Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.
Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong.Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama.Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh."Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat."Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi milikku, jadi jangan mencari masalah dengan kami!" tukas Lek Santoso garang.Aku mendadak emosi, inginku banting lelaki yang berdiri dengan berkacak pinggang tersebut. Andai Ibu tidak mencekal tanganku, maka akan aku hajar dia sampai habis."Omong kosong apa ini?" Ayah mencebik lalu duduk di kursi sofa.Kedua tamu yang tak pernah kami undang itu menggerutu tak jelas. Mereka mengekori Ayah dan memandang penuh amarah. Entah apa yang membuat mereka berbuat gila seperti ini. Padahal Ayah tidak pernah sekalipun mempunyai pikiran ingin merebut ataupun marah kepada Kakek karena perbuatan tidak adilnya tersebut."Bukan omong kosong, tapi kenyataannya seperti itu. Kamu mau mengambil bagian yang bukan milikmu? Jangan serakah! Itu milik Kandar!" pekik Bi Salimah."Dia tidak mengambil hakku, tapi aku yang akan memberikan milikku untuknya dan kalian nggak berhak mengambilnya kembali!" Lek Kandar datang dan bersuara lantang.Sontak kami semua menoleh dan terkejut. Aku dan Ibu saling pandang kebingungan. Namun, bukan pada pasangan sadis yang berdiri di depan Ayah itu. Tapi pada lelaki yang baru saja berucap tanpa sebab yang kami ketahui.Ternyata Lek Kandar tidak sendirian, istri juga anak lelakinya ikut serta dan berjalan di belakang dengan senyum ramah kepadaku juga Ibu.Andre menghampiri kami yang masih terpaku di ruangan tengah. Tangannya terulur mencium takzim punggung tangan aku dan Ibu. Pun aku bersalaman dengan Lek Widi yang tiba-tiba mendekat."Mas Budi tidak tahu menahu perihal pekarangan itu, aku yang akan memberikan kepadanya sebagai baktiku kala masih kecil. Kasih sayangnya tulus dan tanpa pamrih, merelakan tidak sekolah demi masa depan kita, Mbak Salimah. Namun, apa balasan kita? Juga kesalahan Bapak adalah selalu menurut apapun kehendak kamu." Lek Kandar menunduk, ada kesedihan yang menjalari hatinya. Buktinya air mata keluar dari sudut mata tajam lelaki yang selalu bersikap baik terhadap Ayah itu."Kita bisa menjadi seperti ini berkat dia, Mbak. Apa susahnya jika kita memberikan sedikit saja apa yang diberikan oleh Bapak!""Tidak! Enak saja, aku begini karena usahaku sendiri bukan karena dia. Kamu kalau nggak mau pekarangan itu biar nanti aku bilang sama Bapak untuk mengambilnya kembali!""Jangan gila dan serakah, Mbak! Kamu dan keluargamu sudah berbuat buruk terhadap Kakak tertua kita. Lihat anak-anakmu, nggak ada satupun yang menghargai kalau mereka ini saudara kita!"Bi Salimah mencebik, matanya menatap marah terhadap Ayah. Kebenciannya yang semakin besar bagaikan gunung es yang siap mencair dan membanjiri sekelilingnya."Dan kamu, seharusnya sebagai seorang suami bisa menasehati anggota keluarga jika ada yang tidak baik dalam berpikir. Bukannya malah menjadi seorang Sengkuni dalam masalah ini," murka Lek Kandar.Aku yang belum pernah mendengar adik lelaki Ayah semarah itu sontak mulutku menganga lebar."Sudah, kalian semua pulang saja dari rumah ini. Aku nggak butuh warisan apapun dari orang tua kalian. Aku nggak perlu susah payah mengambil hak kalian, karena suatu saat semua itu akan hilang musnah tak berharga. Pulang!" bentak Ayah dengan menggebrak meja keras.Kudekati lelaki yang duduk dengan nafas tersengal-sengal itu. Punggungnya kuelus lembut, berharap amarah yang begitu besar akan hilang dibawa angin kebencian."Dengar apa pesan Ayah untukmu, jangan sekali-kali kamu mengambil hak orang lain, nggak baik. Suatu saat kehidupanmu justru akan jauh lebih baik dari mereka. Percayalah, Tuhan tidak akan sekejam itu terhadap kita." Aku mengangguk berulang-ulang mendengar suara yang bergetar itu.Lelaki disampingku ini mungkin sudah terlalu lelah hati dan batin menerima ketidak adilan yang selama ini diterimanya. Ayah berlalu masuk ke kamar, menguncinya dari dalam.Raut wajah Ibu pun sama, sedih dan mengembun setelah kejadian yang terjadi di depannya membuat luka yang menganga menjadi semakin lebar.Lek Kandar dan anak istrinya pulang setelah berpamitan kepada kami, tak lupa diikuti oleh pasangan suami istri gila yang hanya menoleh sekilas lalu menghentakkan kakinya keras di lantai rumah kami.Kupandangi punggung mereka hingga hilang dari balik pintu rumah yang terbuka lebar. Aku menengadah menatap lampu yang menyinari seluruh ruangan ini menjadi terang benderang. Andai persaudaraan mereka erat pasti akan saling mendukung satu sama lainnya seperti lampu yang setia kepada bayangannya.Namun, semua hanyalah sebuah angan yang melintas saat hati ini pun ikut terluka melihat keadaan buruk yang menimpa keluargaku.🖤🖤🖤Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan. Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah. Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas. Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya. Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela. "Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. D
Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu. Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang. Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena me
"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin
"Kamu yakin akan menerima pinangan dari lelaki yang belum kamu kenal sebelumnya, Nak?" tanya Ibu yang membuat hati ini sedikit goyah.Iya, aku menyetujui keputusan Mbah Darma kala itu. Dalam sepertiga malam ketika aku meminta kepada Tuhan dengan keputusan yang akan aku ambil, jalan ini yang menjadi akhir dari sebuah kebimbangan. Hari ini rumahku begitu ramai, meski hanya acara kecil-kecilan untuk menyambut tamu dari pihak calon lelaki yang datang dan tidak banyak seperti permintaan kami sebelumnya. Namun, kami sekeluarga tetap mempersiapkan segalanya tanpa cela. Bi Salimah datang beserta suami, entah terbuat dari apa muka kedua orang tersebut. Tidak bertegur sapa dengan Ayah dan Ibu, tapi datang juga ketika Mbah Darma memintanya untuk ikut hadir disini. Pun dengan Bapaknya Ayah, beliau nampak duduk di bangku kayu panjang yang dibuat anak lelakinya itu dari kayu jati asli tanpa di poles dengan wajah sedikit masam.Iring-iringan calon lelaki sudah memasuki halaman, para kerabat berdir
Mata ini tiba-tiba mengembun, entah apa maksud dari wanita itu. Saat aku melihatnya, justru senyum mengejek tersungging di sudut bibir Bi Salimah. Sepertinya dia ingin sekali menggagalkan rencana ini. Dada ini bergemuruh, tangan mengepal kuat seakan emosi begitu membakar jiwaku yang sedang berusaha meredam bara amarah."Dia adalah Kakakku, saudara lelaki yang sangat aku sayangi." Suaraku membuyarkan pikiran semua orang yang berada di ruangan ini dan pandangan mereka tertuju padaku yang berdiri di depan dengan berbicara lantang. "Beberapa laki-laki dulunya pernah meminangku, tapi mereka memutuskan sepihak karena alasan aku mempunyai seorang Kakak yang cacat dan menjadi bahan cemoohan orang lain. Andai Bapak, Ibu dan juga Mas, Mas …" "Yanuar," celetuk salah satu saudaranya keras. "Iya, Mas Yanuar ingin juga memutuskan hubungan ini seperti sebelumnya, kami tidak bisa menghalanginya. Silahkan ambil keputusan sebelum semuanya terjadi. Kami ikhlas dan tidak bisa menyalahkan." Aku bertutur
Lek Santoso berdiri dan memandang sinis ke arah kami sebelum pulang menyusul sang istri yang telah angkat kaki terlebih dahulu. Penyakit hati memang sangat berbahaya dan itu bisa menggerogoti jiwa seseorang yang sedang baik-baik saja. Makanya kita diwajibkan selalu mengingat akan Tuhan jika sedikit saja tersentuh oleh penyakit tersebut.Namun, jika seseorang yang sudah dalam keadaan akut maka akan sulit untuk diingatkan bahkan di obati sekalipun. Beruntunglah kita yang masih waras dan bisa berpikiran jernih jika perbuatan tersebut tak layak dicontoh apalagi dicoba."Mungkinkah juga keluarga kalian ada yang cacat, ya, kok bisa-bisanya mau menikahi wanita seperti dia yang mempunyai saudara seperti itu!" sinisnya yang membuat mata kami semua di ruangan ini membulat sempurna."Santoso!" teriak Mbah Darma lantang. Si empunya nama mencebik saat lelaki sepuh itu berteriak dengan keras memekakkan telinga. Berdiri dan berkacak pinggang serta napas memburu, Mbah Darma mendekati Lek Santoso yan