Share

Bab 6 TAK DIUNDANG

Semua keluarga besar datang berduyun-duyun ke rumah Bi Salimah. Tenda pernikahan pun di tata rapi dengan segala temannya. Tak terkecuali panggung pelaminan dan juga hiburan sudah selesai didirikan.

Namun, lagi-lagi kami hanya melihat dari kejauhan. Dari rumah kami sendiri, bukan karena nggak menghormati si empunya hajat. Dikarenakan mereka tidak ada satupun yang memberi tahu ataupun datang kerumah kami untuk mengajaknya kesana.

"Bersihkan rumah dengan baik, Ibu mau pergi sebentar kesana membawa beras dan gula!" ujar Ibu yang melihat diri ini terpaku di kursi tamu.

Aku mengangguk meski tatapan mata ini enggan terlepas dari pemandangan ramai di depan sana.

"Jangan dipikirkan terlalu dalam, orang seperti mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini hanya sekedar berbasa-basi." Ibu menjawab rasa penasaran didalam hatiku, seperti cenayang saja bisa membaca kata hati.

"Lalu kenapa Ibu harus kesana? Mending nggak usahlah, Bu!"

Mata ibu melotot ke arahku, entah apa maksudnya aku terlalu bodoh untuk mengerti maksudnya. Kutatap Mas Agus yang melihat acara televisi.

Sekitar jam sembilan pagi, iring-iringan pengantin datang. Beberapa barang lamaran sudah berjajar rapi di atas mobil dan siap untuk diturunkan.

Senyum para saudara yang menghadiri acara tersebut sumringah dengan berbagai candaan yang membuat tawa keras menggema. Sebuah mobil pun ikut diturunkan, berwarna merah menggoda diparkirkan di depan rumah Bi Salimah.

"Lho, Pakde Budi nggak kesana?" tanya Andre, anak Lek Kandar.

Lelaki yang sudah berusia sekitar tujuh belas tahun itu justru duduk di terasku melihat keriuhan dari jauh. Ayah yang ditanya keponakannya hanya menggeleng lemah.

"Ah, memang Bude Salimah itu orang yang aneh. Masak depan rumah juga saudaranya malah nggak diundang. Semalam sudah ditanyakan sama Ayah dan saudara lainnya, tapi jawabannya membuat semua orang geleng-geleng."

"Memang apa jawabnya?" tanyaku penasaran.

"Katanya nanti habis makanan dia di ambil sama Pakde dan keluarganya." Andre tertawa dengan menggelengkan kepalanya lagi.

Mungkin terdengar lucu bagi yang belum pernah mengetahui sifat dari adik Ayah itu, tapi kalau menurut kami itu justru sebuah hinaan. Memangnya kami tukang makan? Ah, aku jadi kepikiran dengan Ibu yang berada disana.

Bagaimana nanti kalau Ibu diperlakukan buruk disana? Gelisah diri ini sambil sesekali melihat ke arah rumah yang semakin ramai dengan suara hiburan dari seorang biduan.

"Mbak Suci kenapa?" Andre memandang sikapku yang tidak bisa diam.

"Ibu ada disana, nanti kalau mereka berbuat buruk bagaimana?" Kedua alisku naik menjawab Andre.

Jantung ini semakin kencang berdetak. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyeruak kembali di hati ini.

"Santai, Mbak. Ada Ibu disana, lagian kalau dia berani macam-macam nanti juga Ayah akan memarahinya. Lucu sekali Bude, bisa-bisanya takut sama adiknya sedang sama Kakaknya saja nggak punya rasa hormat apalagi takut," gerutu Andre dengan pandangan lurus ke depan.

Kembali aku duduk di kursi, mengelus lembut dada yang tidak beraturan ini. Berharap dia mengikuti perintahku untuk tetap tenang dan kalem.

Ayah yang duduknya tak jauh dariku ikut memandang keluar rumah. Mungkin juga hatinya telah terluka karena tidak diajak untuk menghadiri acara pesta tersebut.

Kugenggam erat tangan Ayah yang terasa dingin, mata kamipun saling beradu. Aku tahu jika ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Ah, lelakiku ini harus berpura-pura baik-baik saja di luar, padahal di dalam jiwanya sedang hancur berkeping-keping.

"Ayah baik-baik saja?" tanyaku penasaran.

Beliau mengangguk lalu mengusap punggung tangan ini berulang kali. Sepertinya hendak mengeluarkan suara, tapi ada sesuatu yang membuatnya terkatup sempurna.

🖤🖤🖤

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status