Share

Bab 6 Tentang Dia

Author: Aries grils
last update Last Updated: 2025-07-30 12:53:58

Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat.

Hari itu telah tiba.

Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan.

Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos.

Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini.

“Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan.

Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…”

Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan.

“Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun siapa yang menunggumu di balik sana.” Ia menatap lurus ke mata Caca.

“Tuan Muda Satya… bukan seperti sekarang dulunya.”

Caca diam, telinganya mulai menajam. Mencoba mencerna apa yang pria paruh baya itu akan katakan.

Raga melanjutkan, suaranya penuh kenangan. “Dia dulu pria paling baik yang pernah tumbuh di rumah ini. Tampan. Gagah. Cerdas. Wibawanya kuat, tapi hatinya lembut. Para pelayan menghormatinya… dan mencintainya.”

“Waktu beliau jatuh cinta, rumah ini jadi terang. Seolah semua jendela dibuka. Tuan Muda Satya bahkan pernah bilang, 'Kalau aku harus kehilangan segalanya, asalkan dia tetap di sisiku, aku akan baik-baik saja.'”

Caca menggigit bibir. “Apa yang terjadi?”

Raga menunduk. “Dia hilang, Nona. Wanita itu… yang sangat dicintainya… menghilang begitu saja, tanpa pesan. Dan Tuan Satya… hancur. Tapi yang membuatnya benar-benar gila… adalah karena sebelum wanita itu pergi, ia sedang mengandung anak mereka.”

Caca membeku.

Hamil…? Jadi Satya pernah nyaris menjadi ayah…

Raga melanjutkan, suaranya mulai berat. “Beliau mencarinya ke mana-mana. Tapi tak pernah ditemukan. Nyonya Ratna bilang wanita itu pergi karena tak kuat hidup dalam bayang-bayang keluarga besar. Tapi aku… aku selalu curiga. Ada sesuatu yang tak diceritakan.”

“Sejak itu, Tuan Satya tidak pernah sama. Ia mulai bicara sendiri. Menulis surat-surat yang tak terkirim. Dan kemudian… semua berubah jadi kekerasan. Jeritan. Amukan. Dan pembunuhan.”

Caca menelan ludah. Napasnya berat.

“Tapi Nona,” bisik Raga, “di balik semua itu… aku percaya… dia belum sepenuhnya hilang. Masih ada Satya yang dulu di dalam sana. Dan mungkin… hanya orang yang wajahnya seperti ‘dia’ yang bisa memanggilnya kembali.”

Ia menggenggam tangan Caca dengan lembut.

“Kalau kau takut, jangan paksakan. Tapi kalau kau berani… masuklah bukan untuk menyelamatkan dia, tapi untuk menunjukkan bahwa ia tidak sendirian.”

Raga masih berdiri di ambang pintu kamar Caca. Napasnya mulai tidak stabil, seolah beban puluhan tahun akhirnya ingin keluar. Tangannya gemetar pelan saat meraih kunci yang tadi ia berikan, lalu menatap Caca dalam-dalam. Ada sesuatu yang belum ia katakan. Sesuatu yang selama ini ia pendam karena takut... tapi kini tak sanggup lagi disimpan.

“Nona Caca…” ucapnya dengan suara lebih rendah, nyaris seperti gumaman, “ada satu hal lagi yang harus kau tahu sebelum kau masuk ke kamar itu.”

Caca mengangguk pelan, jantungnya berdegup tak karuan. “Apa itu?”

Raga menarik napas panjang, menatap lantai-langit sejenak, lalu kembali menatap mata gadis muda di hadapannya.

“Perempuan yang dicintai Tuan Muda Satya… bukanlah siapa-siapa di mata keluarga besar ini. Dia bukan bangsawan. Bukan anak orang kaya. Dia hanya anak seorang pelayan wanita yang dulu bekerja di rumah ini.”

Caca membelalak, sedikit terkejut. Tapi tak ada cemoohan dalam matanya—hanya kesedihan yang makin dalam.

“Gadis itu tumbuh di rumah ini. Sejak kecil membantu ibunya, mencuci, menyetrika, merapikan kamar-kamar mewah yang bahkan tak pernah bisa ia tiduri. Tapi entah bagaimana… Satya melihatnya. Bukan sebagai pelayan. Tapi sebagai perempuan. Dan dia jatuh cinta.”

Caca perlahan duduk di kursinya, tak sanggup berdiri.

“Mereka menjalin hubungan diam-diam,” lanjut Raga, “selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya… dia hamil.”

Caca mengatupkan bibirnya, merasa ada benjolan yang menyumbat di tenggorokannya.

“Nyonya Ratna mengetahuinya… dan murka. Kau tahu, keluarga ini terpandang. Keluarga besar dengan nama yang dihormati. Ia tak bisa menerima anak pelayan menjadi menantu, apalagi membawa darah cucunya dalam rahim yang ‘tidak pantas’ menurutnya.”

“Saat itu nyonya Ratna sedang menjodohkan tuan muda Satya dengan seorang putri bangsawan dari keturunan ningrat tua di luar kota. Perjodohan itu bukan sekadar cinta, tapi soal nama baik… kekuasaan… pengaruh.”

Caca memejamkan mata. Ia sudah mulai bisa menebak arah ceritanya, tapi ia tetap bertanya. “Apa yang dia lakukan… kepada perempuan itu?”

Raga menunduk dalam-dalam. Suaranya nyaris pecah saat menjawab, “Ia disingkirkan. Dipaksa pergi secara diam-diam. Diancam. Dan… kabarnya, tak lama setelah itu... meninggal.”

“Meninggal…?” suara Caca melemah. Gadis itu menelan ludah dengan panik.

Raga mengangguk pelan. “Kabarnya.. Gadis itu jatuh sakit. Tapi tak ada yang mengizinkannya kembali. Bahkan surat yang ia kirim pada Satya… disembunyikan.”

“Satya… tidak tahu apa-apa,” ucap Caca lirih.

“Tidak pernah,” kata Raga. “Yang ia tahu, gadis itu menghilang begitu saja. Membuatnya hancur, gila… dan kehilangan akalnya. Karena saat terakhir ia melihatnya, perempuan itu masih mengandung anaknya. Dan sejak itu, ia hidup dalam bayang-bayang kehilangan yang tak pernah diberi penjelasan.”

Caca menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kini semuanya lebih masuk akal—kemarahan, kegilaan, teriakan di malam hari, dan surat-surat penuh luka yang ditemukan para pelayan. Satya… tidak hanya patah hati. Ia dikhianati oleh ibunya sendiri.

“Dan sekarang…” gumam Raga, “Nyonya Ratna berharap kau bisa menyembuhkannya.”

“Karena aku mirip perempuan itu…” bisik Caca, matanya mulai berkaca-kaca, tak mungkin nyonya Ratna memilihnya tanpa sebab, inilah mengapa wanita tua itu memintanya untuk tidak menggunakan perasaan saat membantu Satya.

“Lebih dari mirip,” jawab Raga pelan. “Kau seperti bayangan hidup dari cinta yang telah dimatikan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 61 Ada campur tangan orang lain

    Butuh waktu berhari-hari bagi Satya untuk bisa meninggalkan rumah sakit. Luka di lengannya memang sudah mengering, tapi kepalanya masih sering terasa berdenyut, terutama setiap kali ia memejamkan mata dan mengingat peristiwa siang itu, bunyi rem yang melengking, teriakan Rio, dan hantaman keras yang membuat tubuhnya terlempar.Dokter mengatakan ia beruntung.Namun bagi Satya, kata beruntung itu terasa hampa. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Caca mendorong kursi roda pelan-pelan, sementara di belakang mereka Pak Raga dan salah satu asisten rumah tangga membawa koper dan barang pribadi Satya. Langkah kaki mereka menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi.“Antar aku ke kamar Rio dulu,” pinta Satya tiba-tiba.Caca menunduk sedikit. “Baik, Tuan muda.”Nada suaranya lembut, tapi ia sempat menatap pria itu dari samping. Ada gurat lelah di wajah Satya, namun juga sesuatu yang lain, kekhawatiran yang berlapis dengan kecurigaan.“Dan kalian…

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 60 Perasaan Yang Sulit Dijelaskan

    Hampir dua jam lamanya Caca berada di ruang rawat inap ayahnya. Setelah memastikan sang ayah tertidur pulas, ia bangkit dari kursi dan menatap wajah renta itu dengan lembut. “Ayah istirahat ya. Caca harus kembali dulu…” bisiknya lirih, sebelum melangkah keluar dari ruang perawatan dengan langkah pelan. Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya suara langkah kaki dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Caca menggenggam erat ujung tasnya, pikirannya melayang pada sosok Satya, pria yang kini tak hanya menjadi tuan mudanya, tapi seseorang yang diam-diam mengusik tenang di hatinya. Setibanya di depan kamar Satya, Caca sempat berhenti. Ia menatap sekeliling, tapi tak melihat sosok Pak Raga yang tadi berjaga di depan. Alisnya berkerut heran. Dengan perlahan ia mengetuk pintu. “Permisi… Tuan muda?” suaranya pelan, ragu. Tak ada jawaban. Caca menunggu sejenak, lalu memberanikan diri memutar kenop dan membuka pintu sedikit demi sedikit. Ruangan itu tampak tenang. Caca melang

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 59 Kalian Akan Bercerai

    Suara lembut dari luar kamar memecah keheningan yang canggung di antara keduanya. “Tuan muda Satya, nona Caca…” Caca sontak menoleh, tubuhnya refleks menegakkan posisi, sementara Satya menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam dan sedikit gelisah. “Itu… suara Pak Raga,” ucap Caca cepat, berusaha menormalkan napasnya yang masih berantakan. Ia melangkah tergesa ke arah pintu, mencoba menutupi wajahnya yang masih memerah. “Tunggu sebentar, Nyonya… Tuan muda sedang bersiap,” katanya sopan sambil sedikit menyembulkan kepala di celah pintu yang terbuka. Ratna berdiri di luar bersama Pak Raga. Tatapannya sempat turun memperhatikan Caca dengan sorot mata penuh selidik, lalu bergeser ke arah dalam ruangan, meski pintu hanya terbuka sedikit. Ada nada tidak percaya di sana, campuran antara cemas dan curiga. “Baiklah,” ucap Ratna pelan, namun tetap menatap tajam sebelum akhirnya melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang Satya. Pandangannya lurus menatap ke arah kamar mandi yang tertu

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 58 Sebuah Ciuman

    Satya berdecak pelan, rahangnya sedikit mengeras. “Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya butuh kamu membantuku ke kamar mandi. Aku bisa mandi sendiri.” Suaranya berat, tapi cukup untuk membuyarkan segala pikiran aneh yang sempat berkecamuk di benak Caca. Gadis itu menunduk cepat, berusaha menutupi rona merah di pipinya. Ia menghela napas panjang, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa permintaan itu benar-benar sederhana. “Kalau begitu… biarkan saya siapkan air mandinya dulu,” ucapnya hati-hati. Satya tidak menjawab, hanya sudut bibirnya yang terangkat samar. Matanya mengikuti punggung Caca yang perlahan menjauh, langkahnya ringan namun jelas penuh keraguan. Untuk sesaat, pria itu terdiam, dadanya bergetar oleh rasa yang tak bisa ia definisikan. "Dia… begitu sederhana, tapi mengapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?" Sementara itu, di dalam kamar mandi, Caca menutup pintu dan bersandar sejenak pada dinding. Tangannya refleks menempel di dadanya yang berdebar tak terkendali. “Y

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 57 Pelukan Hangat

    “Kemari!” suara Satya terdengar berat, penuh tekanan. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Caca tersentak, jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang semula berada di pangkuan langsung terkepal erat, tapi tak ada jalan untuk menolak. Dengan langkah pelan, ia mendekat ke sisi ranjang. Hatinya berdesir aneh, antara takut dan… hangat. Begitu jaraknya cukup dekat, tangan Satya bergerak. Jemari pria itu, meski masih kaku karena luka, terulur lembut menarik lengan Caca, membuatnya lebih mendekat lagi. Tatapan tajam Satya menusuk, seolah menembus lapisan hati terdalamnya. Kemudian, tanpa peringatan, tangan besar itu mengusap pipi Caca. Sentuhan hangat bercampur dingin, membuat tubuh gadis itu seakan membeku di tempat. “Ini… bekas tamparan?” suara Satya rendah, nyaris bergetar menahan emosi. Sorot matanya mengeras, rahangnya menegang. “Siapa yang menamparmu? Apakah Ratna?” Caca langsung menggeleng cepat, kedua matanya melebar. Ia tak ingin menambah masalah. “Bukan, Tuan Mud

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 56 Tamparan

    Caca melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya bergaung samar di antara aroma obat dan bau antiseptik yang menyengat. Wajahnya masih menyisakan lelah setelah menjaga Satya, tapi detak jantungnya makin kencang tiap kali ia mendekati ruang perawatan ayahnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift. Sesekali ia mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri. Namun hatinya tetap bergejolak, apalagi mengingat percakapan Satya dan Natan barusan—semua itu membuat pikirannya semakin kacau. Begitu lift terbuka, ia keluar tergesa, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu bercat putih dengan jendela kaca kecil. Dari balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya tengah berjuang meraih gelas air di atas nakas dengan tangan yang gemetar. Tubuh renta itu tampak makin kurus, wajahnya pucat, namun tatapannya tetap berusaha tegar. Di sisi lain, Naumi, adik tirinya, justru duduk santai di kursi, menekuri ponsel mahalnya sambil sesekali menyuapkan cemilan ke mulut. Seak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status