Share

3. Siapa Dia

Aku tidak tahu bagaimana Tante Renita bertemu Mama dan membicarakan masalah kehamilanku. Yang jelas pernikahan kami segera dilaksanakan meskipun Rendy tetap menentangnya.

"Sekarang atau nanti akhirnya kita akan menikah Ren. Apa kamu tidak sungguh-sungguh padaku?"

"Aku sungguh-sungguh sama kamu, La, tapi bukan begini caranya dan bukan sekarang juga. Nantilah tunggu beberapa tahun lagi setelah kamu lulus kuliah dan aku sudah punya tabungan. Saat ini karirku juga baru saja dimulai." Itu yang menjadikan alasan Rendy.

Tapi sepertinya sanggahan Rendy tidak berarti karena dia terlihat pasrah ketika Mama dan Tante Renita menentukan tanggal pernikahan kami dan ini membuatku sangat bahagia. Usahaku ternyata tidak sia-sia, akhirnya Rendy berkutik. Mungkin karena desakan Tante Renita sebagai Mamanya.

Hari ini pernikahan itu akan dilaksanakan. Aku tak henti tersenyum sambil memandangi bayanganku di cermin, bayangan seorang wanita dengan berbalut kebaya putih. Sebentar lagi akan menjadi istri Rendy, setelah itu aku akan pergi dari rumah ini tanpa takut lagi pada Om Dimas.

"Orang tua Rendy sudah datang tapi tanpa Rendy, katanya tadi Rendy berangkat duluan tapi kok belum sampai," ucap Tante Cynthia, istrinya Om Drajat, adiknya Papa yang akan menjadi wali nikahku.

"Kenapa bisa seperti itu Tante?" Aku cukup kaget mendengar pernyataan Tante Chintya. Kenapa Rendy bisa berangkat sendirian? Tiba-tiba saja rasa khawatirku datang berlebihan.

"Kata Mamanya Rendy, dia pergi tergesa-gesa setelah menerima telepon yang katanya dari kamu."

"Aku tidak meneleponnya," sangkalku.

"Kita tunggu sebentar saja mungkin Rendy ada kendala di jalan tapi dia lupa mengabarimu," ucap Mama sambil mengusap pundakku.

***

"La, bangun, Sayang."

Aku mendengar suara Mama sayup-sayup. Perlahan aku membuka mata dan benda yang pertama kulihat adalah langit-langit kamarku. Aku berbaring? Aku berusaha bangkit tapi Mama menahanku.

"Tidak usah duduk dulu, Sayang. Rebahan saja dulu."

Terpaksa aku kembali merebahkan diri. Lalu menoleh ke kanan dan kiriku. Tante Chintya, dan Danisa anaknya yang nomor dua, berdiri khawatir di dekat ranjangku. Lalu Ghea dan Mhita, sahabat dekatku yang entah kapan datang, mereka berdiri sejajar dengan Tante Chintya.

"Apa yang terjadi, Ma?"

"Kamu pingsan lama sekali, Sayang. Mama sangat khawatir. Alhamdulillah sekarang kamu sudah sadar."

Jadi aku pingsan? Ya Tuhan, aku jadi ingat pesan yang dikirim oleh Rendy. Dia tidak datang dan aku batal nikah.

"Pernikahanku, Ma?" Air mataku keluar tanpa permisi. Banyak hati yang harus tersakiti karena aku gagal menikah.

"Soal itu, eum .... " Mama seperti bingung.

Aku melirik empat orang lainnya yang sedari tadi hanya membisu. Mereka terlihat seperti bingung juga, membuat aku jadi ikut mengernyit.

"Maafin Lala, Ma. Lala udah bikin malu Mama dan keluarga kita." Aku kembali terisak.

"Sstt, udah jangan nangis, Sayang. Jangan khawatir anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah." Mama menunjuk perutku.

Jadi?

"Rendy datang, Ma?" Aku berpikir kalau pesan yang Rendy kirim tadi adalah prank. Kenapa mesti seperti itu, sih? Keterlaluan, sampai aku pingsan. Aku tersenyum samar.

"Tidak .... " jawab Mama yang membuat senyumku seketika hilang.

"Lalu?!" Aku bangkit dan kulihat semua orang terlihat tegang.

"Rendy sudah jelas tidak akan datang, La."

"Lalu apa maksud Mama, anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah?"

"Kamu jadi menikah tapi bukan dengan Rendy. Maaf Mama tidak meminta persetujuan kamu dulu, yang terpikir oleh Mama adalah bagaimana caranya supaya kamu punya suami dan jangan sampai anak itu lahir tanpa Ayah."

"Jadi, siapa yang menikahi aku?!"

"Kamu harus bersyukur karena ada seseorang dari keluarga Rendy yang mau menolong kita untuk menutupi aib ini."

"Kelurga Rendy? Siapa? Rendi tidak punya saudara laki-laki. Dia anak pertama dari tiga bersaudara dan kedua adiknya cewek semua."

"Faldo, Om-nya Rendy. Dia yang sudah menikahi kamu. Mama harap kamu bisa terima, kelihatannya dia orang baik dan terlihat dewasa. Dia juga bersedia menerima kondisi kamu yang sudah berbadan dua," ucap Mama lembut sambil mengusap tanganku.

Faldo? Om Do yang sering Rendy bicarakan itu? Kata Rendy, Om-nya itu gaje dan tidak asik. Suka ngatur dan sok tahu. Aku belum pernah bertemu dengannya tapi dari omongan Rendy, aku bisa menyimpulkan kalau Om-nya itu menyebalkan. Lalu sekarang dia justru yang menjadi suamiku?

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?

"Lala, jangan pingsan lagi, Sayang!"

Suara Mama terdengar panik sebelum semuanya menjadi gelap lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status