Share

Namanya Erika

"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing.

"Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya.

Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati.

"Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman."

"Iya, Sayang. "

Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengabaikan semua itu setidaknya untuk sementara waktu sampai aku benar-benar mendapatkan bukti kuat tentang perselingkuhan mereka.

Seperti permintaanku tadi, kami segera pulang setelah selesai dengan dinner yang pura-pura menyenangkan ini. Saat kami keluar dari restoran, perempuan yang masih aku belum tahu namanya itu ikut keluar pula. Dia tampak mendekat ke sebuah mobil berwarna putih yang sialnya parkir pun bersebelahan dengan mobil mas Irwan.

Kalau saja aku sedang tak berlagak bodoh seperti ini, pasti sudah ku labrak dia sedari tadi.

"Iya, Dokter, besok saya pasti check up. Kebetulan juga vitamin kehamilan saya sudah habis. Makasih ya udah diingetin."

Aku tersentak, perempuan itu hamil? Hatiku semakin tak karuan. Aku melirik sekilas perutnya, tak terlalu nampak karena dia memakai dress yang tidak ketat dan sedikit mengembang. Namun, benarkah perempuan itu hamil? Hamil anak suamiku?

"Saya dateng bareng dia besok, Dokter."

Aku menajamkan pendengaranku. Perempuan itu belum masuk ke dalam mobilnya sama denganku sementara mas Irwan sudah masuk ke dalam mobil. Nampaknya, mas Irwan tak mendengar pembicaraan perempuan itu di telepon. Aku bergegas masuk agar mas Irwan tak curiga bahwa aku sedang menguping tadinya.

"Mas, besok kamu ada kerjaan?" tanyaku kepada mas Irwan, aku ingin memastikan bahwa dia benar-benar akan menemani perempuan itu atau tidak.

"Entahlah, belum tahu."

"Loh, kok belum tahu sih, Mas? Tadi kamu bilang kan besok kamu ambil cuti, kamu bilang juga pekerjaanmu bisa dikerjain di rumah."

"Iya, Sayang, tapi aku kan gak tahu entah besok ada panggilan kerjaan mendadak dan aku harus masuk."

Semakin kuat dugaanku bahwa besok mas Irwan akan menemui perempuan sialan itu. Ya Tuhan, apakah benar dugaanku selama ini dan apakah benar perempuan itu sekarang sedang hamil anak suamiku?

Ingin rasanya aku berteriak dengan kencang saat ini. Hatiku seperti di palu berkali-kali mendapati kenyataan pahit ini. Namun, aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh gegabah.

"Memangnya kamu mau kemana besok?" tanya mas Irwan memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Rencananya mau ajak Rafa jalan-jalan sepulang dia sekolah."

"Besok aku janji, kalau aku benar-benar gak ada kegiatan mendesak, kita akan ajak Rafa jalan-jalan."

Aku meliriknya sekilas, kemudian hanya mengangguk kecil. Lalu kami masing-masing larut dalam keheningan. Aku dengan pikiranku, mas Irwan dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang sekarang ada dipikirannya.

***

Rafa baru saja selesai mas Irwan antar ke sekolah tapi suamiku itu tidak langsung kembali ke rumah. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia terjebak macet di jalan, tapi setelah hampir dua jam menunggu, dia tak kunjung pulang. Aku semakin yakin bahwa mas Irwan memang sedang menemui gundiknya itu.

Aku sempat mendengar dimana perempuan itu akan melakukan check up pagi ini. Aku harus ke rumah sakit itu sekarang. Aku segera meraih tasku, keluar dengan terburu-buru hingga hampir saja menabrak mbok Yem yang baru selesai menyiram tanaman di depan.

"Maaf, Mbok, saya buru-buru."

Belum sempat mbok bertanya ini dan itu, aku sudah melangkah cepat menuju keluar dimana taksi telah menungguku. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit itu, keringat dingin terasa di kedua telapak tanganku. Aku gugup, juga tak siap untuk menerima semua kenyataan. Namun, aku juga tidak mau terus-terusan dibohongi dan dibodohi seperti ini.

Jalanan ternyata tak lagi terlalu macet sehingga aku sampai dengan cukup cepat ke rumah sakit. Aku segera menyusuri lorong, sempat bertanya kepada perawat di mana ruangan dokter kandungan.

Setelah mendapatkan informasi keberadaannya, aku bergegas ke sana. Aku melihat dari kejauhan, suamiku dan perempuan semalam sedang duduk di kursi panjang. Mas Irwan tampak begitu mesra membelai perut perempuan itu yang baru kulihat memang sudah sedikit membuncit.

Hatiku seketika luluh lantak, bergemuruh hebat, bagai diserang badai dahsyat. Sekuat tenaga kutahan tangisku yang bisa saja pecah dan akan menarik perhatian banyak orang. Aku berdiri mematung di belakang pilar rumah sakit yang cukup besar sehingga keberadaanku tak akan diketahui oleh mereka.

Aku bahkan dengan nekat dan bodohnya tetap menunggu sampai mereka selesai melakukan pemeriksaan. Mereka sudah masuk dan beberapa saat kemudian, keduanya keluar dengan saling tersenyum satu sama lain.

"Usia anak kita sekarang udah dua bulan di dalam perutku, Mas."

Sayup-sayup aku mendengar perbincangan mereka yang berjalan semakin mendekat ke arahku. Aku segera menggeser posisi agar ketika melewatiku kelak mereka tidak tahu.

"Kamu harus banyak istirahat ya. Aku gak mau kamu kecapean."

"Tapi kamu harus janji untuk segera menikahi aku, Mas! Aku nggak mau kita selalu sembunyi dari keluarga juga istri kamu itu!"

"Ya sabar, Erika. Aku nggak bisa langsung bilang sama Inggit."

"Terus mau sampai kapan, Mas? Lama-lama perutku ini akan membesar! Kedua orangtuaku juga belum aku beritahu tentang kehamilanku!"

"Erika pelankan suaramu, nanti semua orang dengar. Aku janji, dalam minggu-minggu ini akan segera mengatakannya kepada Inggit."

Perempuan yang ternyata bernama Erika tampak kesal kemudian mereka benar-benar berlalu. Aku mematikan rekaman suara mereka yang baru saja aku rekam dengan ponselku. Hatiku benar-benar hancur sekarang. Ternyata benar dugaanku selama ini, mas Irwan memang sudah berselingkuh dengan perempuan lain bahkan yang lebih gilanya lagi, perempuan itu sudah hamil anaknya.

"Tega kamu, Mas!" desisku sambil terus menatap mereka yang sudah menghilang dari balik koridor rumah sakit. Aku segera pulang setelah memastikan mobil mas Irwan sudah keluar dari pelataran rumah sakit. Mas Irwan sempat menghubungiku bahwa dia akan menjemput Rafa nanti.

"Nyonya, darimana saja? Si Mbok khawatir."

Mbok Yem menyambutku yang baru saja masuk dengan langkah gontai ke dalam rumah.

"Semuanya benar, Mbok, suami saya memang sudah berselingkuh dan perempuan itu sekarang sedang hamil."

Aki berkata lirih, mbok Yem hanya bisa menatapku dengan sedih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status