Sampai di rumah, aku masih beraktifitas seperti biasa. Tidak ingin memperlihatkan bahwa sedang bergerilya mencari kebenaran. Mas Haris juga berusaha memanjakanku, dia bahkan mengajakku berhubungan padahal selama ini dia tidak segila ini memperlakukanku. Sudah lama tepatnya, entah kenapa gairahnya berbeda.Dan akhirnya aku tahu alasannya begitu hangat hari ini. Dia sudah tak sabar kembali ke aktifitas normalnya dulu. Aku tak menunjukkan perasaan tak enakku dan seolah semua berjalan seperti biasa. Aku tahu, dia juga pasti sangat terganggu dengan protesku selama ini.“Abi pergi dulu, ya Mi.” Pria itu mengusap rambutku perlahan. Sudah lama sekali dia tak seperti ini. Apa harus protes dulu, baru dia ingat istrinya ini minta diperhatikan?Ini kesempatan yang tak boleh kusiakan. Mencari tahu segala hal yang selama ini tertunda. Mas Haris pikir, aku pasti memilih menurut padanya dan tak lagi mempermasalahkan. Mana bisa? Aku juga seorang wanita biasa. Tidak akan diam saja ketika hal mencurigak
Jantungku berdebar tak menentu, bahkan ketika sudah lebih satu jam berada di dalam mobil. Jauh sekali alamat ini.Suara notif di ponsel mengalihkan perhatian. Menjeda ketegangan yang merayap memenuhi hati sampai kepala. Aku seperti akan menemui hal besar di depan sana. Padahal, belum pasti itu apa.Kurogoh ponsel dalam tas jinjing yang kubawa. Mengambil benda pipih yang tadi berbunyi dan langsung fokus pada pesan yang masuk ke sana. Pesan itu rupanya datang dari Hania.[ Umi, sudah di mana? Apa sudah sampai? Apa Umi baik –baik saja? Nggak usah pikirin kami di sini. Kami baik –baik saja Umi. Ini juga udah bilang ke Mbak Mur kalau Umi ada urusan.Katanya mau nginep sini, nemenin Hania. ]Aku tersenyum. Lega juga mendengar Mbak yang biasa dipanggil bantu –bantu ke rumah saat benar –benar keteteran mau datang. Beliau ini hanya tinggal dengan suaminya yang sakit –sakitan. Rumahnya juga hanya berjarak satu rumah dengan rumah kami.Aneh juga, kenapa aku tidak kepikiran sama sekali untuk memin
Keringat dingin memenuhi telapak tangan. Sementara aku berjalan menuju pintu rumah yang ditunjuk pemiliknya tadi dengan gemetar. Pertanyaan demi pertanyaan semakin banyak dan menumpuk memenuhi isi kepala. Sedang apa Mas Haris di sana? Ya Tuhan, katanya mereka sudah menikah? Apa ini benar? Apa dia Mas Harisku? Suamiku dan ayah dari anak –anakku? Jangan –jangan bukan? Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu bukan? Semunya sudah jelas. Betapa banyak Mas Haris selama ini berubah dan berbohong tentang penerima token listrik itu, sudah cukup menjelaskan bahwa lelaki di dalam sana memang Mas Haris. “Assalamu alaikum!” Aku berteriak mengucap salam diiringi gedoran yang kulakukan lantaran tak sabar, ingin pintu pagar ini lekas dibuka oleh pemiliknya. Dua kali, tiga kali tak juga ada jawaban. Bahkan untuk ke sekian puluh kali aku menggedor dan memanggil nama suamiku, pria itu tak juga kunjung dibuka.“Abi! Abi! Buka Bi!” Wajahku sudah penuh jejak air mata. Sesuatu yang tak bisa kutahan –tahan
Dan betapa terkejutnya aku, melihat suami bersama seorang wanita muda yang kulihat tempo hari. Wajah cantik gadis belia yang tak bisa kulupakan, anaknya Pak Karim.“Astagfirullah.” Kupegangi dada yang terasa begitu sesak. Tak ada kata yang bisa kuucap selain istigfar dan dilanjutkan teriakan bercampur tangis meluapkan keterkejutanku.Kontan Mas Haris mendekat dan berusaha memelukku. Pasti niatnya adalah agar aku tenang dan bisa diajak bicara. Aku berontak dan menepisnya agar menjauh. “Apa ini, Bi?!” tanyaku dengan suara serak.“Tenanglah, Mi. Biar Abi jelasin.”Aku menggeleng. Tak butuh penjelasannya. Semua sudah jelas bahwa pria itu telah menipuku. Jika dia menjelaskan, pasti isinya juga tipuan –tipuan.“Mi ... ayolah. Nggak enak.” Pria itu berusaha membujukku agar bisa diajak bicara baik –baik.Wanita muda yang dipanggil Ibu Inggit oleh pemilik rumah itu hanya membeku di sudut ruangan itu. Aneh juga, padahal dia masih muda dan cantik begitu, kenapa dipanggil ibu oleh orang itu? Ket
“Ya, sudah. Kalau memang Abi lebih mencintai dia ketimbang Umi dan anak –anak, ceraikan saja Umi. Abi nggak bisa kaya gini! Pilih salah satu! Umi dan anak –anak atau dia! Ceraikan Umi atau dia!”Mungkin aku terlalu gegabah tanpa memikirkan apa yang akan kulakukan jika Mas Haris benar –benar menceraikanku nanti? Amarah sedang menguasai. Yang kumau sekarang masalah ini selesai dalam sekejap dan melonggarkan dada ini.Tapi setidaknya aku bisa menggertak. Lihat apa dia sanggup melepaskan wanita yang meski tak lagi secantik perempuan muda itu, aku adalah seseorang yang sudah bertaruh nyawa melahirkan anak –anaknya. Mungkin, saat bermesraan dia lupa, kalau dulu menangisi keadaanku yang sempat drop usai melahirkan Hania. Lalu dia berjanji tidak akan membuat menderita dan membahagiakanku selamanya.Yah setan memang begitu, bisa mengajak orang lain lupa di mana tempat yang seharusnya. Aku sangat membenci perempuan bernama Inggit Binti Karim itu. Pantas saja Bapaknya terus memberi upah besar se
“Ya, ya baik. Aku ceraikan Inggit, Mi!” Ucapan itu akhirnya terdengar juga.Untuk sekarang aku menang. Tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada tiga bulan, untuk memastikan bahwa Mas Haris benar –benar menceraikannya dan tak akan pernah merujuknya.“Inggit Winarsih Binti Abdul Karim aku jatuhkan talak satu padamu.” Mas Haris mengucap itu seolah –olah adalah legalitas untuk perceraian mereka.Inggit menangis tersedu –sedu. Ke dua bahunya terguncang. Lebih menyedihkan tak ada yang berusaha menenangkannya. Karena kami di sini bahkan hanya bertiga. Ke mana Pak Karim? Bapak yang sudah menyodorkan anaknya untuk menghancurkan kehidupan orang lain?Sekarang, dia terang –terangan jadi pengecut yang bersembunyi meski mendengar suara ribut di rumah anak dan menantunya tinggal. Benar –benar pria tak tahu malu. Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan, karena jelas –jelas tadi pemilik rumah –rumah yang disewakan di lingkungan ini bilang bahwa Mas Haris tinggal berdekatan dengan mertuanya.Dan
Kuarahkan tatapan ke depan, di mana Mas Haris berdiri membeku menghadap ke mobil. Akan tetapi tatapannya mengarah ke pintu di mana dia dan Inggit tinggal. Tempat yang menjadi saksi bisu mereka menghabiskan waktu bersama selama ini. Hatiku sakit membayangkan itu, sampai –sampai kupejamkan mata menahan nyerinya.Apa saat bersama Inggit, tak sekalipun Mas Haris ingat padaku?Padahal dia satu –satunya pria yang kuterima cintanya. Seorang pria yang dulu mengucap janji akan terus setia dan membahagiakanku.Apa dia juga tidak ingat pada anak –anaknya yang lahir dari rahimku? Anak –anak yang membuatnya ikut menangis saat mereka menangis kali pertama di dunia ini? Anak –anak yang katanya lebih dia cintai dari harta dunia?Hebat sekali Inggit bisa membuat Mas Haris melupakan semua itu.Mataku memanas. Air mata kembali mengalir hangat merayap di pipi. Bahkan mata ini sudah terasa perih karena terus menangis dari tadi. Tapi tetap saja ke luarnya tak bisa ditahan –tahan.Dari ekor mata, kulihat Ma
“Mas!” Suara berat seorang pria terdengar.Namun, karena merasa tak dipanggil, sebab di sini, yang bergerak ke luar Mushola, ada banyak sekali orang. Tentu saja mereka semua adalah para laki –laki yang juga memiliki panggilan sama ‘Mas.’“Mas Haris!” Begitu tepukan kecil di bahu diikuti menyebutkan namaku, lalu dilanjut dengan usapan beberapa kali di sana. Barulah aku sadar bahwa memang panggilan itu ditujukan untukku.Aku yang tengah mengepaskan sandal di ke dua kaki pun menoleh, untuk melihat siapa orang tersebut. Sebuah senyuman lebar kutemukan di wajah seorang pria paruh baya. Pria yang sedari awal menyapaku dengan hangat. Ya, walau semua orang di sini sikapnya ramah dan hangat, pria ini adalah salah satu yang paling ramah itu.“Bagaimana kabarnya?” tanya pria yang wajahnya selalu dihiasi senyuman itu. Entah kenapa dia selalu tampak bahagia begitu, apa karena hidupnya sangat bahagia? Padahal kudengar istrinya sedang menuntut cerai.Pak Wawan lalu menyodorkan tangannya.“Alhamdulil