Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat.
Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun siapa yang menunggumu di balik sana.” Ia menatap lurus ke mata Caca. “Tuan Muda Satya… bukan seperti sekarang dulunya.” Caca diam, telinganya mulai menajam. Mencoba mencerna apa yang pria paruh baya itu akan katakan. Raga melanjutkan, suaranya penuh kenangan. “Dia dulu pria paling baik yang pernah tumbuh di rumah ini. Tampan. Gagah. Cerdas. Wibawanya kuat, tapi hatinya lembut. Para pelayan menghormatinya… dan mencintainya.” “Waktu beliau jatuh cinta, rumah ini jadi terang. Seolah semua jendela dibuka. Tuan Muda Satya bahkan pernah bilang, 'Kalau aku harus kehilangan segalanya, asalkan dia tetap di sisiku, aku akan baik-baik saja.'” Caca menggigit bibir. “Apa yang terjadi?” Raga menunduk. “Dia hilang, Nona. Wanita itu… yang sangat dicintainya… menghilang begitu saja, tanpa pesan. Dan Tuan Satya… hancur. Tapi yang membuatnya benar-benar gila… adalah karena sebelum wanita itu pergi, ia sedang mengandung anak mereka.” Caca membeku. Hamil…? Jadi Satya pernah nyaris menjadi ayah… Raga melanjutkan, suaranya mulai berat. “Beliau mencarinya ke mana-mana. Tapi tak pernah ditemukan. Nyonya Ratna bilang wanita itu pergi karena tak kuat hidup dalam bayang-bayang keluarga besar. Tapi aku… aku selalu curiga. Ada sesuatu yang tak diceritakan.” “Sejak itu, Tuan Satya tidak pernah sama. Ia mulai bicara sendiri. Menulis surat-surat yang tak terkirim. Dan kemudian… semua berubah jadi kekerasan. Jeritan. Amukan. Dan pembunuhan.” Caca menelan ludah. Napasnya berat. “Tapi Nona,” bisik Raga, “di balik semua itu… aku percaya… dia belum sepenuhnya hilang. Masih ada Satya yang dulu di dalam sana. Dan mungkin… hanya orang yang wajahnya seperti ‘dia’ yang bisa memanggilnya kembali.” Ia menggenggam tangan Caca dengan lembut. “Kalau kau takut, jangan paksakan. Tapi kalau kau berani… masuklah bukan untuk menyelamatkan dia, tapi untuk menunjukkan bahwa ia tidak sendirian.” Raga masih berdiri di ambang pintu kamar Caca. Napasnya mulai tidak stabil, seolah beban puluhan tahun akhirnya ingin keluar. Tangannya gemetar pelan saat meraih kunci yang tadi ia berikan, lalu menatap Caca dalam-dalam. Ada sesuatu yang belum ia katakan. Sesuatu yang selama ini ia pendam karena takut... tapi kini tak sanggup lagi disimpan. “Nona Caca…” ucapnya dengan suara lebih rendah, nyaris seperti gumaman, “ada satu hal lagi yang harus kau tahu sebelum kau masuk ke kamar itu.” Caca mengangguk pelan, jantungnya berdegup tak karuan. “Apa itu?” Raga menarik napas panjang, menatap lantai-langit sejenak, lalu kembali menatap mata gadis muda di hadapannya. “Perempuan yang dicintai Tuan Muda Satya… bukanlah siapa-siapa di mata keluarga besar ini. Dia bukan bangsawan. Bukan anak orang kaya. Dia hanya anak seorang pelayan wanita yang dulu bekerja di rumah ini.” Caca membelalak, sedikit terkejut. Tapi tak ada cemoohan dalam matanya—hanya kesedihan yang makin dalam. “Gadis itu tumbuh di rumah ini. Sejak kecil membantu ibunya, mencuci, menyetrika, merapikan kamar-kamar mewah yang bahkan tak pernah bisa ia tiduri. Tapi entah bagaimana… Satya melihatnya. Bukan sebagai pelayan. Tapi sebagai perempuan. Dan dia jatuh cinta.” Caca perlahan duduk di kursinya, tak sanggup berdiri. “Mereka menjalin hubungan diam-diam,” lanjut Raga, “selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya… dia hamil.” Caca mengatupkan bibirnya, merasa ada benjolan yang menyumbat di tenggorokannya. “Nyonya Ratna mengetahuinya… dan murka. Kau tahu, keluarga ini terpandang. Keluarga besar dengan nama yang dihormati. Ia tak bisa menerima anak pelayan menjadi menantu, apalagi membawa darah cucunya dalam rahim yang ‘tidak pantas’ menurutnya.” “Saat itu nyonya Ratna sedang menjodohkan tuan muda Satya dengan seorang putri bangsawan dari keturunan ningrat tua di luar kota. Perjodohan itu bukan sekadar cinta, tapi soal nama baik… kekuasaan… pengaruh.” Caca memejamkan mata. Ia sudah mulai bisa menebak arah ceritanya, tapi ia tetap bertanya. “Apa yang dia lakukan… kepada perempuan itu?” Raga menunduk dalam-dalam. Suaranya nyaris pecah saat menjawab, “Ia disingkirkan. Dipaksa pergi secara diam-diam. Diancam. Dan… kabarnya, tak lama setelah itu... meninggal.” “Meninggal…?” suara Caca melemah. Gadis itu menelan ludah dengan panik. Raga mengangguk pelan. “Kabarnya.. Gadis itu jatuh sakit. Tapi tak ada yang mengizinkannya kembali. Bahkan surat yang ia kirim pada Satya… disembunyikan.” “Satya… tidak tahu apa-apa,” ucap Caca lirih. “Tidak pernah,” kata Raga. “Yang ia tahu, gadis itu menghilang begitu saja. Membuatnya hancur, gila… dan kehilangan akalnya. Karena saat terakhir ia melihatnya, perempuan itu masih mengandung anaknya. Dan sejak itu, ia hidup dalam bayang-bayang kehilangan yang tak pernah diberi penjelasan.” Caca menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kini semuanya lebih masuk akal—kemarahan, kegilaan, teriakan di malam hari, dan surat-surat penuh luka yang ditemukan para pelayan. Satya… tidak hanya patah hati. Ia dikhianati oleh ibunya sendiri. “Dan sekarang…” gumam Raga, “Nyonya Ratna berharap kau bisa menyembuhkannya.” “Karena aku mirip perempuan itu…” bisik Caca, matanya mulai berkaca-kaca, tak mungkin nyonya Ratna memilihnya tanpa sebab, inilah mengapa wanita tua itu memintanya untuk tidak menggunakan perasaan saat membantu Satya. “Lebih dari mirip,” jawab Raga pelan. “Kau seperti bayangan hidup dari cinta yang telah dimatikan.”“Caca, ayah pikir kita tidak akan bertemu lagi sampai ayah mati…” Suara parau itu membuat dada Caca semakin sesak. Pria paruh baya yang terbaring di ranjang itu, Bambang—ayahnya, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Meski lemah, sorot matanya menyimpan kerinduan yang tak terucapkan selama berbulan-bulan. Tubuhnya masih dipenuhi selang infus, namun kemajuan kecil, seperti bisa bicara dan merespons, sudah terasa begitu berharga. Caca langsung memeluk ayahnya erat-erat, air mata tak henti mengalir di pipinya. “Ayah jangan bilang begitu… jangan pernah bilang begitu. Caca kerja keras, Yah… caca berusaha supaya Ayah sembuh. Nanti kita bisa kumpul lagi, Ayah. Kita akan pergi jauh, tinggalkan semua ini… hidup bahagia bersama, janji!” suaranya pecah, penuh harap, namun juga getir. Bambang ikut menangis. Tangannya yang lemah terangkat, bergetar, lalu perlahan mengusap kepala putrinya. “Maafkan Ayah, Caca… karena Ayah, kamu harus mengalami ini semua. Ayah gagal jadi pelindungmu.” C
“Caca… bagaimana keadaanmu?” Suara Nyonya Ratna terdengar lirih namun jelas, tubuhnya mendekat ke arah gadis itu. Untuk pertama kalinya setelah hampir setengah tahun Caca menjadi bagian dari keluarga Mahendra, wanita paruh baya itu benar-benar memperhatikan keberadaannya. Ada nada lembut, tapi juga terselip kecemasan yang sulit disembunyikan. Caca mengangkat wajahnya pelan, mata sembab karena tangis, namun berusaha kuat. “Saya tidak apa-apa, Nyonya…” jawabnya lirih, seraya merapatkan tangan di pangkuan dan duduk di kursi yang menghadap langsung ke ruang penanganan. Ratna menghela napas panjang, pundaknya turun naik dengan berat. Sorot matanya tak lepas dari pintu ruang tindakan yang tertutup rapat, lampu indikator merah masih menyala. Bayangan putranya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh darah membuat dadanya terasa sesak. Ia masih tak menyangka, anak semata wayangnya, kebanggaannya, bisa berada di ujung maut dalam sekejap. Hening menekan lorong rumah sakit itu, hingga tiba-t
Suara sirine meraung-raung memecah hiruk pikuk sore kota. Dua unit ambulans melaju kencang, lampu rotator merah-biru memantul di dinding gedung-gedung tinggi. Orang-orang yang sedang berlalu-lalang di trotoar otomatis menoleh, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa menit kemudian, ambulans itu berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat rumah sakit swasta terbesar di kota. Pintu belakang terbuka cepat, petugas medis dengan sigap menurunkan dua brankar sekaligus. Tubuh dua pasien yang terlibat kecelakaan mobil tampak berlumuran darah, wajah mereka pucat dan tidak sadarkan diri. Situasi terasa begitu genting. Pada saat yang sama, Caca baru saja menjejakkan kaki di halaman rumah sakit. Ia datang dengan hati riang bercampur gugup, karena akhirnya setelah sekian lama ia mendapat izin dari Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya. Langkahnya semula ringan, tetapi terhenti mendadak begitu melihat kerumunan di depan IGD. Naluri penasaran membuatnya melongok. Pandangannya
“Pemenang tender proyek Barat Laut adalah…” jeda panjang tercipta, membuat detik terasa berjalan lambat. “Ardian Satya Mahendra, perwakilan dari Mahendra Group!”Semua mata langsung tertuju pada Satya. Tepuk tangan membahana, menggema di seluruh ruangan megah itu. Beberapa tamu bahkan berdiri, memberikan penghormatan layaknya seorang pemenang besar. Kamera-kamera wartawan berkilatan, menyorot wajah Satya yang tetap tenang dan anggun meski diselimuti sorot sorotan publik. Namun berbeda dengan semua orang, tatapan Natan justru membara. Kedua tangannya mengepal di atas meja, urat-urat di pelipisnya menegang. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya dengan suara nyaris tercekat. “Ke… kenapa bisa dia yang memenangkan proyek ini?!” Dadanya berdegup kencang, seolah hendak meledak. Ia sudah berjuang keras, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk menyuap sejumlah pihak penting, bahkan memanfaatkan koneksi gelap demi memastikan kemenangannya. Namun semua itu hancur dalam sekejap ketika nama Satya
Beberapa minggu berlalu sejak peringatan terakhir Satya. Sejak saat itu, suasana meja makan keluarga Ratna seakan selalu diselimuti ketegangan. Keheningan yang menggantung membuat suara sendok dan garpu beradu dengan piring terdengar begitu nyaring, seolah jadi pengingat jarak di antara mereka. Caca duduk di ujung meja, tubuhnya kaku. Ia tidak berani mengangkat kepala, hanya menunduk menatap piring yang nyaris tak tersentuh. Setiap gerakannya penuh kehati-hatian, seakan ia bisa saja salah langkah hanya dengan menghirup udara. Di hadapannya, duduk Satya dengan wajah dingin yang semakin hari kian menegas, sementara di sisi lain ada Natan yang tak kalah membekukan suasana dengan tatapan menusuknya. Peringatan Satya masih membekas jelas dalam benak Caca. Ia benar-benar menjauh dari Natan; bahkan jika pria itu muncul sekadar di lorong rumah, Caca akan buru-buru mencari jalan lain. Hatinya selalu diliputi rasa takut kalau Satya tiba-tiba mendapati mereka berada di tempat yang sama. Keteg
Sore itu udara terasa tenang. Angin berhembus lembut membawa aroma bunga dari taman kecil di halaman depan. Caca berdiri di antara pot-pot bunga, memegang selang air yang mengucurkan aliran lembut. Senyumnya samar, lebih untuk menenangkan hatinya sendiri daripada menikmati aktivitas itu. Seorang art rumah menghampiri sambil membawa keranjang cucian. “Nona Caca tidak perlu melakukan apa pun di rumah ini. Anda adalah nyonya rumah, biar kami yang mengurus semuanya,” ucapnya sopan. Caca menoleh, tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Bik. Saya juga tidak enak kalau hanya berdiam diri di kamar. Lagipula menyiram bunga bisa membuat hati saya lebih tenang.” Namun dalam hatinya, ia tidak sepenuhnya tenang. Caca merasa bosan, bahkan sesak. Ia ingin sekali meminta izin pada Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya, tapi mulutnya terasa terkunci setiap kali berniat mengucapkan. Ada rasa segan yang besar, juga ketakutan bila permintaannya dianggap lancang. Tiba-tiba suara decit ban mobil terdengar