak meja keras.

Kudekati lelaki yang duduk dengan nafas tersengal-sengal itu. Punggungnya kuelus lembut, berharap amarah yang begitu besar akan hilang dibawa angin kebencian.

"Dengar apa pesan Ayah untukmu, jangan sekali-kali kamu mengambil hak orang lain, nggak baik. Suatu saat kehidupanmu justru akan jauh lebih baik dari mereka. Percayalah, Tuhan tidak akan sekejam itu terhadap kita." Aku mengangguk berulang-ulang mendengar suara yang bergetar itu.

Lelaki disampingku ini mungkin sudah terlalu lelah hati dan batin menerima ketidak adilan yang selama ini diterimanya. Ayah berlalu masuk ke kamar, menguncinya dari dalam.

Raut wajah Ibu pun sama, sedih dan mengembun setelah kejadian yang terjadi di depannya membuat luka yang menganga menjadi semakin lebar.

Lek Kandar dan anak istrinya pulang setelah berpamitan kepada kami, tak lupa diikuti oleh pasangan suami istri gila yang hanya menoleh sekilas lalu menghentakkan kakinya keras di lantai rumah kami.

Kupandangi punggung mereka hingga hilang dari balik pintu rumah yang terbuka lebar. Aku menengadah menatap lampu yang menyinari seluruh ruangan ini menjadi terang benderang. Andai persaudaraan mereka erat pasti akan saling mendukung satu sama lainnya seperti lampu yang setia kepada bayangannya.

Namun, semua hanyalah sebuah angan yang melintas saat hati ini pun ikut terluka melihat keadaan buruk yang menimpa keluargaku.

🖤🖤🖤

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 165 TAMAT

    Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 164 LULUH

    “Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 163 KACAU

    “Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 162 KAGET

    Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 161 KERAS KEPALA

    “Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 160 HATI

    Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status