MasukLangkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.
Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup. “Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.” Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya. Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam seperti bilah pisau. “Masuk, Caca,” ucapnya, tanpa menatap gadis itu. Dengan hati-hati, Caca melangkah masuk. Ratna melipat tangannya di atas meja, lalu menyodorkan sebuah map berisi beberapa lembar dokumen. “Tanda tangan di situ,” ucapnya singkat. Caca membuka map itu perlahan, lalu mulai membaca. Namun semakin banyak kata yang ia baca, semakin wajahnya berubah pucat. Surat itu adalah perjanjian resmi. Bahwa Caca telah menyetujui pernikahan dengan anak kandung Nyonya Ratna. Bahwa Caca tidak boleh meninggalkan rumah ini tanpa izin tertulis. Bahwa Caca tidak boleh membocorkan apa pun tentang kehidupan di dalam rumah itu. Dan—yang paling mengejutkan— Jika Caca melanggar satu pun dari pasal yang tercantum, maka "konsekuensinya adalah kematian bagi dirinya dan keluarga kandungnya." Tangannya gemetar saat menoleh pada Ratna. “Saya… saya tidak pernah menyetujui ini,” ucapnya pelan, suaranya nyaris pecah. “Saya tidak pernah menandatangani apa pun, saya juga tidak menerima uang—bahkan sepeser pun.” Ratna menatapnya dengan sorot dingin, lalu menyandarkan punggung di kursi. “Caca… yang menandatangani adalah walimu. Ibumu—eh, maksud saya, ibu tirimu. Farida sudah memberikan persetujuan, menerima pembayaran, dan secara hukum kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini.” “Tapi saya tidak tahu apa-apa! Saya tidak pernah diberi pilihan!” suara Caca meninggi, putus asa. “Saya tidak pernah rela!” “Kamu tidak perlu rela,” jawab Ratna datar. “Kamu hanya perlu… patuh.” Caca menunduk, menggigit bibir untuk menahan tangis dan amarah. “Kalau saya menolak…?” bisiknya. Nyonya Ratna berdiri. Sosoknya tinggi, kaku, dan penuh aura dingin. “Maka ayahmu—yang sakit itu—mungkin takkan sempat melihat matahari besok pagi.” Caca terdiam. Tenggorokannya tercekat. Mata Ratna begitu tenang saat mengucap ancaman itu, seolah kematian hanyalah instrumen kekuasaan, bukan dosa. “Dan kamu, Caca…” lanjut Ratna perlahan, berjalan mendekat. “Kamu akan tetap tinggal di sini. Menjadi istrinya. Menemaninya. Menjinakkannya… jika kamu bisa. Dan jika tidak, yah…” Ia tersenyum kecil. “…setidaknya kamu sudah berguna untuk sesuatu sebelum akhirnya habis.” Surat itu tetap terbuka di tangan Caca. Dunia di sekelilingnya seolah memutar dengan lambat. Ia dijebak. Dikorbankan. Dikirim untuk menebus dosa orang lain. Dan kini, nyawanya tergadai di rumah tanpa cahaya… bersama seorang laki-laki aneh yang terus berteriak histeris dari balik pintu gelap. Caca menatap kembali lembaran surat perjanjian itu, matanya masih berkabut oleh keterkejutan dan kemarahan. Namun ada satu bagian di paragraf akhir yang membuatnya berhenti membaca… dan mulai berpikir: "Apabila pihak kedua (Caca) berhasil merawat dan menstabilkan kondisi psikis dan fisik putra dari pihak pertama (Ratna), maka seluruh bentuk ikatan ini akan dicabut. Pihak kedua akan dibebaskan sepenuhnya, serta berhak atas kompensasi materi berupa hunian, saham, dan dana sebesar 10 miliar rupiah. Namun dalam proses ini, pihak kedua tidak diperbolehkan terlibat secara emosional atau memiliki ikatan cinta terhadap subjek perawatan." Caca menelan ludah. Tangannya dingin. Napasnya tercekat. Jadi... aku bisa bebas. Bahkan bisa membawa ayahku berobat, bisa hidup tenang... asalkan berhasil membantu anak itu pulih. Tapi… tanpa cinta? Ia menoleh ke arah Nyonya Ratna, yang kini kembali duduk tenang sambil menyeruput teh dari cangkir porselennya. “Kenapa saya tidak boleh menyukainya?” tanya Caca pelan di hiasi kebingungan, mengingat ia di nikahkan namun tak boleh menyimpan perasaan. Ratna meletakkan cangkirnya. Ia mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya, sorot matanya tak sekeras biasanya—tapi malah kosong. Jauh. “Karena dia sudah kehilangan seseorang yang dia cintai... dan saat itu terjadi, dia kehilangan segalanya—termasuk kewarasan.” “Dan karena aku tidak ingin dia... kehilangan lagi. Jika dia menyukaimu lalu kamu pergi… dia akan hancur. Tidak hanya kamu yang akan mati, tapi seluruh rumah ini mungkin ikut terbakar bersamanya.” Caca menggigit bibirnya. Hatinya seperti diikat tali rapat-rapat. Tawaran itu memang terdengar seperti harapan… tapi apakah itu benar-benar jalan keluar, atau hanya jebakan dengan duri yang lebih tajam? “Lalu siapa yang menjamin saya tidak akan dibunuh begitu melihat wajahnya?” tanyanya, suara mulai serak. Ratna tersenyum tipis. “Tidak ada. Karena bahkan saya pun tak bisa menjamin keselamatan siapa pun di dekatnya. Tapi aku bisa memberimu waktu satu bulan. Untuk membangun kepercayaannya. Untuk membuktikan bahwa kamu bukan ancaman.” Caca diam. Satu bulan... bersama pria yang bahkan tak dikenalnya, yang bisa mengamuk, yang mungkin gila, yang bisa membunuh hanya karena melihat seseorang yang mengingatkannya pada luka. Sementara perawatan profesional saja berakhir tanpa hasil, apalagi dirinya? Tapi jika berhasil... ia bisa keluar dari neraka ini. Dan membawa ayahnya pergi. Walau Jika gagal... nyawanya mungkin akan menjadi bayaran terakhir. Sementara Ratna kembali berdiri, mengenakan sarung tangan putihnya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman gelap. “Kamu hanya perlu mengurusnya. Membantu menyembuhkannya. Tapi ingat satu hal…” Ia menoleh, tajam. “…jangan mencintainya. Karena dia tidak bisa mencintai siapa pun lagi. Dan jika dia merasa kehilangan lagi—kita semua... akan ikut hilang bersamanya.” “Namanya Ardian Satya Mahendra.” Suara Ratna terdengar tenang, dingin, namun menggema dalam dada Caca seperti lonceng kematian. “Putraku. Dan sekarang... suamimu.” Caca hanya diam. Ia tidak terkejut. Tidak kaget. Sejak malam pertama di rumah itu, sejak suara-suara mengerikan dari balik pintu ujung lorong menggema seperti jeritan dari dunia lain—Caca tahu. Laki-laki itu… yang terkurung… dialah suaminya. Ratna mengantar Caca sampai ke ujung lorong, ke depan pintu hitam dengan ukiran aneh yang tampak seperti akar membelit tubuh. Ia tidak menyuruh Caca masuk, belum. Hanya berdiri di sana, tangannya menyentuh permukaan kayu gelap itu dengan pelan, seperti menyentuh luka lama yang tak pernah sembuh. “Kamar ini dirancang untuk menahannya. Tapi bukan untuk menyembuhkannya,” ucap Ratna perlahan. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” tanya Caca pelan, nyaris tak bernyawa. “Entah,” jawab Ratna pendek. “Namun Mungkin kehilangan.” Lalu ia meninggalkan Caca di depan pintu itu... sendirian. Dengan segunung beban, dan tanpa petunjuk sedikit pun bagaimana menghadapi seorang pria yang bahkan dokter jiwa pun menyerah menanganinya.Butuh waktu berhari-hari bagi Satya untuk bisa meninggalkan rumah sakit. Luka di lengannya memang sudah mengering, tapi kepalanya masih sering terasa berdenyut, terutama setiap kali ia memejamkan mata dan mengingat peristiwa siang itu, bunyi rem yang melengking, teriakan Rio, dan hantaman keras yang membuat tubuhnya terlempar.Dokter mengatakan ia beruntung.Namun bagi Satya, kata beruntung itu terasa hampa. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Caca mendorong kursi roda pelan-pelan, sementara di belakang mereka Pak Raga dan salah satu asisten rumah tangga membawa koper dan barang pribadi Satya. Langkah kaki mereka menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi.“Antar aku ke kamar Rio dulu,” pinta Satya tiba-tiba.Caca menunduk sedikit. “Baik, Tuan muda.”Nada suaranya lembut, tapi ia sempat menatap pria itu dari samping. Ada gurat lelah di wajah Satya, namun juga sesuatu yang lain, kekhawatiran yang berlapis dengan kecurigaan.“Dan kalian…
Hampir dua jam lamanya Caca berada di ruang rawat inap ayahnya. Setelah memastikan sang ayah tertidur pulas, ia bangkit dari kursi dan menatap wajah renta itu dengan lembut. “Ayah istirahat ya. Caca harus kembali dulu…” bisiknya lirih, sebelum melangkah keluar dari ruang perawatan dengan langkah pelan. Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya suara langkah kaki dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Caca menggenggam erat ujung tasnya, pikirannya melayang pada sosok Satya, pria yang kini tak hanya menjadi tuan mudanya, tapi seseorang yang diam-diam mengusik tenang di hatinya. Setibanya di depan kamar Satya, Caca sempat berhenti. Ia menatap sekeliling, tapi tak melihat sosok Pak Raga yang tadi berjaga di depan. Alisnya berkerut heran. Dengan perlahan ia mengetuk pintu. “Permisi… Tuan muda?” suaranya pelan, ragu. Tak ada jawaban. Caca menunggu sejenak, lalu memberanikan diri memutar kenop dan membuka pintu sedikit demi sedikit. Ruangan itu tampak tenang. Caca melang
Suara lembut dari luar kamar memecah keheningan yang canggung di antara keduanya. “Tuan muda Satya, nona Caca…” Caca sontak menoleh, tubuhnya refleks menegakkan posisi, sementara Satya menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam dan sedikit gelisah. “Itu… suara Pak Raga,” ucap Caca cepat, berusaha menormalkan napasnya yang masih berantakan. Ia melangkah tergesa ke arah pintu, mencoba menutupi wajahnya yang masih memerah. “Tunggu sebentar, Nyonya… Tuan muda sedang bersiap,” katanya sopan sambil sedikit menyembulkan kepala di celah pintu yang terbuka. Ratna berdiri di luar bersama Pak Raga. Tatapannya sempat turun memperhatikan Caca dengan sorot mata penuh selidik, lalu bergeser ke arah dalam ruangan, meski pintu hanya terbuka sedikit. Ada nada tidak percaya di sana, campuran antara cemas dan curiga. “Baiklah,” ucap Ratna pelan, namun tetap menatap tajam sebelum akhirnya melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang Satya. Pandangannya lurus menatap ke arah kamar mandi yang tertu
Satya berdecak pelan, rahangnya sedikit mengeras. “Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya butuh kamu membantuku ke kamar mandi. Aku bisa mandi sendiri.” Suaranya berat, tapi cukup untuk membuyarkan segala pikiran aneh yang sempat berkecamuk di benak Caca. Gadis itu menunduk cepat, berusaha menutupi rona merah di pipinya. Ia menghela napas panjang, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa permintaan itu benar-benar sederhana. “Kalau begitu… biarkan saya siapkan air mandinya dulu,” ucapnya hati-hati. Satya tidak menjawab, hanya sudut bibirnya yang terangkat samar. Matanya mengikuti punggung Caca yang perlahan menjauh, langkahnya ringan namun jelas penuh keraguan. Untuk sesaat, pria itu terdiam, dadanya bergetar oleh rasa yang tak bisa ia definisikan. "Dia… begitu sederhana, tapi mengapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?" Sementara itu, di dalam kamar mandi, Caca menutup pintu dan bersandar sejenak pada dinding. Tangannya refleks menempel di dadanya yang berdebar tak terkendali. “Y
“Kemari!” suara Satya terdengar berat, penuh tekanan. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Caca tersentak, jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang semula berada di pangkuan langsung terkepal erat, tapi tak ada jalan untuk menolak. Dengan langkah pelan, ia mendekat ke sisi ranjang. Hatinya berdesir aneh, antara takut dan… hangat. Begitu jaraknya cukup dekat, tangan Satya bergerak. Jemari pria itu, meski masih kaku karena luka, terulur lembut menarik lengan Caca, membuatnya lebih mendekat lagi. Tatapan tajam Satya menusuk, seolah menembus lapisan hati terdalamnya. Kemudian, tanpa peringatan, tangan besar itu mengusap pipi Caca. Sentuhan hangat bercampur dingin, membuat tubuh gadis itu seakan membeku di tempat. “Ini… bekas tamparan?” suara Satya rendah, nyaris bergetar menahan emosi. Sorot matanya mengeras, rahangnya menegang. “Siapa yang menamparmu? Apakah Ratna?” Caca langsung menggeleng cepat, kedua matanya melebar. Ia tak ingin menambah masalah. “Bukan, Tuan Mud
Caca melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya bergaung samar di antara aroma obat dan bau antiseptik yang menyengat. Wajahnya masih menyisakan lelah setelah menjaga Satya, tapi detak jantungnya makin kencang tiap kali ia mendekati ruang perawatan ayahnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift. Sesekali ia mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri. Namun hatinya tetap bergejolak, apalagi mengingat percakapan Satya dan Natan barusan—semua itu membuat pikirannya semakin kacau. Begitu lift terbuka, ia keluar tergesa, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu bercat putih dengan jendela kaca kecil. Dari balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya tengah berjuang meraih gelas air di atas nakas dengan tangan yang gemetar. Tubuh renta itu tampak makin kurus, wajahnya pucat, namun tatapannya tetap berusaha tegar. Di sisi lain, Naumi, adik tirinya, justru duduk santai di kursi, menekuri ponsel mahalnya sambil sesekali menyuapkan cemilan ke mulut. Seak







