Share

3. Siapa Dia

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-04 14:56:56

Aku tidak tahu bagaimana Tante Renita bertemu Mama dan membicarakan masalah kehamilanku. Yang jelas pernikahan kami segera dilaksanakan meskipun Rendy tetap menentangnya.

"Sekarang atau nanti akhirnya kita akan menikah Ren. Apa kamu tidak sungguh-sungguh padaku?"

"Aku sungguh-sungguh sama kamu, La, tapi bukan begini caranya dan bukan sekarang juga. Nantilah tunggu beberapa tahun lagi setelah kamu lulus kuliah dan aku sudah punya tabungan. Saat ini karirku juga baru saja dimulai." Itu yang menjadikan alasan Rendy.

Tapi sepertinya sanggahan Rendy tidak berarti karena dia terlihat pasrah ketika Mama dan Tante Renita menentukan tanggal pernikahan kami dan ini membuatku sangat bahagia. Usahaku ternyata tidak sia-sia, akhirnya Rendy berkutik. Mungkin karena desakan Tante Renita sebagai Mamanya.

Hari ini pernikahan itu akan dilaksanakan. Aku tak henti tersenyum sambil memandangi bayanganku di cermin, bayangan seorang wanita dengan berbalut kebaya putih. Sebentar lagi akan menjadi istri Rendy, setelah itu aku akan pergi dari rumah ini tanpa takut lagi pada Om Dimas.

"Orang tua Rendy sudah datang tapi tanpa Rendy, katanya tadi Rendy berangkat duluan tapi kok belum sampai," ucap Tante Cynthia, istrinya Om Drajat, adiknya Papa yang akan menjadi wali nikahku.

"Kenapa bisa seperti itu Tante?" Aku cukup kaget mendengar pernyataan Tante Chintya. Kenapa Rendy bisa berangkat sendirian? Tiba-tiba saja rasa khawatirku datang berlebihan.

"Kata Mamanya Rendy, dia pergi tergesa-gesa setelah menerima telepon yang katanya dari kamu."

"Aku tidak meneleponnya," sangkalku.

"Kita tunggu sebentar saja mungkin Rendy ada kendala di jalan tapi dia lupa mengabarimu," ucap Mama sambil mengusap pundakku.

***

"La, bangun, Sayang."

Aku mendengar suara Mama sayup-sayup. Perlahan aku membuka mata dan benda yang pertama kulihat adalah langit-langit kamarku. Aku berbaring? Aku berusaha bangkit tapi Mama menahanku.

"Tidak usah duduk dulu, Sayang. Rebahan saja dulu."

Terpaksa aku kembali merebahkan diri. Lalu menoleh ke kanan dan kiriku. Tante Chintya, dan Danisa anaknya yang nomor dua, berdiri khawatir di dekat ranjangku. Lalu Ghea dan Mhita, sahabat dekatku yang entah kapan datang, mereka berdiri sejajar dengan Tante Chintya.

"Apa yang terjadi, Ma?"

"Kamu pingsan lama sekali, Sayang. Mama sangat khawatir. Alhamdulillah sekarang kamu sudah sadar."

Jadi aku pingsan? Ya Tuhan, aku jadi ingat pesan yang dikirim oleh Rendy. Dia tidak datang dan aku batal nikah.

"Pernikahanku, Ma?" Air mataku keluar tanpa permisi. Banyak hati yang harus tersakiti karena aku gagal menikah.

"Soal itu, eum .... " Mama seperti bingung.

Aku melirik empat orang lainnya yang sedari tadi hanya membisu. Mereka terlihat seperti bingung juga, membuat aku jadi ikut mengernyit.

"Maafin Lala, Ma. Lala udah bikin malu Mama dan keluarga kita." Aku kembali terisak.

"Sstt, udah jangan nangis, Sayang. Jangan khawatir anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah." Mama menunjuk perutku.

Jadi?

"Rendy datang, Ma?" Aku berpikir kalau pesan yang Rendy kirim tadi adalah prank. Kenapa mesti seperti itu, sih? Keterlaluan, sampai aku pingsan. Aku tersenyum samar.

"Tidak .... " jawab Mama yang membuat senyumku seketika hilang.

"Lalu?!" Aku bangkit dan kulihat semua orang terlihat tegang.

"Rendy sudah jelas tidak akan datang, La."

"Lalu apa maksud Mama, anak ini tidak akan lahir tanpa Ayah?"

"Kamu jadi menikah tapi bukan dengan Rendy. Maaf Mama tidak meminta persetujuan kamu dulu, yang terpikir oleh Mama adalah bagaimana caranya supaya kamu punya suami dan jangan sampai anak itu lahir tanpa Ayah."

"Jadi, siapa yang menikahi aku?!"

"Kamu harus bersyukur karena ada seseorang dari keluarga Rendy yang mau menolong kita untuk menutupi aib ini."

"Kelurga Rendy? Siapa? Rendi tidak punya saudara laki-laki. Dia anak pertama dari tiga bersaudara dan kedua adiknya cewek semua."

"Faldo, Om-nya Rendy. Dia yang sudah menikahi kamu. Mama harap kamu bisa terima, kelihatannya dia orang baik dan terlihat dewasa. Dia juga bersedia menerima kondisi kamu yang sudah berbadan dua," ucap Mama lembut sambil mengusap tanganku.

Faldo? Om Do yang sering Rendy bicarakan itu? Kata Rendy, Om-nya itu gaje dan tidak asik. Suka ngatur dan sok tahu. Aku belum pernah bertemu dengannya tapi dari omongan Rendy, aku bisa menyimpulkan kalau Om-nya itu menyebalkan. Lalu sekarang dia justru yang menjadi suamiku?

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?

"Lala, jangan pingsan lagi, Sayang!"

Suara Mama terdengar panik sebelum semuanya menjadi gelap lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   207. Bahagia Akhirnya

    Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   206. Kesaksian

    "Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   205. Cepat Pulang!

    "Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   204. Kabur

    Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   203. Janggal

    "Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   202. Aku Normal

    Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status