Ustaz Fawwas menatap ke arah Ibu Inggit yang tampak gelisah. Wanita itu tengah sibuk menghubungi orang melalui ponsel yang digenggam. Namun, sepertinya tidak juga mendapat jawaban sampai raut wajahnya kesal begitu.“Bu, nggak pulang?!” tanya Ustaz Fawwas.“Ah, ya. Ini Ustaz. Saya menunggu Wawan. Ke mana dia pergi? Saya hubungi berkali –kali tapi tidak juga diangkat.” Ibu Inggit mengeluh. Sesekali ia melihat ke arah ponsel. Siapa tahu tiba tiba ada panggilan atau pesan dari adiknya yang menghilang entah ke mana itu?“Oh ya benar .... ke mana perginya Pak Wawan?” Ustaz Fawwas celingukan mencari –cari sosok Wawan yang seharusnya tidak jauh –jauh dari area majlis. “Beliau seperti ditelan bumi saja.” Ustaz Fawwas geleng –geleng.Ustaz muda itu tersenyum, karena tahu apa yang membuat pria paruh baya itu menghilang dalam sekejap mata. Apa dia baru sadar sekarang bahwa emak –emak itu sebenarnya menakutkan. Itu kenapa harusnya dia berpikir ketika akan mencari gara –gara.“Bi!” panggil Ameena y
Mendengar suara mobil Ustaz Fawwas meninggalkan area Majlis, Wawan akhirnya ke luar. Ia celingukan memastikan bahwa ustaz muda dan istrinya benar –benar sudah pulang.“Wawan!” teriak Ibu Inggit mendekat. Wanita itu langsung memukuli tubuh adiknya dengan tas karena merasa kesal. Dia tak juga muncul di saat –saat dibutuhkan.“Auh, Mbak sabar. Maaf.” Pria itu mengaduh. “Aku bisa jelaskan.”“Heleh, mau jelaskan apa kamu? Dasar!”“Mbak, maaf tadi perutku tiba –tiba ndak enak. Jadi aku berjaga di toilet. Takut cepirit. Mau ajak pulang Mbak kan juga nggak mungkin.” Wawan mencari –cari alasan, walau alasannya itu konyol. Setidaknya dia tidak berdusta bahwa perutnya dari semalam memang bermasalah.“O ya, Mbak apa kata Ustaz tadi? Lalu apa istrinya Mas Haris ada menyebut namaku?” tanya Wawan penasaran.“Nah, itu aku heran. Kenapa mereka tidak menyebut namamu.” Ibu Inggit menjawab dengan dahi mengerut memikirkannya.“Alhamdulillah. Allah tahu niatku dari awal baik, Mbak. Jadi ....” Ucapan itu me
Inggit dan Bapaknya akhirnya pulang. Setelah berusaha keras inilah hasilnya. Tetap saja Karim harus merelakan harta senilai lebih dari 30 juta pada Mbah Wono. Hal yang tak diinginkan lain pun muncul. Pria itu semakin geram saja dibuatnya.“Haiss, apa lagi ini?” gumamnya ketika melihat sang sopir babak belur. Pria tua itu menghela napas berat lagi dan lagi.Pemuda yang menunggu mereka itu meringis menahan sakit. Albi masih beruntung karena dua algojo itu tidak mematahkan ke dua lengan dan kakinya, sehingga mereka masih bisa pulang dengan selamat. Karena tak ada orang lain yang bisa menyetir selain pemuda itu.Karim masuk mobil begitu saja. Dia tak habis pikir kenapa sopir taksi itu terlalu penasaran dan ingin tahu urusan orang lain. Sekarang dia harus menanggung sendiri akibatnya. Namun, melihat itu, Karim juga jadi berpikir, mungkin kalau tadi dia menahan emas di tangan Inggit, bisa jadi mereka bertiga bernasib lebih buruk dari sopir taksi itu.“Kamu baik –baik aja, kan?” Inggit mengh
Dua tangan Salma tertaut dan saling menekan satu sama lain. Ia berusaha keras mengendalikan perasaannya yang belakangnan memang sulit dikendalikan.Mendengar pengakuan Haris yang mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, Salma tak yakin soal itu. Karena di saat bertemu, pasti belum ada interaksi antara Inggit dan Haris, yang bisa menjadi media sihir untuk menghubungkan.Atau jangan –jangan bukan karena sihir? Haris bisa jadi memang jatuh cinta pada Inggit, dan semakin tak bisa mnegendalikan keinginannya setelah Pak Karim menempelkan sihir. Salma menghela napas berat. Malang sekali nasibnya, suaminya bisa jatuh cinta pada gadis lain pada pandangan pertama. Bahkan dulu, cinta yang tumbuh antara Salma dan Haris berproses, bukan pada pertemuan pertama.“Ehm, pandangan pertama? Apa Abi yakin?” Salma ingin mendengarkan jawaban lain. Diangkat dua tangan yang sedari tadi dimainkan di pangkuan ke atas meja. Ia ingin tampak lebih tenang.“Mi, Abi ....”“Pasti Abi sangat menikmati tidur den
Haris berada di atas ranjang dengan gelisah. Bukan cuma rasa bersalahnya telah mengintimidasi Salma barusan, tapi juga lebih pada rasa lapar yang dirasakannya sekarang. Pria itu membolak –balik tubuhnya sampai kasur yang ditempatinya terlihat berantakan. “Haisss .... lagian kenapa juga dia membicarakan hal sesensitif itu di saat suaminya makan,” omel pria berusia 39 tahun itu.Kalau sudah begini, mana bisa dia tidur. Perutnya akan sakit, karena sudah menahan lapar sejak siang. Untung saja pagi hari, Hania yang sifatnya bisa dikata dewasa mendekatinya dan meminta Haris makan sebab gadis cantik itu sudah menyiapkan sarapan untuk Abinya itu. “Sekarang bahkan Hania sudah tidak ada. Pada siapa aku minta makan?” Kalau saja tidak memikirkan bagaimana perasaan Salma, pria itu akan memilih ke luar rumah setelah bertengkar dan makan makanan enak di luar rumah. Namun, hal itu akan mempeburuk situasi. Hal itu yang selama ini Haris jaga, saat marah atau Salma yang marah, dia tidak akan meningga
[ Kamu kenapa langsung ngibrit pulang? Harusnya nginap saja di sini! ] protes Ibu Inggit, yang kesal karena adiknya pergi begitu saja tanpa bicara apa –apa, selain memintanya untuk pulang dan tidur di rumahnya sendiri.[Ada yang nggak beres Mbak. Duh, ngirim WA ini saja bikin aku merinding.] Wawan membalas pesan itu.[ Apa maksudmu? Bicaralah yang jelas! ][ sepertinya bapaknya Inggit main dukun, Mbak. Bagaimana ini? ] Wawan semakin cemas. Bahkan tanpa kesalahan itu saja posisinya sudah sangat terjepit di antara Ustaz Fawwas dan istri pertama Haris. Jujur dia jadi merasa bersalah, karena kenyataannya Haris nekad menalak Inggit. Hal yang tak mustahil ia lakukan kelak pada Salma ketika hatinya kembali merindukan Inggit.[ Jangan ngawur kamu! ] Ibu Inggit tidak terima. Suaminya mungkin kadang memang bisa licik pada orang lain demi keluarga.Tapi Karim tidak mungkin main pelet dan mencelakakan orang.[ Nanti aku jelaskan ketika kita bertemu, Mbak. Tapi sebaiknya Mbak hati –hati. sholat ja
Salma masih membeku di tempatnya. Sama seperti hatinya yang mulai beku dan mati rasa. Kenapa dia tidak berlari dan bertanya ke mana suaminya pergi terburu –buru begitu? Apa iya untuk menemui Ustaz Fawwas? Bukankah seharusnya dia bisa janjian bertemu di Masjid atau setelah mennuikan kewajbannya sholat berjamaah di Masjid?Karena tidak mungkin Ustaz Fawwas akan membiarkannya meninggalkan kewajiban Haris sendiri hanya untuk bertemu dengannya.“Umi.” Suara pelan diikuti usapan di perut Salma membuat wanita berusia kepala tiga itu menoleh.“Agni? Sudah sholat?” tanya Salma pada anak ke duanya tersebut. Agni mengangguk. “Kenapa Mi? Umi sakit, ya? Adek nakal?” tatapan remaja berusia 11 tahun setengah itu turun ke perut Umi yang dipegang.Dia ingat pesan Hania sang kakak, saat mereka hanya bicara serius berduaan, kala kakak sulungnya belum berangkat ke pondok. Mereka kadang kali seperti partner kerja di rumah. Karena hanya Agni yang bisa mendengar kata –kata Hania. Dia adik paling besar, yang
Salma menyempatkan melngintip ponselnya sendiri di sela aktifitasnya di rumah. Aktifitas yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dilakukan. Ada senyum di wajahnya, kala melihat balasan dari Umi Ameena untuknya.[ Ohya benar, Unie. Tadi Abinya sudah meminta Pak Haris bertemu. Katanya sih, secepatnya. ][ Dibawa tenang saja, Mi. Banyak –banyak berdoa. Serahkan pada Allah. Dia yang berkuasa atas segala sesuatu. ]Ameena menulis pesan itu bukan tanpa tujuan. Dia juga seorang wanita. Pastinya tahu kalau Salma pasti sudah mengantisipasi sesuatu setelah tahu suaminya menikah lagi. Begitu mengupayakan dan berikhitiar untuk mempertahankan suami demi kebahagiaannya dan anak –anak, satu –satunya hal yang harus dilakukan berikutnya adalah berserah diri.Terserah Allah. Akan membawa ke mana hidup mereka. Toh, manusia hanya menjalani apa yang Allah tetapkan untuk mereka. Jika pun itu terasa pahit, semua akan menjadi penebus dosa –dosa di masa lalu serta pemberat amal pahala kelak jika mereka bers