Share

Tangis Ibu

Aвтор: Wafa Farha
last update Последнее обновление: 2022-11-19 06:16:39

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam sambil menangis.

“Ada apa, Bu?” tanyaku dengan jantung berdebar. Firasatku sangat buruk tentang ini.

“Nduk, Salma. Bapak meninggal. Ibu sekarang ada di rumah sakit.”

Aku tak bisa berkata –kata mendengarnya. Dalam sekejap, keinginan untuk mencari tahu alamat rumah yang kudapat dari token listrik tersebut hilang. Aku terlalu syok. Dan hanya bisa memikirkan Bapak. Pria yang selama ini merawat dan menjagaku dengan segenap jiwanya telah kembali ke pangkuan Tuhan. Dia meninggalkanku.

“Umi ....” Suara lembut anak sulungku Azkia terdengar. Gadis berusia 14 tahun tersebut menarik dasterku.

Yah, andai dia tidak sedang libur dari pondok, aku pasti sangat keteteran ditinggal Mas Haris begini. Dialah yang membantu, dan satu adiknya lagi yang belum mondok berusia 11 tahun, Hania.

“Ada apa, Umi?” tanyanya yang melihatku masih syok dan menangis tanpa suara.

Anak –anak yang lain pun datang, karena Hania menggendong adiknya yang balita ikut mendekat. Mereka yang biasanya bandel dan bikin stres, kalau mendengar uminya sakit atau menangis, luluh juga.

________________

Mas Haris lekas datang begitu aku mengabari bahwa Bapak meninggal dunia. Di hari pemakaman, dialah yang mengatur segala hal. Mengerahkan jamaah untuk bertakziah dan berdoa bersama. Kejadian itu membuatku sama sekali tak lagi terpikirkan untuk membahas alamat rumah pemilik token.

Untuk sejenak teman –teman suami yang kubenci karena terus membahas poligami saat di grup, dan bisa jadi saat mereka kopdar lebih dahsyat lagi provokasinya, adalah mereka yang menempatkan diri paling depan mengurus almarhum. Dari memandikan, mengkafani, mensholatkan sampai mengantar ke lahat.

Aku luluh untuk itu. Meski dalam hati masih memprotes kenapa mereka tidak seperti Ustaz Fawwas saja. Aku yakin pria itu bisa mengerti hati para wanita terutama seorang istri dengan ilmu yang dikuasainya selama ini.

“Yang sabar ya, Mbak.” Suara lembut seorang wanita muda terdengar, kontan saja aku mendongak menatapnya. Suara yang asing. Bukan tetangga apa lagi saudara. Wanita itu tersenyum manis sembari bersalaman dan mengusap lenganku.

Aku mengerutkan kening. Memindai keberadaannya. Bertanya –tanya dalam kepala. Siapa wanita muda ini? Apa mungkin temanku? Atau adik temanku? Sejauh mencarinya dalam ingatan dan memori di masa lalu, aku tak juga menemukannya. Dia sangat asing.

Bersama wanita muda itu seorang wanita paruh baya. Melihat ekspresiku, Ibu itu pun berkata, “Em, saya istrinya Pak Karim, Mbak. Ini anak saya.”

“Oh ....” Aku manggut –manggut. Mereka jauh –jauh datang ke sini dari luar kota, pasti karena tak enak sudah merasa dekat dengan Mas Haris. Apa lagi, sudah langganan dan rutin bekam selama beberapa bulan.

Ibu gadis itu bergantian menyalamiku, lalu meninggalkanku ke luar bergabung bersama petakziah lain.

Pemakaman sudah selesai. Sehari pun Mas Haris tidak beranjak pergi dari rumah Ibu, menemaniku bersama anak –anak. Selama seminggu penuh dia memutuskan untuk tidak pergi bekerja dan melimpahkan pada pegawainya.

Melihat Mas Haris yang sangat bisa menempatkan diri kala istrinya tengah berduka, aku pun memutuskan untuk berhenti mencurigainya. Kalau misal token itu adalah untuk istri sirinya seperti yang ada di pikiranku selama ini, seharusnya Mas Haris setidaknya pergi sehari dalam seminggu untuk mengunjunginya.

Bahkan di Minggu ke dua, dia masih setia menemaniku bolak –balik ke rumah Ibu. Tak ada tanda –tanda dia berhubungan dengan wanita lain melalui telepon atau pun pesan rahasia. Ponselnya bahkan tidak dipasword sehingga aku bisa bebas memeriksanya. Dia juga tak pernah keberatan untuk itu.

Karenanya, saat di perjalanan pulang dari rumah Ibu, aku berinisiatif membuka –buka ponsel suami lagi. Sementara dia menyetir, dan anak –anak duduk di kursi –kursi bagian belakang. Mereka menurut ketika uminya hamil dan diminta untuk menjaga jarak sementara waktu di kondisi –kondisi tertentu.

“Jangan membuka grup jamaah, Mi. Nanti Umi sakit hati lagi.” Mas Haris mengingatkan dengan nada datar, sedang tatapannya masih lurus ke depan, menatap jalanan.

Aku tersenyum masam. “Asal Abi nggak terpengaruh, teladan Abi kan Ustaz Fawwas bukan Pak Wawan yang ilmunya cuma seputar poligami.”

Ucapanku mungkin terdengar santai. Tapi tetap juga hati dongkol. Dan benar saja, ketika membuka obrolan itu, yang dibahas adalah poligami dan poligami. Yang paling menjengkelkan ketika ada yang mengirim data calon –calon akhwat yang siap jadi istri kedua dishare di grup tersebut. Astagfirullah. Sebenarnya jamaah macam apa mereka ini? Apa Ustaz Fawwas tidak mau menegurnya sebab usia mereka di atas beliau? Atau malah beliau mengamini itu? Entahlah.

Bedanya kali ini yang jadi target adalah ikhwan lain. Sepertinya ada member baru di grup itu.

“Ck. Ada –ada saja.” Aku menutup grup itu sambil geleng –geleng.

Tak ada obrolan menarik perhatian, atau nomor perempuan yang disimpan Mas Haris aku pun merasa tenang dan berniat mematikan ponsel. Rasanya pusing lama –lama melihat layar ponsel di kala berkendara begini. Namun, baru saja ke luar navigasi, muncul satu notif.

“Pak Karim?” gumamku.

“Yah?” Suamiku terhenyak mendengar nama itu. “Siniin ponselnya!”

“Hem?” Aku jadi ikut heran sekaligus bingung kenapa sikapnya langsung berubah begitu?

Tentu saja aku tak langsung memberikan ponselnya dan membaca lebih dulu pesan yang masuk.

[ Mas, ada rencana ke sini? ]

Tak ada chat lain selain chat yang baru saja masuk. Apa karena Mas Haris sudah mengapus semua percakapan mereka? Memangnya apa yang mereka bicarakan? Itu kenapa chat ini seperti mereka sudah sering bertemu.

“Kenapa sepertinya ini bukan chat pertama ya, Bi?” ketusku. Ingin dia menjelaskan sesuatu yang tiba –tiba mengganggu hati, walau chat singkat itu tak membahas apa pun. Tapi justru terlalu singkat juga membuatku curiga.

Aku jadi mengait –ngaitkan dengan token –token listrik itu. Apa itu juga punya Pak Karim? Lalu di grup tadi ... kenapa mereka tidak memprovokasi Mas Haris lagi? Jangan –jangan karena dia sudah melakukannya? Lalu, gadis muda yang katanya anak Pak Karim dulu itu, jangan –jangan dia .... tidak mungkin, semoga itu tidak benar.

Bersambung ....

🙏

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Ending

    Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Tak Ada Rujuk untuk Khuluk

    “Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pilu

    “Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Lepas Tangan

    “Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Senyum-senyum Lega

    [ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t

  • SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN    Pada Akhirnya

    "Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status