Home / Rumah Tangga / SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN / 1. Kehamilan Yang Terlambat

Share

SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN
SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN
Author: Mastuti Rheny

1. Kehamilan Yang Terlambat

Author: Mastuti Rheny
last update Last Updated: 2023-05-18 09:03:13

“Hamil?!”

Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang sudah aku dengar hingga aku menaikkan nada bicaraku setelah dokter memastikan tentang hasil pemeriksaanku.

“Aku hamil Dok?!”

Kali ini aku menggeleng sembari tersenyum satir, seakan menertawakan kabar yang sebenarnya sudah terlalu lama aku tunggu, nyaris hampir 25 tahun silam.

Rasanya berita ini sangat tak bisa aku terima dengan akalku.

Bagaimana mungkin aku yang awalnya memeriksakan diri tentang kemungkinan aku yang sudah mulai memasuiki masa menopause karena sudah satu bulan ini tak lagi mendapat tamu bulanan, malah dikagetkan dengan kabar yang sangat di luar dugaan ini.

Untuk saat ini aku menerima kabar itu dengan hati yang penuh kebimbangan. Meski ada rasa bahagia, tapi aku juga tak bisa mengabaikan rasa bimbangku.

“Hasil pemeriksaan ini sama sekali tak diragukan Bu,” ucap dokter berhijab di hadapan kami yang sejak tadi berusaha menjelaskan dengan gamblang tentang kehamilanku yang sudah aku ragukan sendiri.

Segera aku bisa merasakan jika sekarang Mas Mirza sudah menggenggam tanganku dengan erat. Untuk ke sekian kalinya dia kembali mendukungku atas setiap fragmen penting di dalam hidupku, sejak kami dipersatukan dalam mahligai pernikahan, 25 tahun silam.

“Apa kehamilan istri saya di usianya yang sudah tidak muda lagi akan membawa dampak negatif nanti?”

Kali ini suamiku bertanya dengan mengunggah rasa khawatirnya.

Mas Mirza melirikku sesaat.

Aku hanya bisa menanggapinya dengan desahan panjang, menunggu dokter di hadapan kami memberikan penjelasan.

“Untuk kehamilan di atas 35 tahun memang sudah termasuk tergolong beresiko tinggi, terlebih untuk ibu yang sudah di atas lima puluh tahun bahkan seharusnya sudah menyambut masa menopause.”

Sontak aku dan Mas Mirza saling bersitatap memendam kegundahan yang tak lagi bisa kami tampik.

“Lalu bagaimana dengan saran Dokter?” tanya Mas Mirza tetap digayuti kegusaran. Aku tahu suamiku tetap akan memprioritaskan kesehatanku.

“Apa aku harus tetap melanjutkan kehamilan ini Dok?” Aku ikut menimpali yang kemudian segera menarik perhatian Mas Mirza padaku dengan tatapannya yang tajam dan nyalang.

Jelas opsi untuk menghentikan kehamilanku tak akan pernah suamiku setujui karena bagaimanapun kami sudah sangat lama menunggu momen seperti ini.

Aku menggeleng tanpa sadar masih saja tak bisa menerima dengan akal sehat apa yang sedang terjadi saat ini. Aku sama sekali tak menduga tentang kehamilan ini. Bahkan aku sempat menganggap jika selama tiga bulan aku tak lagi mendapatkan menstruasi itu karena aku sudah mulai memasuki masa menopause.

Bagiku mengandung dan melahirkan anak sudah aku anggap sebagai hal yang terlalu mustahil. Bagaimana mungkin aku yang sempat dinyatakan infertil mendadak mengandung, bahkan di saat usiaku tak lagi muda. Tahun ini aku bahkan sudah menginjak 51 tahun, rasanya sangat mustahil jika aku bisa mengandung di usia yang seharusnya mulai memasuki masa menopause ini.

Sekarang aku menerima kabar ini dengan hati yang diliputi kebingungan.

Akan sangat berbeda jika hal membahagiakan ini mendatangi kami di saat kami masih muda, ketika dulu kami masih begitu berharap akan datangnya buah hati di saat-saat awal pernikahan.

“Apa Dokter tidak salah diagnosa, Dok?”

Aku kembali bertanya malah meragukan analisa  dari seorang dokter kandungan terbaik di kota kami.

Mas Mirza yang masih menggenggam tanganku langsung menyentak tipis sembari menegaskan tatapan matanya, seakan tak menyetujui dengan keraguan yang aku ungkapkan saat ini.

“Bapak dan Ibu bisa langsung melakukan USG untuk melihat pergerakan bayi di dalam perut Ibu Shania. Kita bisa melakukannya sekarang, karena mengingat usia kandungan Ibu sudah cukup untuk bisa melihat pergerakan bayi.”

Dokter itu kembali meyakinkan kami.

Aku mendesah panjang, segera disergap keraguan yang membuatku gagu.

Aku bahkan tak bisa mencerna dengan pikiran jernih tentang kehamilanku yang masih aku anggap terlalu tidak masuk akal ini.

“Mas, bagaimana ini, aku hamil Mas?”

Aku meluapkan kebingunganku di hadapan Mas Mirza yang sekarang malah aku lihat tersenyum lebar.

“Alhamdulillah, bukankah kita sudah lama menunggu kabar gembira ini?”

Aku bisa merasakan dengan jelas kalau sekarang Mas Mirza berusaha membesarkan hatiku. Nyatanya suamiku terlihat lebih siap menerima kabar yang terlalu mengagetkan ini.

“Tapi Mas, aku ....”

“Seharusnya kita bersyukur Nia, Allah sudah menjawab doa-doa kita selama ini.”

Mas Mirza langsung menyela cepat keraguanku.

Setelah itu Mas Mirza mulai mengalihkan perhatian pada sosok dokter di depan kami.

“Lalu apa yang harus kami lakukan agar istri saya bisa melewati kehamilan ini dengan baik, meski usianya sudah tidak muda lagi?”

Wanita berhijab dengan wajahnya yang teduh itu mulai memandang kami dengan ekspresi yang lebih serius.

“Meski ini kehamilan yang riskan, dan sangat tak disarankan untuk mengandung di usia menjelang menopause, apalagi untuk kehamilan pertama, tapi jika Ibu rutin memeriksakan kehamilan dan berhati-hati dalam menjalani kehamilan ini, Insya Allah segalanya bisa baik-baik saja. Jangan lupa untuk menjaga asupan gizinya selama mengandung. Nanti saya akan memberi rincian tentang makanan dan minuman yang baik dikonsumsi saat hamil.”

Dokter yang memiliki kerutan di ujung matanya itu langsung memindaiku lebih lekat.

“Yakinlah dan bertawakal saja pada Allah jika kehamilan ini bisa Ibu lalui dengan baik.”

Wanita baik hati itu berusaha membesarkan hatiku. Aku sangat bersyukur Tuhan sudah memberikan petunjuk pada kami untuk mendatangi seorang dokter yang tepat yang sama sekali tak menyarankan pada kami untuk melakukan aborsi meski aku harus menanggung resiko besar selama menjalani kehamilan di usia yang sudah tidak muda lagi.

Aku mulai tertulari vibes positif mereka, Dokter Mira dan suamiku yang selalu sabar dan menggantungkan segala hal pada takdir dan ketentuan Tuhan.

Aku mulai melirik pada Mas Mirza dan perlahan membalas genggaman tangannya.

“Aku yakin kamu pasti bisa, Nia.”

***

“Bagaimana apa kata dokter, Nia?” tanya Ibu ketika kami baru saja masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh pertanyaan yang menyiratkan dari ibuku.

Aku mendesah panjang sejenak, memandang lurus pada wanita yang sudah melahirkan aku itu, yang sejak ayah berpulang memutuskan untuk tinggal bersama kami.

Sejurus kemudian aku mulai mengulas senyuman, yang sebenarnya adalah untuk menenangkan diriku sendiri, yang masih belum sepenuhnya tenang.

“Aku tidak apa-apa kok Bu,” jawabku datar.

“Kalau nggak kenapa-kenapa, kamu kok sering muntah, sering pusing dan badan kamu lemas?” Ibuku terus saja mencecar.

“Nia memang tidak apa-apa Bu,” sahut Mas Mirza cepat yang sekarang sudah mulai duduk di sampingku.

Mas Mirza kemudian mulai melirikku sejenak.

“Nia seperti itu karena dia sekarang sedang hamil,” jawab Mas Mirza lugas.

Ketika mendengar kabar itu Ibu malah membeliakkan mata dan menatap kami tajam.

“Hamil?!”

Aku dan Mas Mirza mengangguk bersamaan.

Tapi nyatanya ibu menanggapi dengan gelengan kepala tegas. Wanita yang sudah melahirkan aku itu terlihat tak bisa menerima kabar yang sudah kami sampaikan.

Aku menganggap ibu mungkin terlalu kaget.

“Kamu hamil Nia? Di saat keadaan kita sedang sangat sulit seperti ini kenapa kamu malah hamil? Bukannya dulu kamu sempat dinyatakan mandul. Kok sekarang mendadak kamu malah hamil. Ini yang benar yang mana?”

Ibu terlihat gusar sekarang. Sikapnya sangat jelas menunjukkan sebuah penampikkan.

Aku langsung ikut tersengat gelisah, menjadi kembali gusar bila mendapati sikap ibu yang sama sekali tak bisa menerima kehamilanku.

“Mungkin saat awal kami melakukan pemeriksaan bertahun-tahun dulu itu ada sesuatu yang salah. Lagipula kami tak melakukan pemeriksaan lagi di tempat lain untuk mencari second opinion.”

Mas Mirza berusaha untuk menjelaskan.

Ibu tetap kurang bisa berkenan.

“Aku anggap semua ini sudah terlalu terlambat buat kalian.”

Tatapan ibu kian terunggah tajam pada kami.

“Apa kalian tidak sadar berapa usia kalian sekarang?”

Aku dan Mas Mirza langsung berpandangan.

“Kalian itu sudah tidak muda lagi. Bahkan usaha kalian sekarang sedang mengalami penurunan. Kamu saat ini saja sudah nggak bisa menggaji satu karyawanpun dan selalu mengandalkan tenaga Shania untuk membantu kamu di toko. Kalau Shania hamil, dia pasti akan menjadi sangat lemah dan tak bisa melakukan apapun.”

Ibu mulai mengungkit tentang usaha toko pakaian Mas Mirza yang sekarang tidak berjalan dengan baik. Sejak toko online gencar menggempur usaha perniagaan kami mulai kian surut. Sementara kami sedikit kesulitan untuk mengikuti perkembangan jaman.

“Bu, bagaimanapun kehamilan Shania adalah anugerah yang seharusnya kita syukuri.” Mas Mirza berusaha untuk meyakinkan ibu tentang kehamilanku.

Ibu masih saja bersikeras dengan pendapatnya.

Tatapan ibu kemudian kembali menyergapku dengan sarkas.

“Aku yakin anak yang ada dalam kandungan kamu itu hanya akan menjadi anak pembawa sial.”

Aku tersentak ketika mendengar kata-kata ibu yang sangat menyudutkan, terasa sangat menyakiti hati. Benar-benar tak bisa aku duga.

Aku lalu membalas tatapan ibu.

“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan dengan anak yang ada di dalam kandunganku ini?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
alhamdulillah.....bersyukur
goodnovel comment avatar
Isabella
Itu sudah anugrah mestinya hrs di syukuri jangan sekarang udah canggih .
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status