Share

5. Wajah Suamiku

"Dih, gue serius, La." Mhita menarik badannya hingga aku bisa jelas menatap wajahnya dengan mimik serius.

"Udah, ah, jangan digoda mulu, Ta. Mendingan kita cabut, yuk. Gue udahlah gerah, nih, pake baju beginian." Ghea menunjuk dirinya sendiri yang kini mengenakan kebaya modern.

"Oke, deh. Kita cabut dulu, ya, Say. Lo jangan lupa pake baju yang menggoda supaya dia jatuh cinta sama Lo." Kali ini Mitha berkata dengan nada biasa hingga aku yakin jika laki-laki itu menguping pasti akan mendengarnya.

Aku melotot sambil menempelkan telunjuk pada bibirku. Kenapa Mhita ceroboh sekali berkata seperti itu.

"Udah, deh. Katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh keduanya ke arah pintu. Risih juga kalau mereka terus-menerus menggoda aku di depan pria itu. Meskipun pria yang duduk membelakangi aku itu sedang asyik mengobrol dengan Om Drajat. Siapa tahu diam-diam dia menguping.

"Ya ampun, La. Beneran, nih anak, udah enggak sabaran pengin berduaan." Mhita kembali berujar dengan nada tinggi, jadi meskipun mereka sudah menjauh tetap saja ada kemungkinan Om Do mendengarnya.

Aku menepuk kening, rasanya ingin melempar mereka dengan sandal yang kupakai.

Akhirnya mereka pergi sambil cekikikan.

Huft.

Aku membalikkan badan bermaksud hendak ke kamarku di atas. Benar juga kata Ghea kalau pakai kebaya itu gerah. Kebiasaanku tiap hari hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek kalau di rumah.

Aku melewati sofa di mana Om Drajat sedang ngobrol dengan pria yang baru saja mengucap akad itu. Malahan sekarang ada Mama juga Om Dimas, suaminya.

"Lala .... " Terdengar suara Mama memanggilku.

Terpaksa aku berhenti dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa Mama memanggilku.

"Sini dulu, Sayang. Duduk sebentar, ada yang ingin Mama sampaikan."

Dengan malas aku membalikkan badan dan berjalan lesu menghampiri mereka. Di saat itulah aku untuk pertama kalinya melihat wajah Om Do. Mataku membola sempurna melihat rupa pria yang telah sah menjadi suamiku itu.

Untung saja aku bisa dengan cepat menguasai diri dan terus berjalan menuju sofa di mana mereka sedang berkumpul dan melihat ke arahku. Termasuk pria itu.

Bingung karena tidak ada tempat kosong, selain disamping Om Dimas yang duduk berdampingan dengan Mama. Aku celingukan sambil terus melangkah. Tak disangka setelah sampai di dekat mereka Om Do menggeser duduknya sehingga tersisa ruang kosong di sisinya.

Sebelum duduk aku berpikir sejenak, daripada aku harus duduk di samping Om Dimas, lebih baik aku duduk di dekat pria asing ini. Toh dia sudah sah menjadi suamiku. Perlahan aku letakkan bobot tubuh ini di samping pria yang baru saja kukenali wajahnya barusan dan sempat membuatku hampir pingsan lagi.

Aku jadi teringat ucapan Ghea dan Mhita barusan yang mengatakan bahwa aku tidak rugi menikah dengan Om Do. Apakah ini yang dimaksud oleh mereka. Pria di sampingku ini memang kelihatan sudah dewasa tapi wajahnya tak kalah tampan dari Rendy. Sekilas mereka tidak ada mirip-miripnya sebagai Om dan keponakan meskipun keduanya sama-sama terlihat tampan.

"Eum ... jadi begini." Om Drajat memulai pembicaraan setelah aku duduk di samping suamiku. "Tanggung jawab atas diri kamu sudah berpindah pada suamimu. Mulai saat ini, Om dan Mama kamu sudah tidak berhak apa-apa lagi atas diri kamu, La. Barusan Faldo bilang sama Om kalau dia akan membawa kamu ke rumahnya. Om sama Mama kamu tidak bisa melarang karena dia suami kamu yang sekarang lebih berhak atas diri kamu," lanjut Om Drajat sambil sesekali melirik ke arahku dan pria di sampingku.

"Sebenarnya Mama ingin kalian menginap barang satu atau dua malam dulu di sini." Mama mengucap dengan wajah memelas.

"Maaf Tante, eh, Ma, mungkin lain kali atau besok-besok kita menginap di sini. Untuk malam ini saya tidak bisa tidur di sini karena sama sekali tidak ada persiapan. Jadi seperti yang saya bilang tadi saya mohon izin untuk membawa Lala ke tempat tinggal saya." Suara empuk pria di sampingku ini kembali terdengar.

"Ya, Mama bisa apa sekarang? Tanggung jawab sudah berpindah sama kamu, Do. Dan Lala, kamu jaga diri baik-baik dan jaga nama baik suami kamu juga keluarga kamu, mama percaya sekarang kamu sudah dewasa karena sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ibu." Mama beralih menatapku.

Sebenarnya aku ingin menolak untuk dibawa pindah malam ini juga oleh Om Do. Meskipun tujuan utamaku ingin segera menikah itu karena ingin keluar dari rumah ini, tapi bukan pria ini yang kuharapkan membawaku keluar dari sini. Nasi sudah menjadi bubur, aku harus pasrah dan terima nasib, akhirnya aku mengangguk meng-iya-kan.

"Kalau begitu kamu siap-siap dulu, kemasi barang-barangmu sekedarnya saja. Besok-besok kalian bisa kembali lagi kesini untuk mengambil barang-barang kamu lagi," ucap Mama dengan nada sedih.

Aku tahu Mama pasti akan sangat kehilangan karena aku tidak pernah jauh darinya. Sebagai anak tunggal yang selalu dimanjakan oleh Mama dan Papa. Biarlah Mama sadar bahwa perhatiannya sudah terbagi dengan Om Dimas hingga membuat aku ingin keluar dari rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status