Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi.
Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?" Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat. Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan. Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya. “Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?” Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Baru beberapa hari di rumah ini, dan ia sudah kehilangan arah. Dan kini, ia diharuskan menyembuhkan seorang lelaki yang tak bisa disentuh, didengar, atau bahkan didekati. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak boleh mencintainya. Mengingat kata-kata itu membuat Caca ingin tertawa, jangankan memikirkan untuk mencintai laki-laki itu, menyembuhkannya saja belum tentu bisa. Tapi semakin ia mendengar suara-suara itu... semakin hatinya tergerak oleh rasa kasihan. Oleh luka yang terasa familiar. Keraguan menyelimuti dada Caca sejak pagi menjelang. Ketakutan menyergap seperti kabut yang tak mau menyingkir, menghantuinya bahkan dalam mimpi. Tapi ada satu hal yang mulai tumbuh—perlahan namun pasti—mengganti ketakutan itu: harapan. Harapan yang tipis, bahkan nyaris tidak layak disebut harapan, tapi tetap menjadi satu-satunya hal yang bisa dipegangnya sekarang. Harapan yang disodorkan Ratna dengan dingin: "Jika kau berhasil membantu Satya... kamu akan bebas. Bahkan hidupmu akan berubah sepenuhnya." Caca tahu, jalan itu dipenuhi duri. Tapi ia juga tahu—ia tidak punya pilihan lain. Ia duduk di kursi dekat jendela, memandangi langit kelabu yang seolah mencerminkan isi hatinya. Cinta? Ia menghela napas. Jangankan cinta… memikirkan hidupku esok pagi saja sudah cukup membuatku sesak. Matanya menatap jauh ke luar, tapi pikirannya mengarah pada pintu itu—pintu hitam di ujung lorong, tempat suaminya dikurung seperti binatang buas. Bukan, bukan cinta yang ia pikirkan. Tapi cara. Cara untuk bicara. Cara untuk menjangkau. Cara untuk membuatnya tahu bahwa ia ada di sini—bukan untuk mengancam, tapi untuk mendengar. "Tapi bagaimana aku bisa bicara dengannya?" Kepalanya terasa berat. Denyut di pelipis kanan seperti irama yang menyakitkan. Caca terduduk di lantai koridor, tepat seberang pintu gelap itu. Matanya menatap hampa ke arah daun pintu yang masih tertutup rapat, seolah sedang menatap mulut gua yang bisa menelan dirinya kapan saja. Hari ini—entah kenapa—terasa berbeda. Langkah pelayan yang biasanya riuh pagi hari, kini terasa terlalu pelan. Bahkan suara angin di luar jendela seperti membawa kabar buruk. Caca menarik lututnya, memeluk tubuh sendiri. "Bagaimana jika hari ini Nyonya Ratna memerintahkan aku untuk masuk?" Tenggorokannya tercekat. Nafasnya pendek. "Bagaimana jika hari itu datang… bukan besok, bukan lusa… tapi hari ini?" Ia tahu, cepat atau lambat, saat itu akan datang. Waktu terus berjalan, dan janjinya pada Ratna masih belum terbukti. Laki-laki bernama Satya masih menjadi bayangan kelam di balik pintu—misterius, penuh kemarahan, dan luka yang tak kasatmata. Tapi Caca juga tahu… dirinya harus mulai bersiap. Bukan hanya menyiapkan keberanian, tapi menyiapkan hati. Menyiapkan mental untuk menghadapi seseorang yang bisa saja menyambutnya dengan tawa… atau dengan amukan mematikan. Ia mendekatkan wajah ke pintu, menyandarkan pelipisnya yang berdenyut di sana. Dinginnya kayu tua terasa seperti menyentuh tulang. “Kau ada di dalam, bukan?” bisiknya lirih. “Aku tak tahu bagaimana caranya menolongmu. Tapi… aku di sini.” Tak ada jawaban. Hanya detak jam… dan desau angin dari ventilasi. Caca menutup matanya sebentar. Dalam keheningan, ia membayangkan skenario terburuk. Jika Ratna tiba-tiba datang. Jika pintu itu dibuka. Jika ia dipaksa masuk. Jika Satya menyambutnya dengan sorak gila… atau taring kemarahan. Ia meremas jemarinya sendiri. "Aku tak boleh lemah. Jika aku ingin bebas… aku harus bertahan." Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari belakang lorong. Langkah yang sudah cuku dikenal Caca, dialah Pelayan Raga. Beberapa saat lalu di ruangan Ratna. “Suruh Caca bersiap. Hari ini… dia akan masuk." Satu kalimat itu langsung membuat seluruh isi rumah jatuh dalam kesunyian yang menakutkan. Para pelayan yang sedang menyapu menghentikan gerakannya. Pelayan dapur menjatuhkan sendok dari tangan. Bahkan Lina, pelayan muda yang paling baru, terlihat seperti kehilangan darah dari wajahnya. Mereka semua tahu apa artinya kalimat itu. Seseorang akan masuk ke dalam kamar Tuan Muda Satya. Dan sejarah rumah itu mengajarkan satu hal: mereka yang masuk… tak selalu bisa keluar. Meskipun bisa, kecil kemungkinan kembali sehat seperti sedia kala. Bahkan Nyonya Ratna sendiri, meski wajahnya tetap angkuh dan tegak, tidak bisa menyembunyikan sedikit keraguan dalam sorot matanya. Tangannya gemetar kecil saat menyerahkan kunci tua kepada pelayan Raga. Namun di balik segala ketakutan itu, ada satu keyakinan yang diam-diam tumbuh dalam dada Ratna. Sebuah keyakinan yang tumbuh sejak Farida—ibu tiri Caca—datang padanya dan menunjukkan foto gadis itu. Foto sederhana, seorang gadis muda berdiri di depan toko buku bekas, tertawa kecil. Namun tawa itu... mirip. Matanya. Caranya berdiri. Bahkan bentuk bibirnya. Seperti… perempuan itu. Yang pernah Satya cintai mati-matian. Yang pergi—karena Ratna memisahkan mereka secara kejam. Dan sejak hari itu, Satya tak pernah menjadi orang yang sama. Itulah alasan Ratna bersedia membeli Caca. Bukan karena iba. Tapi karena harapan. Harapan bahwa Caca bisa menjadi jembatan terakhir untuk menyentuh hati anaknya yang sudah hancur. Meski harapan itu belum tentu menjanjikan apapun. Karena tiga perempuan sebelum Caca, semua berakhir... mengenaskan. Perawat pertama ditemukan kehilangan kesadaran dengan kuku patah dan mata membelalak di dalam lemari tua. Perawat kedua menghilang semalam, tubuhnya ditemukan di halaman belakang dengan luka-luka yang membuat polisi pun bungkam. Perawat ketiga, meski hanya luka ringan, menggila setelah keluar dari kamar itu. Tak pernah bisa bicara lagi, hanya berteriak satu kalimat berulang-ulang: “Dia… tidak tidur. Dia… menatap saya semalaman…” Ratna menatap tangga lantai dua. Di ujung lorong, pintu hitam itu seolah menanti dimana tampak Caca berdiri disana. Kini, Caca akan mencoba masuk—bukan sebagai perawat bayaran. Tapi sebagai istri. “Semoga kau bukan seperti mereka,” bisik Ratna dalam hati. “Dan semoga… kau tidak membuatnya mengingat lebih dari yang dia bisa terima.”Caca melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya bergaung samar di antara aroma obat dan bau antiseptik yang menyengat. Wajahnya masih menyisakan lelah setelah menjaga Satya, tapi detak jantungnya makin kencang tiap kali ia mendekati ruang perawatan ayahnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift. Sesekali ia mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri. Namun hatinya tetap bergejolak, apalagi mengingat percakapan Satya dan Natan barusan—semua itu membuat pikirannya semakin kacau. Begitu lift terbuka, ia keluar tergesa, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu bercat putih dengan jendela kaca kecil. Dari balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya tengah berjuang meraih gelas air di atas nakas dengan tangan yang gemetar. Tubuh renta itu tampak makin kurus, wajahnya pucat, namun tatapannya tetap berusaha tegar. Di sisi lain, Naumi, adik tirinya, justru duduk santai di kursi, menekuri ponsel mahalnya sambil sesekali menyuapkan cemilan ke mulut. Seak
“Apa yang dia katakan padamu, tawaran apa yang dia berikan?” suara Satya pecah di udara, datar tapi mengandung tekanan. Tatapan matanya tajam menusuk, membuat Caca yang baru saja selesai membereskan pecahan beling tertegun sejenak. Pertanyaan itu membuat napas Caca sedikit tercekat. Ia menoleh perlahan, lalu menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Tanpa banyak pikir, ia kembali duduk di sisi ranjang Satya. Tangannya bergerak otomatis, mengambil apel dari mangkuk buah dan mulai mengupas kulitnya dengan telaten. “Tuan Muda Natan bilang akan menolong saya jika saya ingin bebas dari Nyonya Ratna,” ucap Caca akhirnya, lirih namun tegas. Tak ada gunanya berbohong, pikirnya. Pria di hadapannya terlalu tajam, kebohongan sekecil apa pun bisa jadi bumerang. Satya tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, sorot matanya tetap menusuk wajah Caca yang menunduk. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya, namun ia memilih bungkam, hanya membiarkan keheningan menekan ruangan. “Makan buah du
Caca menunduk, lalu dengan telaten membereskan sisa makanan yang tersisa di meja kecil. Mangkuk dan sendok ia rapikan satu per satu ke dalam kantung yang tadi dibawa Saga. Gerakannya sederhana, tapi ada kelembutan yang membuat ruangan itu terasa hangat. Ia tak mengeluh meski tubuhnya sendiri belum sepenuhnya pulih. Satya menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang, satu tangannya masih kaku dengan perban. Tatapannya tak lepas dari sosok Caca. Diam-diam ia memperhatikan detail kecil: bagaimana gadis itu menunduk saat membereskan piring, bagaimana jemarinya yang mungil tampak cekatan, dan bagaimana wajahnya tetap teduh tanpa mengeluh sedikit pun. “Bukannya ayahmu dirawat di sini juga?” suara Satya memecah keheningan. Nada bicaranya datar, tapi sorot matanya menyimpan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan. Caca menoleh, sedikit terkejut, lalu mengangguk pelan. “Benar, kemarin saya sudah menjenguk beliau,” jawabnya jujur. Satya menggerakkan kepalanya sedikit, masih menatapnya den
Ketukan pelan terdengar di pintu kamar rawat itu. Seorang pelayan tua masuk membawa kantung besar berisi makanan. Dialah Saga, orang yang sudah mengabdi cukup lama di rumah keluarga besar Mahendra. Rambutnya memutih, wajahnya dipenuhi kerut usia, namun sorot matanya masih teduh dan penuh wibawa. “Permisi, Tuan Muda… Nona Caca,” ucapnya seraya melangkah pelan. Kantung makanan itu ia letakkan di meja kecil dekat ranjang Satya. Aroma sup hangat dan bubur lembut langsung memenuhi ruangan, menghadirkan kehangatan di udara yang dingin. Satya hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap datar. Tapi Caca yang duduk di sisi ranjang tempatnya segera berdiri, menunduk sopan sambil berkata, “Terima kasih, Pak Saga.” Pelayan tua itu menatap Caca sekilas. Ada keharuan yang jelas tergambar di wajahnya. “Tidak apa-apa, Nona. Ini memang sudah menjadi tugas saya. Tapi… saya sempat khawatir sekali mendengar Nona harus dirawat kemarin. Begitu juga saat Tuan Muda Satya mengalami kecelakaan. Hati saya sungg
Pagi itu sinar matahari mulai menyusup lewat celah tirai rumah sakit. Satya terbangun lebih awal dari biasanya, matanya langsung menatap ke arah sofa kecil di sudut ruangan. Di sana, Caca masih terbaring, tubuhnya meringkuk tanpa selimut tambahan. Satya sempat hendak mengalihkan pandangan, namun sesuatu membuatnya menahan diri. Wajah Caca pucat, bibirnya kering, dan keringat tipis membasahi pelipisnya. Napasnya tampak lebih berat dari biasanya. Alis Satya berkerut. Dia terlihat… tidak baik-baik saja. “Caca.” Panggilannya pelan, tapi gadis itu tidak bergerak. Satya berdeham, mencoba lagi. “Caca, bangun.” Tak ada jawaban. Hanya dengusan napas teratur, tapi terdengar lemah. Perasaan aneh menjalari dada Satya, jantungnya berdegup tak karuan. Ia segera berusaha bangkit, meski tubuhnya sendiri masih belum pulih. Dengan gerakan terbatas, ia meraih tombol panggil perawat di sisi ranjangnya. Tak lama kemudian, seorang perawat masuk tergesa. “Ada apa, Tuan Muda?” “Lihat dia…” suar
“Pulang saja, tidak perlu menemani aku di sini,” suara Satya terdengar datar, namun matanya yang sedikit sayu jelas menangkap kelelahan di wajah Caca. Malam sudah semakin larut, cahaya lampu kamar rawat redup, membuat bayangan tipis jatuh di wajah mereka. Namun Caca menggeleng pelan. “Saya di sini untuk merawat Anda, Tuan Muda. Kalau Anda mengantuk, lebih baik tidur saja… saya tidak akan mengganggu,” ucapnya dengan tenang, mencoba meyakinkan. Satya menghela napas panjang, enggan berdebat lebih jauh. Ia tahu betul Caca pasti disuruh Ratna untuk mengawasinya. Ia membiarkan saja keberadaan gadis itu, meski dalam hatinya ada rasa enggan. Dengan penuh ketelatenan, Caca merapikan selimut di tubuh Satya. Gerakannya pelan, nyaris seperti seorang perawat sungguhan yang tahu betul cara menenangkan pasien. Satya hanya menatap kosong ke arah langit-langit, wajahnya tanpa ekspresi. “Saya akan tidur di sofa. Jika Anda butuh apa pun, silakan panggil saya,” kata Caca, suaranya lirih namun teg