Share

5. Wajah Suamiku

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-04 14:58:15

"Dih, gue serius, La." Mhita menarik badannya hingga aku bisa jelas menatap wajahnya dengan mimik serius.

"Udah, ah, jangan digoda mulu, Ta. Mendingan kita cabut, yuk. Gue udahlah gerah, nih, pake baju beginian." Ghea menunjuk dirinya sendiri yang kini mengenakan kebaya modern.

"Oke, deh. Kita cabut dulu, ya, Say. Lo jangan lupa pake baju yang menggoda supaya dia jatuh cinta sama Lo." Kali ini Mitha berkata dengan nada biasa hingga aku yakin jika laki-laki itu menguping pasti akan mendengarnya.

Aku melotot sambil menempelkan telunjuk pada bibirku. Kenapa Mhita ceroboh sekali berkata seperti itu.

"Udah, deh. Katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh keduanya ke arah pintu. Risih juga kalau mereka terus-menerus menggoda aku di depan pria itu. Meskipun pria yang duduk membelakangi aku itu sedang asyik mengobrol dengan Om Drajat. Siapa tahu diam-diam dia menguping.

"Ya ampun, La. Beneran, nih anak, udah enggak sabaran pengin berduaan." Mhita kembali berujar dengan nada tinggi, jadi meskipun mereka sudah menjauh tetap saja ada kemungkinan Om Do mendengarnya.

Aku menepuk kening, rasanya ingin melempar mereka dengan sandal yang kupakai.

Akhirnya mereka pergi sambil cekikikan.

Huft.

Aku membalikkan badan bermaksud hendak ke kamarku di atas. Benar juga kata Ghea kalau pakai kebaya itu gerah. Kebiasaanku tiap hari hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek kalau di rumah.

Aku melewati sofa di mana Om Drajat sedang ngobrol dengan pria yang baru saja mengucap akad itu. Malahan sekarang ada Mama juga Om Dimas, suaminya.

"Lala .... " Terdengar suara Mama memanggilku.

Terpaksa aku berhenti dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa Mama memanggilku.

"Sini dulu, Sayang. Duduk sebentar, ada yang ingin Mama sampaikan."

Dengan malas aku membalikkan badan dan berjalan lesu menghampiri mereka. Di saat itulah aku untuk pertama kalinya melihat wajah Om Do. Mataku membola sempurna melihat rupa pria yang telah sah menjadi suamiku itu.

Untung saja aku bisa dengan cepat menguasai diri dan terus berjalan menuju sofa di mana mereka sedang berkumpul dan melihat ke arahku. Termasuk pria itu.

Bingung karena tidak ada tempat kosong, selain disamping Om Dimas yang duduk berdampingan dengan Mama. Aku celingukan sambil terus melangkah. Tak disangka setelah sampai di dekat mereka Om Do menggeser duduknya sehingga tersisa ruang kosong di sisinya.

Sebelum duduk aku berpikir sejenak, daripada aku harus duduk di samping Om Dimas, lebih baik aku duduk di dekat pria asing ini. Toh dia sudah sah menjadi suamiku. Perlahan aku letakkan bobot tubuh ini di samping pria yang baru saja kukenali wajahnya barusan dan sempat membuatku hampir pingsan lagi.

Aku jadi teringat ucapan Ghea dan Mhita barusan yang mengatakan bahwa aku tidak rugi menikah dengan Om Do. Apakah ini yang dimaksud oleh mereka. Pria di sampingku ini memang kelihatan sudah dewasa tapi wajahnya tak kalah tampan dari Rendy. Sekilas mereka tidak ada mirip-miripnya sebagai Om dan keponakan meskipun keduanya sama-sama terlihat tampan.

"Eum ... jadi begini." Om Drajat memulai pembicaraan setelah aku duduk di samping suamiku. "Tanggung jawab atas diri kamu sudah berpindah pada suamimu. Mulai saat ini, Om dan Mama kamu sudah tidak berhak apa-apa lagi atas diri kamu, La. Barusan Faldo bilang sama Om kalau dia akan membawa kamu ke rumahnya. Om sama Mama kamu tidak bisa melarang karena dia suami kamu yang sekarang lebih berhak atas diri kamu," lanjut Om Drajat sambil sesekali melirik ke arahku dan pria di sampingku.

"Sebenarnya Mama ingin kalian menginap barang satu atau dua malam dulu di sini." Mama mengucap dengan wajah memelas.

"Maaf Tante, eh, Ma, mungkin lain kali atau besok-besok kita menginap di sini. Untuk malam ini saya tidak bisa tidur di sini karena sama sekali tidak ada persiapan. Jadi seperti yang saya bilang tadi saya mohon izin untuk membawa Lala ke tempat tinggal saya." Suara empuk pria di sampingku ini kembali terdengar.

"Ya, Mama bisa apa sekarang? Tanggung jawab sudah berpindah sama kamu, Do. Dan Lala, kamu jaga diri baik-baik dan jaga nama baik suami kamu juga keluarga kamu, mama percaya sekarang kamu sudah dewasa karena sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ibu." Mama beralih menatapku.

Sebenarnya aku ingin menolak untuk dibawa pindah malam ini juga oleh Om Do. Meskipun tujuan utamaku ingin segera menikah itu karena ingin keluar dari rumah ini, tapi bukan pria ini yang kuharapkan membawaku keluar dari sini. Nasi sudah menjadi bubur, aku harus pasrah dan terima nasib, akhirnya aku mengangguk meng-iya-kan.

"Kalau begitu kamu siap-siap dulu, kemasi barang-barangmu sekedarnya saja. Besok-besok kalian bisa kembali lagi kesini untuk mengambil barang-barang kamu lagi," ucap Mama dengan nada sedih.

Aku tahu Mama pasti akan sangat kehilangan karena aku tidak pernah jauh darinya. Sebagai anak tunggal yang selalu dimanjakan oleh Mama dan Papa. Biarlah Mama sadar bahwa perhatiannya sudah terbagi dengan Om Dimas hingga membuat aku ingin keluar dari rumah ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   207. Bahagia Akhirnya

    Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   206. Kesaksian

    "Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   205. Cepat Pulang!

    "Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   204. Kabur

    Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   203. Janggal

    "Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k

  • SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG   202. Aku Normal

    Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status