Home / Romansa / SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU / Bab 5 Hari Itu Tiba

Share

Bab 5 Hari Itu Tiba

Author: Aries grils
last update Last Updated: 2025-06-30 11:25:15

Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi.

Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka.

"Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"

Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.

Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.

Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.

“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Baru beberapa hari di rumah ini, dan ia sudah kehilangan arah. Dan kini, ia diharuskan menyembuhkan seorang lelaki yang tak bisa disentuh, didengar, atau bahkan didekati.

Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak boleh mencintainya. Mengingat kata-kata itu membuat Caca ingin tertawa, jangankan memikirkan untuk mencintai laki-laki itu, menyembuhkannya saja belum tentu bisa.

Tapi semakin ia mendengar suara-suara itu... semakin hatinya tergerak oleh rasa kasihan. Oleh luka yang terasa familiar.

Keraguan menyelimuti dada Caca sejak pagi menjelang. Ketakutan menyergap seperti kabut yang tak mau menyingkir, menghantuinya bahkan dalam mimpi. Tapi ada satu hal yang mulai tumbuh—perlahan namun pasti—mengganti ketakutan itu: harapan.

Harapan yang tipis, bahkan nyaris tidak layak disebut harapan, tapi tetap menjadi satu-satunya hal yang bisa dipegangnya sekarang. Harapan yang disodorkan Ratna dengan dingin:

"Jika kau berhasil membantu Satya... kamu akan bebas. Bahkan hidupmu akan berubah sepenuhnya."

Caca tahu, jalan itu dipenuhi duri. Tapi ia juga tahu—ia tidak punya pilihan lain.

Ia duduk di kursi dekat jendela, memandangi langit kelabu yang seolah mencerminkan isi hatinya.

Cinta?

Ia menghela napas.

Jangankan cinta… memikirkan hidupku esok pagi saja sudah cukup membuatku sesak.

Matanya menatap jauh ke luar, tapi pikirannya mengarah pada pintu itu—pintu hitam di ujung lorong, tempat suaminya dikurung seperti binatang buas.

Bukan, bukan cinta yang ia pikirkan. Tapi cara. Cara untuk bicara. Cara untuk menjangkau. Cara untuk membuatnya tahu bahwa ia ada di sini—bukan untuk mengancam, tapi untuk mendengar.

"Tapi bagaimana aku bisa bicara dengannya?"

Kepalanya terasa berat. Denyut di pelipis kanan seperti irama yang menyakitkan.

Caca terduduk di lantai koridor, tepat seberang pintu gelap itu. Matanya menatap hampa ke arah daun pintu yang masih tertutup rapat, seolah sedang menatap mulut gua yang bisa menelan dirinya kapan saja.

Hari ini—entah kenapa—terasa berbeda.

Langkah pelayan yang biasanya riuh pagi hari, kini terasa terlalu pelan. Bahkan suara angin di luar jendela seperti membawa kabar buruk. Caca menarik lututnya, memeluk tubuh sendiri.

"Bagaimana jika hari ini Nyonya Ratna memerintahkan aku untuk masuk?"

Tenggorokannya tercekat. Nafasnya pendek.

"Bagaimana jika hari itu datang… bukan besok, bukan lusa… tapi hari ini?"

Ia tahu, cepat atau lambat, saat itu akan datang. Waktu terus berjalan, dan janjinya pada Ratna masih belum terbukti. Laki-laki bernama Satya masih menjadi bayangan kelam di balik pintu—misterius, penuh kemarahan, dan luka yang tak kasatmata.

Tapi Caca juga tahu… dirinya harus mulai bersiap.

Bukan hanya menyiapkan keberanian, tapi menyiapkan hati. Menyiapkan mental untuk menghadapi seseorang yang bisa saja menyambutnya dengan tawa… atau dengan amukan mematikan.

Ia mendekatkan wajah ke pintu, menyandarkan pelipisnya yang berdenyut di sana. Dinginnya kayu tua terasa seperti menyentuh tulang.

“Kau ada di dalam, bukan?” bisiknya lirih. “Aku tak tahu bagaimana caranya menolongmu. Tapi… aku di sini.”

Tak ada jawaban.

Hanya detak jam… dan desau angin dari ventilasi.

Caca menutup matanya sebentar. Dalam keheningan, ia membayangkan skenario terburuk. Jika Ratna tiba-tiba datang. Jika pintu itu dibuka. Jika ia dipaksa masuk. Jika Satya menyambutnya dengan sorak gila… atau taring kemarahan.

Ia meremas jemarinya sendiri.

"Aku tak boleh lemah. Jika aku ingin bebas… aku harus bertahan."

Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari belakang lorong. Langkah yang sudah cuku dikenal Caca, dialah Pelayan Raga.

Beberapa saat lalu di ruangan Ratna.

“Suruh Caca bersiap. Hari ini… dia akan masuk."

Satu kalimat itu langsung membuat seluruh isi rumah jatuh dalam kesunyian yang menakutkan.

Para pelayan yang sedang menyapu menghentikan gerakannya. Pelayan dapur menjatuhkan sendok dari tangan. Bahkan Lina, pelayan muda yang paling baru, terlihat seperti kehilangan darah dari wajahnya. Mereka semua tahu apa artinya kalimat itu.

Seseorang akan masuk ke dalam kamar Tuan Muda Satya. Dan sejarah rumah itu mengajarkan satu hal: mereka yang masuk… tak selalu bisa keluar. Meskipun bisa, kecil kemungkinan kembali sehat seperti sedia kala.

Bahkan Nyonya Ratna sendiri, meski wajahnya tetap angkuh dan tegak, tidak bisa menyembunyikan sedikit keraguan dalam sorot matanya. Tangannya gemetar kecil saat menyerahkan kunci tua kepada pelayan Raga.

Namun di balik segala ketakutan itu, ada satu keyakinan yang diam-diam tumbuh dalam dada Ratna.

Sebuah keyakinan yang tumbuh sejak Farida—ibu tiri Caca—datang padanya dan menunjukkan foto gadis itu. Foto sederhana, seorang gadis muda berdiri di depan toko buku bekas, tertawa kecil. Namun tawa itu... mirip.

Matanya. Caranya berdiri. Bahkan bentuk bibirnya.

Seperti… perempuan itu. Yang pernah Satya cintai mati-matian. Yang pergi—karena Ratna memisahkan mereka secara kejam. Dan sejak hari itu, Satya tak pernah menjadi orang yang sama.

Itulah alasan Ratna bersedia membeli Caca. Bukan karena iba. Tapi karena harapan. Harapan bahwa Caca bisa menjadi jembatan terakhir untuk menyentuh hati anaknya yang sudah hancur.

Meski harapan itu belum tentu menjanjikan apapun. Karena tiga perempuan sebelum Caca, semua berakhir... mengenaskan.

Perawat pertama ditemukan kehilangan kesadaran dengan kuku patah dan mata membelalak di dalam lemari tua.

Perawat kedua menghilang semalam, tubuhnya ditemukan di halaman belakang dengan luka-luka yang membuat polisi pun bungkam.

Perawat ketiga, meski hanya luka ringan, menggila setelah keluar dari kamar itu. Tak pernah bisa bicara lagi, hanya berteriak satu kalimat berulang-ulang:

“Dia… tidak tidur. Dia… menatap saya semalaman…”

Ratna menatap tangga lantai dua. Di ujung lorong, pintu hitam itu seolah menanti dimana tampak Caca berdiri disana. Kini, Caca akan mencoba masuk—bukan sebagai perawat bayaran. Tapi sebagai istri.

“Semoga kau bukan seperti mereka,” bisik Ratna dalam hati.

“Dan semoga… kau tidak membuatnya mengingat lebih dari yang dia bisa terima.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 8 Bagaimana Aku Bisa!

    Perlahan, Caca membuka matanya. Pandangannya kabur. Langit-langit kamar yang familiar terlihat menggantung di atasnya, tapi terasa asing. Ruangan itu sepi, terlalu sepi. Hanya suara detak jarum jam di sudut dinding yang terdengar, nyaring, menusuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Hidungnya mencium aroma lavender tipis yang biasa dipakai di kamarnya, tapi kepalanya... terasa berat, nyeri berdenyut di sisi kanan. Tangannya meraba pelan bagian kepala yang dibalut perban. Ada rasa perih begitu disentuh. "Apa yang... terjadi...?" Caca mencoba duduk. Gerakan kecil saja membuat tubuhnya seperti diseret kembali oleh gravitasi, tapi ia memaksa. Napasnya memburu. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Perlahan, potongan-potongan ingatan itu mulai kembali. Pintu besar yang terbuka… Sosok tinggi di ujung ruangan gelap… Langkah berat mendekat… Aroma busuk menusuk hidung… Dan suara itu. "Apakah kau ingin mati seperti dia?" Caca tertegun. Kedua mat

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 7 Ketakutan

    Langkah mereka menyusuri lorong terasa lambat, berat, seperti dunia ikut menahan napas. Caca berjalan di belakang Raga, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. Tapi kali ini, tidak ada gemetar seperti sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya… lebih tenang. Penjelasan Raga tadi membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Bagaimanapun ia harus mencoba. Bukan karena kisah cinta masa lalu yang begitu tragis, bukan pula karena kemarahan atas ketidakadilan Ratna. Tapi karena satu harapan, yaitu Ayahnya. "Kalau aku bisa masuk bukan sebagai perawat, bukan sebagai orang asing… tapi sebagai seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya… mungkin ia tidak akan menolakku." Caca menghela napas panjang. Lalu berdiri tepat di samping Raga, di depan pintu tua berukir gelap yang sudah beberapa kali hanya ia pandangi dari jauh. Kini, mereka berdiri di sana. Tepat di ambang batas dua dunia. Raga masih memegang kunci di tangannya, tapi belum memutar. Ia menatap Caca dalam-dalam. M

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 6 Tentang Dia

    Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat. Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun sia

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 5 Hari Itu Tiba

    Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi. Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”Ia menutup wajah dengan kedua tangan. B

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 4 Sedikit Harapan Diantara Banyaknya Kemungkinan

    Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam sep

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 3 Apa Yang Tersembunyi Di Balik Pintu?

    Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status