Dan betapa terkejutnya aku, melihat suami bersama seorang wanita muda yang kulihat tempo hari. Wajah cantik gadis belia yang tak bisa kulupakan, anaknya Pak Karim.“Astagfirullah.” Kupegangi dada yang terasa begitu sesak. Tak ada kata yang bisa kuucap selain istigfar dan dilanjutkan teriakan bercampur tangis meluapkan keterkejutanku.Kontan Mas Haris mendekat dan berusaha memelukku. Pasti niatnya adalah agar aku tenang dan bisa diajak bicara. Aku berontak dan menepisnya agar menjauh. “Apa ini, Bi?!” tanyaku dengan suara serak.“Tenanglah, Mi. Biar Abi jelasin.”Aku menggeleng. Tak butuh penjelasannya. Semua sudah jelas bahwa pria itu telah menipuku. Jika dia menjelaskan, pasti isinya juga tipuan –tipuan.“Mi ... ayolah. Nggak enak.” Pria itu berusaha membujukku agar bisa diajak bicara baik –baik.Wanita muda yang dipanggil Ibu Inggit oleh pemilik rumah itu hanya membeku di sudut ruangan itu. Aneh juga, padahal dia masih muda dan cantik begitu, kenapa dipanggil ibu oleh orang itu? Ket
“Ya, sudah. Kalau memang Abi lebih mencintai dia ketimbang Umi dan anak –anak, ceraikan saja Umi. Abi nggak bisa kaya gini! Pilih salah satu! Umi dan anak –anak atau dia! Ceraikan Umi atau dia!”Mungkin aku terlalu gegabah tanpa memikirkan apa yang akan kulakukan jika Mas Haris benar –benar menceraikanku nanti? Amarah sedang menguasai. Yang kumau sekarang masalah ini selesai dalam sekejap dan melonggarkan dada ini.Tapi setidaknya aku bisa menggertak. Lihat apa dia sanggup melepaskan wanita yang meski tak lagi secantik perempuan muda itu, aku adalah seseorang yang sudah bertaruh nyawa melahirkan anak –anaknya. Mungkin, saat bermesraan dia lupa, kalau dulu menangisi keadaanku yang sempat drop usai melahirkan Hania. Lalu dia berjanji tidak akan membuat menderita dan membahagiakanku selamanya.Yah setan memang begitu, bisa mengajak orang lain lupa di mana tempat yang seharusnya. Aku sangat membenci perempuan bernama Inggit Binti Karim itu. Pantas saja Bapaknya terus memberi upah besar se
“Ya, ya baik. Aku ceraikan Inggit, Mi!” Ucapan itu akhirnya terdengar juga.Untuk sekarang aku menang. Tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada tiga bulan, untuk memastikan bahwa Mas Haris benar –benar menceraikannya dan tak akan pernah merujuknya.“Inggit Winarsih Binti Abdul Karim aku jatuhkan talak satu padamu.” Mas Haris mengucap itu seolah –olah adalah legalitas untuk perceraian mereka.Inggit menangis tersedu –sedu. Ke dua bahunya terguncang. Lebih menyedihkan tak ada yang berusaha menenangkannya. Karena kami di sini bahkan hanya bertiga. Ke mana Pak Karim? Bapak yang sudah menyodorkan anaknya untuk menghancurkan kehidupan orang lain?Sekarang, dia terang –terangan jadi pengecut yang bersembunyi meski mendengar suara ribut di rumah anak dan menantunya tinggal. Benar –benar pria tak tahu malu. Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan, karena jelas –jelas tadi pemilik rumah –rumah yang disewakan di lingkungan ini bilang bahwa Mas Haris tinggal berdekatan dengan mertuanya.Dan
Kuarahkan tatapan ke depan, di mana Mas Haris berdiri membeku menghadap ke mobil. Akan tetapi tatapannya mengarah ke pintu di mana dia dan Inggit tinggal. Tempat yang menjadi saksi bisu mereka menghabiskan waktu bersama selama ini. Hatiku sakit membayangkan itu, sampai –sampai kupejamkan mata menahan nyerinya.Apa saat bersama Inggit, tak sekalipun Mas Haris ingat padaku?Padahal dia satu –satunya pria yang kuterima cintanya. Seorang pria yang dulu mengucap janji akan terus setia dan membahagiakanku.Apa dia juga tidak ingat pada anak –anaknya yang lahir dari rahimku? Anak –anak yang membuatnya ikut menangis saat mereka menangis kali pertama di dunia ini? Anak –anak yang katanya lebih dia cintai dari harta dunia?Hebat sekali Inggit bisa membuat Mas Haris melupakan semua itu.Mataku memanas. Air mata kembali mengalir hangat merayap di pipi. Bahkan mata ini sudah terasa perih karena terus menangis dari tadi. Tapi tetap saja ke luarnya tak bisa ditahan –tahan.Dari ekor mata, kulihat Ma
“Mas!” Suara berat seorang pria terdengar.Namun, karena merasa tak dipanggil, sebab di sini, yang bergerak ke luar Mushola, ada banyak sekali orang. Tentu saja mereka semua adalah para laki –laki yang juga memiliki panggilan sama ‘Mas.’“Mas Haris!” Begitu tepukan kecil di bahu diikuti menyebutkan namaku, lalu dilanjut dengan usapan beberapa kali di sana. Barulah aku sadar bahwa memang panggilan itu ditujukan untukku.Aku yang tengah mengepaskan sandal di ke dua kaki pun menoleh, untuk melihat siapa orang tersebut. Sebuah senyuman lebar kutemukan di wajah seorang pria paruh baya. Pria yang sedari awal menyapaku dengan hangat. Ya, walau semua orang di sini sikapnya ramah dan hangat, pria ini adalah salah satu yang paling ramah itu.“Bagaimana kabarnya?” tanya pria yang wajahnya selalu dihiasi senyuman itu. Entah kenapa dia selalu tampak bahagia begitu, apa karena hidupnya sangat bahagia? Padahal kudengar istrinya sedang menuntut cerai.Pak Wawan lalu menyodorkan tangannya.“Alhamdulil
“Nggeh, Pak. Istirahat saja.” Salma mengingatkan orang di ujung telepon yang tak lain adalah mertua. “Tadi pagi Salma sudah mengirim uang titipan Mas Haris buat Bapak. Nanti kalau ada keperluan lagi Bapak tolong bilang. Jangan diam saja.”Kubiarkan Salma bicara bebas dengan orang tuanya. Aku memang rutin menyisihkan uang untuk mertua yang notabene adalah juga dua orangku. Mereka tidak punya siapa –siapa selain Salma. Pekerjaan dan sumber keuangan hanya berkutat dari jualan di warung. Tidak seberapa, tapi mereka tak pernah mengeluh pada Salma. Sampai Salma tahu sendiri dari orang lain, kalau Bapaknya perlu uang cek up setiap Minggunya.Salma anak satu –satunya. Jadi sudah sewajarnya di saat kesulitan seperti sekarang aku memberinya izin memberikan uang itu.“Oh sudah ada perubahan?!” Salma melebarkan mata. Dua matanya yang memang tak sebening dulu, tapi terlihat berbinar saat ia mengarahkan tatapan padaku selagi ponsel masih menempel di pipinya.Aku mengangkat ke dua alis dengan mata m
“Ada apa Pak?” tanyaku bingung. “Apa Bapak mabuk perjalanan kalau naik mobil?”“Ah, bukan begitu, Mas. Saya membayangkan anak saya punya suami sukses kaya gini, pasti saya dan istri saya sangat senang sekali.” Pak Karim kembali bicara yang tidak –tidak.“Ya?” Kulebarkan mata, meminta penjelasan darinya.“Ah, nggak, Mas.” Pak Karim tersenyum. Ia kemudian masuk ke dalam mobil, begitu pun aku yang kemudian duduk di kursi kemudi.“Abi! Tunggu!”Namun, suara panggilan dari dalam membuatku seketika menoleh dan mengurungkan niat menyalakan mesin mobil dalam waktu dekat.“Abi!” suara itu terdengar lagi kemudian, diikuti munculnya seorang wanita yang tak lain adalah Salma –istriku. Wanita itu datang dengan terburu –buru membawa cangkir di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri.Aku pun menurunkan kaca jendela mobil, agar tahu apa keperluan Salma sampai harus menghentikanku sekarang. Namun, melihat cangkir di tangannya kupikir dia akan memintaku meminum sesuatu.“Ya, Salma?”“Bi, maaf. Ini tele
Makanan yang disiapkan istri dan anak Pak Karim kulahap sampai habis. Benar kata pria yang duduk di seberang kursi tersebut, bahwa masakan ini lezat seperti masakan para koki di restaurant.“Alhamdulillah, ini memang lezat. Bapak beruntung punya istri yang bisa memasak begini. Memuaskan yang makan.” Aku memuji Pak Karim dan terutama Bu Karim yang mempersiapkan semua ini untuk tamu.“Oh, ini masakan Inggit. Ibunya dari siang sibuk rewang di rumah sepupunya yang sedang hajatan. Jadi Inggit harus menyiapkan semua ini atas permintaan saya.” Pria itu menyangkal pujianku.“Wah, kalau begitu Bapak punya keberuntungan ganda, istri dan anak yang sama –sama pintar masak. Jadi nggak perlu makan makanan yang tidak cocok di lidah setiap harinya.Pujianku tulus. Tak ada niat apa pun selain agar orang yang sudah menjamu merasa senang. Ini adalah salah satu bentuk syukurku pada manusia. Bukankah kita juga harus bersyukur pada manusia untuk menyempurnakan rasa syukur kita ke pada Allah.“Apa Mas Haris