Share

Pertemuan Tak Terduga

Kepalaku masih saja berdenyut nyeri ketika aku terbangun. Aku mendengar suara air dari pancaran shower yang ada di dalam kamarku dan mas Irwan. Suamiku yang bajingan ini ternyata sudah pulang. Sudah puas mungkin dia bercumbu dengan gundiknya. Aku mengepalkan jemari yang tertaut terbenam ke dalam lengkungan seprai. Aku mencengkramnya kuat, menahan segala bentuk kemarahan yang sebenarnya ingin sekali aku ledakkan di depan wajah mas Irwan sekarang.

Perlahan aku bangkit dari tempat tidur, ketika ku s***k tirai, ternyata senja telah memayungi langit. Tampak rumput di bawah sana basah, rupanya sempat hujan. Aku tak tahu, sebab sudah begitu pulas tidur tadinya selama beberapa jam. Lalu kemudian sayup-sayup terdengar mas Irwan keluar dari kamar mandi. Aku menoleh sesaat kepadanya.

"Udah bangun? Aku tadi lihat kamu pulas tidurnya, jadi gak mau bangunin."

Dia berkata dengan santai, perlahan bergerak mendekatiku. Aku diam saja ketika dia sekarang bergerak semakin mendekat, menyibak sedikit anak rambut yang menutupi sebagian wajahku. Namun, teringat kejadian siang tadi ketika tangan lelaki ini sempat merengkuh dengan mesra perempuan lain, aku jadi refleks bergerak ke samping. Risih.

"Kenapa?" tanyanya tak paham dengan kening yang berkerut.

"Aku pengen ke kamar mandi, Mas. Kamu entar turun aja, atau pergilah menemui Rafa. Dia kangen berat seharian gak lihat kamu."

"Iya, rencananya aku memang mau ajak kamu sama Rafa buat makan di luar malam ini."

Aku menatapnya sekilas. Kalau saja aku tidak mengalami semua kesakitan karena pengkhianatannya, aku mungkin akan sangat bahagia mendengar ajakannya saat ini. Namun, sekarang rasanya aku engga. Tapi, aku tentu harus memikirkan Rafa. Puteraku sudah lama ingin punya waktu bersama ayahnya.

"Baik, Mas. Aku mandi dulu, nanti aku nyusul ke bawah."

Mas Irwan tampak mengangguk dan tersenyum kecil. Aku segera menjauh darinya, membawa handuk ke dalam kamar mandi dan membuka bajuku di sana. Dia nampak keheranan karena aku tidak membuka baju di depannya seperti biasa. Namun, tak ku pedulikan tatapan bingungnya itu.

Aku hanya merasa, mas Irwan tak lagi pantas untuk melihat bagian tubuhku yang lain setelah aku melihat sendiri kemesraannya dengan perempuan lain. Saat ini, aku harus bisa menahan dan juga berlagak tidak tahu kebusukannya selama ini. Bukti yang aku dapatkan belumlah banyak, jadi aku harus bisa bermain cantik meskipun sudut hatiku nyeri sekali dan ingin memaki.

Setelah aku selesai mandi dan telah selesai pula berhias dan mematut penampilanku di cermin, gegas ku langkahkan kaki. Namun, aku segera kembali ke depan cermin, kulihat diriku sendiri yang nampak cantik. Aku merasa begitu terluka, apa yang kurang dariku? Aku cukup cantik, tubuhku juga cukup terawat. Mengapa mas Irwan bisa tergoda dengan perempuan lain? Setitik airmataku jatuh tapi aku segera menghapusnya.

Aku harus terlihat biasa seolah tak mengetahui apapun yang selama ini telah terjadi demi mendapatkan banyak bukti lagi. Meskipun aku muak, muak melihat wajah mas Irwan. Wajah yang selama ini selalu aku rindukan setiap hari, kini berganti dengan wajah yang manipulatif, penuh dengan dusta dan berlindung di balik topengnya yang terbungkus dengan manis, sebagai figur yang begitu sayang kepada keluarga kecilnya. Hatiku nyeri sekali, begitu hebatnya mas Irwan memainkan dua peran sekaligus, dia protagonis juga antagonisnya.

"Itu Mama, sekarang kita berangkat. Papa sudah pesan makanan di restoran mewah."

Aku mendengar mas Irwan menunjuk ke arahku yang baru saja turun dari tangga.

"Asyyiiik, akhirnya Papa ada waktu untuk kita ya, Ma."

Seruan Rafa membuatku hanya bisa tersenyum miris. Namun, aku tetap berusaha tampil biasa saja, jangan sampai membuat mas Irwan curiga bahwa aku telah mengetahui segala kecurangannya meskipun baru sedikit bukti yang aku dapatkan.

Kami kemudian pergi dengan mobil mas Irwan. Aku merasa risih lagi, tiba-tiba saja terbayang entah apa yang sudah dilakukan suamiku dengan perempuan itu di dalam mobil ini. Lalu mataku menangkap sebuah tisu yang terselip dekat jendela mobil. Ada noda semacam lipstik di sana.

Aku melirik mas Irwan yang masih asyik dan fokus menyetir. Dugaanku sepertinya memang tak salah, suamiku memang telah mendua. Aku berusaha menahan mati-matian airmata yang hampir saja tumpah.

"Kamu pucat banget, Sayang. Sakit?" tanya mas Irwan penuh perhatian. Aku menggeleng, malas saja menjawabnya dengan suara.

"Kamu enggak lembur, Mas?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya yang membuatku risih.

"Enggak, udah hampir beres kok kerjaanku. Bisa dikerjain besok."

"Oh." Aku hanya ber- oh ria saja.

Ya jelas dia tak lembur lagi hari ini. Mungkin sudah puas olahraga ranjang bersama gundiknya siang tadi. Memikirkan itu, membuatku semakin tersiksa saja.

"Kamu beneran gak apa-apa kan?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng dan akhirnya mas Irwan pun mengangguk. Tak berapa lama kemudian, kami sampai di restoran yang cukup mewah. Malam ini pun tak terlalu ramai. Kami segera turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam restoran.

Makanan kami ternyata memang telah disiapkan. Kami segera menikmati makanan dengan diiringi alunan musik dan merdunya suara penyanyi. Saat sedang menyantap makanan dengan perlahan, mataku menangkap seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam restoran.

Aku yakin betul, dia adalah perempuan yang tadi siang bersama suamiku. Dan perempuan itu sekarang mengambil tempat tak jauh dari kami. Aku bisa melihat dia sesekali melirik ke meja kami saat ini. Ku lirik mas Irwan yang tiba-tiba saja merasa gugup. Dia mungkin rak menyangka jika gundiknya malah datang ke tempat yang sama.

"Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Nggak apa-apa, aku ke toilet dulu ya."

Aku mengangguk saja. Tak lama setelah perempuan itu memesan makanannya, aku lihat dia juga beranjak. Arahnya juga ke toilet. Aku terdiam sesaat, apa aku harus menyusul mereka?

Awalnya aku ragu, tapi aku sangat tidak tenang saat ini. Jadi kuberanikan diri untuk pergi ke toilet juga, meninggalkan Rafa sendiri dulu sementara.

Aku tak melihat mas Irwan, jadi aku masuk ke dalam toilet. Saat itu aku melihat perempuan itu sedang sibuk di depan cermin tapi dia fokus melihat ponselnya sambil tersenyum sendiri.

Untuk menghindari kecurigaannya, aku berlagak masuk ke dalam salah satu bilik yang ada di sana lalu keluar lagi kemudian. Kulihat, perempuan itu masih di sana kali ini dia sedang merapikan riasan make up dan tatanan rambutnya.

Aku bersisian dengannya, aku tahu sekarang dia sedang melirikku.

"Duluan ya, Mbak," katanya kemudian. Aku tersenyum simpul lalu mengangguk. Bisa aku lihat senyumannya yang lain sebelum dia benar-benar keluar dari toilet ini. Tanganku terkepal begitu saja. Aku yakin dia sempat bertemu dan berbicara dengan suamiku tadi sebelum aku sampai ke toilet ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status