Share

Terbakar

Diam –diam aku akan mencari tahu sendiri apa yang ingin aku ketahui. Lalu berniat mencocokkan dengan perkataan Mas Haris. Ya Tuhan, baru ini aku meragukannya. Sebelumnya mana pernah ucapan pria itu mengganggu pikiran. Karena memang tak pernah ada hal mencurigakan yang Mas Haris lakukan sebelumnya.

“Oya, Bi sepertinya Umi sudah cukup lama gak ke Majlis.” Aku meminta izin ke majlis. Pasti akan ada info yang bisa kudapat di sana juga. Aku penasaran kenapa Pak Wawan dan jamaah lain tidak pernah lagi menggoda dan memprovokasi suamiku?

“Untuk apa?”

“Untuk apa? Bukannya dulu Abi yang bilang kalau kita harus menyisihkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Abi tidak pernah ada waktu mengajarkan apa yang Abi dapat di Majlis dan ....”

“Umi tahu bukan kalau kalau Abi sibuk. Dan bukankah Umi sedang hamil? Apa tidak sebaiknya di rumah saja, mendengar kajian di radio kan juga bisa. Sama saja isinya.”

“Justru sedang hamil itu harus lebih sering dibawa ngaji. Jadi bayi kita akan terbiasa. Apa lagi, baru ini anak kita yang akan lahir saat kita sudah hijrah. Dia harus banyak mendengarkan hal hal baik yang bisa membentuk kepribadiannya kelak. Lagian mendengar dari radio dan menyimaknya langsung jelas berbeda. Berkahnya juga beda.” Panjang lebar aku bicara membantah keinginan pria itu.

Mas Haris menghela napas berat. “Sudahlah. Jangan begini, Mi. Turuti saja kemauan Abi. Bukannya di rumah pun jadi pahala. Semua akan jadi pahala kalau Umi nurut dan taat sama Abi.”

Pria itu mulai menaikkan suaranya. Semua yang dia lakukan belakangan seperti memaksa dan mengekangku. Apa dia tahu kalau akan mencari tahu sesuatu mengenai dia di Majlis? Semakin dilarang, belakangan semakin aku ingin menentangnya.

Apa lagi jika dia benar –benar telah berdusta dan menutupi banyak hal dariku, tentu saja aku tidak boleh menaatinya. Hal itu akan berefek buruk pada rumah tangga kami. Jika ada yang tak beres, aku harus memperbaikinya agar semua baik –baik saja. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat Mas Haris berubah belakangan ini.

“Bi, tapi ....”

“Kenapa Umi sekarang sangat menyebalkan sih?” Pria itu terlihat semakin kesal.

“Menurut saja!” bentaknya kemudian, yang membuatku terhenyak.

Ini menyakitkan. Sampai bentakannya membuatku membisu. Dia belum pernah begini.

“Maaf, Abi agak stress belakangan ini. Abi jadi tidak bisa ke mana –mana karena ingin menemani Umi.”

“Oh, Abi menyesal. Abi merasa terkekang? Padahal dulu Abi juga terbiasa menemani Umi. Dan lagi, apa cuma Abi yang strees? Umi juga stress. Belakangan Abi sangat sibuk di luar, dan pulang ke rumah tinggal capeknya. Abi nggak pernah lagi bantu Umi kaya dulu, padahal sekarang Umi juga sedang hamil. Kenapa ...?” Rasanya lega sekali bisa meluapkan perasaan yang membuatku tertekan selama ini.

“Mi, kan sudah ada Hania? Dia sudah gede dan bisa bantu –bantu di rumah. Apa lagi yang Umi harap dari Abi? Uang juga sudah cukup kan? Abi harus kerja keras dan menabung lebih banyak agar anak –anak kita bisa pergi belajar ke luar negeri.”

“Iya, Umi juga tahu tapi ....” Ucapanku menggantung. Padahal aku ingin melampiaskan semuanya.

Obrolan kami masih berlanjut. Namun, suara panggilan di ponsel Mas Haris terdengar dan merebut perhatian kami berdua sepenuhnya.

“Biar Umi yang angkat.” Tanganku menengadah meminta ponsel yang tadi direbutnya.

Mas Haris memberikannya setelah melihat sekilas siapa yang menelepon.

“Nomor tak dikenal?” gumamku sambil mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.

Aku sengaja diam. Siapa tahu ada suara perempuan yang terdengar kemudian. Namun, sampai beberapa detik panggilan berlangsung tidak juga ada suara.

“Mi, kenapa tidak disapa yang telepon?” Suara Mas Haris terdengar lebih dulu. Setelah Mas Haris bicara, sang penelepon pun mematikan panggilan.

“Hem? Kenapa dimatikan?” ucapku bertanya –tanya.

“Nomor nyasar kali. Sudahlah, jangan mencari –cari masalah. Hal gak penting gitu, nggak usah dipikirkan.” Pria itu mengucap dengan santainya. Bagai mana bisa aku tenang dan tak memikirkan banyak perubahan sikapmu, Mas? Sekarang bahkan ada nomor nomor aneh yang menghubunginya. Ini terlalu berbeda dari kebiasaan dalam rumah tangga kami dan tentu saja membuatku tak tenang.

Duh, tak sabar rasanya ingin sampai rumah, lalu dapat kesempatan jadi detektif yang menargetkan suamiku sendiri, dengan begitu segalanya menjadi terang, seterang -terangnya

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status