Share

4. Suamiku Om-om

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-01-04 14:57:34

Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku.

"Sayang?!"

Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.

Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku.

"La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu."

"Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir.

"Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."

Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Atau mungkin Om Dimas yang sangat pandai berakting? Sehingga di mata Mama dia terlihat seperti pria yang sempurna. Tapi di belakang, Om Dimas tidak lebih baik dari kumbang jalan yang hobby menghisap madu.

"Ayo Sayang, kita temuin Mamanya Rendy dulu. Maksud Mama keluarga suamimu, Faldo." Mama meraih tanganku, bermaksud mengajakku turun.

Aku baru sadar kalau di kamar ini hanya tinggal kami berdua. Tante Chintya dan anaknya entah kemana. Begitu pun dengan Ghea dan Mhita, mereka sudah tidak ada.

"Lala males, Ma," jawabku asal.

"Loh, enggak boleh seperti itu, Sayang. Meski tidak jadi menikah dengan Rendy, tapi Mamanya itu tetap menjaga keluarga suamimu."

"Suami, suami! Cukup, Ma! Aku enggak peduli. Pokoknya aku tidak mau bertemu siapa pun!"

"Sayang, Mama mohon. Mau ditaruh di mana muka Mama? Please ... ya .... "

Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka lalu muncul sosok Om Drajat di sana.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, La. Om mohon, temui mereka sebentar, ya!"

Aku berpikir sejenak, kalau saja bukan Om Drajat yang meminta, sebenarnya aku tidak mau turun menemui Mamanya Rendy dan Om Do suamiku. Dih, suami! Aku mencebik di dalam hati.

***

Tante Renita, Mamanya Rendy memelukku erat. Wanita itu meminta maaf sambil terisak. Namun air mataku seperti sudah habis ketika di kamar tadi hingga riasan wajah ini sudah tidak karuan bentuknya dan aku menolak ketika Mama hendak merapikannya.

"Maafkan Rendy, ya, La?"

"Jujur saja aku kecewa, Tante. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus sadar bahwa aku tidak bisa memaksa." Entah salah makan apa, kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. Padahal tadi ketika di kamar, aku merasa diriku sangat lemah.

"Makasih, ya, La. Kamu gadis yang baik. Oh ya meskipun Tante tidak jadi Mama mertua kamu, tapi sekarang Tante jadi Kakak ipar kamu." Kemudian Tante Renita terkekeh. Loh, kemana raut wajah penuh rasa bersalah beberapa waktu yang lalu?

"I-iya," jawabku canggung. Yang bener saja aku harus memanggil Mbak pada calon Mama mertua.

"Oh iya, ini suami kamu, Muhamad Refaldo." Tante Renita menunjuk pria yang sedari tadi duduk menunduk tak jauh dari kami.

Pria yang sekilas kulirik menggunakan jas agak kebesaran. Dan aku tahu jas itu memang punya almarhum Papa. Sedari tadi Om Do hanya diam menunduk. Apa dia mengantuk? Atau jangan-jangan ada bagian wajahnya yang perlu sembunyikan.

Ya, Tuhan. Aku tidak dapat membayangkan jika itu benar. Aku yang cantik ini bersuamikan pria cacat. Oh, tidak!

Dengan sedikit menggeser posisi duduk akhirnya aku sampai di dekat suamiku. Ya ampun, bahkan menyebutnya sebagai suami saja aku merasa aneh dan geli.

Ragu kuulurkan tangan untuk menyalaminya. Dan dia pun memberikan tangannya yang lalu kusentuh dan kucium.

Kalau bukan karena takut akan diomeli Om Drajat, sebenarnya aku males melakukan ini. Aneh saja rasanya harus mencium tangan orang bahkan bertemu saja untuk pertama kalinya.

Aku belum berani menatap wajahnya. Takut kalau tiba-tiba aku pingsan lagi karena melihat wajah tua milik suamiku itu.

Tak lama setelah itu Tante Renita dan beberapa kerabat lainnya termasuk suami dan anaknya berpamitan.

"Sekali lagi, maafkan Rendy ya, La. Tenang saja, Tante akan mengakui anak yang ada dalam kandunganmu itu sebagai cucu Tante."

Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawabnya. Dalam hati aku terus mengutuk Rendy yang mempermalukan aku dan keluargaku. Suatu saat jika aku bertemu dengan pria itu, aku pasti akan membuat perhitungan. Karena Rendy pula yang membuat aku harus menikah dengan seorang pria tua yang dia sebut Om.

"Faldo, Mbak juga minta maaf, ya. Karena akhirnya kamu lah yang kena getahnya." Tante Renita beralih pada pria di sampingku yang belum kulihat wajahnya itu.

"Aku ikhlas, Mbak. Yang penting nama baik dua keluarga ini bisa diselamatkan. Tenang saja, jika Rendy dan Lala ingin kembali, aku siap mundur setelah anak ini lahir." Pria di sampingku ini berucap dengan tenang dan suaranya itu sempat membuat aku membeliak sebentar. Persis seperti ustaz-ustaz yang sedang ceramah. Empuk.

Ish, ini baru suaranya, Lala. Sebagus apapun suaranya, kalau Om-om tetap saja tua. Ya Tuhan, kenapa nasibku begini amat, sih?

Satu persatu para tamu yang memang tidak banyak sudah berpamitan. Dan terakhir adalah dua teman rempongku, Ghea dan Mhita.

"Enggak rugi lah, Lo gagal nikah sama Rendy. Karena Lo dapet yang lebih mateng," bisik Mhita sambil mencondongkan tubuhnya. Karena meskipun pria yang sedang berbicara dengan Om Drajat itu agak jauh dari kami, aku yakin pasti dia mendengarnya.

"Ck, apaan sih, Lo! Ngeledek, ya." Mitha malah meledekku yang dapat suami Om-om.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   207. Bahagia Akhirnya

    Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   206. Kesaksian

    "Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   205. Cepat Pulang!

    "Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   204. Kabur

    Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   203. Janggal

    "Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   202. Aku Normal

    Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   201. Tanpa Batasan

    Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   200. Lancang

    Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   199. Meski Berat

    Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status