Share

Masih Sangup Berpura-pura

Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka.

"Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini."

Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yang ada di Bandung sana, jadi aku hanya punya mbok Yem sebagai tempat mengadu mencurahkan isi hati.

"Rasanya sakit sekali, Mbok. Saya nggak tahu saya ini kurangnya apa. Saya pandai atur keuangan, saya bisa berdandan, saya juga merawat tubuh saya agar mas Irwan enggak kecantol perempuan lain. Tapi semuanya sia-sia, tetap saja mas Irwan selingkuh dengan perempuan lain. Apa yang perempuan itu punya di tubuhnya juga ada di saya, Mbok. Kejam sekali mas Irwan mencurangi saya selama ini."

Lagi, kutumpahkan segala bentuk rasa kecewa kepada mbok Yem yang masih setia mendengarnya.

"Terus, rencana Nyonya selanjutnya bagaimana?" tanya mbok Yem lembut.

Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. Benar, apa yang bisa aku dapatkan dengan hanya menangis seperti ini? Aku harus bangkit dari keterpurukanku. Ada Rafa, puteraku yang juga harus diberi perhatian.

"Aku akan menggugat cerai, Mbok!"

"Pilihan memang ada di tangan Nyonya. Tapi saran saya, Nyonya harus mendapatkan bukti lebih kuat lagi sebelum mengajukan gugatan. Mbok yakin, tuan akan merebut hak asuh atas den Rafa jika Nyonya mengajukan gugatan tanpa persiapan yang matang."

Aku terdiam. Benar pula apa yang baru saja dikatakan oleh mbok Yem. Aku cuma punya tabungan yang pasti tak akan bisa mengalahkan mas Irwan dipersidangan untuk merebut hak asuh atas puteraku. Mas Irwan pasti akan menjadikan aku yang tak bekerja ini sebagai senjata. Aku pasti dinilai tak akan mampu mengasuh Rafa.

"Lalu aku musti gimana, Mbok?" Aku menatap mbok Yem dengan lesu.

"Tuan cuti?" tanya mbok Yem dan aku mengangguk. "Mbok yakin seratus persen, malam ini Tuan akan menemui perempuan itu, Nya. Jadi, Nyonya kembali ke rencana awal saja, melakukan pengintaian lalu mendapatkan bukti berubah foto atau video untuk menegaskan perselingkuhan mereka. Seenggaknya, Nyonya punya bukti yang cukup kuat kelak. Untuk sementara, Nyonya harus pikirkan den Rafa dulu."

Aku berpikir sesaat, airmata yang tadi mengalir sekarang sudah kuhapus. Aku juga sudah bisa mengendalikan diriku, mengatur nafas yang tadi tersengal karena isak tangis. Hatiku sebenarnya sudah porak poranda, tapi aku harus bisa menenangkan diri. Benar semua nasihat yang mbok Yem berikan, bahwa perjuanganku untuk mendapatkan bukti lebih kuat harus tetap kulakukan.

"Rafa aku titipkan ke Mbok dulu ya seperti rencana awal. Aku akan bergerak malam ini. Aku juga sama seperti Mbok, yakin kalau mas Irwan pasti akan menemani gundiknya malam nanti."

Mbok Yem mengangguk lantas kemudian perempuan tua yang baik itu pamit untuk ke dapur. Aku sekarang sendirian di ruang tengah ini. Mataku kemudian mengarah ke pigura besar yang terdapat potret aku dan mas Irwan dalam baju pengantin.

Aku tersenyum miris dan sinis, begitu mudahnya suamiku mendua dan mengkhianati kesakralan pernikahan. Aku selama ini sangat setia kepadanya, tapi dia sudah begitu jahat mencurangi.

Aku meraih ponsel yang sedari tadi berada di dalam tas. Ku buka dan mulai menekan kontak mas Irwan. Aku hanya ingin tahu apakah dia masih dengan gundiknya atau sudah di sekolah untuk menjemput Rafa.

Panggilanku sudah tersambung tapi belum diangkat. Aku coba sekali lagi, barulah kemudian mas Irwan mengangkatnya.

"Kamu lagi dimana, Mas?" tanyaku pura-pura tak tahu dengan suara setenang mungkin.

"Ini, tadi aku ketemuan sama client, jadi aku gak langsung pulang. Sebentar lagi aku ke sekolah Rafa."

"Aku mau video call, Mas," pintaku padanya.

"Jangan, Sayang. Ini aku udah mau jalan nanti aku gak fokus nyetir."

Aku menarik nafas panjang. Tentu saja suamiku ini takut untuk mengangkat panggilan videoku karena aku yakin betul saat ini perempuan jalang itu masih bersamanya.

"Ya udah, tolong cepetan kamu ke sekolahnya Rafa ya, Mas. Aku gak mau Rafa nunggu kelamaan."

"Iya, makanya kamu matiin aja dulu teleponnya, aku mana bisa jalan kalo kamu masih telepon."

Geram aku mendengarnya, tapi akhirnya aku matikan juga sambungan teleponnya. Ku lempar ponsel itu ke sisi sofa sebelahku sampai benda itu terjatuh. Aku tak peduli, kusandarkan tubuhku dengan sesaat memejamkan mata.

Aku sangat berharap bahwa semua yang aku alami hari ini adalah mimpi. Namun, saat aku kembali membuka mata, hanya kenyataan yang aku dapatkan. Perlahan, ku seret tubuhku untuk berbaring di sofa, rasanya otak dan tenagaku tak lagi ada daya upaya untuk beranjak kemana-mana.

"Mbok buatkan teh hangat untuk Nyonya juga ada camilan pisang goreng kesukaan Nyonya."

Aku membuka mata yang baru saja terpejam lalu tersenyum kecil kepada mbok Yem yang sudah begitu baik kepadaku ini.

"Makasih ya, Mbok. Aku beruntung masih ada Mbok yang menemani di sini. Aku jadi lebih kuat untuk terus pura-pura di depan mas Irwan."

Mbok Yem hanya menjawabnya dengan anggukan kecil dan senyum menenangkan. Setelah mbok Yem pergi lagi ke dapur, aku kembali memejamkan mataku.

Setengah jam kemudian, suara Rafa yang riang mencariku terdengar, disusul suara langkah kaki mas Irwan.

"Mama di sini." Aku berseru dengan suara yang dibuat seriang mungkin. Aku juga memastikan bahwa di wajahku tak lagi ada jejak airmata.

Rafa terlihat senang dan segera mendekatiku lalu mencomot satu pisang goreng yang tadi disajikan mbok Yem dan belum sempat aku sentuh.

"Sayang, aku entar malem kayaknya gak bisa tidur di sini. Mama besok minta anterin ke Bogor. Mama minta aku ke rumahnya malam ini jadi mungkin sekalian aja aku nginep di sana ya."

Aku yang sudah tahu kebohongan suamiku ini hanya mengangguk dan tersenyum kecil saja. Ke rumah ibu mertuaku? Dasar suami tukang selingkuh dan pembohong! Aku mendengus kesal di dalam hati seraya melihat vas bunga di bawah pigura foto pernikahan kami yang dialasi meja kecil. Rasa ingin sekali aku menghantam suamiku ini dengan benda itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status