Caca Aurora Tifani atau orang-orang di sekelilingku biasa memanggil Caca, aku tak pernah menyangka hidupku akan berubah menjadi mimpi buruk setelah dijual oleh ibu tiriku sendiri. Di usia tujuh belas tahun, aku dipaksa menikah dengan putra seorang wanita kaya raya yang memiliki mata tajam seperti ular dan senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata. Orang-orang bilang, aku beruntung karena akan menjadi menantu keluarga terpandang. Tapi kenyataannya jauh lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Suamiku, pria yang bahkan belum pernah kutatap langsung wajahnya, dikurung dalam sebuah kamar gelap di sayap timur rumah besar itu—sebuah ruangan yang selalu tertutup rapat, lembap, dan sunyi, seolah menyimpan rahasia kelam yang tak boleh diusik. Mereka bilang dia sakit. Tapi tak ada dokter yang berani memeriksanya. Tak ada pelayan yang selamat setelah masuk ke ruangannya. Setiap yang masuk… tidak pernah keluar dalam keadaan sama. Beberapa hilang tanpa jejak. Sisanya, ditemukan dalam keadaan mengenaskan—penuh luka, pandangan kosong, atau sekadar tubuh dingin yang tak bernyawa. Kini, aku adalah istrinya. Dan waktuku tinggal sedikit sebelum aku harus masuk ke kamar itu… ke dalam kegelapan yang bahkan cahaya pun takut memasukinya. Apa sebenarnya yang disembunyikan keluarga ini? Siapa sebenarnya pria yang kini menjadi suamiku? Dan... kenapa aku merasa semua ini bukan kebetulan?
View More“Caca, ayah pikir kita tidak akan bertemu lagi sampai ayah mati…” Suara parau itu membuat dada Caca semakin sesak. Pria paruh baya yang terbaring di ranjang itu, Bambang—ayahnya, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Meski lemah, sorot matanya menyimpan kerinduan yang tak terucapkan selama berbulan-bulan. Tubuhnya masih dipenuhi selang infus, namun kemajuan kecil, seperti bisa bicara dan merespons, sudah terasa begitu berharga. Caca langsung memeluk ayahnya erat-erat, air mata tak henti mengalir di pipinya. “Ayah jangan bilang begitu… jangan pernah bilang begitu. Caca kerja keras, Yah… caca berusaha supaya Ayah sembuh. Nanti kita bisa kumpul lagi, Ayah. Kita akan pergi jauh, tinggalkan semua ini… hidup bahagia bersama, janji!” suaranya pecah, penuh harap, namun juga getir. Bambang ikut menangis. Tangannya yang lemah terangkat, bergetar, lalu perlahan mengusap kepala putrinya. “Maafkan Ayah, Caca… karena Ayah, kamu harus mengalami ini semua. Ayah gagal jadi pelindungmu.” C
“Caca… bagaimana keadaanmu?” Suara Nyonya Ratna terdengar lirih namun jelas, tubuhnya mendekat ke arah gadis itu. Untuk pertama kalinya setelah hampir setengah tahun Caca menjadi bagian dari keluarga Mahendra, wanita paruh baya itu benar-benar memperhatikan keberadaannya. Ada nada lembut, tapi juga terselip kecemasan yang sulit disembunyikan. Caca mengangkat wajahnya pelan, mata sembab karena tangis, namun berusaha kuat. “Saya tidak apa-apa, Nyonya…” jawabnya lirih, seraya merapatkan tangan di pangkuan dan duduk di kursi yang menghadap langsung ke ruang penanganan. Ratna menghela napas panjang, pundaknya turun naik dengan berat. Sorot matanya tak lepas dari pintu ruang tindakan yang tertutup rapat, lampu indikator merah masih menyala. Bayangan putranya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh darah membuat dadanya terasa sesak. Ia masih tak menyangka, anak semata wayangnya, kebanggaannya, bisa berada di ujung maut dalam sekejap. Hening menekan lorong rumah sakit itu, hingga tiba-t
Suara sirine meraung-raung memecah hiruk pikuk sore kota. Dua unit ambulans melaju kencang, lampu rotator merah-biru memantul di dinding gedung-gedung tinggi. Orang-orang yang sedang berlalu-lalang di trotoar otomatis menoleh, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa menit kemudian, ambulans itu berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat rumah sakit swasta terbesar di kota. Pintu belakang terbuka cepat, petugas medis dengan sigap menurunkan dua brankar sekaligus. Tubuh dua pasien yang terlibat kecelakaan mobil tampak berlumuran darah, wajah mereka pucat dan tidak sadarkan diri. Situasi terasa begitu genting. Pada saat yang sama, Caca baru saja menjejakkan kaki di halaman rumah sakit. Ia datang dengan hati riang bercampur gugup, karena akhirnya setelah sekian lama ia mendapat izin dari Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya. Langkahnya semula ringan, tetapi terhenti mendadak begitu melihat kerumunan di depan IGD. Naluri penasaran membuatnya melongok. Pandangannya
“Pemenang tender proyek Barat Laut adalah…” jeda panjang tercipta, membuat detik terasa berjalan lambat. “Ardian Satya Mahendra, perwakilan dari Mahendra Group!”Semua mata langsung tertuju pada Satya. Tepuk tangan membahana, menggema di seluruh ruangan megah itu. Beberapa tamu bahkan berdiri, memberikan penghormatan layaknya seorang pemenang besar. Kamera-kamera wartawan berkilatan, menyorot wajah Satya yang tetap tenang dan anggun meski diselimuti sorot sorotan publik. Namun berbeda dengan semua orang, tatapan Natan justru membara. Kedua tangannya mengepal di atas meja, urat-urat di pelipisnya menegang. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya dengan suara nyaris tercekat. “Ke… kenapa bisa dia yang memenangkan proyek ini?!” Dadanya berdegup kencang, seolah hendak meledak. Ia sudah berjuang keras, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk menyuap sejumlah pihak penting, bahkan memanfaatkan koneksi gelap demi memastikan kemenangannya. Namun semua itu hancur dalam sekejap ketika nama Satya
Beberapa minggu berlalu sejak peringatan terakhir Satya. Sejak saat itu, suasana meja makan keluarga Ratna seakan selalu diselimuti ketegangan. Keheningan yang menggantung membuat suara sendok dan garpu beradu dengan piring terdengar begitu nyaring, seolah jadi pengingat jarak di antara mereka. Caca duduk di ujung meja, tubuhnya kaku. Ia tidak berani mengangkat kepala, hanya menunduk menatap piring yang nyaris tak tersentuh. Setiap gerakannya penuh kehati-hatian, seakan ia bisa saja salah langkah hanya dengan menghirup udara. Di hadapannya, duduk Satya dengan wajah dingin yang semakin hari kian menegas, sementara di sisi lain ada Natan yang tak kalah membekukan suasana dengan tatapan menusuknya. Peringatan Satya masih membekas jelas dalam benak Caca. Ia benar-benar menjauh dari Natan; bahkan jika pria itu muncul sekadar di lorong rumah, Caca akan buru-buru mencari jalan lain. Hatinya selalu diliputi rasa takut kalau Satya tiba-tiba mendapati mereka berada di tempat yang sama. Keteg
Sore itu udara terasa tenang. Angin berhembus lembut membawa aroma bunga dari taman kecil di halaman depan. Caca berdiri di antara pot-pot bunga, memegang selang air yang mengucurkan aliran lembut. Senyumnya samar, lebih untuk menenangkan hatinya sendiri daripada menikmati aktivitas itu. Seorang art rumah menghampiri sambil membawa keranjang cucian. “Nona Caca tidak perlu melakukan apa pun di rumah ini. Anda adalah nyonya rumah, biar kami yang mengurus semuanya,” ucapnya sopan. Caca menoleh, tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Bik. Saya juga tidak enak kalau hanya berdiam diri di kamar. Lagipula menyiram bunga bisa membuat hati saya lebih tenang.” Namun dalam hatinya, ia tidak sepenuhnya tenang. Caca merasa bosan, bahkan sesak. Ia ingin sekali meminta izin pada Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya, tapi mulutnya terasa terkunci setiap kali berniat mengucapkan. Ada rasa segan yang besar, juga ketakutan bila permintaannya dianggap lancang. Tiba-tiba suara decit ban mobil terdengar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments