Share

Tangis Ibu

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam sambil menangis.

“Ada apa, Bu?” tanyaku dengan jantung berdebar. Firasatku sangat buruk tentang ini.

“Nduk, Salma. Bapak meninggal. Ibu sekarang ada di rumah sakit.”

Aku tak bisa berkata –kata mendengarnya. Dalam sekejap, keinginan untuk mencari tahu alamat rumah yang kudapat dari token listrik tersebut hilang. Aku terlalu syok. Dan hanya bisa memikirkan Bapak. Pria yang selama ini merawat dan menjagaku dengan segenap jiwanya telah kembali ke pangkuan Tuhan. Dia meninggalkanku.

“Umi ....” Suara lembut anak sulungku Azkia terdengar. Gadis berusia 14 tahun tersebut menarik dasterku.

Yah, andai dia tidak sedang libur dari pondok, aku pasti sangat keteteran ditinggal Mas Haris begini. Dialah yang membantu, dan satu adiknya lagi yang belum mondok berusia 11 tahun, Hania.

“Ada apa, Umi?” tanyanya yang melihatku masih syok dan menangis tanpa suara.

Anak –anak yang lain pun datang, karena Hania menggendong adiknya yang balita ikut mendekat. Mereka yang biasanya bandel dan bikin stres, kalau mendengar uminya sakit atau menangis, luluh juga.

________________

Mas Haris lekas datang begitu aku mengabari bahwa Bapak meninggal dunia. Di hari pemakaman, dialah yang mengatur segala hal. Mengerahkan jamaah untuk bertakziah dan berdoa bersama. Kejadian itu membuatku sama sekali tak lagi terpikirkan untuk membahas alamat rumah pemilik token.

Untuk sejenak teman –teman suami yang kubenci karena terus membahas poligami saat di grup, dan bisa jadi saat mereka kopdar lebih dahsyat lagi provokasinya, adalah mereka yang menempatkan diri paling depan mengurus almarhum. Dari memandikan, mengkafani, mensholatkan sampai mengantar ke lahat.

Aku luluh untuk itu. Meski dalam hati masih memprotes kenapa mereka tidak seperti Ustaz Fawwas saja. Aku yakin pria itu bisa mengerti hati para wanita terutama seorang istri dengan ilmu yang dikuasainya selama ini.

“Yang sabar ya, Mbak.” Suara lembut seorang wanita muda terdengar, kontan saja aku mendongak menatapnya. Suara yang asing. Bukan tetangga apa lagi saudara. Wanita itu tersenyum manis sembari bersalaman dan mengusap lenganku.

Aku mengerutkan kening. Memindai keberadaannya. Bertanya –tanya dalam kepala. Siapa wanita muda ini? Apa mungkin temanku? Atau adik temanku? Sejauh mencarinya dalam ingatan dan memori di masa lalu, aku tak juga menemukannya. Dia sangat asing.

Bersama wanita muda itu seorang wanita paruh baya. Melihat ekspresiku, Ibu itu pun berkata, “Em, saya istrinya Pak Karim, Mbak. Ini anak saya.”

“Oh ....” Aku manggut –manggut. Mereka jauh –jauh datang ke sini dari luar kota, pasti karena tak enak sudah merasa dekat dengan Mas Haris. Apa lagi, sudah langganan dan rutin bekam selama beberapa bulan.

Ibu gadis itu bergantian menyalamiku, lalu meninggalkanku ke luar bergabung bersama petakziah lain.

Pemakaman sudah selesai. Sehari pun Mas Haris tidak beranjak pergi dari rumah Ibu, menemaniku bersama anak –anak. Selama seminggu penuh dia memutuskan untuk tidak pergi bekerja dan melimpahkan pada pegawainya.

Melihat Mas Haris yang sangat bisa menempatkan diri kala istrinya tengah berduka, aku pun memutuskan untuk berhenti mencurigainya. Kalau misal token itu adalah untuk istri sirinya seperti yang ada di pikiranku selama ini, seharusnya Mas Haris setidaknya pergi sehari dalam seminggu untuk mengunjunginya.

Bahkan di Minggu ke dua, dia masih setia menemaniku bolak –balik ke rumah Ibu. Tak ada tanda –tanda dia berhubungan dengan wanita lain melalui telepon atau pun pesan rahasia. Ponselnya bahkan tidak dipasword sehingga aku bisa bebas memeriksanya. Dia juga tak pernah keberatan untuk itu.

Karenanya, saat di perjalanan pulang dari rumah Ibu, aku berinisiatif membuka –buka ponsel suami lagi. Sementara dia menyetir, dan anak –anak duduk di kursi –kursi bagian belakang. Mereka menurut ketika uminya hamil dan diminta untuk menjaga jarak sementara waktu di kondisi –kondisi tertentu.

“Jangan membuka grup jamaah, Mi. Nanti Umi sakit hati lagi.” Mas Haris mengingatkan dengan nada datar, sedang tatapannya masih lurus ke depan, menatap jalanan.

Aku tersenyum masam. “Asal Abi nggak terpengaruh, teladan Abi kan Ustaz Fawwas bukan Pak Wawan yang ilmunya cuma seputar poligami.”

Ucapanku mungkin terdengar santai. Tapi tetap juga hati dongkol. Dan benar saja, ketika membuka obrolan itu, yang dibahas adalah poligami dan poligami. Yang paling menjengkelkan ketika ada yang mengirim data calon –calon akhwat yang siap jadi istri kedua dishare di grup tersebut. Astagfirullah. Sebenarnya jamaah macam apa mereka ini? Apa Ustaz Fawwas tidak mau menegurnya sebab usia mereka di atas beliau? Atau malah beliau mengamini itu? Entahlah.

Bedanya kali ini yang jadi target adalah ikhwan lain. Sepertinya ada member baru di grup itu.

“Ck. Ada –ada saja.” Aku menutup grup itu sambil geleng –geleng.

Tak ada obrolan menarik perhatian, atau nomor perempuan yang disimpan Mas Haris aku pun merasa tenang dan berniat mematikan ponsel. Rasanya pusing lama –lama melihat layar ponsel di kala berkendara begini. Namun, baru saja ke luar navigasi, muncul satu notif.

“Pak Karim?” gumamku.

“Yah?” Suamiku terhenyak mendengar nama itu. “Siniin ponselnya!”

“Hem?” Aku jadi ikut heran sekaligus bingung kenapa sikapnya langsung berubah begitu?

Tentu saja aku tak langsung memberikan ponselnya dan membaca lebih dulu pesan yang masuk.

[ Mas, ada rencana ke sini? ]

Tak ada chat lain selain chat yang baru saja masuk. Apa karena Mas Haris sudah mengapus semua percakapan mereka? Memangnya apa yang mereka bicarakan? Itu kenapa chat ini seperti mereka sudah sering bertemu.

“Kenapa sepertinya ini bukan chat pertama ya, Bi?” ketusku. Ingin dia menjelaskan sesuatu yang tiba –tiba mengganggu hati, walau chat singkat itu tak membahas apa pun. Tapi justru terlalu singkat juga membuatku curiga.

Aku jadi mengait –ngaitkan dengan token –token listrik itu. Apa itu juga punya Pak Karim? Lalu di grup tadi ... kenapa mereka tidak memprovokasi Mas Haris lagi? Jangan –jangan karena dia sudah melakukannya? Lalu, gadis muda yang katanya anak Pak Karim dulu itu, jangan –jangan dia .... tidak mungkin, semoga itu tidak benar.

Bersambung ....

🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status