Home / Romansa / SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU / Bab 4 Sedikit Harapan Diantara Banyaknya Kemungkinan

Share

Bab 4 Sedikit Harapan Diantara Banyaknya Kemungkinan

Author: Aries grils
last update Last Updated: 2025-06-30 11:25:12

Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.

Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.

“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”

Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.

Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam seperti bilah pisau.

“Masuk, Caca,” ucapnya, tanpa menatap gadis itu.

Dengan hati-hati, Caca melangkah masuk.

Ratna melipat tangannya di atas meja, lalu menyodorkan sebuah map berisi beberapa lembar dokumen.

“Tanda tangan di situ,” ucapnya singkat.

Caca membuka map itu perlahan, lalu mulai membaca. Namun semakin banyak kata yang ia baca, semakin wajahnya berubah pucat.

Surat itu adalah perjanjian resmi.

Bahwa Caca telah menyetujui pernikahan dengan anak kandung Nyonya Ratna.

Bahwa Caca tidak boleh meninggalkan rumah ini tanpa izin tertulis.

Bahwa Caca tidak boleh membocorkan apa pun tentang kehidupan di dalam rumah itu.

Dan—yang paling mengejutkan—

Jika Caca melanggar satu pun dari pasal yang tercantum, maka "konsekuensinya adalah kematian bagi dirinya dan keluarga kandungnya."

Tangannya gemetar saat menoleh pada Ratna. “Saya… saya tidak pernah menyetujui ini,” ucapnya pelan, suaranya nyaris pecah. “Saya tidak pernah menandatangani apa pun, saya juga tidak menerima uang—bahkan sepeser pun.”

Ratna menatapnya dengan sorot dingin, lalu menyandarkan punggung di kursi. “Caca… yang menandatangani adalah walimu. Ibumu—eh, maksud saya, ibu tirimu. Farida sudah memberikan persetujuan, menerima pembayaran, dan secara hukum kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini.”

“Tapi saya tidak tahu apa-apa! Saya tidak pernah diberi pilihan!” suara Caca meninggi, putus asa. “Saya tidak pernah rela!”

“Kamu tidak perlu rela,” jawab Ratna datar. “Kamu hanya perlu… patuh.”

Caca menunduk, menggigit bibir untuk menahan tangis dan amarah.

“Kalau saya menolak…?” bisiknya.

Nyonya Ratna berdiri. Sosoknya tinggi, kaku, dan penuh aura dingin.

“Maka ayahmu—yang sakit itu—mungkin takkan sempat melihat matahari besok pagi.”

Caca terdiam. Tenggorokannya tercekat. Mata Ratna begitu tenang saat mengucap ancaman itu, seolah kematian hanyalah instrumen kekuasaan, bukan dosa.

“Dan kamu, Caca…” lanjut Ratna perlahan, berjalan mendekat. “Kamu akan tetap tinggal di sini. Menjadi istrinya. Menemaninya. Menjinakkannya… jika kamu bisa. Dan jika tidak, yah…”

Ia tersenyum kecil.

“…setidaknya kamu sudah berguna untuk sesuatu sebelum akhirnya habis.”

Surat itu tetap terbuka di tangan Caca. Dunia di sekelilingnya seolah memutar dengan lambat.

Ia dijebak. Dikorbankan. Dikirim untuk menebus dosa orang lain.

Dan kini, nyawanya tergadai di rumah tanpa cahaya… bersama seorang laki-laki aneh yang terus berteriak histeris dari balik pintu gelap.

Caca menatap kembali lembaran surat perjanjian itu, matanya masih berkabut oleh keterkejutan dan kemarahan. Namun ada satu bagian di paragraf akhir yang membuatnya berhenti membaca… dan mulai berpikir:

"Apabila pihak kedua (Caca) berhasil merawat dan menstabilkan kondisi psikis dan fisik putra dari pihak pertama (Ratna), maka seluruh bentuk ikatan ini akan dicabut. Pihak kedua akan dibebaskan sepenuhnya, serta berhak atas kompensasi materi berupa hunian, saham, dan dana sebesar 10 miliar rupiah. Namun dalam proses ini, pihak kedua tidak diperbolehkan terlibat secara emosional atau memiliki ikatan cinta terhadap subjek perawatan."

Caca menelan ludah. Tangannya dingin. Napasnya tercekat.

Jadi... aku bisa bebas. Bahkan bisa membawa ayahku berobat, bisa hidup tenang... asalkan berhasil membantu anak itu pulih. Tapi… tanpa cinta?

Ia menoleh ke arah Nyonya Ratna, yang kini kembali duduk tenang sambil menyeruput teh dari cangkir porselennya.

“Kenapa saya tidak boleh menyukainya?” tanya Caca pelan di hiasi kebingungan, mengingat ia di nikahkan namun tak boleh menyimpan perasaan.

Ratna meletakkan cangkirnya. Ia mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya, sorot matanya tak sekeras biasanya—tapi malah kosong. Jauh.

“Karena dia sudah kehilangan seseorang yang dia cintai... dan saat itu terjadi, dia kehilangan segalanya—termasuk kewarasan.”

“Dan karena aku tidak ingin dia... kehilangan lagi. Jika dia menyukaimu lalu kamu pergi… dia akan hancur. Tidak hanya kamu yang akan mati, tapi seluruh rumah ini mungkin ikut terbakar bersamanya.”

Caca menggigit bibirnya. Hatinya seperti diikat tali rapat-rapat. Tawaran itu memang terdengar seperti harapan… tapi apakah itu benar-benar jalan keluar, atau hanya jebakan dengan duri yang lebih tajam?

“Lalu siapa yang menjamin saya tidak akan dibunuh begitu melihat wajahnya?” tanyanya, suara mulai serak.

Ratna tersenyum tipis. “Tidak ada. Karena bahkan saya pun tak bisa menjamin keselamatan siapa pun di dekatnya. Tapi aku bisa memberimu waktu satu bulan. Untuk membangun kepercayaannya. Untuk membuktikan bahwa kamu bukan ancaman.”

Caca diam.

Satu bulan... bersama pria yang bahkan tak dikenalnya, yang bisa mengamuk, yang mungkin gila, yang bisa membunuh hanya karena melihat seseorang yang mengingatkannya pada luka. Sementara perawatan profesional saja berakhir tanpa hasil, apalagi dirinya?

Tapi jika berhasil... ia bisa keluar dari neraka ini. Dan membawa ayahnya pergi. Walau Jika gagal... nyawanya mungkin akan menjadi bayaran terakhir.

Sementara Ratna kembali berdiri, mengenakan sarung tangan putihnya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman gelap.

“Kamu hanya perlu mengurusnya. Membantu menyembuhkannya. Tapi ingat satu hal…”

Ia menoleh, tajam.

“…jangan mencintainya. Karena dia tidak bisa mencintai siapa pun lagi. Dan jika dia merasa kehilangan lagi—kita semua... akan ikut hilang bersamanya.”

“Namanya Ardian Satya Mahendra.”

Suara Ratna terdengar tenang, dingin, namun menggema dalam dada Caca seperti lonceng kematian.

“Putraku. Dan sekarang... suamimu.”

Caca hanya diam. Ia tidak terkejut. Tidak kaget. Sejak malam pertama di rumah itu, sejak suara-suara mengerikan dari balik pintu ujung lorong menggema seperti jeritan dari dunia lain—Caca tahu.

Laki-laki itu… yang terkurung… dialah suaminya.

Ratna mengantar Caca sampai ke ujung lorong, ke depan pintu hitam dengan ukiran aneh yang tampak seperti akar membelit tubuh.

Ia tidak menyuruh Caca masuk, belum. Hanya berdiri di sana, tangannya menyentuh permukaan kayu gelap itu dengan pelan, seperti menyentuh luka lama yang tak pernah sembuh.

“Kamar ini dirancang untuk menahannya. Tapi bukan untuk menyembuhkannya,” ucap Ratna perlahan.

“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” tanya Caca pelan, nyaris tak bernyawa.

“Entah,” jawab Ratna pendek. “Namun Mungkin kehilangan.”

Lalu ia meninggalkan Caca di depan pintu itu... sendirian. Dengan segunung beban, dan tanpa petunjuk sedikit pun bagaimana menghadapi seorang pria yang bahkan dokter jiwa pun menyerah menanganinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 8 Bagaimana Aku Bisa!

    Perlahan, Caca membuka matanya. Pandangannya kabur. Langit-langit kamar yang familiar terlihat menggantung di atasnya, tapi terasa asing. Ruangan itu sepi, terlalu sepi. Hanya suara detak jarum jam di sudut dinding yang terdengar, nyaring, menusuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Hidungnya mencium aroma lavender tipis yang biasa dipakai di kamarnya, tapi kepalanya... terasa berat, nyeri berdenyut di sisi kanan. Tangannya meraba pelan bagian kepala yang dibalut perban. Ada rasa perih begitu disentuh. "Apa yang... terjadi...?" Caca mencoba duduk. Gerakan kecil saja membuat tubuhnya seperti diseret kembali oleh gravitasi, tapi ia memaksa. Napasnya memburu. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Perlahan, potongan-potongan ingatan itu mulai kembali. Pintu besar yang terbuka… Sosok tinggi di ujung ruangan gelap… Langkah berat mendekat… Aroma busuk menusuk hidung… Dan suara itu. "Apakah kau ingin mati seperti dia?" Caca tertegun. Kedua mat

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 7 Ketakutan

    Langkah mereka menyusuri lorong terasa lambat, berat, seperti dunia ikut menahan napas. Caca berjalan di belakang Raga, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. Tapi kali ini, tidak ada gemetar seperti sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya… lebih tenang. Penjelasan Raga tadi membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Bagaimanapun ia harus mencoba. Bukan karena kisah cinta masa lalu yang begitu tragis, bukan pula karena kemarahan atas ketidakadilan Ratna. Tapi karena satu harapan, yaitu Ayahnya. "Kalau aku bisa masuk bukan sebagai perawat, bukan sebagai orang asing… tapi sebagai seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya… mungkin ia tidak akan menolakku." Caca menghela napas panjang. Lalu berdiri tepat di samping Raga, di depan pintu tua berukir gelap yang sudah beberapa kali hanya ia pandangi dari jauh. Kini, mereka berdiri di sana. Tepat di ambang batas dua dunia. Raga masih memegang kunci di tangannya, tapi belum memutar. Ia menatap Caca dalam-dalam. M

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 6 Tentang Dia

    Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat. Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun sia

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 5 Hari Itu Tiba

    Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi. Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”Ia menutup wajah dengan kedua tangan. B

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 4 Sedikit Harapan Diantara Banyaknya Kemungkinan

    Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam sep

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 3 Apa Yang Tersembunyi Di Balik Pintu?

    Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status