Home / Rumah Tangga / SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN / 7. Sesuatu Yang Sedang Disembunyikan Suamiku

Share

7. Sesuatu Yang Sedang Disembunyikan Suamiku

Author: Mastuti Rheny
last update Last Updated: 2023-06-11 15:39:59

“Terus aku harus bagaimana dong?”

Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.

“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”

Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.

Ibu memandangku nyinyir.

“Harusnya kamu itu ... “

“Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”

“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”

“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”

“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyawa kamu melayang, saat persalinan.”

Aku mendesah panjang, berusaha menghalau rasa takut yang kembali hadir saat ibu mengungkit tentang resiko kehamilanku.

“Apa kamu nggak memikirkan tentang hal fatal ini Nia?’

Aku memilih menggeleng, menanggapi.

“Sebagai seorang Ibu, aku berharap Ibu mendoakan aku agar aku bisa melalui persalinan ini nantinya dengan baik, juga bayi di dalam kandungku bisa lahir dengan selamat.”

Setelah itu aku bangkit dari kursi, mendadak kepalaku kembali terasa nyeri. Mendengarkan ocehan ibu selalu saja membuatku merasa tertekan dan hatiku diselimuti kabut kecemasan.

“Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara.”

Aku mendesah panjang melirik sekilas pada ibu yang sudah mendongakkan kepala untuk bisa menatapku dengan sangat tegas.

“Aku mau istirahat ke kamar dulu.”

“Nia anak itu sudah membuat kamu sangat lemah. Aku yakin nantinya dia juga akan membawa sial buat keluarga kita.”

Aku mendengkus geram. Selalu saja ibu menyebut calon bayiku sebagai anak pembawa sial. Sungguh sebuah takhayul yang sangat menyesatkan, dan tak akan pernah aku percayai.

“Anakku ini tak akan pernah membawa sial untuk keluarga kita, sebaliknya dia akan selalu membawa keberuntungan buat kami,” tegasku yakin setelah itu aku berusaha untuk melipir pergi.

Tapi ibu malah mengeraskan suaranya.

“Nia, sekarang semua orang sedang menertawakan kamu karena kamu hamil di usia tua. Kamu sudah membuat malu aku!”

Aku tetap tak membalikkan badan meski langkahku terhenti sejenak.

Aku memilih mengabaikan ucapan ibu seperti juga aku akan menghiraukan omongan orang lain tentang kehamilanku yang disangsikan oleh banyak orang.

***

Aku masih menekuni untuk mentadaburi Al Quran yang ada dalam genggamanku. Menghayati kalamullah, demi mendamaikan hati yang masih saja gelisah karena digempur ucapan nyinyir dari orang terdekatku sendiri.

Sampai akhirnya suamiku mulai masuk ke dalam kamar kami dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Sejenak aku menoleh ke arahnya dan mendapati wajah suamiku yang tampak kuyu.

Segera aku akhiri bacaanku dan menutup kembali mushaf.

“Shodaqallahuladzim.”

Setelah itu aku bangkit sambil melipat mukena yang aku pakai lalu menghampiri suamiku yang tampak lelah.

“Mas, apa mau aku pijat?”

Aku menawarkan diri sembari mulai memijat kaki Mas Mirza perlahan.

Tapi nyatanya Mas Mirza malah mengangkat punggungnya, mendekatiku untuk ia bawa berbaring di sampingnya.

“Kamu beristirahat saja di sampingku.”

Setelah itu Mas Mirza mulai memelukku sembari mengelus punggungku seperti kebiasaannya.

“Apa kamu masih merasa pusing dan mual?”

“Kalau malam seperti ini, aku sama sekali tak merasa mual Mas.”

Aku kian menelusupkan wajahku di dada bidangnya yang selalu memberiku kenyamanan. Dengan menghirup aroma tubuh suamiku saja, aku sudah merasa sangat tenang, seperti sekarang yang sudah aku rasakan.

“Syukurlah kalau begitu.”

“Mas ... “

Aku sedikit mendongakkan kepala, memandang wajah tampan suamiku yang sekarang bahkan sedang mengulas segaris senyumnya untukku.

“Bagaimana tokonya, apa Mas kewalahan sampai kelihatan lelah seperti ini?”

Ketika mendengar pertanyaanku Mas Mirza malah terkekeh. Aku sendiri juga tergelak.

Kami tertawa satir, seakan menertawakan kondisi usaha kami yang memang cenderung sepi akhir-akhir ini.

“Saking kewalahannya aku sampai ketiduran sebentar.”

Kami semakin tergelak.

Tapi setelah itu Mas Mirza malah mengeratkan dekapannya, sembari menatapku lekat.

“Oh iya Nia, mulai besok aku akan meminta Dina untuk membantuku di pasar.”

“Mas yakin?”

“Aku tak memiliki pilihan lain, tapi aku akan selalu mengawasi dan bersikap tegas padanya.”

“Kalau memang itu Mas anggap baik, Mas lakukan saja.”

Setelah itu aku malah mendengar helaan nafas panjang suamiku.

Aku tetap merasa kalau Mas Mirza masih digayuti beban pikiran yang pelik. Meski saat ini Mas Mirza tak mengatakannya, tapi bisa merasakan kalau masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suamiku saat ini.

“Mas, aku yakin besok keadaanku akan membaik, Insya Allah mungkin besok aku akan ikut ke toko juga, jadi Mas bisa berkeliling lagi ke desa-desa untuk menjajakan dagangan kita.”

Mas Mirza malah memandangku sangat lekat.

Aku bisa melihat sorot khawatir di kedua matanya.

“Tidak, aku tidak mau kamu memaksakan diri.”

Aku hanya termangu membalas tatapannya.

“Sudah aku katakan sebaiknya kamu fokus dengan kehamilan kamu, tenangkan pikirkan kamu juga. Cukup kamu berdoa saja, biar aku yang berusaha untuk keluarga kita, untuk kamu, untuk ibu juga untuk calon bayi kita.”

“Tapi Mas ... “

“Hussh ..., sudahlah sayang, sekarang tidurlah, agar nanti malam kita bisa bangun untuk menunaikan tahajud.”

Mas Mirza menutupkan telunjuknya di depan bibirku, setelah itu dia kembali memelukku erat, sembari terus memberikan elusan lembut pada punggungku, ingin membuatku nyaman, agar aku bisa segera terlelap.

Nyatanya dalam waktu singkat aku sudah mulai merasa mengantuk, hingga pada akhirnya aku jatuh tertidur di dalam pelukan hangat suami yang aku cintai.

***

Pagi-pagi sekali Mas Mirza sudah berangkat ke pasar. Bahkan saat dia baru saja turun dari mushola setelah sholat subuh Mas Mirza sudah bersiap pergi.

Memang sekarang keramaian pasar terjadi di awal hari. Sementara di siang hari pasar menjadi sangat lengang.

Setelah Mas Mirza berangkat aku memutuskan untuk berbelanja di warung terdekat untuk membeli sayur dan bahan makanan lain.

Aku sudah berjanji pada ibu untuk memasak hari ini. Untunglah hari ini aku tak merasa terlalu mual lagi seperti hari kemarin. Jadi aku bisa melakukan sedikit aktivitas meski aku tahu kalau Mas Mirza tak akan membiarkan aku melakukan apapun dulu, sampai aku benar-benar sehat.

Tapi seharian di rumah tanpa melakukan apapun jelas akan terasa sangat membosankan.

Lagipula aku hanya memasak masakan sederhana pastinya tidak akan sampai terlalu berat.

Sesampainya di warung aku langsung memilih beberapa ikat kangkung juga satu tongkol jagung. Rencananya hari ini aku akan memasak sayur asam.

Tapi ketika aku akan mengulurkan belanjaanku pada Mbak Narti, si empunya warung, aku kemudian baru menyadari kalau sekarang tatapan semua orang sedang terarah padaku.

Sorot mata mereka terlihat dalam dan penuh arti, malah menerbitkan rasa bingung juga penasaranku.

“Ada apa ya?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status