SESAL ( Nikah Terpaksa )
Bab 4
By : Desy Irianti
Biasa saja dia bilang rasa masakanku, tapi habis nasi satu piring beserta ikan dan sayurnya. Gengsi mengakui enak yang terasa dalam mulutnya itu. Apa tidak malu dengan kenyataan tak bersisa di piring?
Aku yang menggerutu dan senyum getir sendiri melihat tingkah suamiku ini, kaku dan susah bernada lembut kalau bicara denganku. Padahal aku berusaha untuk bisa bicara lembut dengannya, apalagi di depan orang.
"Firman, kamu jangan malu-malu di sini ya. Han, kamu sebagai istri harus bisa melayani suami kamu dengan baik." ucap Ibu yang menghampiri kami di meja makan.
Menarik kursi dan langsung duduk Ibu bergabung dengan kami. Masih dalam suasana bahagia mempunyai menantu baru apalagi Mas Firman menantu yang menjadi pilihan Ibu.
Bukan aku yang tidak bisa melayani suami, suaminya saja yang tidak mau di urus. Bukan salahku kalau.
"Iya, Bu." ucap bersamaan dengan Mas Firman.
Saling pandang aku dan dia, bisa-bisanya kami bersamaan mengucapkan kata yang sama. Apa kami sepemikiran? Gak mungkin saja kalau sepemikiran. Mungkin ini hanya kebetulan saja.
"Semoga kamu betah ya tinggal di sini, jangan segan-segan. Bilang saja sama Hana apa yang kamu inginkan."
"Bu, sebenarnya bukan Firman tidak mau tinggal di sini. Firman mau ajak Hana pindah." Ibu yang kaget mendengar ucapannya, sebab sebelum menikah ibu sudah pertanyakan ini dengan dia, dan Mas Firman menyetujuinya.
"Kalian mau pindah kemana? Apa mau pindah ke rumah Ibu kamu?"
"Gak, Bu. Cari kontrakan saja."
Berpindah tatapan Ibu ke arahku yang sebelumnya terus menatap wajah lawan bicaranya, menantu pilihannya.
Ada rasa sedih yang tergambar dari wajah Ibu, karena aku anak pertama perempuannya. Abang yang sudah tidak tinggal di rumah ini. Kalau aku juga pindah, tinggal bertiga Ibu Bapak dan adikku, Sany. Satu per satu anak yang sudah menikah pasti ingin mempunyai rumah sendiri.
"Rumah ini cukup besar dan hanya Ibu, Bapak dan Sany saja yang ada di sini. Dengan kamar yang ada lima, apa tidak bisa membuat kamu nyaman disini." ucap Ibu dengan suara yang terdengar sedih. Aku tahu perasaan Ibu, suatu saat nanti aku juga akan merasakan hal seperti ini jika anak perempuanku sudah menikah dan akan dibawa oleh suaminya.
"Bukan begitu, Bu. Saya juga ingin mandiri, biarkan kami berdua untuk hidup misah dulu."
Tarikan napas Ibu yang terdengar kasar di telingaku, berulang-ulang ibu melakukannya.
Aku tidak bisa membantah permintaan Mas Firman, ini juga usulanku yang menantangnya karena dia sesuka hati melakukan kebiasaan buruknya di sini. Biar aku saja yang tahu semua kejelekan suamiku ini, orang tua jangan sampai tahu.
Seperti apa yang akan terjadi dengan hidupku nanti berdua dengan dia, tidak akan aku ceritakan pada Ibu. Tidak mau kalau Ibu kepikiran, sebab merekalah yang mencarikan jodoh untukku. Ternyata tidak sebaik yang mereka pikirkan, malah sangat terbalik yang aku rasakan. Tapi ini sudah terjadi, tak ada guna disesali.
"Kira-kira kapan kalian mau pindah?" Walaupun seperti tidak terima, tapi Ibu berusaha kuat untuk menanyakan ini.
"Secepatnya, Bu. Kita akan cari-cari dulu kontrakannya."
Mas Firman belum ada konfirmasi denganku untuk ngontrak, kapan, dan di mana. Aku biarkan saja dia yang memikirkannya. Tidak akan aku tanya, sampai di mana dia bisa memikirkan ini sendiri tanpa adanya diskusi denganku.
Dia tidak menganggapku sebagai istri, hanya simbolis saja aku di matanya, hanya untuk formalitas yang dia berikan untuk keluarganya.
"Nanti Ibu sampaikan sama Bapak dulu ya, pastinya bapak juga harus tahu tentang ini."
"Iya, Bu."
Tidak ada aku keluarkan kata-kata satu pun. Walaupun sebenarnya aku sedih harus meninggalkan rumah dan orang yang ada di dalamnya, tapi aku sadar sudah menjadi kewajiban mengikuti kemanapun suami mengajak pergi.
Suami yang seperti ini saja aku ikuti kemauannya, apalagi kalau suami yang benar-benar sayang padaku pastinya dengan sangat bahagia aku tanpa harus bersedih-sedih. Mudah-mudahan ada pelangi setelah hujan.
Setelah berjalan berbaris kebelakang, dan sekarang duduk bersebrangan. Pasangan suami istri yang aneh dan kaku, tidak ada manis-manisnya. Tapi ini adalah aku dan suamiku, memang aneh.
"Kamu sudah dengar tadi kan, kita akan pindah dari sini!" ucap Mas Firman.
Menganggukkan kepala beberapa kali setelah aku mendengarkan ucapannya. Aku yang sibuk memainkan ponsel sambil mendengarkan ocehan yang terus dia keluarkan. Dia yang akan cari rumah kontrakannya, harus kapan keluar dari sini, panjang kali lebar dia katakan semua.
Terus menatap ke ponsel dan menganggukan kepala yang sudah berapa banyak aku lakukan sampai tidak terhitung lagi. Aku iyakan semua yang dia bilang sambil menelan air ludah sendiri.
Satu per satu keluarga yang menginap berpamitan untuk pulang, termasuk Bi Siti yang sudah membawa tas besar yang berisikan pakaian yang digunakan selama di rumahku.
"Bi, Bibi hari pulangnya?" tanyaku pada saat melihatnya berjalan menghampiriku. Yang aku tahu kalau dia akan pulang lusa. Ada perubahan tapi aku tidak tahu.
"Iya, Han. Bibi tidak enak ninggalin rumah terlalu lama." Kecemasan di wajahnya terlihat, memang tidak bisa kalau terlalu lama meninggalkan rumah begitu saja kosong.
Aku yang segera mencium punggung tangannya, di ikuti dengan Mas Firman juga yang berada di depan mataku.
Sangat dekat aku dengan Bi Siti, tinggal Ibu dan Bi Siti lah yang masih hidup di keluarga Ibu dari berempat adik kakak.
*****
Hari semakin sore, setelah semua keluarga tidak ada lagi di rumah ini, diikuti dengan peralatan dapur, tenda, kursi, dan yang berhubungan dengan benda yang kami sewa untuk pernikahan, telah selesai di jemput oleh pemiliknya.
Tampak terlihat luas halaman depan dan belakang rumah yang berwarnakan putih gading. Bersih, tanpa adanya sampah yang berserakan bekas bungkus makanan dan minum kemasan.
Terasa sangat sepi kembali seperti biasanya, Sany yang sangat betah berlama-lama di kamarnya membuatku seperti mati kutu. Seharusnya aku memiliki teman ngobrol setelah menikah seperti ibu dan bapak.
Aku ngiri melihat orang tuaku yang masih terlihat bersama-sama sampai setua ini. Walau hanya saling menemani makan ataupun minum kopi duduk di luar.
"Han, Firman mana?" Tiba-tiba suara ibu terdengar jelas di telingaku. Ibu yang menghampiriku duduk di ruang tamu.
"Ada di kamar, Bu."
"Han, rumah ini terasa sangat sepi ya. Apalagi kalau kamu pindah dari sini. Rumah ini cukup luas, Nak."
Aku tahu maksud dari ucapan Ibu, tidak ingin kalau aku keluar dari rumah ini. Apalah dayaku setelah aku menikah, yang harus aku ikuti sekarang adalah ucapan suami.
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 5By : Desy Irianti"Apa tidak bisa kamu merayu Firman untuk tinggal di sini, Nak."Tatapan matanya yang terlihat ada air di kelopak bawah. Sedih yang iya rasakan sekarang ini juga ikut aku rasakan. "Aku juga merasakan hal yang sama Ibu rasakan, sedih." gumamku dalam hati.Belum pernah aku hidup jauh dari orang tua yang telah memberikanku kehidupan seperti ini enaknya, kasih sayang yang berlimpah, fasilitas yang cukup. Membuatku takut sebenarnya kalau hidup berdua dengan Mas Firman, apalagi dengan sifat buruknya. Tapi, inilah kehidupan. Ada resiko yang harus aku terima dari setiap pilihan yang sudah aku pilih."Bu, Hana sudah menikah. Bukannya kalau kita sudah menikah, lebih bagus tinggal terpisah dari orang tua? Ibu kan sudah sering dengar dari penceramah di pengajian." Aku yang pernah ikut ke pengajian dan dengan tema yang sama aku alami ini, setelah menikah lebih bagus tinggal terpisah dari orang tua. Akan ada banyak masalah yang akan datang jika satu
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 6By : Desy Irianti"Han, hari ini mau masak apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berada di dapur. Aku tidak pernah meminta Ibu untuk membantu bertempur di dapur, kebiasaan Ibu yang sudah menjadi tanggung jawab setiap harinya harus bermain di tempat ini.Aku yang tidak terbiasa melakukan rutinitas di dapur setelah sholat subuh, tapi aku kalahkan malas yang selalu melekat setiap hari di tubuh ini demi kewajiban menyiapkan makanan untuk seorang suami."Mau masak ayam goreng, sambal terasi dan sayur asem. Ini yang masih ada di kulkas.""Kamu bisa masaknya?" Ibu memastikan aku yang selama ini tidak pernah melakukan pekerjaan ini. Wajar saja kalau Ibu meragukan pekerjaan ini yang harus aku lakukan untuk seterusnya.Bermodalkan kuota ponsel, aku sudah menyimpan resep ini yang tadi malam aku searching di google. Setidaknya ada usaha yang aku lakukan."Bisa, Bu. Sudah ada resepnya dari google." jawabku dengan cengar cengir.Berusaha dulu, masalah rasa biar nanti d
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 7By : Desy IriantiTanpa aku minta doakan yang baik-baik, sudah jelas dan pasti seorang Ibu akan mendoakan yang terbaik untuk untuknya."Pak, saya mau keluar dulu ya." Terdengar suara Mas Firman berpamitan sama Bapak yang sedang duduk di luar."Oh, iya. Hana tidak ikut?" Spontan Bapak bertanya pada Mas Firman, mata Bapak yang berusaha mencari sosok anak perempuannya di belakang tubuh menantu barunya.Sah menjadi suami, pengantin baru, pergi sendiri mau kemana? Tanda tanya besar yang terlintas di pikiran orang yang melihat."Tidak, Pak." jawabnya dengan singkat dengan menggelengkan kepalanya.Tanpa ada bilang satu kata pun Mas Firman kepadaku kalau dia ingin keluar, tidak tahu dia mau kemana, dan aku pun tidak bertanya padanya. Aku ingin dia yang memberitahu sebelum ditanya, tapi itu tidak mungkin.Tidak ada dia menghargaiku sebagai istrinya, tegur sapa pun masih sangat sulit dilakukannya. Aku takut lama-lama akan ketahuan sama Ibu tentang rumah tangga yan
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 8By : Desy IriantiTok, Tok"Han, Hana." Tersentak aku dari tidur, suara Ibu dan ketukan pintu sampai masuk ke dalam mimpi."Iya, Bu." sahutku dari dalam kamar.Kesiangan, matahari lebih cepat bangun dari pada aku. Sinarnya sampai sudah masuk ke dalam kamar dari sela-sela jendela. Hangatnya matahari pagi terasa di tubuhku yang belum tersentuh air.Seperti biasa, laki-laki di sebelahku ini lebih lama lagi bangunnya. Aku yang menangisi kejadian tadi malam sampai larut malam, tubuh ini juga masih beralaskan selimut, tak tahu aku tidur jam berapa sampai bisa kesiangan.Kubersihkan seluruh tubuhku, masih saja aku risih dengan kejadian tadi malam. Walaupun dia sudah halal bagiku, tapi aku merasa takut bersamanya. Kenyamanan belum bisa aku rasakan bila di dekatnya."Mas, Mas, bangun!" Menggoyangkan pundaknya berkali-kali.Tidak ada respon darinya, sebelum aku masuk kamar mandi, sudah kubangunkan juga. Sampai akhirnya aku selesai, tidak juga terbuka matanya. Tid
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 9By : Desy Irianti"Mas sudah tidak ada tabungan!" jawabnya tanpa melihat wajahku, menunduk sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya."Hahh! Tidak mungkin saja kamu tidak ada tabungan. Selama ini kamu kerja apa tidak ada kamu sisihkan sedikit untuk disimpan!"Santai saja dia terus menikmati makanan, seperti tidak ada masalah dalam hidupnya. Sampai habis tidak tersisa satu butir pun nasi di piring, Mas Firman tidak menjawab juga.Kesabaranku selalu diuji olehnya. Emosiku yang tadi sudah turun kini meletup-letup kembali."Kamu yang benar saja, sedikitpun apa tidak ada tabunganmu?""Baru beberapa hari juga menikahimu, banyak kali pertanyaan kamu. Semua tabungan sudah habis untuk biaya menikahimu! Puassss!" Menggelegar suaranya keras dengan bola mata yang membulat ke arahku.Aku tahu biaya pernikahan itu tidak sedikit, tapi tidak percaya sepenuhnya kalau tidak ada sisa sedikitpun. Gajiku yang lebih sedikit dari gajinya saja bisa menyisihkan untuk di tabu
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 10By : Desy Irianti"Kami pilih untuk ngontrak saja, Bu." Berpura-pura tersenyum manis, aku tahu kalau Ibu suka memperhatikan kami berdua. "Lebih bagus bangun rumah saja, kalian juga harus pikirkan masa depan. Sebelum punya anak, rumah harus sudah selesai. Kalau ngontrak tiap bulan harus sisihkan uang untuk membayarnya, apalagi nanti kalau kontrakan itu mau dipakai sendiri sama pemiliknya, capek kalau harus pindah-pindah. Apa itu sudah kalian pikirkan?"Benar sekali ucapan Ibu, berpikir untuk kedepannya. Tapi, tidak mungkin aku bilang kalau tidak ada sedikitpun uang dari Mas Firman, kalau hanya tabunganku tidak akan cukup. Bahkan masih sangat minim aku rasa.Terlihat jelas begitu banyak pertanyaan yang tak dapat Ibu keluarkan pada kami, tertahan diantara segan dan menghargai menantu barunya. Pilihan Ibu sendiri."Uangnya tidak cukup, Bu." Senyuman getir yang aku tutup dengan manis.Aku ambil alih semua jawaban atas pertanyaan Ibu, Mas Firman pastinya tid
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 11By : Desy Irianti"Kalian pergi masing-masing?" Suara Ibu terdengar jelas di telinga.Berdiri di balik tubuh yang sudah siap untuk pergi kerja dengan menggendong tas kesayanganku."Iya, Bu. Hana juga punya motor sendiri.""Tempat kerja kalian searah, kenapa tidak sama-sama?"Di sepanjang jalan banyak suami istri yang boncengan naik motor pergi sama, ratusan para suami yang mengantarkan kerja istrinya, setiap hari itu aku lihat di gerbang pabrik. Pemandangan yang kulihat di pagi hari dan sore hari.Sejalan, sepemikiran, bersama menjalani kehidupan tanpa adanya egois yang ingin lebih tinggi dari pasangan. Saling mengisi kekurangan masing-masing. Itulah yang aku lihat di rumah ini, contoh nyata dari orang tuaku sendiri. Tapi, tidak bisa aku mengikuti jejak orang tua, punya suami yang sulit aku mengerti."Jam kerja kita beda, belum lagi kalau ada lembur! Hana juga sudah terbiasa pergi sendiri." Terus mencari alasan untuk menutupi kebusukan yang ada."Cukup
SESAL ( Nikah Terpaksa )Bab 12By : Desy Irianti"Apa maksud kamu? Kamu mendoakan tidak baik dengan jodoh mereka? Memangnya kamu Tuhan!" Langsung Mas Firman menyambar jawab pertanyaanku kalau tentang keluarganya."Aku tidak ada mendoakan yang jelek untuk mereka, aku hanya tanya, gimana perasaan kamu kalau mereka dapat suami seperti aku yang mempunyai suami seperti kamu?" Aku keluarkan pertanyaan ini yang sudah aku pendam setelah menikah dengannya.Tak akan ada habisnya perdebatan yang menyinggung keluarganya. Aku akui dia selalu membela semua saudara kandungnya. Entah bagaimana cara Mama mendidik anak-anaknya, bahkan 11 anak yang aku anggap begitu banyak. Sekilas aku memperhatikan adik-adiknya, mereka seperti saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Mereka mengprioritaskan sesama sekandung. Sekarang aku telah menjadi istri Mas Firman, seharusnya aku menjadi prioritas dari semua hidupnya. Tapi, itu tidak mungkin terjadi.Tatapan sinis matanya selalu terlihat jika dia sudah marah