"Suamimu mana, Ranti? Belum pulang juga jam segini?" Bu Ine bertanya sambil memandang bergantian ke arah jam dinding dan pintu depan.
Ranti yang tadinya menyibukkan diri dengan draft novel di laptop akhirnya menjawab letih, "Belum, Bu. Sudah kutanya pulang jam berapa tapi katanya masih ada lembur." Biasanya ia mengetik di dalam kamar, tetapi karena sambil menunggu sang suami pulang, maka diboyongnya laptop kesayangan ke ruang tamu. "Duh, Irwan ini kok semakin hari lemburnya semakin malam saja. Kalau sakit gimana?" gerutu sang ibu mertua seraya mengentakkan kaki lalu kembali masuk ke kamar. Ranti menghela napas panjang. Kejadian serupa ini telah berulang di hampir setiap malam belakangan. Ya, suaminya pulang selalu terlambat dan ibu mertua seolah menyalahkan Ranti atas hal itu. Segera ia meraih ponsel dan kembali mengirim pesan pertanyaan yang sama soal posisi di mana dan mau pulang jam berapa. Chat itu sejak tadi belum dijawab meskipun sudah terbaca. Namun, tentu saja ia tak bisa mengatakan hal itu kepada Bu Ine. Bisa-bisa akan membuat beliau semakin cemas. Deru mobil yang masuk ke halaman rumah akhirnya membuat Ranti spontan bernapas lega. "Ya Allah, syukurlah Mas Irwan sudah pulang," ujar Ranti buru-buru bangkit untuk menyambut pria yang telah dua tahun menjadi suaminya itu. "Irwan! Kamu kok pulang malam lagi, sih? Lembur kok setiap hari!" Sebelum Ranti sempat berkata apa pun, Bu Ine rupanya sudah berada di situ juga dan langsung mengomeli putranya. "Siapa yang lembur, Bu?" tanya Irwan sambil keningnya berkerut dan menatap ke arah Ranti.. Ah, tatapannya itu bak pisau tajam yang menyakitkan. Terasa sekali ada pandangan menusuk yang seolah berkata Ranti sudah tak diinginkan. Sesak di dada hanya bisa ia tahan sebab bagaimanapun Irwan adalah suami yang dipilihnya sendiri atas alasan cinta yang tumbuh di antara mereka. Bila kini kondisi rumah tangga mereka tak semanis yang diimpikan, maka itu sudah konsekwensi dari sebuah keputusan. "Loh, kata Ranti kamu lembur lagi. Gimana, sih? Kalau nggak lembur memangnya kamu ke mana saja semalam ini baru pulang?" Bu Ine semakin marah ditambah bingung dengan jawaban Irwan. Ah, padahal Ranti sudah rela berbohong demi menjaga keadaan. Kalau begini kan Bu Ine jadi semakin banyak kepikiran. Namun, rupanya kebijakan Ranti malah disalah-artikan. "Kamu jangan menutup-nutupi keadaan rumah tangga kita, Ranti. Kita ini sudah tidak bisa hidup berdua terus tanpa ada rasa kecocokan!" Tanpa diduga, Irwan membuat sebuah pernyataan yang mengejutkan bukan hanya untuk Bu Ine saja, tetapi tentunya untuk Ranti juga. "Ap-apa Mas Irwan bilang? Ketidakcocokan apa, Mas?" Serta merta Ranti mendekat dan mengguncang lengan kekar yang dulu senantiasa siap merengkuhnya dengan penuh sayang. Betapa sesak dada Ranti kala Irwan justru menyentakkan lengan agar lepas dari genggaman. Sementara Bu Ine hanya mematung dengan mulut sedikit terbuka, sepertinya bingung hendak bereaksi apa. Keterkejutan membayang di mata tua wanita separuh baya yang telah hidup menjanda sejak lama itu. "Jangan sok tidak menyadari semuanya, Ranti. Kita sudah tidak seperti suami istri. Kamu tidak bisa lagi membuatku nyaman tapi terus saja berpura-pura semuanya baik saja. Aku capek, tahu!" Telunjuk Irwan kini menuding ke arah istrinya. Wajah penuh amarah itu kemudian berpaling tak mau menatap mata Ranti yang telah berkaca-kaca. Entah, mungkin tak kuat melihat genangan yang sudah memenuhi pelupuknya, atau justru tak sudi lagi menyaksikan tangis sang istri. Sesak yang membekap di dada Ranti bertambah nyeri mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh suaminya sendiri. Ya Tuhan, ia rasanya tak kuat lagi .... "Kamu bicara apa, sih, Irwan? Ada apa dengan kalian?" Bu Ine kembali bertanya karena ia masih sangat bingung dengan apa yang terjadi dengan pernikahan putranya itu. Selama ini mereka memang serumah, tetapi yang dilihat oleh Bu Ine hanya luarnya saja. Di matanya kehidupan mereka baik-baik saja selain fakta bahwa belakangan ini Irwan terus-menerus pulang larut malam. "Jelaskan pada Ibu apa yang terjadi, Irwan?" Kembali Bu Ine menanyai putranya dengan suara yang bergetar. Ranti dan Irwan memang tak pernah beradu mulut ataupun bertengkar di hadapan Bu Ine. Ranti selama ini berusaha menjaga perselisihan hanya di dalam kamar hingga tak ada yang ikut mengetahui. Baginya, permasalahan rumah tangga adalah hanya urusan internal dua orang suami-istri. Alasan lainnya adalah karena ia tahu bahwa Bu Ine memiliki riwayat tensi tinggi. Akan rentan terkena risiko stroke bila sampai mendengar hal yang mengangetkan. Itu sebabnya Ranti tak pernah menampakkan duka dalam kehidupan pernikahannya dengan putra Bu Ine. Akan tetapi, entah kenapa Irwan malah mengatakan semua itu di hadapan ibunya sendiri malam itu. Apa sudah sebegitu tak kuatnya menahan diri? Sebegitu enggannya dia mempertahankan rumah tangga mereka ini? "Irwan mau cerai, Bu. Irwan udah bosan hidup serumah dengan istri yang nggak sedap dipandang lagi. Cukup! Udah nggak ada lagi cinta di antara kami." Malam itu langit cerah berbintang di luar tetapi dalam hati Ranti seolah sedang tersambar petir yang menggelegar. Kalimat pamungkas dari Irwan barusan membuat tubuh Ranti luruh ke lantai dan tak dapat lagi menahan sesenggukan. "Ap-apa? Irwan, berhenti kamu!" Terdengar seruan Bu Ine memanggili Irwan tetapi tak dihiraukan. Dari bias pandangan Ranti tersebab genangan air mata, ia melihat pria yang barusan mengucapkan talak itu bergegas ke kamar diikuti oleh ibunya. Tenaga Ranti hilang tak bersisa. Lututnya terasa lemas dan tak ada daya hendak berdiri untuk membantah semuanya, tetapi memangnya mau membantah apa? Membantah fakta bahwa ia baru saja dicampakkan oleh pria yang selama ini begitu dicintainya? Dan apa tadi Irwan bilang? Sudah tidak ada cinta di antara mereka? Padahal di tiap jengkal hati Ranti masih utuh hanya untuk Irwan. Irwan yang kehilangan cintanya pada Ranti, tapi justru Ranti yang dipersalahkan. Sungguh, ini gila! Dan kesadaran itu pun sontak menguatkan tubuh Ranti. Tidak! Dirinya bukan wanita lemah. Akan ia buktikan dirinya bisa tetap bertahan tanpa suami tak bertanggung jawab seperti Irwan! “Mau berpisah? Oke, Mas. Aku siap!” Ranti berucap penuh tekad. Seorang Ranti Pradipta tak akan oleng hanya karena ditinggalkan pria sepertinya! Gegas Ranti berdiri dan menyusul ke kamar. Dilihatnya di situ Bu Ine menangisi putranya yang tengah mengepak baju tanpa peduli. Sekoper miliknya telah penuh baju-baju dan dikemas lalu diseret keluar tanpa melihat ke arah Ranti sama sekali. Sesak. Dada Ranti kembali serasa dihujani ribuan paku yang menancap satu-satu, semakin dalam dan mencipta nyeri yang tak terperi. "Kamu tinggal tanda tangani surat cerai yang segera datang nanti. Aku yang akan mengurus semuanya," ucapnya saat tubuh jangkung itu melewati Ranti yang kini memegang erat daun pintu. Sekuat tenaga Ranti bertahan tetap berdiri sambil berharap lantai yang serasa bergoyang tak membuatnya roboh saat itu. 11 September itu adalah hari ternahas dalam hidupnya. Tapi sekaligus juga titik balik perubahan dari seorang Ranti, istri yang dikatai buluk oleh Irwan menjadi Miranti Pradibta yang sukses dan cantik rupawan! bersambung ....Hukuman terberat bukan dipenjara atau membayar sejumlah besar denda yang diajukan oleh perusahaan milik Jodi. Bukan!Irwan sama sekali tak keberatan kalau ia harus dipenjara selama beberapa saat atau menumpuk utang hanya untuk membayar denda asalkan setelah itu ia masih bisa memiliki Ranti!Ya, kini Irwan benar-benar sadar dan menyesal setengah mati mengapa dulu ia sampai terpikir untuk mengkhianati istri tercintanya itu. Sungguh, ia mengutuk hari di mana Mona berhasil meruntuhkan kesetiaannya. Hari di mana ia terpesona oleh bujuk rayu wanita sial*n itu. Astaga! Andai bisa ia mengulang waktu!Pengacara dari perusahaan barunya sudah membereskan semua urusan jaminan hingga ia tak perlu sampai menginap di balik tahanan. Tapi meskipun pulang ke rumah, pikirannya hanya terpusat pada satu hal. Bagaimana ia bisa mendapatkan kembali simpati dan cinta dari Ranti, mantan istri yang masih sangat dicintai serta diharapkannya itu.Tapi nyatanya kuasa hukum Jodi justru memberikannya dua pilihan, be
"Ada apa ini?"Sambil berusaha bersikap setenang mungkin, Irwan menghampiri tiga petugas tesebut dan mempersilakan mereka duduk kembali di sofa ruang tamu."Ini surat penahanan Anda, Pak Irwan. Harap bersikap kooperatif karena sudah berkali-kali surat panggilan interogasi datang, tetapi Anda sama sekali tidak memberikan respon." Seorang petugas yang sepertinya adalah senior di antara dua lainnya itu berkata sambil menyodorkan sebuah amplop putih panjang.Irwan mengambil dan membuka lalu membacanya dalam hati. Betul yang petugas itu katakan. Ia benar-benar harus ditahan saat itu juga. Astaga!"Tapi, Pak. Bukankah seharusnya saya berhak mendapatkan bantuan pengacara? Perusahaan baru saya sudah pasti akan bersedia menyediakan pengacara mahal untuk saya--""Silakan, Pak. Di pengadilan nanti Bapak bebas didampingi pengacara. Tapi saat ini yang penting Anda harus ikut kami," jawab sang petugas senior lagi.Irwan tak punya pilihan lain. Ia izin untuk berganti pakaian dulu ke kamar sambil mel
"Apa? Berani nyamperin kamu ke rumah? Mau apa katanya?" Jodi yang mendapat laporan dari Ranti segera terpantik emosi."Tau tuh, katanya mau bicara empat mata. Pake bilang minta ampun dan sumpah nggak akan ngulangin kesalahan lah, apa lah, ish." Ranti menjelaskan sambil bibirnya mengerucut kesal sendiri atas sikap Irwan tadi.Mereka berdua tengah makan siang di cafe dekat MP Distro milik Ranti. Biasanya mereka juga sekalian membahas hal-hal penting mengenai distro yang berhubungan dengan Jodi dan tentu saja juga diselipi urusan pribadi."Lalu, kamu kasih dia kesempatan lagi?" tanya Jodi sambil hatinya ketar-ketir. Bagaimana pun, Irwan adalah cinta pertama Ranti. Dan banyak sekali orang yang bilang bahwa namanya cinta pertama itu pasti susah hilang sama sekali meski sudah berpisah sekalipun. Siapa yang tidak khawatir?"Ya nggak, lah. Langsung kutinggalin dia di sana. Biarin deh ngomong sama pagar sana sekalian! Enak amat minta dimaafin setelah apa yang dia perbuat!" Ranti masih menggebu
Malam-malam dingin terus menyelimuti Irwan. Dalam kesepian, ia terus merindui sosok Ranti, sang mantan istri. Di ranjang, di sudut-sudut kamar, di depan meja rias, bahkan di dalam kamar mandi, seringkali ia dapati bekas-bekas aroma Ranti yang masih tertinggal.Ah, kenapa ia begitu gegabah? Kenapa sampai sebodoh itu menggugat cerai istri sebaik Ranti cuma demi seorang Mona yang nyatanya sama sekali tak sepadan?vLihat sekarang, Ranti bisa kembali jadi bahkan jauh lebih cantik dari dulu semasa perawan. Dan pekerjaan? Kini wanita itu sudah jauh melampaui pencapaian Irwan sendiri, apalagi Mona! Tidak ada apa-apanya!Ranti pandai memasak, menu yang ia sediakan tak pernah gagal memanjakan lidah Irwan maupun ibunya. Ranti juga pandai mengambil hati sang mertua dengan bersikap penurut serta tanpa banyak protes dan bersedia melayani apa pun pinta Bu Ine. Berbanding terbalik sekali dengan Mona yang sebagai wanita taunya hanya bersolek, belanja dan menghabiskan duit! Selain itu nol!"Kembalilah
“Kamu kok jadi jarang banget pulang ke rumahku, sih?” protes Mona di kantor hari itu.“Ya aku kan harus nemenin Ibuku, Mon. Lagipula kan kita udah selalu ketemu di kantor." Irwan menjawab santai karena ia tak begitu tertarik lagi dengan Mona. Baginya, mengejar Ranti kembali merupakan sebuah misi yang jauh lebih penting ketimbang menuruti kemauan wanita di depannya itu.“Ya beda dong, Sayang ….” Mona merapatkan tubuhnya dan menyentuhkan jemari ke rahang Irwan.Biasanya Irwan akan meleleh lalu turut mencumbu wanita itu, tapi tidak kali ini. Irwan justru menepis tubuh Mona dan bangkit dari kursi putarnya untuk keluar dari ruangan.“Dengar, Mona. Kita masih baru di perusahaan ini, jadi jaga sikapmu sebelum kita bisa dapat peringatan atau parahnya dipecat lagi seperti dulu!”Mona memelototi Irwan yang meninggalkannya begitu saja di ruangan.“Sial! Kenapa sih dia? Kayaknya udah ada yang lain lagi ini!” gerutu Mona menyipitkan mata sambil bertekad akan menyelidiki.Tidak mungkin Irwan cuek p
"Aku pulang langsung atau boleh mampir dulu?" tanya Jodi saat sudah sampai di depan pagar rumah Ranti.Ranti menengok jam tangan yang menunjuk angka 9 dan kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Udah kemalaman banget, Jod. Kapan-kapan aja ya mampirnya.""Bukain gih gerbangnya," pinta Jodi kemudian seraya bersiap memutar mobil untuk masuk rumah."Loh, kubilang pulang aja, ini udah kemaleman," ulang Ranti yang sejenak mengira Jodi salah mengartikan ucapannya tadi."Iya aku langsung pulang. Ini cuma mau masukin mobil dulu kok," sergah Jodi yang tak sabar lalu keluar sendiri dan dengan cepat mendorong pintu besi berwarna hitam itu menggeser ke samping hingga terbuka semua.Ranti masih terperangah. Gimana sih, kan disuruh pulang, kok malah mobilnya dimasukin? Pikirannya tak sampai menerka maksud Jodi.Sementara Jodi memilih melanjutkan tindakan. Memasukkan mobil sedan maticnya ke teras, bersebelahan dengan mobil ayah Ranti. Kemudian ia keluar dari kursi kemudi dan menyerahkan kunci pada R