Share

4. Suamiku Om-om

Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku.

"Sayang?!"

Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.

Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku.

"La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu."

"Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir.

"Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."

Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Atau mungkin Om Dimas yang sangat pandai berakting? Sehingga di mata Mama dia terlihat seperti pria yang sempurna. Tapi di belakang, Om Dimas tidak lebih baik dari kumbang jalan yang hobby menghisap madu.

"Ayo Sayang, kita temuin Mamanya Rendy dulu. Maksud Mama keluarga suamimu, Faldo." Mama meraih tanganku, bermaksud mengajakku turun.

Aku baru sadar kalau di kamar ini hanya tinggal kami berdua. Tante Chintya dan anaknya entah kemana. Begitu pun dengan Ghea dan Mhita, mereka sudah tidak ada.

"Lala males, Ma," jawabku asal.

"Loh, enggak boleh seperti itu, Sayang. Meski tidak jadi menikah dengan Rendy, tapi Mamanya itu tetap menjaga keluarga suamimu."

"Suami, suami! Cukup, Ma! Aku enggak peduli. Pokoknya aku tidak mau bertemu siapa pun!"

"Sayang, Mama mohon. Mau ditaruh di mana muka Mama? Please ... ya .... "

Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka lalu muncul sosok Om Drajat di sana.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, La. Om mohon, temui mereka sebentar, ya!"

Aku berpikir sejenak, kalau saja bukan Om Drajat yang meminta, sebenarnya aku tidak mau turun menemui Mamanya Rendy dan Om Do suamiku. Dih, suami! Aku mencebik di dalam hati.

***

Tante Renita, Mamanya Rendy memelukku erat. Wanita itu meminta maaf sambil terisak. Namun air mataku seperti sudah habis ketika di kamar tadi hingga riasan wajah ini sudah tidak karuan bentuknya dan aku menolak ketika Mama hendak merapikannya.

"Maafkan Rendy, ya, La?"

"Jujur saja aku kecewa, Tante. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus sadar bahwa aku tidak bisa memaksa." Entah salah makan apa, kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. Padahal tadi ketika di kamar, aku merasa diriku sangat lemah.

"Makasih, ya, La. Kamu gadis yang baik. Oh ya meskipun Tante tidak jadi Mama mertua kamu, tapi sekarang Tante jadi Kakak ipar kamu." Kemudian Tante Renita terkekeh. Loh, kemana raut wajah penuh rasa bersalah beberapa waktu yang lalu?

"I-iya," jawabku canggung. Yang bener saja aku harus memanggil Mbak pada calon Mama mertua.

"Oh iya, ini suami kamu, Muhamad Refaldo." Tante Renita menunjuk pria yang sedari tadi duduk menunduk tak jauh dari kami.

Pria yang sekilas kulirik menggunakan jas agak kebesaran. Dan aku tahu jas itu memang punya almarhum Papa. Sedari tadi Om Do hanya diam menunduk. Apa dia mengantuk? Atau jangan-jangan ada bagian wajahnya yang perlu sembunyikan.

Ya, Tuhan. Aku tidak dapat membayangkan jika itu benar. Aku yang cantik ini bersuamikan pria cacat. Oh, tidak!

Dengan sedikit menggeser posisi duduk akhirnya aku sampai di dekat suamiku. Ya ampun, bahkan menyebutnya sebagai suami saja aku merasa aneh dan geli.

Ragu kuulurkan tangan untuk menyalaminya. Dan dia pun memberikan tangannya yang lalu kusentuh dan kucium.

Kalau bukan karena takut akan diomeli Om Drajat, sebenarnya aku males melakukan ini. Aneh saja rasanya harus mencium tangan orang bahkan bertemu saja untuk pertama kalinya.

Aku belum berani menatap wajahnya. Takut kalau tiba-tiba aku pingsan lagi karena melihat wajah tua milik suamiku itu.

Tak lama setelah itu Tante Renita dan beberapa kerabat lainnya termasuk suami dan anaknya berpamitan.

"Sekali lagi, maafkan Rendy ya, La. Tenang saja, Tante akan mengakui anak yang ada dalam kandunganmu itu sebagai cucu Tante."

Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawabnya. Dalam hati aku terus mengutuk Rendy yang mempermalukan aku dan keluargaku. Suatu saat jika aku bertemu dengan pria itu, aku pasti akan membuat perhitungan. Karena Rendy pula yang membuat aku harus menikah dengan seorang pria tua yang dia sebut Om.

"Faldo, Mbak juga minta maaf, ya. Karena akhirnya kamu lah yang kena getahnya." Tante Renita beralih pada pria di sampingku yang belum kulihat wajahnya itu.

"Aku ikhlas, Mbak. Yang penting nama baik dua keluarga ini bisa diselamatkan. Tenang saja, jika Rendy dan Lala ingin kembali, aku siap mundur setelah anak ini lahir." Pria di sampingku ini berucap dengan tenang dan suaranya itu sempat membuat aku membeliak sebentar. Persis seperti ustaz-ustaz yang sedang ceramah. Empuk.

Ish, ini baru suaranya, Lala. Sebagus apapun suaranya, kalau Om-om tetap saja tua. Ya Tuhan, kenapa nasibku begini amat, sih?

Satu persatu para tamu yang memang tidak banyak sudah berpamitan. Dan terakhir adalah dua teman rempongku, Ghea dan Mhita.

"Enggak rugi lah, Lo gagal nikah sama Rendy. Karena Lo dapet yang lebih mateng," bisik Mhita sambil mencondongkan tubuhnya. Karena meskipun pria yang sedang berbicara dengan Om Drajat itu agak jauh dari kami, aku yakin pasti dia mendengarnya.

"Ck, apaan sih, Lo! Ngeledek, ya." Mitha malah meledekku yang dapat suami Om-om.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status