SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU

SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-31
Oleh:  Aries grilsBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
7Bab
19Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Caca Aurora Tifani atau orang-orang di sekelilingku biasa memanggil Caca, aku tak pernah menyangka hidupku akan berubah menjadi mimpi buruk setelah dijual oleh ibu tiriku sendiri. Di usia tujuh belas tahun, aku dipaksa menikah dengan putra seorang wanita kaya raya yang memiliki mata tajam seperti ular dan senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata. Orang-orang bilang, aku beruntung karena akan menjadi menantu keluarga terpandang. Tapi kenyataannya jauh lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Suamiku, pria yang bahkan belum pernah kutatap langsung wajahnya, dikurung dalam sebuah kamar gelap di sayap timur rumah besar itu—sebuah ruangan yang selalu tertutup rapat, lembap, dan sunyi, seolah menyimpan rahasia kelam yang tak boleh diusik. Mereka bilang dia sakit. Tapi tak ada dokter yang berani memeriksanya. Tak ada pelayan yang selamat setelah masuk ke ruangannya. Setiap yang masuk… tidak pernah keluar dalam keadaan sama. Beberapa hilang tanpa jejak. Sisanya, ditemukan dalam keadaan mengenaskan—penuh luka, pandangan kosong, atau sekadar tubuh dingin yang tak bernyawa. Kini, aku adalah istrinya. Dan waktuku tinggal sedikit sebelum aku harus masuk ke kamar itu… ke dalam kegelapan yang bahkan cahaya pun takut memasukinya. Apa sebenarnya yang disembunyikan keluarga ini? Siapa sebenarnya pria yang kini menjadi suamiku? Dan... kenapa aku merasa semua ini bukan kebetulan?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 Dia Ingin Menjualku?

Teriakan itu membelah keheningan pagi seperti cambuk yang menghantam udara. Suara yang tak asing—melengking, nyaring, dan selalu ditujukan padaku.

“Cacaaaa! Bangun! Dasar pemalas, piring kotor ini mau kamu cuci pakai doa?!”

Mataku terbelalak. Jantungku berdegup cepat, tak karena mimpi buruk, tapi karena kenyataan yang lebih menyebalkan dari itu. Dengan enggan, aku bangkit dari kasur tipis yang sudah lama kehilangan empuknya. Lantai dingin menyentuh telapak kakiku saat aku melangkah keluar dari kamar sempitku.

Pemandangan pertama yang menyambutku adalah kekacauan. Piring kotor menumpuk di wastafel, sebagian bahkan berserakan di meja dan lantai. Bekas makanan kering menempel, lalat-lalat kecil beterbangan di sekitarnya. Ruang tamu berantakan, bantal sofa terlempar ke sana kemari, karpet bergulung, dan... di tengah semua kekacauan itu, duduk seseorang yang seperti tak menyadari dunia sedang terbakar.

Naumi.

Adik tiriku yang cantik, manja, dan lebih menyebalkan dari yang terlihat. Ia duduk di sofa empuk dengan kaki naik ke meja, memulas kutek merah menyala di jari-jarinya yang ramping. Tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan ke arahku, apalagi menunjukkan niat membantu.

“Kau lihat apa, Caca?” desisnya, tanpa mengangkat wajah. “Cepat kerjakan tugasmu. Ibu sudah nyaris meledak tuh.”

Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya menumpahkan semua rasa kesal yang selama ini kupendam. Tapi aku tahu akibatnya. Ibu tiriku tak pernah butuh alasan untuk memukul, dan Naumi... dia selalu tahu cara membuatku terlihat salah.

Ibu tiri muncul dari balik pintu dapur, wajahnya merah padam, rambut acak-acakan, dan tangan berkacak pinggang seperti hendak menerkam.

“Berani-beraninya kamu tidur nyenyak sementara aku kerja sendirian dari pagi!” bentaknya. “Dasar anak pembawa sial. Untung ibumu sudah mati, kalau tidak, pasti malu punya anak tak tahu diri sepertimu!”

Kata-katanya menamparku lebih keras dari tangan siapa pun. Tapi aku hanya menunduk. Menelan semua seperti biasa.

Tanganku bergerak otomatis, mengumpulkan piring-piring kotor dan membawa ke wastafel. Air dingin menyiram kulitku, sabun menari di jemariku, tapi tak bisa mencuci bersih rasa marah dan sakit hati yang mendidih dalam dadaku.

Hari ini baru dimulai, dan aku sudah ingin lari dari dunia ini.

Suara piring beradu di wastafel terdengar nyaring, namun kalah nyaring dibandingkan suara bentakan Farida yang makin membara. Wanita itu kini berdiri tepat di belakangku, napasnya memburu, penuh amarah, seolah aku adalah sumber segala penderitaan dalam hidupnya.

“Lihat kamu sekarang! Anak tak tahu balas budi! Sudah kuberi makan, kuberi atap, masih saja pemalas dan tidak berguna!”

Aku tetap menunduk. Tangan terus bergerak mencuci piring, meski tubuhku gemetar oleh luapan kata-katanya.

“Kalau bukan karena kamu, ayahmu nggak bakal cacat! Kamu pikir aku lupa? Aku masih ingat jelas malam itu... waktu dia loncat nyelametin kamu dari truk, dan sekarang? Lumpuh! Nggak bisa kerja! Dan semua itu… karena kamu!”

Suara tawa sinis Naumi terdengar lirih dari arah sofa, menambah rasa sesak di dadaku. Tapi Farida belum selesai.

“Anak pembawa sial! Seharusnya kamu yang mati malam itu, bukan suamiku!” katanya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuk gemetaran, “Dan sekarang kamu hidup seenaknya, makan dari uangku, tinggal di rumahku, tapi tak pernah tahu diri!”

Dadaku terasa nyeri. Aku tak pernah lupa malam itu—ayah menggendongku, mendorongku dari jalur truk yang melaju kencang. Lalu suara rem berdecit, tubuhnya terpelanting, dan setelah itu... dunia kami berubah selamanya.

Tangis yang sudah lama kutahan hampir pecah. Tapi Farida tiba-tiba melangkah mendekat, menyeringai dengan senyum yang membuat bulu kudukku meremang.

“Tapi untungnya… aku punya solusi.”

Aku menoleh pelan, mencoba menangkap maksud dari nada suaranya yang berubah dingin.

“Ada seorang wanita kaya. Punya anak laki-laki… yah, bisa dibilang dia... spesial. Mereka butuh istri buat anaknya. Wanita itu rela bayar mahal, asal anaknya punya pendamping.”

Deg.

Perutku mual. Aku belum tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi instingku tahu—itu bukan sesuatu yang baik.

“Kamu,” lanjut Farida, menunjuk wajahku. “Kamulah yang akan dinikahkan dengan anaknya. Sebagai gantinya, mereka akan kasih uang… cukup untuk pengobatan ayahmu. Katanya kamu cinta ayahmu, kan?”

Aku menatapnya tak percaya. Mulutku terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Benarkah ini demi ayah? Atau...

“Berapa… banyak uang yang mereka tawarkan?” tanyaku, suara lirihku nyaris tak terdengar.

Farida menyeringai, matanya bersinar rakus.

“Cukup untuk membuat hidupku—ehm, hidup kita—lebih baik.”

Dan saat itulah aku sadar. Ini bukan tentang ayah. Ini bukan demi pengobatan. Ini tentang uang. Ini tentang keserakahan seorang wanita yang tak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari keluarganya.

Aku dijual.

Bukan karena cinta.

Bukan karena takdir.

Tapi karena ibu tiriku ingin kaya raya, dan aku… aku hanyalah tumbal dalam rencana kotornya.

“Aku tidak mau!”

Suara Caca menggema di ruang tamu yang tiba-tiba menjadi lebih sempit oleh amarah yang memuncak. Air dari piring yang dicucinya masih menetes di tangannya, tapi itu tak lagi penting. Kini, ia berdiri tegak, menatap Farida dengan wajah pucat namun penuh perlawanan.

“Kenapa harus aku? Kenapa bukan Naumi saja? Dia jauh lebih cantik dan cocok jadi menantu orang kaya!”

Naumi mendongak dari kesibukannya memoles kutek, matanya membelalak.

“APA?! Kamu bilang aku yang dijodohkan dengan anak cacat dan aneh itu? Dasar kurang ajar, Caca!”

Ia melempar botol kutek ke lantai, isinya tercecer, mewarnai keramik putih dengan warna darah menyala. Farida langsung menghampiri Caca, matanya menyala seperti bara, tangannya terangkat, tapi tertahan setengah jalan.

“Naumi bukan anak kandung ayahmu! Aku tidak akan membiarkan anakku dijadikan korban! Kamu yang harusnya merasa bersyukur masih bisa berguna untuk sesuatu! Setidaknya kamu masih bisa dibeli!”

Caca mundur satu langkah, nafasnya tercekat. Kata-kata Farida menancap seperti duri. Ia melihat ke arah Naumi yang kini berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan di dada, senyum menyeringai terlukis di wajahnya.

“Lagipula, Caca,” kata Naumi, suaranya dingin seperti es, “kamu kan selalu sok berkorban demi Ayah. Nah, sekarang tunjukkan kalau kamu memang anak yang baik.”

“Aku bukan barang dagangan!” bentak Caca akhirnya, suaranya pecah, nyaris menangis. “Kalau Ayah tahu—”

“Ayahmu bahkan tak tahu siapa dia sendiri!” potong Farida cepat. “Dia lumpuh, Caca! Tak bisa bicara, tak bisa jalan. Kau pikir dia bisa menolongmu?!”

Hening. Caca menggigit bibirnya. Matanya panas. Ia ingin melawan, tapi seluruh tubuhnya terasa lemah. Dan sebelum ia bisa mencari kata untuk menjawab, suara mobil berhenti di depan rumah, diikuti ketukan pelan di pintu utama.

Tok... Tok...

Farida mengangkat dagunya, lalu menoleh ke arah pintu dengan cepat. Wajahnya berubah drastis—seperti topeng yang berpindah seketika dari marah menjadi ramah.

“Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
7 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status