Caca Aurora Tifani atau orang-orang di sekelilingku biasa memanggil Caca, aku tak pernah menyangka hidupku akan berubah menjadi mimpi buruk setelah dijual oleh ibu tiriku sendiri. Di usia tujuh belas tahun, aku dipaksa menikah dengan putra seorang wanita kaya raya yang memiliki mata tajam seperti ular dan senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata. Orang-orang bilang, aku beruntung karena akan menjadi menantu keluarga terpandang. Tapi kenyataannya jauh lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Suamiku, pria yang bahkan belum pernah kutatap langsung wajahnya, dikurung dalam sebuah kamar gelap di sayap timur rumah besar itu—sebuah ruangan yang selalu tertutup rapat, lembap, dan sunyi, seolah menyimpan rahasia kelam yang tak boleh diusik. Mereka bilang dia sakit. Tapi tak ada dokter yang berani memeriksanya. Tak ada pelayan yang selamat setelah masuk ke ruangannya. Setiap yang masuk… tidak pernah keluar dalam keadaan sama. Beberapa hilang tanpa jejak. Sisanya, ditemukan dalam keadaan mengenaskan—penuh luka, pandangan kosong, atau sekadar tubuh dingin yang tak bernyawa. Kini, aku adalah istrinya. Dan waktuku tinggal sedikit sebelum aku harus masuk ke kamar itu… ke dalam kegelapan yang bahkan cahaya pun takut memasukinya. Apa sebenarnya yang disembunyikan keluarga ini? Siapa sebenarnya pria yang kini menjadi suamiku? Dan... kenapa aku merasa semua ini bukan kebetulan?
Lihat lebih banyakTeriakan itu membelah keheningan pagi seperti cambuk yang menghantam udara. Suara yang tak asing—melengking, nyaring, dan selalu ditujukan padaku.
“Cacaaaa! Bangun! Dasar pemalas, piring kotor ini mau kamu cuci pakai doa?!” Mataku terbelalak. Jantungku berdegup cepat, tak karena mimpi buruk, tapi karena kenyataan yang lebih menyebalkan dari itu. Dengan enggan, aku bangkit dari kasur tipis yang sudah lama kehilangan empuknya. Lantai dingin menyentuh telapak kakiku saat aku melangkah keluar dari kamar sempitku. Pemandangan pertama yang menyambutku adalah kekacauan. Piring kotor menumpuk di wastafel, sebagian bahkan berserakan di meja dan lantai. Bekas makanan kering menempel, lalat-lalat kecil beterbangan di sekitarnya. Ruang tamu berantakan, bantal sofa terlempar ke sana kemari, karpet bergulung, dan... di tengah semua kekacauan itu, duduk seseorang yang seperti tak menyadari dunia sedang terbakar. Naumi. Adik tiriku yang cantik, manja, dan lebih menyebalkan dari yang terlihat. Ia duduk di sofa empuk dengan kaki naik ke meja, memulas kutek merah menyala di jari-jarinya yang ramping. Tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan ke arahku, apalagi menunjukkan niat membantu. “Kau lihat apa, Caca?” desisnya, tanpa mengangkat wajah. “Cepat kerjakan tugasmu. Ibu sudah nyaris meledak tuh.” Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya menumpahkan semua rasa kesal yang selama ini kupendam. Tapi aku tahu akibatnya. Ibu tiriku tak pernah butuh alasan untuk memukul, dan Naumi... dia selalu tahu cara membuatku terlihat salah. Ibu tiri muncul dari balik pintu dapur, wajahnya merah padam, rambut acak-acakan, dan tangan berkacak pinggang seperti hendak menerkam. “Berani-beraninya kamu tidur nyenyak sementara aku kerja sendirian dari pagi!” bentaknya. “Dasar anak pembawa sial. Untung ibumu sudah mati, kalau tidak, pasti malu punya anak tak tahu diri sepertimu!” Kata-katanya menamparku lebih keras dari tangan siapa pun. Tapi aku hanya menunduk. Menelan semua seperti biasa. Tanganku bergerak otomatis, mengumpulkan piring-piring kotor dan membawa ke wastafel. Air dingin menyiram kulitku, sabun menari di jemariku, tapi tak bisa mencuci bersih rasa marah dan sakit hati yang mendidih dalam dadaku. Hari ini baru dimulai, dan aku sudah ingin lari dari dunia ini. Suara piring beradu di wastafel terdengar nyaring, namun kalah nyaring dibandingkan suara bentakan Farida yang makin membara. Wanita itu kini berdiri tepat di belakangku, napasnya memburu, penuh amarah, seolah aku adalah sumber segala penderitaan dalam hidupnya. “Lihat kamu sekarang! Anak tak tahu balas budi! Sudah kuberi makan, kuberi atap, masih saja pemalas dan tidak berguna!” Aku tetap menunduk. Tangan terus bergerak mencuci piring, meski tubuhku gemetar oleh luapan kata-katanya. “Kalau bukan karena kamu, ayahmu nggak bakal cacat! Kamu pikir aku lupa? Aku masih ingat jelas malam itu... waktu dia loncat nyelametin kamu dari truk, dan sekarang? Lumpuh! Nggak bisa kerja! Dan semua itu… karena kamu!” Suara tawa sinis Naumi terdengar lirih dari arah sofa, menambah rasa sesak di dadaku. Tapi Farida belum selesai. “Anak pembawa sial! Seharusnya kamu yang mati malam itu, bukan suamiku!” katanya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuk gemetaran, “Dan sekarang kamu hidup seenaknya, makan dari uangku, tinggal di rumahku, tapi tak pernah tahu diri!” Dadaku terasa nyeri. Aku tak pernah lupa malam itu—ayah menggendongku, mendorongku dari jalur truk yang melaju kencang. Lalu suara rem berdecit, tubuhnya terpelanting, dan setelah itu... dunia kami berubah selamanya. Tangis yang sudah lama kutahan hampir pecah. Tapi Farida tiba-tiba melangkah mendekat, menyeringai dengan senyum yang membuat bulu kudukku meremang. “Tapi untungnya… aku punya solusi.” Aku menoleh pelan, mencoba menangkap maksud dari nada suaranya yang berubah dingin. “Ada seorang wanita kaya. Punya anak laki-laki… yah, bisa dibilang dia... spesial. Mereka butuh istri buat anaknya. Wanita itu rela bayar mahal, asal anaknya punya pendamping.” Deg. Perutku mual. Aku belum tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi instingku tahu—itu bukan sesuatu yang baik. “Kamu,” lanjut Farida, menunjuk wajahku. “Kamulah yang akan dinikahkan dengan anaknya. Sebagai gantinya, mereka akan kasih uang… cukup untuk pengobatan ayahmu. Katanya kamu cinta ayahmu, kan?” Aku menatapnya tak percaya. Mulutku terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Benarkah ini demi ayah? Atau... “Berapa… banyak uang yang mereka tawarkan?” tanyaku, suara lirihku nyaris tak terdengar. Farida menyeringai, matanya bersinar rakus. “Cukup untuk membuat hidupku—ehm, hidup kita—lebih baik.” Dan saat itulah aku sadar. Ini bukan tentang ayah. Ini bukan demi pengobatan. Ini tentang uang. Ini tentang keserakahan seorang wanita yang tak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Aku dijual. Bukan karena cinta. Bukan karena takdir. Tapi karena ibu tiriku ingin kaya raya, dan aku… aku hanyalah tumbal dalam rencana kotornya. “Aku tidak mau!” Suara Caca menggema di ruang tamu yang tiba-tiba menjadi lebih sempit oleh amarah yang memuncak. Air dari piring yang dicucinya masih menetes di tangannya, tapi itu tak lagi penting. Kini, ia berdiri tegak, menatap Farida dengan wajah pucat namun penuh perlawanan. “Kenapa harus aku? Kenapa bukan Naumi saja? Dia jauh lebih cantik dan cocok jadi menantu orang kaya!” Naumi mendongak dari kesibukannya memoles kutek, matanya membelalak. “APA?! Kamu bilang aku yang dijodohkan dengan anak cacat dan aneh itu? Dasar kurang ajar, Caca!” Ia melempar botol kutek ke lantai, isinya tercecer, mewarnai keramik putih dengan warna darah menyala. Farida langsung menghampiri Caca, matanya menyala seperti bara, tangannya terangkat, tapi tertahan setengah jalan. “Naumi bukan anak kandung ayahmu! Aku tidak akan membiarkan anakku dijadikan korban! Kamu yang harusnya merasa bersyukur masih bisa berguna untuk sesuatu! Setidaknya kamu masih bisa dibeli!” Caca mundur satu langkah, nafasnya tercekat. Kata-kata Farida menancap seperti duri. Ia melihat ke arah Naumi yang kini berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan di dada, senyum menyeringai terlukis di wajahnya. “Lagipula, Caca,” kata Naumi, suaranya dingin seperti es, “kamu kan selalu sok berkorban demi Ayah. Nah, sekarang tunjukkan kalau kamu memang anak yang baik.” “Aku bukan barang dagangan!” bentak Caca akhirnya, suaranya pecah, nyaris menangis. “Kalau Ayah tahu—” “Ayahmu bahkan tak tahu siapa dia sendiri!” potong Farida cepat. “Dia lumpuh, Caca! Tak bisa bicara, tak bisa jalan. Kau pikir dia bisa menolongmu?!” Hening. Caca menggigit bibirnya. Matanya panas. Ia ingin melawan, tapi seluruh tubuhnya terasa lemah. Dan sebelum ia bisa mencari kata untuk menjawab, suara mobil berhenti di depan rumah, diikuti ketukan pelan di pintu utama. Tok... Tok... Farida mengangkat dagunya, lalu menoleh ke arah pintu dengan cepat. Wajahnya berubah drastis—seperti topeng yang berpindah seketika dari marah menjadi ramah. “Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”Langkah mereka menyusuri lorong terasa lambat, berat, seperti dunia ikut menahan napas. Caca berjalan di belakang Raga, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. Tapi kali ini, tidak ada gemetar seperti sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya… lebih tenang. Penjelasan Raga tadi membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Bagaimanapun ia harus mencoba. Bukan karena kisah cinta masa lalu yang begitu tragis, bukan pula karena kemarahan atas ketidakadilan Ratna. Tapi karena satu harapan, yaitu Ayahnya. "Kalau aku bisa masuk bukan sebagai perawat, bukan sebagai orang asing… tapi sebagai seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya… mungkin ia tidak akan menolakku." Caca menghela napas panjang. Lalu berdiri tepat di samping Raga, di depan pintu tua berukir gelap yang sudah beberapa kali hanya ia pandangi dari jauh. Kini, mereka berdiri di sana. Tepat di ambang batas dua dunia. Raga masih memegang kunci di tangannya, tapi belum memutar. Ia menatap Caca dalam-dalam. Matanya
Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat. Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun sia
Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi. Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”Ia menutup wajah dengan kedua tangan. B
Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam sep
Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau
“Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”Pintu terbuka.Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan aura yang langsung menelan ruangan. Gaun hitam elegan membungkus tubuh rampingnya. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya, dan di tangannya—sebuah tas kulit mahal yang sepertinya bernilai lebih dari seluruh isi rumah ini.“Ibu Farida,” ucap wanita itu dingin. “Kita bertemu lagi.”Farida membungkuk kecil, senyum menjilat muncul di wajahnya. “Tentu, Nyonya Ratna. Terima kasih sudah datang. Silakan duduk.”Tatapan Nyonya Ratna beralih ke arah Caca, menelusuri gadis itu dari ujung rambut ke ujung kaki seolah sedang menilai barang lelang.“Ini anaknya?”“Ya,” jawab Farida cepat. “Masih muda, sehat, tidak neko-neko. Cocok sekali untuk anak Nyonya.”Caca menunduk, tubuhnya tegang, rahangnya mengeras.Tanpa basa-basi, Nyonya Ratna membuka tasnya dan mengeluarkan selembar kertas berwarna
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen