Share

Berkelit

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2022-11-19 06:18:03

“Pak Karim?” gumamku.

“Yah?” Suamiku terhenyak mendengar nama itu. “Siniin ponselnya!”

“Hem?” Aku jadi ikut heran sekaligus bingung kenapa sikapnya langsung berubah begitu?

[ Mas, ada rencana ke sini? ] tulis nomor kontak bernama Pak Karim.

“Kenapa sepertinya ini bukan chat pertama ya, Bi?” ketusku.

“Umi ngomong apa, sih? Ya, biasa aja orang chat Cuma nanya gitu. Salahnya di mana?” Mas Haris mulai terlihat sewot menanggapiku.

“Ya aneh gitu, Bi. Nggak ada angin nggak ada hujan lho. Tiba –tiba tanya, Mas Haris ada rencana ke sini? Apa Mas terbiasa berkunjung ke sana?” tanyaku.

“Enggak. Umi lihat ada chat lain gak selain itu? Kalau enggak ya berarti emang nggak ada apa –apa. Lagi pula untuk apa Abi jauh –jauh ke sana? Rumahnya itu di luar kota. Umi tahu lho betapa sibuknya sehari –hari. Semua waktu Abi kan buat Umi. Apa kurang?”

Kenapa dia jadi bicara panjang begitu. Aku nggak perlu penjelasan sejauh itu. Mengungkit apa yang seharusnya menjadi hakku sebagai seorang istri. Dia bekerja dan pulang ke rumah menemuiku dan anak –anak, bukankah itu bagian dari tanggung jawab dan kewajibannya sebagai seorang suami? Lalu kenapa hal itu diucap seolah adalah beban baginya?

“Nggak tiap hari, Bi. Bukannya satu hari penuh di akhir pekan Abi i’tikaf di Masjid?” sanggahku.

Mas Haris benar –benar memanfaatkan waktunya sendiri dan tak pernah pulang. Dia jadi sering pergi di luar jam kerjanya, dan memotong waktunya bersama keluarga. Padahal, aku yang sedang mengandung enam bulan sangat memerlukan keberadaannya di sisiku.

Aku menoleh ke belakang. Tak enak jika obrolan yang terdengar serius dan tegang ini terdengar oleh anak –anak. Namun, aku bernapas lega ketika mendapati anak –anak itu sedang terlelap tidur. Termasuk si sulung, Hania. Tampaknya dia kelelahan. Beberapa hari terakhir dia ikut memforsir tenaga untuk bantu –bantu di rumah neneknya bersamaku. Mau bagai mana lagi, pekerjaan memang sangat banyak di sana. Ini saja, Ibu tidak mau diboyong ke rumah, dengan alasan ingin membersihkan barang –barang Bapak. Padahal, aku tahu, hati beliau pasti masih berat setelah kepergian satu –satunya pria yang dia cintai selama hampir 40 tahun pernikahan.

Maasya Allah, membayangkan 40 tahun mencintai satu pria yang sama dan harus jatuh cinta setiap hari dengannya.

Aku sudah melalui masa sepertiganya.

Mencintai orang yang sama selama 15 tahun, karena kebaikan –kebaikannya. Akan tetapi, aku tidak tahu apakah di tahun ke 16 perasaan itu akan sama? Untuk kali pertama, Mas Haris mengguncang hatiku. Dia belum pernah membuatku segelisah belakangan.

“O ya, bagai mana soal token itu?” Aku mengalihkan perhatian pada hal lain yang membuatku kesal dan gelisah sendiri. Padahal, seorang ibu adalah ummun warabbatul baith, bagaimana bisa rumah dan penghuninya bisa menjadi jannah kecil di dunia. Pengurus utamanya saja stress sendiri.

“Token?” Mas Haris menjeda. Pria itu meneleng. Tampak berpikir. Dia seolah lupa dengan kejadian dua minggu lalu yang membuatku berapi –api ingin pergi dari rumah mencari alamat tertera.

Entah, pria itu sudah melupakannya karena bukan hal penting untuk dipermasalahkan, atau dia hanya berpura –pura lupa untuk menghindari obrolan ini?

“Oh ... yang itu, Mi. Itu kan nomor kantor cabang di Bandung. Duh, Umi. Abi sampe lupa. Waktu itu Abi melarang Umi datang ke alamat itu, karena Umi kan sedang hamil. Abi gak mau Umi kecapekan.” Pria itu neyerocos seperti tak terjadi apa pun yang perlu dikhawatirkan.

“Tapi kenapa bukan nama Abi? Bukannya Abi bilang kemarin, kantor cabangnya baru dibangun di tanah yang Abi beli?”

“Oh, itu ... karena lebih mudah untuk nyalurnya. Jadi Abi putuskan ikut nyalur ke rumah penduduk terdekat. Kebetulan orangnya sangat baik.” Semakin Mas Haris bicara, kenapa aku semakin curiga dan tidak percaya.

Lagi pula, kenapa membeli tokennya sebanyak itu? Memangnya dia menyalakan mesin atau sejenisnya? Kantornya kan bukan perusahaan produksi!

Aku mencoba tenang, pura –pura percaya. Tapi maaf saja Mas, aku akan mencari tahu ini sendiri. Mungkin dia pikir aku tidak terpikir untuk melacaknya. Seharusnya menemukan alamat token itu saja, sudah cukup membuktikan kalau aku bisa melakukan apa pun untuk menemukan hal yang tak beres.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
PiMary
Ayooo semangat emak2 dikobarkan memberantas suami yg pinter ngeles ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Ending

    Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Tak Ada Rujuk untuk Khuluk

    “Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pilu

    “Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Lepas Tangan

    “Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Senyum-senyum Lega

    [ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pada Akhirnya

    "Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status