Semua keluarga besar datang berduyun-duyun ke rumah Bi Salimah. Tenda pernikahan pun di tata rapi dengan segala temannya. Tak terkecuali panggung pelaminan dan juga hiburan sudah selesai didirikan.
Namun, lagi-lagi kami hanya melihat dari kejauhan. Dari rumah kami sendiri, bukan karena nggak menghormati si empunya hajat. Dikarenakan mereka tidak ada satupun yang memberi tahu ataupun datang kerumah kami untuk mengajaknya kesana."Bersihkan rumah dengan baik, Ibu mau pergi sebentar kesana membawa beras dan gula!" ujar Ibu yang melihat diri ini terpaku di kursi tamu.Aku mengangguk meski tatapan mata ini enggan terlepas dari pemandangan ramai di depan sana."Jangan dipikirkan terlalu dalam, orang seperti mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini hanya sekedar berbasa-basi." Ibu menjawab rasa penasaran didalam hatiku, seperti cenayang saja bisa membaca kata hati."Lalu kenapa Ibu harus kesana? Mending nggak usahlah, Bu!"Mata ibu melotot ke arahku, entah apa maksudnya aku terlalu bodoh untuk mengerti maksudnya. Kutatap Mas Agus yang melihat acara televisi.Sekitar jam sembilan pagi, iring-iringan pengantin datang. Beberapa barang lamaran sudah berjajar rapi di atas mobil dan siap untuk diturunkan.Senyum para saudara yang menghadiri acara tersebut sumringah dengan berbagai candaan yang membuat tawa keras menggema. Sebuah mobil pun ikut diturunkan, berwarna merah menggoda diparkirkan di depan rumah Bi Salimah."Lho, Pakde Budi nggak kesana?" tanya Andre, anak Lek Kandar.Lelaki yang sudah berusia sekitar tujuh belas tahun itu justru duduk di terasku melihat keriuhan dari jauh. Ayah yang ditanya keponakannya hanya menggeleng lemah."Ah, memang Bude Salimah itu orang yang aneh. Masak depan rumah juga saudaranya malah nggak diundang. Semalam sudah ditanyakan sama Ayah dan saudara lainnya, tapi jawabannya membuat semua orang geleng-geleng.""Memang apa jawabnya?" tanyaku penasaran."Katanya nanti habis makanan dia di ambil sama Pakde dan keluarganya." Andre tertawa dengan menggelengkan kepalanya lagi.Mungkin terdengar lucu bagi yang belum pernah mengetahui sifat dari adik Ayah itu, tapi kalau menurut kami itu justru sebuah hinaan. Memangnya kami tukang makan? Ah, aku jadi kepikiran dengan Ibu yang berada disana.Bagaimana nanti kalau Ibu diperlakukan buruk disana? Gelisah diri ini sambil sesekali melihat ke arah rumah yang semakin ramai dengan suara hiburan dari seorang biduan."Mbak Suci kenapa?" Andre memandang sikapku yang tidak bisa diam."Ibu ada disana, nanti kalau mereka berbuat buruk bagaimana?" Kedua alisku naik menjawab Andre.Jantung ini semakin kencang berdetak. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyeruak kembali di hati ini."Santai, Mbak. Ada Ibu disana, lagian kalau dia berani macam-macam nanti juga Ayah akan memarahinya. Lucu sekali Bude, bisa-bisanya takut sama adiknya sedang sama Kakaknya saja nggak punya rasa hormat apalagi takut," gerutu Andre dengan pandangan lurus ke depan.Kembali aku duduk di kursi, mengelus lembut dada yang tidak beraturan ini. Berharap dia mengikuti perintahku untuk tetap tenang dan kalem.Ayah yang duduknya tak jauh dariku ikut memandang keluar rumah. Mungkin juga hatinya telah terluka karena tidak diajak untuk menghadiri acara pesta tersebut.Kugenggam erat tangan Ayah yang terasa dingin, mata kamipun saling beradu. Aku tahu jika ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Ah, lelakiku ini harus berpura-pura baik-baik saja di luar, padahal di dalam jiwanya sedang hancur berkeping-keping."Ayah baik-baik saja?" tanyaku penasaran.Beliau mengangguk lalu mengusap punggung tangan ini berulang kali. Sepertinya hendak mengeluarkan suara, tapi ada sesuatu yang membuatnya terkatup sempurna.🖤🖤🖤Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in