Share

Memulai Misi

Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa.

Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini.

"Sabar sebentar, Sayang."

Terus aku mendengarkan dengan seksama.

"Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap sama kolam renang pribadinya buat kita."

Aku menekan dadaku kuat, rasanya sakit sekali. Rasanya ingin segera kulabrak mas Irwan tapi aku tak boleh gegabah. Aku harus bisa menenangkan diri. Dengan serius aku mendengarkan setiap kata yang meluncur dari mulut suamiku yang pengkhianat itu. Aku juga sudah mendapatkan alamat hotel tempat dia akan berzina dengan gundiknya.

"Ya udah aku tutup teleponnya ya. Aku mau lihat Inggit masih sama Rafa atau udah enggak. Bahaya kalo kita masih teleponan gini."

Ku lihat mas Irwan sedang beranjak dan menuju ke kamar. Aku segera bergerak menuju ke kamar mandi lalu menghidupkan keran wastafel agar dia mengira aku sedang sibuk di dalam toilet.

Terdengar ketukan pintu kamar mandi kemudian, aku membukanya perlahan.

"Loh, kamu darimana, Mas? Aku tadi kebelet jadi langsung ke kamar mandi," ujarku sembari menahan gejolak amarah yang sebenarnya sudah tak kuat lagi kutahan ini.

Kulihat ada kelegaan dari wajah mas Irwan, mungkin dia mengira aku benar-benar tak mendengar pembicaraannya di telepon tadi bersama perempuan sialan itu.

"Aku abis lihat kerjaan lewat email jadi enggak dengar waktu kamu masuk kamar. Aku tadi di balkon."

Aku mengangguk saja, seolah menerima jawabannya, padahal ingin sekali kucakar wajahnya itu saat ini.

"Hmmmm, katanya mau ke rumah mama? Kok belum pergi?" tanyaku kepadanya.

"Iya, ini bentar lagi lah, Sayang. Aku kangen berat sama kamu, pengen."

Ingin muntah aku mendengarnya, jijik juga membayangkan sebentar lagi dia mau meniduriku lalu akan meniduri gundiknya. Aku segera meringis, membuat gerakan seolah sedang sakit perut.

"Kayaknya tamu bulanan aku dateng deh, Mas. Ini kan udah tanggal enam belas."

Kulihat wajahnya sedikit merengut mendengar penolakan halusku barusan. Aku benar-benar tak mau lagi disentuh oleh lelaki ini. Aku jijik membayangkan tubuhnya sudah digerayangi oleh perempuan lain. Sebisa mungkin aku harus menghindari ajakannya untuk melakukan hubungan suami istri.

"Ya udah, aku pergi ya. Kamu baik-baik di rumah."

Aku hanya mengangguk saja lalu membiarkan dia keluar dari kamar. Setelah itu aku menyibak tabir, melihatnya yang sekarang sudah mulai masuk ke dalam mobil dan keluar dari pekarangan rumah. Bodoh sekali aku ini, seandainya dulu aku berkeras untuk bisa mengendarai mobil, pasti aku bisa menyusulnya dengan cepat. Dari dulu mas Irwan memang melarang aku untuk belajar menyetir dan sangking patuhnya, aku menurut.

Aku bergegas menuju kamar Rafa lagi. Sebenarnya tak tega aku membangunkan Rafa tapi ini harus kulakukan agar Rafa ada yang menjaganya. Kalau aku menitipkan Rafa sore tadi langsung kepada mbok Yem, pasti mas Irwan akan curiga.

"Rafa." Aku mencoba membangunkan Rafa dengan lembut dan syukurlah puteraku itu belum terlalu nyenyak hingga dia segera membuka matanya.

"Kenapa, Ma?" tanya Rafa serak.

"Rafa malam ini dan besok di rumah mbok Yem dulu ya, Mama ada kerjaan di luar."

"Mama mau kemana?" tanya Rafa dengan bingung.

Setelah aku sedikit berbohong kepada Rafa, akhirnya puteraku itu bisa mengerti. Aku mulai mengemasi beberapa potong bajunya ke dalam tas dan kami mulai melangkah keluar. Ternyata di luar sudah menunggu anak mbok Yem dengan sepeda motornya.

"Saya titip Rafa ya."

Rafa yang terkantuk-kantuk itupun naik ke atas motor dan langsung dibawa pergi ke sana. Aku sendiri kini sedang menyiapkan diri untuk segera pergi setelah sebelumnya aku memesan taksi menuju ke hotel dimana suamiku dan gundiknya akan menginap hingga tiga hari ke depan.

Aku sudah berada di dalam taksi dengan perasaan yang sudah mulai tak karuan. Hatiku seperti tak siap untuk melihat lagi kemesraan suamiku bersama perempuan itu tetapi aku tetap harus menguatkan diri.

Tiga puluh menit perjalanan akhirnya membawaku ke depan sebuah hotel berbintang. Aku terpaksa harus merogoh kocek yang lumayan untuk membayar biaya sewa menginap karena aku tahu harga menginap di hotel ini cukup mahal. Baru saja aku hendak menuju resepsionis, segera aku menyembunyikan diri di balik tiang besar karena mas Irwan baru saja masuk ke lobby bersama perempuan bernama Erika itu.

Perempuan itu sedang menggamit manja lengan mas Irwan. Aku terus menyabarkan hati dan tetap tenang hingga mereka menghilang menuju ke lift.

"Mau pesan kamar, Mbak?" tanya resepsionis setelah aku berada di depannya.

"Iya, tapi saya mau kamar tepat di depan pasangan tadi," ujarku langsung ke intinya. Resepsionis itu tampak menatapku dengan ragu.

Aku segera merogoh tas lalu menarik lima lembar uang seratus ribuan dan menyelipkannya di papan nama tepat di atas meja.

"Tolong saya, Mbak." Aku berkata dengan yakin kepadanya.

Perempuan itu menarik nafas panjang kemudian mengangguk lalu mengembalikan uang yang lebih yang kuberikan kepadanya tadi.

"Saya cuma bisa bantu ini, Mbak, selebihnya saya enggak tahu ya."

Aku tersenyum kepadanya kemudian mengangguk tapi aku tetap menyelipkan uang yang hendak dikembalikan kepadaku tadi.

"Itu untuk Mbak. Ambil saja, saya nggak ada maksud apapun."

Akhirnya dengan sedikit membungkuk, dia meraih uang tadi lalu mengucapkan terimakasih seraya menyerahkan kunci akses untuk membuka kamar.

Aku segera pergi ke kamar tepat di depan kamar yang disewa oleh mas Irwan. Aku akan memantau pergerakan mereka dari kamar ini. Besok pasti kedua manusia pengkhianat itu keluar untuk makan di restoran bawah hotel dan aku akan menguntit kemana pun mereka pergi meski harus mengendap-endap. Aku harus segera mendapatkan banyak bukti foto atau video perselingkuhan mereka. Tidak tahu rencanaku ke depannya bagaimana, tapi bayang-bayang perceraian dan Rafa yang akan kubawa pergi sudah begitu nyata saat ini. Aku sakit, tapi aku harus kuat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status