Share

Sebuah Pertemuan

Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi.

Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah.

Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya.

"Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan.

"Saya ke bawah saja, Mas."

"Oh, baiklah kalau begitu, Mbak."

Aku menutup telepon kemudian segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Aku juga segera memakai dress yang kubawa untuk berganti. Setelah itu aku bergegas menuju ke restoran tempat dimana mas Irwan dan selingkuhannya saat ini pasti sedang menyantap sarapan mereka.

Benar saja, dari kejauhan aku melihat mereka tapi aku tentu tidak bisa berada di tempat yang sama, aku bisa ketahuan. Lalu aku melihat sebuah tempat di pojokan dan terhalang sekat partisi yang mungkin bisa menjadi tempatku untuk memata-matai mereka berdua.

Setelah makananku terhidang, aku menyantapnya dengan perlahan. Aku segera membidik kamera dan beberapa foto keduanya yang tampak bahagia itu telah aku dapatkan. Aku tidak akan pulang sebelum mendapatkan foto lain yang lebih menarik dan lebih intim, bagaimana pun caranya aku harus bisa mendapatkannya.

Mereka cukup lama berada di restoran ini karena tak langsung naik lagi ke kamar. Aku juga masih setia mengintai, meski aku tak dapat mendengar perbincangan keduanya saat ini, tapi aku cukup puas mendapatkan beberapa foto mereka yang tampak mesra itu.

Hampir satu jam lebih berada di restoran, aku segera kembali ke kamarku sendiri. Aku tidak mau pengintaianku ketahuan jika terlalu lama berada di tempat yang sama dengan mereka sekarang.

Hingga siang hari dengan aku yang hanya bisa menghibur diri melihat tayangan televisi, aku segera mendekat ke pintu, saat itu aku melihat mas Irwan tengah di luar dan tampak menunggu seseorang. Kemudian seorang pelayan datang mendekat kepadanya. Entah apa yang dibicarakan mereka tapi aku punya ide untuk memanfaatkan pelayan itu. Setelah memastikan mas Irwan masuk lagi ke dalam kamarnya, aku segera keluar dan segera mengejar pelayan yang hampir masuk ke dalam lift.

"Mas, boleh saya bicara sebentar."

Pelayan yang tampak buru-buru itu menatapku dengan bingung tapi kemudian dia mengangguk.

"Kenapa, Mbak?"

"Kalau boleh tahu, tamu yang tadi manggil mas ke kamar nya kenapa ya?"

"Oh, itu, Mbak, gelas minumannya pecah dekat kolam renang. Tuan tadi sama istrinya kan sedang berenang terus gak sengaja gelasnya tergelincir waktu istrinya pegang. Jadi ini saya mau beresin gelas pecah itu."

Istrinya? Ingin sekali aku menampar wajah mas Irwan karena sudah membuat pelayan ini mengira perempuan itu sebagai istrinya. Namun, sekarang aku harus bisa mendapatkan bukti video atau foto mereka di kolam renang. Aku bisa meminta pelayan ini untuk bekerja sama, tentu saja aku harus mengeluarkan uang lagi.

"Saya bisa minta tolong, Mas? Saya akan kasih uang ini untuk Mas."

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang merah di depan pelayan itu.

"Minta tolong apa ya, Mbak?"

"Mas tolong foto atau video kan lelaki dan perempuan itu ya. Ini buat Mas."

"Waduh, itu privasi, Mbak. Kalau ketahuan saya bisa dipecat."

"Tolong, Mas, saya yakin Mas bisa mendapatkan foto atau video mereka nanti waktu membereskan pecahan gelas. Saya tambah deh, Mas."

Baru saja aku hendak menarik selembar uang lagi, pelayan itu kembali bersuara.

"Maaf, Mbak, memangnya Mbak ini siapanya mereka?"

"Saya istri lelaki itu, Mas. Saya butuh bukti perselingkuhan mereka." Akhirnya aku berkata dengan jujur. Lelaki itu tampak menggaruk kepalanya yang aku yakin sebenarnya tak gatal itu lalu kembali menatapku dengan iba.

"Sebenarnya saya nggak berani, Mbak, tapi saya juga kasihan sama Mbaknya. Ya sudah, nanti saya coba ya, Mbak, tapi Mbak jangan berharap banyak."

"Makasih banyak, Mas."

Lelaki itu mengangguk tapi dia sama sekali tidak mau menerima uang yang aku berikan meski aku sempat memaksanya. Akhirnya aku kembali ke kamarku dengan tetap memantau lewat lubang kecil di tengah pintu. Beberapa saat kemudian, aku melihat pelayan tadi kembali dengan membawa alat kebersihan. Dia sudah masuk ke dalam. Aku harap-harap cemas, aku sangat berharap dia berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.

Aku kembali mengintai lalu melihat pelayan tadi keluar dari kamar mas Irwan yang segera menutupnya. Suamiku itu tampak hanya mengenakan handuk di pinggangnya.

"Mas!" Aku segera mendekatinya setelah dia berada di dekat lift lagi dan sengaja belum menekan tombol. Dia memang sedang menungguku.

"Ini, Mbak," katanya sambil menyodorkan ponselnya.

Ada beberapa foto dan video saat mas Irwan masuk kembali ke dalam air lalu memeluk perempuan itu. Terlihat pula perempuan itu sedang berciuman mesra dengan mas Irwan. Hatiku rasanya seperti disayat-sayat belati saat ini tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan pelayan ini.

"Saya kirimkan ke Mbak ya."

Aku hanya mengangguk kemudian memberikan nomor ponselku agar dia lebih mudah mengirimkannya lewat chat.

"Makasih ya, Mas," ujarku lirih.

Pelayan itu hanya bisa mengangguk kecil kemudian masuk ke dalam lift dan meninggalkan aku yang masih terpaku melihat apa yang tersaji dalam rekaman video ini.

Aku hendak kembali ke kamarku sendiri tapi baru saja aku berbalik, seseorang yang baru keluar dari lift menabrakku tanpa sengaja.

Ponselku terpental dan aku tak bisa menahan keseimbangan tubuhku sendiri sehingga aku terhuyung hampir terjatuh. Seseorang yang tadi menabrakku tampak berjalan ke menuju ponselku yang terbanting dan dia cukup lama terdiam melihat video yang masih berlangsung dan belum sempat aku tutup.

"Hei, kembalikan ponselku!" ujarku kesal kepada lelaki dengan kemeja ketat berwarna hitam yang tengah membelakangiku ini.

Lalu saat dia berbalik dan menyodorkan kembali ponselku, aku hanya bisa terdiam. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku bisa mengingat dengan jelas wajah tampan nan rupawan di depanku saat ini, seseorang yang pernah mengukir luka di hatiku saat masa sekolah dulu. Seseorang yang membuatku tidak pernah setuju dengan apa yang dikatakan orang-orang bahwa masa indah adalah masa ketika di SMA.

"Baskara... " ujarku tanpa sadar dengan dia yang hanya tersenyum kecil dan terlihat mengejek ke arahku. Sama seperti dulu, senyum yang aku benci!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status