Aku tidak tahu bagaimana Tante Renita bertemu Mama dan membicarakan masalah kehamilanku. Yang jelas pernikahan kami segera dilaksanakan meskipun Rendy tetap menentangnya.
"Sekarang atau nanti akhirnya kita akan menikah Ren. Apa kamu tidak sungguh-sungguh padaku?""Aku sungguh-sungguh sama kamu, La, tapi bukan begini caranya dan bukan sekarang juga. Nantilah tunggu beberapa tahun lagi setelah kamu lulus kuliah dan aku sudah punya tabungan. Saat ini karirku juga baru saja dimulai." Itu yang menjadikan alasan Rendy.Tapi sepertinya sanggahan Rendy tidak berarti karena dia terlihat pasrah ketika Mama dan Tante Renita menentukan tanggal pernikahan kami dan ini membuatku sangat bahagia. Usahaku ternyata tidak sia-sia, akhirnya Rendy berkutik. Mungkin karena desakan Tante Renita sebagai Mamanya.Hari ini pernikahan itu akan dilaksanakan. Aku tak henti tersenyum sambil memandangi bayanganku di cermin, bayangan seorang wanita dengan berbalut kebaya putih. Sebentar lagi akan menjadi istri Rendy, setelah itu aku akan pergi dari rumah ini tanpa takut lagi pada Om Dimas."Orang tua Rendy sudah datang tapi tanpa Rendy, katanya tadi Rendy berangkat duluan tapi kok belum sampai," ucap Tante Cynthia, istrinya Om Drajat, adiknya Papa yang akan menjadi wali nikahku."Kenapa bisa seperti itu Tante?" Aku cukup kaget mendengar pernyataan Tante Chintya. Kenapa Rendy bisa berangkat sendirian? Tiba-tiba saja rasa khawatirku datang berlebihan."Kata Mamanya Rendy, dia pergi tergesa-gesa setelah menerima telepon yang katanya dari kamu.""Aku tidak meneleponnya," sangkalku."Kita tunggu sebentar saja mungkin Rendy ada kendala di jalan tapi dia lupa mengabarimu," ucap Mama sambil mengusap pundakku.***"La, bangun, Sayang."Aku mendengar suara Mama sayup-sayup. Perlahan aku membuka mata dan benda yang pertama kulihat adalah langit-langit kamarku. Aku berbaring? Aku berusaha bangkit tapi Mama menahanku."Tidak usah duduk dulu, Sayang. Rebahan saja dulu."Terpaksa aku kembali merebahkan diri. Lalu menoleh ke kanan dan kiriku. Tante Chintya, dan Danisa anaknya yang nomor dua, berdiri khawatir di dekat ranjangku. Lalu Ghea dan Mhita, sahabat dekatku yang entah kapan datang, mereka berdiri sejajar dengan Tante Chintya."Apa yang terjadi, Ma?""Kamu pingsan lama sekali, Sayang. Mama sangat khawatir. Alhamdulillah sekarang kamu sudah sadar."Jadi aku pingsan? Ya Tuhan, aku jadi ingat pesan yang dikirim oleh Rendy. Dia tidak datang dan aku batal nikah."Pernikahanku, Ma?" Air mataku keluar tanpa permisi. Banyak hati yang harus tersakiti karena aku gagal menikah."Soal itu, eum .... " Mama seperti bingung.Aku melirik empat orang lainnya yang sedari tadi hanya membisu. Mereka terlihat seperti bingung juga, membuat aku jadi ikut mengernyit."Maafin Lala, Ma. Lala udah bikin malu Mama dan keluarga kita." Aku kembali terisak."Sstt, udah jangan nangis, Sayang. Jangan khawatir anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah." Mama menunjuk perutku.Jadi?"Rendy datang, Ma?" Aku berpikir kalau pesan yang Rendy kirim tadi adalah prank. Kenapa mesti seperti itu, sih? Keterlaluan, sampai aku pingsan. Aku tersenyum samar."Tidak .... " jawab Mama yang membuat senyumku seketika hilang."Lalu?!" Aku bangkit dan kulihat semua orang terlihat tegang."Rendy sudah jelas tidak akan datang, La.""Lalu apa maksud Mama, anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah?""Kamu jadi menikah tapi bukan dengan Rendy. Maaf Mama tidak meminta persetujuan kamu dulu, yang terpikir oleh Mama adalah bagaimana caranya supaya kamu punya suami dan jangan sampai anak itu lahir tanpa Ayah.""Jadi, siapa yang menikahi aku?!""Kamu harus bersyukur karena ada seseorang dari keluarga Rendy yang mau menolong kita untuk menutupi aib ini.""Kelurga Rendy? Siapa? Rendi tidak punya saudara laki-laki. Dia anak pertama dari tiga bersaudara dan kedua adiknya cewek semua.""Faldo, Om-nya Rendy. Dia yang sudah menikahi kamu. Mama harap kamu bisa terima, kelihatannya dia orang baik dan terlihat dewasa. Dia juga bersedia menerima kondisi kamu yang sudah berbadan dua," ucap Mama lembut sambil mengusap tanganku.Faldo? Om Do yang sering Rendy bicarakan itu? Kata Rendy, Om-nya itu gaje dan tidak asik. Suka ngatur dan sok tahu. Aku belum pernah bertemu dengannya tapi dari omongan Rendy, aku bisa menyimpulkan kalau Om-nya itu menyebalkan. Lalu sekarang dia justru yang menjadi suamiku?Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?"Lala, jangan pingsan lagi, Sayang!"Suara Mama terdengar panik sebelum semuanya menjadi gelap lagi.Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku."Sayang?!"Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku."La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu.""Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir."Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Ata
"Dih, gue serius, La." Mhita menarik badannya hingga aku bisa jelas menatap wajahnya dengan mimik serius."Udah, ah, jangan digoda mulu, Ta. Mendingan kita cabut, yuk. Gue udahlah gerah, nih, pake baju beginian." Ghea menunjuk dirinya sendiri yang kini mengenakan kebaya modern."Oke, deh. Kita cabut dulu, ya, Say. Lo jangan lupa pake baju yang menggoda supaya dia jatuh cinta sama Lo." Kali ini Mitha berkata dengan nada biasa hingga aku yakin jika laki-laki itu menguping pasti akan mendengarnya.Aku melotot sambil menempelkan telunjuk pada bibirku. Kenapa Mhita ceroboh sekali berkata seperti itu. "Udah, deh. Katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh keduanya ke arah pintu. Risih juga kalau mereka terus-menerus menggoda aku di depan pria itu. Meskipun pria yang duduk membelakangi aku itu sedang asyik mengobrol dengan Om Drajat. Siapa tahu diam-diam dia menguping."Ya ampun, La. Beneran, nih anak, udah enggak sabaran pengin berduaan." Mhita kembali berujar dengan nada tinggi, jadi meskip
Selesai mengemasi barang-barang yang hanya dua koper, aku turun bersama Mama. Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa baju untuk kuliah, piyama juga buku-buku yang nantinya aku perlukan selama kuliah. Aku tak yakin akan betah tinggal bersama pria asing itu makanya seperti saran Mama aku hanya membawa sebagian kecil baju."Ingat pesan Mama, ya, La. Kamu harus merubah sikap, jangan manja lagi, harus mandiri dan bisa mengurus suami kamu," pesan mama sekali lagi ketika mengantarkan ke depan.Sudah ada taksi yang menunggu di depan rumah, mungkin pria itu sudah memesannya secara online."Faldo, Mama titip Lala, ya. Lala masih kekanak-kanakan, sangat jauh dari kata dewasa. Maklumlah dia anak satu-satunya dan kami sangat memanjakannya. Ini tugas Nak Faldo untuk membimbingnya jadi wanita mandiri, mudah-mudahan Nak Faldo bisa bersabar karena Lala masih perlu bimbingan."Insya Allah, Ma. Terima kasih kalian sudah percaya kepada saya, mudah-mudahan saya bisa membimbing Lala," jawab Om Do
"Lagian aku juga gak bakalan ngapa-ngapain kamu, kok. Memangnya aku mau mencampur benih ponakanku sendiri? Di dalam Islam sendiri tidak diperbolehkan menumpuk benih di dalam rahim.""Oh, jadi Om juga meledekku?" Aku tidak terima Om Do merendahkan aku."Memang seperti itu kenyataannya. Bukankah wanita yang aku nikahi ini hamil anak ponakanku sendiri. Aku tak menyangka jika nasibku akan seperti ini, menikahi pacar ponakan yang sedang hamil dan manja." Setelah berkata seperti itu Om Do menarik dua buah koperku dan membawanya ke kamar."Pokoknya aku tidak mau tidur satu kamar sama Om. Kalau Om tidak mau tidur di luar, biar aku saja yang di luar!" Aku berteriak supaya pria itu mengurungkan niatnya membawa koper-koper itu ke kamar.Di ruangan ini terdapat satu sofa panjang yang berhadapan langsung dengan televisi. Mungkin ini bisa aku gunakan untuk merebahkan diri atau aku bisa tidur di atas karpet yang terbentang di antara televisi dan sofa ini, begitu pikirku.Pria itu tidak mendengarkan
Aku membuka mata ketika indera pendengaranku menangkap suara seperti pintuterbuka. Begitu mataku terbuka, aku baru sadar kalau ternyata aku tertidur diatas kasur di dalam kamar Om Do. Lalu begitu saja ada wangi menguar yang akucium, sepertinya ini wangi sabun.Segera aku bangkit mengambil posisi duduk. Tapi itu tidak berlangsung lama,karena mataku menangkap pemandangan yang menurutku sangat tabu saat ini."Aaaaa .... Om ngapain sih?!" Aku berteriak sambil menutup wajahkudengan kedua tangan. Baru saja aku melihat pria itu berdiri di depan lemariyang pintunya terbuka dengan hanya menggunakan handuk yang menutupi bagianbawah tubuhnya. Sementara dari pinggang ke atas tampak punggung lebarnya tanpatertutup apapun. Jelas saja ini adalah pemandangan aneh bagiku."Kenapa kamu bikin aku kaget saja, sih, La? Aku sedang mencari bajuku didalamnya kamarku sendiri, apa salah?""Yang bikin kaget itu Om, tiba-tiba ada di depanku dengan penampilanseperti itu." Aku berteriak dengan posisi yan
Selesai membersihkan badan aku keluar dan mendapatkan pria itu tengah duduk disofa."Bereskan baju-bajumu, buka saja pintu lemari yang paling kanan!"teriak Om Do sementara matanya masih fokus ke layar televisi. Tanpa menjawabaku menurut apa yang baru saja dia katakan, ternyata lemari paling kanan itumemang kosong."Sudah?" Seperti biasa, tiba-tiba dia sudah berada di pintu."Sudah," jawabku tanpa menoleh lalu menutup pintu lemari."Sebentar lagi maghrib, sebelum makan kita salat berjamaah dulu.""Salat?" tanyaku heran, pasalnya di rumah, aku hampir tidak pernahmelaksanakan salat."Iya salat, kamu muslim 'kan?" tanya Om Do sambil menautkan keduaalisnya."Eum ... iya, aku muslim, tapi...aku tidak membawa...mukena," jawabkuragu."Apa? Kamu pindah ke sini tidak membawa mukena? Lalu kamu salat memakaiapa? Atau ... jangan-jangan ....""Aku.... "Aku aku tak bisa meneruskan ucapanku karena memang benar di rumahku yangmenjalankan salat hanya bibi saja. Aku dan Mama nyaris tidak perna
"Perhatikan aku dulu!" Pria itu membungkuk di depan kran, lalu setelah air mengalir dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan."Setelah tangan kamu bersih berkumurlah sebanyak 3 kali, seperti ini," lanjutnya kemudian.Selanjutnya ia mempraktekkan tata cara berwudhu sambil terus berbicara dan aku memperhatikannya dengan teliti."Sekarang ayo giliran kamu." Pria itu berdiri dan menunjuk keran supaya aku mendekati kran tersebut."Tapi aku lupa lagi." Aku berucap sembari menggaruk-garuk kepala. Karena jarang melakukannya aku jadi lupa urutannya."Iya, makanya dipraktekkan. Ayo dimulai dari membasuh telapak tangan lalu berkumur sebanyak tiga kali, aku akan memberi instruksi di setiap gerakan."Ragu aku mendekati kran dan mulai membasuh telapak tangan lalu berkumur seperti yang dibilang oleh Om Do tadi. Selanjutnya pria itu memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan lengkap dengan bacaan niat sehingga sampailah pada akh
"Aku bercanda, biarkan itu kita pikirkan nantisaja." Seru Om Do yang melanjutkan pemikirannya tentang perutku yang akanmembesar. Selanjutnya kami sibuk dengan ponsel masing-masing,aku sibuk dengan teman-temanku dan Om Do pun entah sibuk dengan siapa.Sebenarnya aku penasaran, di usianya yang sudah mapan dan seharusnya sudahmenikah, kenapa Om Do belum juga berkeluarga. Tapi bisa saja, dia diam-diamsudah punya calon istri atau pacar. Lalu bagaimana ya, sikap calon istrinyaatau kekasihnya ketika tahu Om Do sudah menikahiku. Masa bodoh, kenapa aku jadimemikirkannya, itu urusan Om Do dengan pacarnya.Aku merasa bosan di waktu seperti ini berada di rumah, berdua dengan seorangpria yang sama sekali tidak aku inginkan. Meskipun aku sudah sedikit mengenal OmDo, tapi tetap saja aku belum terbiasa berdekatan dengannya.Biasanya jam segini aku berada di luar bersama teman-temanku. Sekedar nongkrongdi cafe atau jalan ke mall. Aktivitasku memang masih terbilang wajar untukseorang anak g