Share

Pertama Kali Masak

SESAL ( Nikah Terpaksa )

Bab 3

By : Desy Irianti

"Mas, Mas, bangun!" Menggoyangkan bahu atasnya berulang-ulang.

Aku sudah menyiapkan makanan untuk di santapnya pagi ini, aku yang tidak tahu makanan kesukaannya tapi tetap saja aku masak untuk dia. Kalau Mas Firman tidak suka itu urusan belakang, setidaknya aku sudah berusaha.

Tidak ada berbekal ilmu apapun untuk masalah di dapur, dibantu Ibuku untuk menyelesaikan masakan yang aku anggap enak rasanya tapi belum tentu enak di lidah orang lain.

"Mas, ini sudah siang."

"Berisik kali mulut kamu! Mas masih ngantuk! Mas sudah ambil cuti satu minggu." Langsung Mas Firman menyambar ucapanku.

Hanya ingin membangunkan dia karena jam sudah menunjukkan jam delapan. Rasa malu saat ditanya keberadaan suami saat makan pagi bersama keluarga yang menginap di rumah, bahkan aku rela bangun pagi dan sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk suami tapi di bangunkan saja marah. Apa dia tidak terpikirkan itu di otaknya?

"Firman kemana Han, kok gak kelihatan." tanya adik Ibuku, Bi Siti.

"Masih tidur, Bi. Tadi sudah dibangunkan tapi masih ngantuk, kita suruh makan duluan saja." Mengalihkan alasan.

Berpura-pura santai padahal aku malu sekali di sini. Berada di kumpulan keluarga besar, mereka rela memberikan waktu dan tenaga sehingga bisa berkumpul di pernikahanku. Entah apa yang ada di pikiran mereka tentang Mas Firman, suamiku yang memilih tidur daripada mendekatkan diri di keluarga barunya.

Tak sengaja sekilas terlihat wajah ibu yang memperhatikanku menjawab pertanyaan bibi, senyuman sedikit saja yang ibu berikan. Seakan tersirat ada pertanyaan juga buatku, tapi aku alihkan pandangan itu.

Ada pepes ikan gurami, sambal asam, sayur kangkung yang aku masak di bantu ibu.

"Bi, coba lah pepes ini. Enak lohh." memberikan ikan di atas piring Bi Siti. Mudah-mudahan dengan cara ini bisa membuyarkan pikiran mereka tentang Mas Firman.

"Enak, siapa yang masak? Kamu ya? Pinter kamu masak, Han." sambil beberapa kali sudah mencicipi ikan pepes yang aku buat.

"Baru kali ini masak Bi, tadi juga dibantu Ibu."

Tadi malam aku sudah searching untuk menu masakan pagi ini yang sengaja aku siapkan spesial untuk suami, tapi apalah daya suami yang seperti itu. Sifat yang belum aku ketahui semuanya.

Kulahap makanan pertama yang aku buat sendiri, semua yang ada di meja makan juga melahap dengan enaknya untuk dijadikan pandangan mata di pagi hari yang buat mengembalikan mood ku sebelum menghadapi suami pilihan orang tua. Sepertinya aku akan memerlukan banyak tenaga saat menemuinya.

Hampir tidak ada sisa makanan yang berada di piring mereka masing-masing, senang banget rasanya masakanku cocok di lidah mereka. Tinggal satu lidah lagi yang belum tentu cocok atau tidak.

"Han, coba kamu lihat ke kamar lagi. Firman kok belum ada keluar dari tadi." Khawatir Ibu yang terlalu berlebihan menurutku. Mungkin saja dia masih tidur, sebab jam tiga malam dia baru masuk kamar. Kesalahan dibuat sendiri, suruh siapa dia tidur di jam yang sudah mendekati subuh di saat orang sudah mulai bangun.

"Iya, Bu. Sedikit lagi Hana habisi makanan ini." jawabku dengan santun, karena aku sayang padanya. 

Segera aku mencuci tangan yang kotor, makan ikan pepes lebih nikmat menggunakan tangan daripada pakai sendok.

Ceklekkkk

Kubuka pintu kamar yang sengaja tidak dikunci, masih sama dengan posisi yang aku tinggalkan dari tadi. Tertidur pulas suamiku ini. Seenak apa sih dia menikmati tidurnya, mimpi indah apa yang menemaninya tidur. Apa dia tidak tahu ini rumah siapa? Apa dia tidak malu bangun terlalu siang di rumah mertua? Tidak habis pikir kalau aku mendapatkan suami seperti ini. Tapi ini kenyataan yang harus aku jalani, Mas Firman sudah menjadi suamiku.

Kalau rumah sendiri mungkin aku tidak akan pedulikan Mas Firman bangun siang, masih numpang tapi sudah seenaknya mengikuti kemauannya. Walaupun aku anak dari pemilik rumah ini, rasa malu yang besar juga masih melekat di pikiranku. Karena kelakuannya.

"Mas, Mas, bangun! Apa kamu tidak capek tidur terus! Sudah jam 9 ini!" celetuk yang sudah kesal melihatnya. Kugoyangkan lengan atasnya seperti sebelumnya yang sudah aku buat. Seperti orang mati saja tidak ada respon darinya. Sengaja atau tidak, aku tak tahu.

"Ya ampun, Mas! Apa gak malu kamu sama orang tuaku? Masih banyak lagi keluargaku yang belum pulang dari sini! Setidaknya kamu itu keluar, ucapkan terima kasih pada mereka yang sudah banyak membantu di pernikahan kita!"

"Ihhhhh, berisik kali kamu! Aku tidak peduli sama omongan orang! Jangan pernah mengajari aku!" Kasarnya mulut seorang suami. 

"Tidak ada aku ngajarin kamu, aku hanya menyuruhmu bangun, semua orang sudah pada nanyain kamu!"

Sebagai istri aku tahu porsinya, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Sebelum menikah, aku sudah coba mempelajari tentang menjadi seorang istri, tidak seperti ini juga contoh suaminya. Sangat-sangat jauh berbeda dengan kenyataan dan yang aku baca. 

Marah! 

Marah terus kerjaannya, entah apa yang ada pikiran lelaki ini. Nasib malang menimpa kehidupan rumah tangga yang baru saja dimulai.

Kupandangi terus gerak geriknya, bangun dan langsung mandi. Kutunggu dia sampai selesai. Kupilihkan baju dia yang hanya beberapa helai dibawa dari rumahnya.

Tetap sinis tatapan mata dia ke aku, tidak dipakainya baju yang yang terletak di atas kasur yang sudah aku pilihkan. Mencari sendiri di lemari dan langsung dipakai.

"Ayok keluar!" ucapnya.

Wajar saja menurutku kalau dia sampai sudah berumur tidak menikah, tidak ada wanita satupun yang mau kalau tahu sifatnya seperti ini. Kaku dan kasar dalam berbicara, belum lagi sifat yang akan keluar nantinya. Cuma aku perempuan yang sudah terjebak di ikatan pernikahan dengannya.

"Ayok! Sudah dari tadi pagi aku ajak kamu!" ucapku dengan kesal.

Berjalan berbaris di belakangnya, tidak seperti pasangan yang lain berjalan di samping pendamping hidup. Aneh, tapi ini kenyataan hidup yang harus aku hadapi.

Kosong, tidak ada orang lagi yang duduk di kursi makan. Mereka sudah selesai semua makan masakanku.

Kukeluarkan makanan yang sudah dipisahkan untuk suamiku ini, masih menghargai dia sebagai suami.

Kusendokkan nasi ke piringnya.

"Kamu ambil sendiri ikan dan sayurnya, Mas. Nanti kalau aku ambilkan salah!" ucapku sambil mendekatkan ikan, sambal, dan sayur ke piringnya.

Tidak ada ucapan terima kasih atau apapun yang keluar dari mulutnya. Tidak seperti saat di kamar yang begitu juteknya dia menjawab.

"Enak tidak rasanya?"

"Biasa saja." Singkat, padat, jelas.

Itu jawaban yang aku tunggu setelah beberapa menit baru dijawab oleh suamiku ini, Firman Bramantio.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status