Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku.
"Sayang?!"Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku."La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu.""Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir."Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Atau mungkin Om Dimas yang sangat pandai berakting? Sehingga di mata Mama dia terlihat seperti pria yang sempurna. Tapi di belakang, Om Dimas tidak lebih baik dari kumbang jalan yang hobby menghisap madu."Ayo Sayang, kita temuin Mamanya Rendy dulu. Maksud Mama keluarga suamimu, Faldo." Mama meraih tanganku, bermaksud mengajakku turun.Aku baru sadar kalau di kamar ini hanya tinggal kami berdua. Tante Chintya dan anaknya entah kemana. Begitu pun dengan Ghea dan Mhita, mereka sudah tidak ada."Lala males, Ma," jawabku asal."Loh, enggak boleh seperti itu, Sayang. Meski tidak jadi menikah dengan Rendy, tapi Mamanya itu tetap menjaga keluarga suamimu.""Suami, suami! Cukup, Ma! Aku enggak peduli. Pokoknya aku tidak mau bertemu siapa pun!""Sayang, Mama mohon. Mau ditaruh di mana muka Mama? Please ... ya .... "Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka lalu muncul sosok Om Drajat di sana."Alhamdulillah, kamu sudah sadar, La. Om mohon, temui mereka sebentar, ya!"Aku berpikir sejenak, kalau saja bukan Om Drajat yang meminta, sebenarnya aku tidak mau turun menemui Mamanya Rendy dan Om Do suamiku. Dih, suami! Aku mencebik di dalam hati.***Tante Renita, Mamanya Rendy memelukku erat. Wanita itu meminta maaf sambil terisak. Namun air mataku seperti sudah habis ketika di kamar tadi hingga riasan wajah ini sudah tidak karuan bentuknya dan aku menolak ketika Mama hendak merapikannya."Maafkan Rendy, ya, La?""Jujur saja aku kecewa, Tante. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus sadar bahwa aku tidak bisa memaksa." Entah salah makan apa, kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. Padahal tadi ketika di kamar, aku merasa diriku sangat lemah."Makasih, ya, La. Kamu gadis yang baik. Oh ya meskipun Tante tidak jadi Mama mertua kamu, tapi sekarang Tante jadi Kakak ipar kamu." Kemudian Tante Renita terkekeh. Loh, kemana raut wajah penuh rasa bersalah beberapa waktu yang lalu?"I-iya," jawabku canggung. Yang bener saja aku harus memanggil Mbak pada calon Mama mertua."Oh iya, ini suami kamu, Muhamad Refaldo." Tante Renita menunjuk pria yang sedari tadi duduk menunduk tak jauh dari kami.Pria yang sekilas kulirik menggunakan jas agak kebesaran. Dan aku tahu jas itu memang punya almarhum Papa. Sedari tadi Om Do hanya diam menunduk. Apa dia mengantuk? Atau jangan-jangan ada bagian wajahnya yang perlu sembunyikan.Ya, Tuhan. Aku tidak dapat membayangkan jika itu benar. Aku yang cantik ini bersuamikan pria cacat. Oh, tidak!Dengan sedikit menggeser posisi duduk akhirnya aku sampai di dekat suamiku. Ya ampun, bahkan menyebutnya sebagai suami saja aku merasa aneh dan geli.Ragu kuulurkan tangan untuk menyalaminya. Dan dia pun memberikan tangannya yang lalu kusentuh dan kucium.Kalau bukan karena takut akan diomeli Om Drajat, sebenarnya aku males melakukan ini. Aneh saja rasanya harus mencium tangan orang bahkan bertemu saja untuk pertama kalinya.Aku belum berani menatap wajahnya. Takut kalau tiba-tiba aku pingsan lagi karena melihat wajah tua milik suamiku itu.Tak lama setelah itu Tante Renita dan beberapa kerabat lainnya termasuk suami dan anaknya berpamitan."Sekali lagi, maafkan Rendy ya, La. Tenang saja, Tante akan mengakui anak yang ada dalam kandunganmu itu sebagai cucu Tante."Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawabnya. Dalam hati aku terus mengutuk Rendy yang mempermalukan aku dan keluargaku. Suatu saat jika aku bertemu dengan pria itu, aku pasti akan membuat perhitungan. Karena Rendy pula yang membuat aku harus menikah dengan seorang pria tua yang dia sebut Om."Faldo, Mbak juga minta maaf, ya. Karena akhirnya kamu lah yang kena getahnya." Tante Renita beralih pada pria di sampingku yang belum kulihat wajahnya itu."Aku ikhlas, Mbak. Yang penting nama baik dua keluarga ini bisa diselamatkan. Tenang saja, jika Rendy dan Lala ingin kembali, aku siap mundur setelah anak ini lahir." Pria di sampingku ini berucap dengan tenang dan suaranya itu sempat membuat aku membeliak sebentar. Persis seperti ustaz-ustaz yang sedang ceramah. Empuk.Ish, ini baru suaranya, Lala. Sebagus apapun suaranya, kalau Om-om tetap saja tua. Ya Tuhan, kenapa nasibku begini amat, sih?Satu persatu para tamu yang memang tidak banyak sudah berpamitan. Dan terakhir adalah dua teman rempongku, Ghea dan Mhita."Enggak rugi lah, Lo gagal nikah sama Rendy. Karena Lo dapet yang lebih mateng," bisik Mhita sambil mencondongkan tubuhnya. Karena meskipun pria yang sedang berbicara dengan Om Drajat itu agak jauh dari kami, aku yakin pasti dia mendengarnya."Ck, apaan sih, Lo! Ngeledek, ya." Mitha malah meledekku yang dapat suami Om-om."Dih, gue serius, La." Mhita menarik badannya hingga aku bisa jelas menatap wajahnya dengan mimik serius."Udah, ah, jangan digoda mulu, Ta. Mendingan kita cabut, yuk. Gue udahlah gerah, nih, pake baju beginian." Ghea menunjuk dirinya sendiri yang kini mengenakan kebaya modern."Oke, deh. Kita cabut dulu, ya, Say. Lo jangan lupa pake baju yang menggoda supaya dia jatuh cinta sama Lo." Kali ini Mitha berkata dengan nada biasa hingga aku yakin jika laki-laki itu menguping pasti akan mendengarnya.Aku melotot sambil menempelkan telunjuk pada bibirku. Kenapa Mhita ceroboh sekali berkata seperti itu. "Udah, deh. Katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh keduanya ke arah pintu. Risih juga kalau mereka terus-menerus menggoda aku di depan pria itu. Meskipun pria yang duduk membelakangi aku itu sedang asyik mengobrol dengan Om Drajat. Siapa tahu diam-diam dia menguping."Ya ampun, La. Beneran, nih anak, udah enggak sabaran pengin berduaan." Mhita kembali berujar dengan nada tinggi, jadi meskip
Selesai mengemasi barang-barang yang hanya dua koper, aku turun bersama Mama. Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa baju untuk kuliah, piyama juga buku-buku yang nantinya aku perlukan selama kuliah. Aku tak yakin akan betah tinggal bersama pria asing itu makanya seperti saran Mama aku hanya membawa sebagian kecil baju."Ingat pesan Mama, ya, La. Kamu harus merubah sikap, jangan manja lagi, harus mandiri dan bisa mengurus suami kamu," pesan mama sekali lagi ketika mengantarkan ke depan.Sudah ada taksi yang menunggu di depan rumah, mungkin pria itu sudah memesannya secara online."Faldo, Mama titip Lala, ya. Lala masih kekanak-kanakan, sangat jauh dari kata dewasa. Maklumlah dia anak satu-satunya dan kami sangat memanjakannya. Ini tugas Nak Faldo untuk membimbingnya jadi wanita mandiri, mudah-mudahan Nak Faldo bisa bersabar karena Lala masih perlu bimbingan."Insya Allah, Ma. Terima kasih kalian sudah percaya kepada saya, mudah-mudahan saya bisa membimbing Lala," jawab Om Do
"Lagian aku juga gak bakalan ngapa-ngapain kamu, kok. Memangnya aku mau mencampur benih ponakanku sendiri? Di dalam Islam sendiri tidak diperbolehkan menumpuk benih di dalam rahim.""Oh, jadi Om juga meledekku?" Aku tidak terima Om Do merendahkan aku."Memang seperti itu kenyataannya. Bukankah wanita yang aku nikahi ini hamil anak ponakanku sendiri. Aku tak menyangka jika nasibku akan seperti ini, menikahi pacar ponakan yang sedang hamil dan manja." Setelah berkata seperti itu Om Do menarik dua buah koperku dan membawanya ke kamar."Pokoknya aku tidak mau tidur satu kamar sama Om. Kalau Om tidak mau tidur di luar, biar aku saja yang di luar!" Aku berteriak supaya pria itu mengurungkan niatnya membawa koper-koper itu ke kamar.Di ruangan ini terdapat satu sofa panjang yang berhadapan langsung dengan televisi. Mungkin ini bisa aku gunakan untuk merebahkan diri atau aku bisa tidur di atas karpet yang terbentang di antara televisi dan sofa ini, begitu pikirku.Pria itu tidak mendengarkan
Aku membuka mata ketika indera pendengaranku menangkap suara seperti pintuterbuka. Begitu mataku terbuka, aku baru sadar kalau ternyata aku tertidur diatas kasur di dalam kamar Om Do. Lalu begitu saja ada wangi menguar yang akucium, sepertinya ini wangi sabun.Segera aku bangkit mengambil posisi duduk. Tapi itu tidak berlangsung lama,karena mataku menangkap pemandangan yang menurutku sangat tabu saat ini."Aaaaa .... Om ngapain sih?!" Aku berteriak sambil menutup wajahkudengan kedua tangan. Baru saja aku melihat pria itu berdiri di depan lemariyang pintunya terbuka dengan hanya menggunakan handuk yang menutupi bagianbawah tubuhnya. Sementara dari pinggang ke atas tampak punggung lebarnya tanpatertutup apapun. Jelas saja ini adalah pemandangan aneh bagiku."Kenapa kamu bikin aku kaget saja, sih, La? Aku sedang mencari bajuku didalamnya kamarku sendiri, apa salah?""Yang bikin kaget itu Om, tiba-tiba ada di depanku dengan penampilanseperti itu." Aku berteriak dengan posisi yan
Selesai membersihkan badan aku keluar dan mendapatkan pria itu tengah duduk disofa."Bereskan baju-bajumu, buka saja pintu lemari yang paling kanan!"teriak Om Do sementara matanya masih fokus ke layar televisi. Tanpa menjawabaku menurut apa yang baru saja dia katakan, ternyata lemari paling kanan itumemang kosong."Sudah?" Seperti biasa, tiba-tiba dia sudah berada di pintu."Sudah," jawabku tanpa menoleh lalu menutup pintu lemari."Sebentar lagi maghrib, sebelum makan kita salat berjamaah dulu.""Salat?" tanyaku heran, pasalnya di rumah, aku hampir tidak pernahmelaksanakan salat."Iya salat, kamu muslim 'kan?" tanya Om Do sambil menautkan keduaalisnya."Eum ... iya, aku muslim, tapi...aku tidak membawa...mukena," jawabkuragu."Apa? Kamu pindah ke sini tidak membawa mukena? Lalu kamu salat memakaiapa? Atau ... jangan-jangan ....""Aku.... "Aku aku tak bisa meneruskan ucapanku karena memang benar di rumahku yangmenjalankan salat hanya bibi saja. Aku dan Mama nyaris tidak perna
"Perhatikan aku dulu!" Pria itu membungkuk di depan kran, lalu setelah air mengalir dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan."Setelah tangan kamu bersih berkumurlah sebanyak 3 kali, seperti ini," lanjutnya kemudian.Selanjutnya ia mempraktekkan tata cara berwudhu sambil terus berbicara dan aku memperhatikannya dengan teliti."Sekarang ayo giliran kamu." Pria itu berdiri dan menunjuk keran supaya aku mendekati kran tersebut."Tapi aku lupa lagi." Aku berucap sembari menggaruk-garuk kepala. Karena jarang melakukannya aku jadi lupa urutannya."Iya, makanya dipraktekkan. Ayo dimulai dari membasuh telapak tangan lalu berkumur sebanyak tiga kali, aku akan memberi instruksi di setiap gerakan."Ragu aku mendekati kran dan mulai membasuh telapak tangan lalu berkumur seperti yang dibilang oleh Om Do tadi. Selanjutnya pria itu memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan lengkap dengan bacaan niat sehingga sampailah pada akh
"Aku bercanda, biarkan itu kita pikirkan nantisaja." Seru Om Do yang melanjutkan pemikirannya tentang perutku yang akanmembesar. Selanjutnya kami sibuk dengan ponsel masing-masing,aku sibuk dengan teman-temanku dan Om Do pun entah sibuk dengan siapa.Sebenarnya aku penasaran, di usianya yang sudah mapan dan seharusnya sudahmenikah, kenapa Om Do belum juga berkeluarga. Tapi bisa saja, dia diam-diamsudah punya calon istri atau pacar. Lalu bagaimana ya, sikap calon istrinyaatau kekasihnya ketika tahu Om Do sudah menikahiku. Masa bodoh, kenapa aku jadimemikirkannya, itu urusan Om Do dengan pacarnya.Aku merasa bosan di waktu seperti ini berada di rumah, berdua dengan seorangpria yang sama sekali tidak aku inginkan. Meskipun aku sudah sedikit mengenal OmDo, tapi tetap saja aku belum terbiasa berdekatan dengannya.Biasanya jam segini aku berada di luar bersama teman-temanku. Sekedar nongkrongdi cafe atau jalan ke mall. Aktivitasku memang masih terbilang wajar untukseorang anak g
Sengaja aku mengucapkannya dengan suara keras supaya Om Do mendengarnya. "Oh, jadi kamu anak kesepian di rumahmu sendiri? Pantesan kamu mencari perhatian pada ponakanku. Hidup itu tidak ada yang enak Nona, tinggal bagaimana kamu memilih mau menjalani yang mana. Kesepian di rumah besarmu atau tinggal di sini penuh perhatian dan kehangatan."Ternyata dia mendengar juga, buktinya Om-om itu menjawab. Aku menyesal juga telah mengatakan aku kesepian di rumah Mama.Sok tahu dia, perhatian macam apa yang diberikan padaku. Itu sih bukan perhatian, tapi perintah atau lebih tepatnya kebijakan yang merugikan salah satu pihak. Seenaknya dia main perintah pada anak orang, harus inilah harus itulah, jangan ini jangan itu. Memang tidak ada yang enak hidup bersama Mama ataupun bersama Om Do. Ini karena dari awal yang kuinginkan adalah hidup bersama Rendy dan menjalani hari-hari penuh cinta.Akhirnya aku masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sedikit keras."Hati-hati jangan sampai pintu kamarku rusa